Thursday, May 29, 2014

Catatan Perjalanan ke Washington D.C. dan Houston




Sejak pertengahan tahun 2012 saya tidak begitu produktif lagi menulis  karena mood-nya tidak kunjung datang. Padahal sejak Mei 2008, yaitu pertama kali blog ini lahir, sampai tahun 2011 paling tidak saya menulis antara satu sampai dua artikel per bulan. Bahkan saat awal-awal menulis di blog saya bisa memosting satu artikel per minggu. Lama-lama, karena jarang menulis, saya merasa kemampuan merangkai kata-kata berkurang. Semoga dengan mulai menulis kembali kemampuan tersebut terkoreksi walau membutuhkan waktu.

Ceritanya pada tanggal 28 April sampai 10 Mei 2014 lalu saya mendapat kesempatan melakukan perjalanan dinas ke Amerika Serikat (AS), tepatnya ke kota Washington D.C., lalu ke kota kecil Durango di negara bagian Colorado, dilanjutkan ke Houston, dan terakhir ke Dallas sebelum pulang menuju tanah air. Perjalanan saya ke AS ini merupakan kali ketiga. Perjalanan pertama dan kedua saya lakukan di bulan Mei 1995 dan Desember 1996, sudah hampir 18 tahun lalu. Dengan tiga kali melakukan perjalanan ke AS seperti yang sudah saya lakukan sebetulnya bagi insan perminyakan termasuk tidak terlalu sering sebab banyak rekan sekolega yang sering mondar-mandir kesana mengingat mayoritas induk perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia berada di AS, dan, selain itu, hingga kini AS masih merupakan kiblat industri dan IPTEK perminyakan. Jadi wajar jika banyak insan perminyakan yang cukup sering melakukan perjalanan ke AS.

Sebenarnya ada beberapa kali kesempatan jika saya ingin melakukan perjalanan ke AS, baik untuk pelatihan maupun menghadiri konferensi, namun kesempatan itu tidak saya ambil, atau tepatnya saya tidak mengajukan diri, karena ada dua hal yang kurang saya sukai jika melakukan perjalanan ke belahan dunia lain; yaitu, pertama, lamanya di pesawat – hampir 24 jam, belum termasuk waktu transit. Jika dihitung dengan waktu transit, total perjalanan bisa memakan waktu 30 jam. Bandingkan dengan perjalanan haji naik pesawat dari Jakarta ke Jeddah yang hanya memakan waktu sekitar 9 jam.  Dan, kedua, jet lag karena keterpautan waktu sampai 12 jam dengan Jakarta. Ini yang paling membuat tidak nyaman bagi tubuh. Dengan keterpautan waktu tersebut berarti jam 12 siang di AS sama dengan jam 24 tengah malam di Jakarta.

Hari-hari pertama berada di AS waktu tidur sangat terganggu. Siang hari dan sore kena serang kantuk yang luar biasa. Malam harinya sulit tidur. Baru bisa terpejam jam 23 waktu setempat. Merasa sudah tidur nyenyak, jam 01 dinihari terbangun dengan perut lapar dan tidak bisa tidur lagi sampai pagi tiba. Begitu yang saya alami sampai hari keempat. Hari kelima dan seterusnya baru bisa tidur agak cukupan; meskipun terbangun biasanya sudah jam 4 pagi. Karena di bulan April-Mei posisi garis edar matahari sudah berada di belahan bumi utara (musim semi), waktu siang di AS lebih lama daripada waktu malam. Hari baru mulai gelap atau waktu magrib datang ketika waktu setempat menunjukkan pukul 20.20. Akibat jet lag ini, tubuh mesti melakukan berbagai penyesuaian yang tidak semua orang merasa mudah. Suhu udarapun belum terlalu bersahabat untuk ukuran orang Indonesia. Di Washington D.C. suhu udara berkisar antara 8 sampai 16 derajat Celcius. Di negara bagian Colorado berkisar -2 sampai 10 derajat Celcius, lereng dan puncak pegunungan masih diselimuti salju. Di Houston, Texas, suhu udara cukup bersahabat – berkisar antara 14 sampai 25 derajat Celcius. Bandingkan dengan suhu udara di Bandung yang berkisar 19 sampai 30 derajat Celcius di bulan yang sama.

Dengan waktu tempuh perjalanan dan jet lag yang demikian berarti kondisi fisik dan psikis menjelang berangkat harus prima. Jangan sampai sakit dalam perjalanan atau sakit saat berada disana. Seminggu sebelum berangkat saya cukup hati-hati mempersiapkan diri. Olahraga yang biasa saya lakukan dua hari sekali untuk menjaga kualitas aerobik saya kurangi dosisnya menjelang berangkat.

Perjalanan dinas ke AS saya lakukan karena menerima disposisi (perintah) dari atasan untuk mengikuti Delegasi Republik Indonesia dalam rangka menghadiri  The 5th U.S. - Indonesia Energy Policy Dialogue di Washington D.C.,  tanggal 1 sampai 2 Mei 2014, dan sebagai bagian dari Delegasi RI untuk mengikuti Offshore Technology Conference (OTC) 2014 di Houston, Texas, tanggal 5 sampai 7 Mei 2014. 

