Saturday, October 25, 2008

Pembangunan Real Estate Mewah di Bukit Lungsir - Bandarlampung


Bukit Lungsir letaknya persis di belakang tembok sekolah SMAN 2 Bandarlampung, antara Masjid al-Furqon dan Jl. W. Monginsidi. Sebetulnya Bukit Lungsir ini hanya sebagian dari punggung perbukitan yang membentang dari Kemiling sampai Garuntang dan membagi Bandarlampung menjadi dua kota: Tanjungkarang dan Telukbetung. Tanjungkarang letaknya di dataran tinggi, sedangkan Telukbetung terletak di dataran rendah daerah pantai. Kalau kita berdiri di atas Bukit Lungsir ini dan memandang ke arah Telukbetung maka akan terlihat topografi yang cukup membuat kita memuji kebesaran Tuhan akan keindahan alam ciptaan-Nya.

Saat acara reuni SMA seangkatan pada tanggal 4 Oktober 2008 lalu saya melihat ada beberapa rumah super mewah yang telah mulai dibangun di belakang tembok sekolah. Walau sudah 20 tahun lebih saya tidak lagi ber-KTP Bandarlampung, namun saya masih merasa sebagai salah satu stake-holder kota Bandarlampung karena tetap ada keterikatan emosional yang kuat pada diri saya sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di kota ini. Maka ketika saya melihat berdirinya rumah-rumah super mewah di Bukit Lungsir ini hati saya cukup terusik. Saya bukan ahli lingkungan dan terus terang saya juga tidak tahu-menahu tentang grand design tata kota yang dimiliki oleh Pemkot Bandarlampung, tetapi common sense saja: Bukit Lungsir merupakan kawasan hijau paru-paru kota, daerah resapan air, dan rimbunnya pepohonan sangat membantu stabilitas tanah perbukitan. Di lereng bukit ini ada mata air yang tak pernah kering dan menjadi tumpuan masyarakat sekitarnya tatkala musim kekeringan tiba. Selain itu banyak populasi beberapa jenis satwa yang menjadikan lereng bukit ini sebagai habitatnya. Jaman saya SMA dulu banyak didapati musang – hewan pengerat yang lucu itu. Dengan demikian, gangguan – atau katakanlah pengrusakan – ekosistem di lereng bukit ini akan menimbulkan rasa ketidaknyamanan bagi mereka yang masih memiliki kejernihan suara hati.

Tidakkah para pengambil kebijakan di jajaran Pemkot Bandarlampung belajar dari kasus pembangunan perumahan dan vila mewah yang membabi buta di kawasan Puncak-Bogor? Ekosistem sangat terganggu! Daerah Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) sudah setiap tahun dilanda banjir dengan instensitas yang jauh lebih dahsyat dan lebih sering tenimbang dua dasawarsa lalu. Belum lagi bencana longsor dan kerusakan infrastruktur jalan akibat instabilitas tanah. Sekarang barulah Pemkab Bogor kelabakan dan ewueh pakeweuh untuk membongkar vila-vila mewah milik para juragan dan pejabat itu.

Pengembang PT Batu Indah Estat diberitakan memang sudah memiliki studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang tentu saja hasilnya memberi rekomendasi untuk membangun real estate mewah di lereng Bukit Lungsir. Kita sudah maklum bahwa di Indonesia ini banyak AMDAL yang dibuat justru untuk melegalisasi pengrusakan lingkungan karena sarat dengan keberpihakan pada pemilik modal (kaum kapitalis) dan keberpihakan pada para rente ekonomi yang turut mengeruk keuntungan pribadi. Saya ingat dulu ada satu studi AMDAL di daerah lain yang mengatakan bahwa habitat burung langka dikatakan sebagai tempat singgah sementara, bukan tempat menetap permanen, karena burung tersebut hidupnya berpindah-pindah tempat. Ya bagaimana tidak berpindah-pindah tempat dan akhirnya punah kalau habitatnya diberangus terus. Inilah salah satu contoh studi AMDAL yang dipakai untuk melegalisasi pengrusakan ekosistem.

Saya melihat pembangunan real estate mewah di Bukit Lungsir merupakan salah satu contoh kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat dan kelestarian ekosistem. Ini adalah kebijakan yang hanya berorientasi pada pembangunan fisik semata. Tidak mengherankan jika beberapa indikator ekonomi dan pembangunan di Lampung menempati peringkat terendah di Sumatera. Peringkat rendah ini sangat tidak sepadan dengan potensi Lampung yang kaya sumber daya alam, kaya objek wisata alami, kaya ragam budaya (cultural diversity), dan memiliki letak geografis strategis sebagai kawasan transito dan penyangga transaksi ekonomi Pulau Jawa (terutama Jakarta). Beberapa indikator ekonomi dan pembangunan saya kutipkan pada tabel di bawah ini. Angka yang saya tampilkan ini bukan bermaksud untuk mengolok-olok, tetapi mesti dijadikan sebagai perhatian serius bagi para pengambil kebijakan pembangunan di Lampung untuk memacu kesejateraan rakyat di daerahnya, bukan semata berpihak pada kepentingan kaum kapitalis dan pembangunan fisik saja.

Kira-kira apa akibatnya jika seluruh lereng Bukit Lungsir ini penuh dangan perumahan atau vila super mewah? Daerah resapan air di lereng