Delegasi RI diikuti oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yaitu Bapak Susilo Siswoutomo (selaku pimpinan delegasi), para perjabat eselon satu dan dua serta wakil-wakil dari lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Ditjen Minyak dan Gas Bumi, Ditjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Ditjen Ketenagalistrikan, Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM), Dewan Energi Nasional, SKK Migas, KADIN, Pertamina, PGN, Chevron, ExxonMobil, ConocoPhillips, dan BP ("Beyond Petroleum", dulu "British Petroleum").

Di bawah ini saya ingin sharing beberapa catatan yang mungkin bermanfaat untuk menambah wawasan terutama bagi rekan-rekan yang bergerak di sektor energi.

Keynote Speech Wamen ESDM

Wamen ESDM, menurut yang saya ikuti, paling tidak empat kali menyampaikan sambutan/keynote speech, yaitu saat pembukaan forum bisnis pada tanggal 30 April 2014 sore di kantor U.S. Chamber of Commerce di Washington D.C., saat pembukaan Energy Policy Dialogue pada tanggal 1 Mei 2014 juga di Washington D.C., saat jamuan makan malam tanggal 5 Mei 2014 di Konsulat Jenderal RI di Houston, dan saat topical breakfast di arena OTC 2014 Houston pada tanggal 6 Mei 2014. Meskipun empat kali menyampaikan  keynote speech menurut saya isinya serupa saja, dan secara garis besar intisari keynote speech yang disampaikan oleh Wamen ESDM, baik selama di Washington DC maupun di Houston, sebagai berikut:
  • Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkisar 5% sampai 6% per tahun menyebabkan kebutuhan energi senantiasa meningkat dari tahun ke tahun.
  • Peningkatan kebutuhan energi terutama disebabkan pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, meningkatnya kesejahteraan (daya beli) masyarakat, dan meningkatnya jumlah penduduk.
  • Kondisi supply-demand energi di Indonesia memang belum mencapai titik ekiuilibrium, misalnya saja di sub sektor kelistrikan, rasio elektrifikasi saat ini baru mencapai sekitar 80%. Artinya masih ada sekitar 20% rumah tangga di Indonesia yang belum dialiri listrik.
  • Ketergantungan Indonesia terhadap energi berbasis minyak bumi masih sangat tinggi, sementara laju produksi menurun. Saat ini sekitar 40% dari kebutuhan energi Indonesia dipasok oleh energi berbasis minyak bumi. Indonesia sudah menjadi net importer minyak bumi sejak tahun 2004. Kebutuhan energi berbasis minyak bumi saat ini sekitar 1,5 juta barel per hari. Sementara level produksi hanya mencapai 820 ribu barel per hari. Artinya Indonesia mesti mengimpor 680 ribu barel minyak per hari, baik dalam bentuk crude maupun dalam bentuk bahan bakar. Indonesia mesti mengimpor bahan bakar karena keterbatasan kapasitas dan spesifikasi kilang di Indonesia yang hanya mampu memroses crude sekitar 1 juta barel per hari. 
  • Tren kegiatan usaha hulu migas di masa mendatang adalah: (i) makin ke arah kawasan timur Indonesia, (ii) makin ke arah laut dalam bahkan ke zona-zona frontier, (iii) akan lebih didominasi gas, dan (iv) state-of-the art teknologi akan didominasi oleh teknologi EOR di kawasan Barat, teknologi offshore di kawasan Timur, serta teknologi pengolahan dan transportasi gas.
  • Tahun 2025 Indonesia menargetkan porsi minyak bumi dalam bauran energi nasional turun menjadi 25%. Namun meskipun persentasennya turun, secara kuantitatif dibutuhkan volume minyak bumi yang lebih besar dibanding saat ini karena peningkatan kebutuhan energi nasional dari 185 MTOE (juta ton setara minyak) di tahun 2012 menjadi 400 MTOE di tahun 2025. 
  • Dalam kebijakan energi Indonesia, porsi (persentase) minyak bumi dalam bauran energi nasional akan terus dikurangi. Ini antara lain dilakukan dengan terus meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) – sekaligus mengurangi emis gas CO2.
  • Indonesia memiliki resource CBM sebesar 453,3 TCF (triliun kaki kubik) dan potensi panas bumi sebesar 29 ribu MW. Sementara pemanfaatan CBM sejauh ini belum signifikan (masih belum skala komersial) dan pemantaan panas bumi untuk pembangkit tenaga listrik baru mencapai sekitar 1260 MW kapasitas terpasang. Sedangkan shale gas baru akan dieksplorasi.
  • Pasca diterpa krisis moneter 1998 beberapa sektor pembangunan di Indonesia sempat kehilangan momentum, termasuk sektor energi.
Dari butir-butir di atas jelas bahwa peluang sangat terbuka bagi para investor untuk berinvestasi di sektor energi, baik di hulu maupun di hilir, mengingat keterbatasan finansial dan teknologi yang ada di Indonesia. Namun menurut Wamen ESDM hendaknya investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia haruslah pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment. 


Briefing tentang Regulasi Kegiatan Usaha Hulu Migas 

Ketika Energy Policy Dialogue berlangsung di Washington DC pada tanggal 1 Mei 2014 Sekretaris SKK Migas, Bapak Gde Pradnyana, berkesempatan memberikan briefing tentang regulasi kegiatan usaha hulu migas di Indonesia yang intinya:
  • Sesuai bunyi UUD 45 Pasal 33 ayat 3 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Artinya cadangan migas yang ada di bawah permukaan tanah adalah milik negara, bukan milik yang punya tanah (land lord). Sedangkan dalam sistem royalty di Amerika Serikat, cadangan migas di bawah permukaan menjadi hak pemilik tanah. 
  • Pengelolaan hulu migas di Indonesia menganut sistem bagi hasil atau istilahnya Production Sharing Contract (PSC), bukan Royalty/Tax seperti di AS.
  • Pasca dibubarkannya BPMIGAS oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 November 2012, maka dibentuklah SKK Migas yang merupakan satuan kerja sementara pelaksana kegiatan usaha hulu migas dibawah koordinasi Kementerian ESDM sampai dibentuknya UU Migas yang baru.
  • Sekretaris SKK Migas juga memberikan briefing PP No. 79/2010 tentang Cost Recovery, terutama tentang 24 item yang tidak masuk dalam kategori recoverable cost (biaya yang bisa diganti).
  • Lebih lanjut Sekretaris SKK Migas menjelaskan bahwa meskipun SKK Migas sifatnya sementara dan UU Migas yang baru sedang digodok di DPR namun kontrak PSC tetap dihormati dan kegiatan usaha hulu migas di Indonesia harus tetap berjalan.
Beberapa Kebijakan Energi di AS

Ketika sesi dialog berlangsung, kedua delegasi, baik dari AS maupun dari RI, menyampaikan berbagai paparan dan progres tentang kebijakan energi, enrgi baru terbarukan (EBT), kelistrikan, subsidi energi, efisiensi pemakaian energi, upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (CO2), dan upaya pemenuhan kebutuhan energi masing-masing negara sampai beberapa dekade mendatang.

Berdasarkan Energy Outlook 2014 yang dibuat oleh U.S. Energy Information Administration (EIA):
  • Peningkatan produksi minyak dan gas domestik – terutama hidrokarbon nonkonvensional – akan membentuk ekonomi energi AS dengan produksi minyak mendekati level tahun 1970, yaitu 9,6 juta barel minyak perhari di tahun 2020.
  • Peningkatan produksi minyak dan gas domestik ini akan menyebabkan ketergantungan AS terhadap impor minyak dan BBM menurun tajam. Peningkatan produksi gas juga akan meningkatkan ekspor gas AS baik melalui pipa maupun dalam bentuk produk LNG. Net import energi AS akan berkurang dari 16% di tahun 2012 menjadi 4% di tahun 2040.
  • Dengan peningkatan produksi shale gas, maka gas alam diharapkan sebagai bahan bakar utama pembangkit tenaga listrik di AS yang akan melampaui porsi batu bara di tahun 2035.
  •  Karena berbagai efisiensi yang dilakukan, proyeksi konsumsi energi primer AS dari tahun 2012 sampai 2040 relatif stagnan. AS juga akan menekan emisi gas CO2 dibawah level tahun 2005 pada tahun 2040 nanti.
Hal yang paling menarik bagi saya selama dialog berlangsung adalah tentang U.S. Petroleum Stockpiling Program, yaitu cadangan minyak strategis AS. Pada dasarnya ada dua program cadangan strategis di AS, yaitu Strategic Petroleum Reserve (SPR) dan Northeast Home Heating Oil Reserve (“NEHHOR”). SPR dalam bentuk crude oil dengan inventori saat ini sebanyak 696 juta barel, sedangkan NEHHOR dalam bentuk Heating Oil (ULSD – Ultra Low Sulfur Diesel) dengan volume cadangan 1 juta barel.

SPR dibangun pada tahun 1975 dengan kapasitas penyimpaanan 727 juta barel dalam bentuk minyak mentah, bukan dalam bentuk BBM seperti di Indonesia. Ada empat lokasi penyimpanan yang terlatak di pantai Teluk Mexico (Gulf Coast), yaitu 2 di negara bagian Texas (Bryan Mound dan Big Hill) dan 2 di negara bagian Louisiana  (West Hackberry dan Bayou Choctaw). Kemampuan laju pengambilan minyak (drawdown) 4,25 – 4,4 juta barel per hari. Minyak disimpan dalam kubah garam bawah tanah dengan konfigurasi sebagaimana pada gambar dibawah yang saya ambil dari tautan http://oilchangeproject.nationalsecurityzone.org/strategic-petroleum-reserve-is-buffer-against-shortages/.


Tujuan SPR adalah: (i) mengamankan pasokan energi dalam negeri,  (ii) mengatasi dampak jika terjadi gangguan pasokan minyak impor, dan (iii) dalam rangkan menjalankan kewajiban AS terhadap negara lain yang mengikat perjanjian program energi internasional dengan AS. Sasaran SPR adalah untuk mengamankan pasokan minyak AS ekivalen dengan 90 hari net oil import. Bandingkan dengan cadangan BBM Indonesia yang hanya mampu untuk bertahan 22 hari (secara nasional). Pemicu utama diadakannya program SPR yaitu setelah adanya embargo minyak oleh negara-negara Arab pada tahun 1973. Alasan AS melokasikan SPR-nya di pantai Teluk Mexico, Texas, karena disitu merupakan pusat lokasi kilang minyak dan disitu terletak kawasan pelabuhan terintegrasi untuk mendistribusikan produk kilang ke seantero AS baik melalui jaringan logistik laut, darat, maupun pemipaan.

Gambar dibawah menunjukkan perbandingan program cadangan energi (tepatnya buffer energy) – baik dalam bentuk BBM maupun crude – dari berbagai negara. Dengan cadangan BBM Indonesia yang hanya mampu bertahan 22 hari secara nasional dapat dianalisa sendiri apakah kita cukup memiliki ketahanan di bidang energi. Bayangkan jika terjadi kondisi darurat yang memutus mata rantai pasokan minyak dan BBM di Indonesia. Bakalan lumpuh. Jika terjadi peperangan biasanya yang diincar pihak musuh adalah instalasi-instalasi vital sekaligus memutus mata rantai pasokan komoditas vital. Instalasi energi merupakan sasaran utama serangan.


Kunjungan ke Lapangan CBM (Coal Bed Methane – Gas Metana Batubara) San Juan Basin – Durango 

San Juan Basin terbentang di dua negara bagian AS, yaitu di Colorado dan New Mexico. Perusahaan migas BP ("Beyond Petroleum", dulu namanya "British Petroleum"), yang asal-muasalnya dari Inggris, mengoperasikan keduanya dengan kantor operasi bagian utara (Colorado) terletak di kota kecil Durango yang ditempuh dengan satu jam penerbangan dari kota Denver dengan pesawat kecil baling-baling (propelar) setara pesawat Fokker 27. Jumlah sumur yang dioperasikan semua operator migas di San Juan Basin sebanyak 8000-an sumur. Menurut website BP, di porsi Colorado BP mengoperasikan 1500 sumur, sebagian besar nonkonvensional (CBM) dan di porsi New Mexico sebanyak 2100 sumur gas, sekitar 100 di antaranya adalah sumur CBM. OGIP (Original Gas in Place) di San Juan Basin sebesar 50 TCF, dan total produksi gas saat ini 2,6 BCFD (miliar kaki kubik per hari).


Pengelolaan migas di AS berdasarkan pola Royalty/Tax. Pemilik tanah memiliki hak terhadap sumber daya alam yang dikandung di bawahnya. Pola pemakaian lahan di San Juan berdasarkan negosiasi dengan pemilik tanah yang dipakai BP untuk membangun berbagai fasilitas sumur dan produksi. Ada kalanya dalam satu wellpad didapati beberapa pemilik dengan persentase royalty yang berbeda-beda sesuai luas kepemilikan masing-masing pada lahan tersebut. Tahapan yang cukup menyita waktu menurut BP adalah saat melakukan negosiasi persentase royalty, sebab jika tidak dicapai kesepakatan royalty dengan pemilik tanah, maka BP tidak dapat melakukan kegiatan di atas lahan tersebut.  Selama mendapatkan royalty pemilik tanah dapat dikatakan tidak pernah mencampuri urusan operasional BP karena adanya budaya trust – saling percaya. BP akan menerima konsekuensi hukum yang fatal apabila melakukan kebohongan.

Pemboran sumur CBM di San Juan banyak yang dilakukan dengan multiple well, yaitu beberapa sumur dibor dari satu wellpad  dengan menggunakan teknik pemboran berarah (directional drilling) untuk menghemat pemakaian lahan dan biaya. Fasilitas permukaan sumur CBM pada umumnya terdiri dari pompa untuk menghisap air dari sumur, separator (untuk memisahkan air dan gas), dan kompresor untuk mengalirkan gas. Air yang terproduksikan dari sumur CBM diinjeksikan lagi ke bawah formasi CBM.  Lamanya fase dewatering di San Juan berkisar 8 – 10 tahun.

Fasilitas produksi di San Juan dekat dengan pemukiman dan jalur lalu lintas penduduk dan tetap terlihat selaras dengan lingkungannya, bahkan ada yang hanya dibatasi oleh pagar seng baja dengan jalan umum. BP berusaha mengoperasikan fasilitasnya tanpa menimbulkan gangguan kenyamanan terhadap penduduk sekitar, baik berupa polusi udara maupun suara. Alat-alat putar seperti pompa dan kompresor ditempatkan dalam bangunan yang jika pintunya tertutup nyaris tidak terdengar suara dari luar. Pihak BP mengatakan banyak penduduk sekitar yang tidak mengetahui persis apa yang dilakukan BP di San Juan karena cara kerja BP yang tidak mengganggu kenyamanan. BP juga selalu berpartisipasi dalam kegiatan amal dan sosial.

San Juan Basin merupakan salah satu lapangan gas andalan AS untuk mengurangi ketergantungannya terhadap impor energi. 

Informasi tentang beberapa karakteristik sumur dan lapangan CBM:
  • Karakteristik CBM secara geologis dan sub-surface berbeda dengan minyak dan gas konvensional. Perbedaan tersebut didapati pada sistem jebakan hidrokarbon dalam batuan, sistem porositas, sistem gas-air yang terjebak, dan permeabilitas.
  • Karakteristik produksi cumur CBM berbeda dengan sumur gas konvensional. Pada fase pengeluaran air (dewatering), laju air terproduksi besar dan produksi gas kecil. Pada fase stabil yang dicirikan dengan berkurangnya laju aliran air (karena sudah banyak yang terkuras) dan meningkatnya laju aliran gas metana sampai mencapai produksi tertinggi (peak), lalu fase declining yang dicirikan dengan mulai turunnya laju aliran gas sampai mencapai batas ekonomi. Berbeda dengan sumur gas konvensional yang di fase awal produksi gasnya tinggi dan airnya rendah; di fase selanjutnya produksi gas menurun namun airnya meningkat.
  • Dibutuhkan jumlah sumur CBM yang jauh lebih banyak (bisa lebih dari 10:1) untuk menyamai produksi satu sumur gas konvensional. Akibatnya akan lebih banyak plot tanah yang harus dibebaskan, biaya yang lebih tinggi untuk pembebasan lahan, dan lebih besar kemungkinan terjadi litigasi saat proses pembebasan lahan – terutama kemungkinan terjadinya tumpang-tindih dengan lahan wilayah kerja pertambangan batubara. 
  • Biaya pengelolaan air terproduksi dari sumur CBM serta penanganan lingkungan adalah faktor-faktor kritikal yang menentukan keputusan investasi.
Kunjungan ke Lapangan Eagle Ford – San Antonio (Kontributor tulisan:  Drajat Panjawi)

Lapangan Eagle Ford berada di bagian Selatan Texas, kira-kira 3.5 jam perjalanan darat dari kota Houston. Estimasi cadangan di formasi shale gas Eagle Ford mencapai 2.5 miliar BOE, dan ditargetkan berproduksi 250 ribu BOEPD pada tahun 2017. Eagle Ford akan menjadi lapangan utama ConocoPhillips yang meningkatkan pertumbuhan cash flow perusahaan dalam beberapa tahun kedepan.
Breakeven cost untuk mengelola lapangan ini dibawah US$40/barel, dengan perbaikan-perbaikan yang signifikan dalam hal inovasi teknik pengeboran dan biaya komplesi, dengan spasi antar lubang bor yang lebih sempit, dan pengurangan jumlah hari untuk melakukan pengeboran multiple wells. ConocoPhillips telah mengidentifkasi lebih dari 3000 lokasi lubang bor yang akan dilakukan pada tahun 2014-2017 dengan biaya US$3 miliar. Saat ini terdapat 14 rig yang beroperasi di Eagle Ford yang sedang melakukan pengeboran sebanyak ±200 lubang bor di tahun 2014.

Dengan target pengeboran yang agresif dan jumlah hari pengeboran yang semakin singkat, aktifitas pengeboran di Eagle Ford didukung oleh perijinan-perijinan yang cepat dari pemerintah setempat, sehingga biaya operasi yang rendah dapat dipertahankan dibawah US$40/barel. Masalah perijinan ini juga dibicarakan pada saat Wamen ESDM, Dirjen Migas, dan Sekretaris SKK Migas berkunjung ke kantor pusat ConocoPhillips di Houston pada tanggal 6 Mei 2014. Di Eagle Ford ConocoPhillips  melakukan negosiasi langsung dengan pemerintah dan pemilik lahan (land owner) untuk pembayaran royalty (pada umumnya berkisar ±12.5%) dari pendapatan kotor yang diperoleh perusahaan, disamping pembayaran pajak (pada umumnya sebesar ±38%) yang dibayarkan perusahaan kepada pemerintah.

Operasi pengeboran ConocoPhillips yang berlangsung sejak tahun 2010 di lapangan Eagle Ford dapat diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar. Melalui program pengembangan edukasi dan infrastruktur yang transparan, memahami permasalahan lokal, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, mereka menyambut kehadiran perusahaan di daerah Eagle Ford untuk mengelola kekayaan sumber daya alam yang berada di bawah lahan mereka. Selama ini tidak terdapat permasalahan non teknis ataupun protes dari masyarakat terhadap operasi pengeboran ConocoPhillips.

Daerah bagian Selatan Texas terdapat banyak peternakan dan pertanian, dimana masyarakat memiliki hubungan yang mendalam dengan tanah mereka, sehingga mereka sangat mengharapkan agar operasi pengeboran ConocoPhillips tidak mengganggu kegiatan pertanian dan peternakan mereka di Eagle Ford. Seperti terlihat pada foto-foto terlampir, dimana kegiatan peternakan sapi di Eagle Ford tidak terganggu dengan kegiatan pengeboran ConocoPhillips. Masyarakat setempat menyatakan, “In South Texas farming and ranching country, you find people with a deep and abiding connection to the land. We’re plain people, and we don’t ask for a lot, but we love that land. Come in, be safe with it, be environmentally appreciative of what’s there, and everybody benefits. We feel truly blessed to be living during this time of transformation in South Texas, because that’s what it really is. We don’t know of another time that has given us the opportunity to manage our resources and the positive changes that ConocoPhillips is bringing to our town, our region and the entire state of Texas. It’s amazing.”

Sama seperti San Juan Basin, Eagle Ford juga merupakan lapangan migas andalan AS untuk mengurangi ketergantungannya terhadap impor energi.



Kunjungan ke Upstream Research Company ExxonMobil - Houston

Pada tanggal 5 Mei 2014 siang waktu setempat Wamen ESDM beserta rombongan melakukan kunjungan ke Upstream Research Company (URC) ExxonMobil yang terletak di 3120 Buffalo Speedway, Houston.  URC ini merupakan anak perusahaan ExxonMobil yang bergerak di bidang riset dan didirikan untuk mendukung kegiatan eksplorasi dan produksi migas ExxonMobil di seluruh dunia.


Yang menarik adalah ketika pihak URC mempresentasikan inovasi teknologi terkini pemisah CO2 dan H2S dari gas alam yang mereka sebut Controlled Freeze Zone™ (CFZ™) Technology.  Menurut URC, CFZ™ ini telah menunjukkan keberhasilan dalam memroses gas alam yang mengandung kadar CO2 sampai 71% dan kadar H2S sampai 36% sekaligus mengintegrasikannya dengan sistem penginjeksian gas tersebut ke dalam formasi. Pada skala komersial tekonologi ini telah diaplikasikan di fasilitas pengolahan gas Shute Creek di La Barge, Wyoming.

Walau tidak spesisifik diakui oleh pihak URC, namun kelihatannya teknologi CFZ™ ini akan digunakan oleh ExxonMobil – melalui anak perusahaannya Esso – jika melanjutkan konsorsium yang dipimpin oleh Pertamina untuk mengelola lapangan gas di blok East Natuna (d/h Natuna D-Alpha) dengan kandungan CO2 sampai 70%. 

Kunjungan ke Booth BP di Arena Eksibisi OTC 2014

Usai mengikuti agenda topical breakfast di ruang konferensi OTC 2014, rombongan Delegasi RI mengunjungi booth BP yang terletak di bagian tengah Reliant Center. BP memperoleh penghargaan dari Komite OTC atas penemuan tekonologi penambahan keterolehan minyak (Enhanced Oil Recovery – EOR)  yang mereka sebut “LoSal EOR Technology”; yaitu teknologi dengan menggunakan air yang diperendah kadar garamnya (lower salinity) lalu diinjenksikan ke dalam formasi yang mengandung minyak untuk menambah keterolehan minyak ke permukaan. Berbeda dengan teknologi EOR pada umumnya yang diterapkan ketika daya dorong alami reservoir minyak sudah habis/berkurang, LoSal Technology ini diterapkan mulai saat awal lapangan minyak berproduksi. Teknologi ini telah diterapkan BP di Lapangan Clair Ridge di Laut Utara (North Sea).

Overview Offshore Technology Conference (OTC) 2014

OTC 2014 kali ini merupakan yang ke-45 kalinya diselenggarakan di Houton. Merupakan ajang tahunan eksibisi, konferensi, dan pertemuan berbagai kalangan, mulai dari para pejabat negara di seantero dunia, pelaku usaha migas, para ilmuwan/teknokrat, investor, para professional, mahasiswa, dsb. Meskipun temanya mengusung teknologi lepas pantai (offshore technology) namun pada dasarnya semua aplikasi teknologi migas dipamerkan disini. Di arena seluas itu banyak sekali (sepertinya ribuan) perusahaan memamerkan liniproduknya.  Tidak mungkin dikunjungi semua satu persatu. Saya hanya mengunjungi beberapa booth yang menjadi interest saya saja sambil berburu suvenir. Komplek Reliant Arena sangat luas. Yang saya ingat paling tidak ada tiga gedung utama yang ukurannya masing-masing sekitar dua kali Jakarta Convention Center (JCC)  plus satu stadion di tengahnya.


Menurut perkiraan panitia OTC di tahun 2014 investasi di kegiatan hulu migas (eksplorasi dan produksi) global akan menelan dana US$723 miliar, dibandingkan US$682 di tahun 2013.  Industri lepas pantai merupakan porsi terbanyak. Laut dalam (deepwater) dan shale gas tengah booming. Diperkirakan dua item ini akan memakan porsi 25% dari total investasi kegiatan hulu migas di tahun 2020. Jika investasi hulu migas di Indonesia pada tahun 2013 menelan biaya US$19.3 miliar, berarti porsi investasi hulu migas di Indonesia 2,8% dari total investasi hulu migas dunia.

Beberapa Pemikiran
  • Hasil Energy Policy Dialogue antara delegasi Amerika Serikat dan Indonesia perlu ditindaklanjuti oleh instansi pemerintah terkait dengan membentuk tim-tim kecil sesuai bidang/topiknya, merumuskan rencana aksi (action plan), dan melakukan langkah nyata.  Terkesan dialog hanya semacam sharing session dengan memaparkan progres dan kebijakan masing-masing pihak. 
  • Terjadinya lonjakan kebutuhan energi primer di Indonesia untuk mengimbangi pertumbuhan GDP dari 185 MTOE di tahun 2012 menjadi 500 MTOE di tahun 2030 – tiga kali lipat, sementara pertumbuhan kebutuhan energi primer di AS dalam kurun yang sama relatif konstan. Permintaan yang meningkat tiga kali lipat dalam periode 13 tahun ini sempat menjadi pertanyaan Delegasi AS ketika dialog. Dengan peningkatan permintaan yang sedemikian tajam apakah Indonesia memiliki cukup resources untuk memenuhinya. Sebetulnya lonjakan ini wajar saja di negara berkembang seperti Indonesia karena sedang dalam fase industrialisasi. Kebijakan energi nasional tertuang dalam Perpres 5/2006. Karena sasaran bauran energi di Perpres tersebut tidak lagi sesuai dengan skenario DEN, maka selayaknya perangkat hukum tentang kebijakan energi nasional dimutakhirkan sesuai skenario terbaru. 
  • Dengan meningkatnya produksi domestik migas nonkonvensional AS, maka menurut skenario EIA di tahun 2020 AS akan menjadi net exporter gas, baik dalam bentuk LNG maupun melalui pemipaan. Sangat besar kemungkinan ekspor LNG AS ini akan ikut membanjiri pasar Asia-Pasifik yang selama ini didominasi Indonesia. Ini merupakan ancaman bagi pangsa pasar Indonesia. Oleh sebab itu Indonesia perlu mempercepat monetisasi lapangan-lapangan gas yang sekarang sedang dikembangkan sebelum pasar gas Asia-Pasifik dibanjiri pasokan gas dari AS dan Australia. Lapangan gas Prelude di perairan utara Australia direncanakan Shell siap memasok gas di tahun 2017 melalui Floating LNG, dan Santos siap memasok gas CBM yang dicairkan (CBM-to-LNG) di tahun 2015.   
  • Program Strategic Petroleum Reserve (SPR) AS dengan menyimpan cadangan minyak dalam bentuk crude – bukan dalam bentuk BBM seperti di Indonesia -  yang mampu mengamankan pasokan minyak AS jika terjadi interupsi impor minyak selama 90 hari layak dipertimbangkan bagi Indonesia untuk membangun yang sama. Pemerintah AS akan memperluas strategic reserve dalam bentuk BBM juga. Saat ini inventori cadangan BBM di Indonesia  hanya cukup 22 hari secara nasional. Lamanya cadangan bertahan di daerah-daerah tergantung geografi dan tingkat konsumsi daerah. Di kota besar yang padat penduduk dan lalu lintasnya, seperti Jakarta misalnya, cadangan hanya bisa bertahan dalam waktu yang lebih pendek. Di sisi lain perlu dilakukan revitalisasi dan penambahan kilang agar kapasitas kilang mampu memenuhi, atau paling tidak mengurangi gap, kebutuhan dalam negeri, sehingga impor BBM bisa dikurangi.
  • Pada lapangan gas konvensional, setelah didapatkan angka cadangan pasti berikut ramalan profil produksinya, maka saat lapangan siap dikembangkan sudah dapat ditetapkan dan dibuat komitmen-komitmen jual-beli di awal (terutama menyangkut volume suplai dan formulasi harga). Sedangkan pada lapangan CBM, komitmen-komitmen tersebut belum dapat ditetapkan di awal karena angka cadangan dan produksi akan meningkat sejalan dengan proses dewatering dan penambahan sumur-sumur yang dibor. Pemasaran CBM sampai pengembangan skala penuh sifatnya incremental – seiring bertambahnya kemampuan suplai. 
  • Karakteristik pengembangan lapangan CBM yang berbeda dari lapangan gas konvensional, antara lain (i) memungkinkan adanya komersialisasi gas pre-PoD, (ii) pengembangan yang sifatnya berjenjang (incremental) sesuai penambahan angka cadangan dan produksi dari proses dewatering dan penambahan sumur yang dibor, dan (iii) belum dapat ditetapkannya komitmen pasti untuk pemasaran gas ketika lapangan CBM akan dikembangkan, maka selayaknya pola pengelolaan CBM di Indonesia yang saat ini menggunakan rejim PSC konvensional ditinjau kembali untuk melihat alternatif lain yang lebih pas dengan karakteristik pengembangan lapangan CBM; misalnya saja meng-exercise PSC gross split atau pola Royalty/Tax seperti di Amerika Serikat; sehingga diharapkan pola yang lebih pas ini dapat mengakselerasi pengembangan CBM yang saat ini teramati masih jalan di tempat. Kita butuh tambahan pasokan gas, namun di sisi lain kontraktor juga berhak mendapatkan hak-hak ekonomi yang masih reasonable. Apapun jenis kontraknya, selama Pasal 33 UUD 45 ditegakkan, maka kedaulatan negara tetap terjaga.
  • Mengingat bahwa, (i) teramati selama ini berbagai masalah desain dan keteknikan cenderung “didikte” dan didominasi oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), (ii) ahli hidrokarbon nonkonvensional (CBM, shale gas, dan shale oil) tenaga Indonesia terbilang masih langka, dan    (iii)  teknologi masa depan perminyakan di Indonesia akan didominasi oleh teknologi lepas pantai, pengolahan gas, Enhanced Oil Recovery (EOR), dan hidrokarbon non konvensional; maka harus ada persiapan menyongsongnya. Alangkah baiknya jika Indonesia memiliki semacam Petroleum Technology Center yang beranggotakan berbagai tenaga ahli dari berbagai lembaga/unsur sehingga Bangsa Indonesia dapat mempercepat penguasaan teknologi perminyakan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya impor (teknologi, finansial, technical skills).  Perlu diadakan “Tim Ahli” (petrotechnical skills) dari tenaga kerja nasional untuk mempercepat penguasaan aspek-aspek geologi, bawah permukaan, keteknikan, konstruksi, dan keekonomian – baik melalui proses pembelajaran dan pelatihan dengan kurikulum khusus maupun praktek lapangan langsung. Lembaga pendidikan dan riset yang ada di Indonesia (Perguruan Tinggi, BPPT, PUSPIPTEK, LIPI, LEMIGAS, dll) dapat disinergikan dalam suatu wadah untuk mengakselerasi pencetakan petrotechnical skills. Teknologi di industri perminyakan yang saya amati selama ini merupakan “top of the tops” dari berbagai implementasi teknologi. Saya menilai kecanggihan tekonologi di dunia perminyakan sama tingkatannya dengan teknologi ruang angkasa. Maka, lebih jauh saya berpendapat, bangsa yang menguasai teknologi perminyakan dapat dikatakan sudah menjadi “bangsa yang menguasai teknologi” dalam arti sesungguhnya.

Penutup

Di sela-sela agenda Delegasi RI, saya sempatkan mengunjungi beberapa landmark dan tempat-tempat bersejarah. Di Washington D.C. saya mengunjungi atau melihat dari dekat U.S. Capitol, White House (Gedung Putih),  Abraham Lincoln Memorial, Pentagon, Monumen Iwo Jima (Perang Dunia II), Washington Monument (Tugu Obelisk), Spy Museum, dan beberapa tempat lain. Lanskap pusat kota Washington D.C. sangat geometris dengan sumbu pusat kota berupa garis lurus yang menghubungkan U.S. Capitol, Washington Monument, dan Lincoln Memorial. Terlihat betapa bangsa AS adalah bangsa yang sangat menghargai founding fathers dan pahlawannya. Betul kata Bung Karno bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Di Houston selain acara di Konjen RI dan OTC 2014 saya hanya sempat mengunjungi NASA saja. Saat kali pertama dan kedua melakukan perjalanan ke AS saya hanya sampai di Los Angeles, San Francisco, Tulsa, Denver, Santa Maria, dan Santa Rosa. 


Selesai acara OTC 2014 pada tanggal 7 Mei 2014 kami bertolak ke Dallas untuk selanjutnya kembali ke tanah air dengan pesawat Emirates. Sebelum memasuki Dallas kami sempat singgah di Fort Worth, kota cowboy dan cagar budaya the wild wild west.  Tanggal 8 Mei 2014 berangkat jam 12.05 siang dari Dallas dan tiba di Dubai tanggal 9 Mei 2014 jam 12 siang waktu setempat. Karena terbang di atas Samudera Atlantik (searah peredaran bumi), maka saya mengalami malam yang lebih pendek. Selama 14 jam perjalanan dari Dallas ke Dubai selang waktu dari solat Zuhur, Ashar, Magrib, Isya, dan Subuh lebih cepat jika  dibandingkan posisi stasioner. Solat-solat yang bisa digabungkan saya jamak-qashar. Transit di Dubai selama 6,5 jam, keliling-keliling di dalam bandaranya yang megah sambil cari-cari suvenir, lalu jam 18.30 waktu setempat penerbangan lanjut ke Jakarta. Setelah 7 jam lebih dari Dubai, tanggal 10 Mei 2014 jam  05.10 WIB pesawat mendarat di Jakarta. Alhamdulillah, Allah SWT telah melindungi saya dalam perjalanan. 


Ngomong-ngomong tentang jet lag, setelah jam biologis telah mampu menyesuaikan dengan waktu AS, hari ke-10 harus kembali ke tanah air sesuai jatah waktu perjalanan dinas. Sampai tanah air kena jet lag lagi. Serupa dengan di AS, hanya saja kantuk datang lebih cepat, jam 21 sudah sangat ngantuk berat, tidur lelap, lalu tengah malam terbangun dan tidak bisa tidur lagi sampai pagi.  Begitu yang saya alami sampai hampir seminggu setelah kepulangan dari AS.

Lantas, jika saya ditanya lebih enak mana melakukan perjalanan sendiri atau ikut serta dengan delegasi, maka, karena saya bukan pejabat tinggi, jawabannnya adalah lebih nyaman melakukan perjalanan bersama  teman sejawat, atau bersama keluarga jika ada dananya. Tidak terikat acara protokoler, lebih rileks, dan waktu bisa lebih dioptimalkan, terutama untuk rekreasi dan jalan-jalan :).

No comments: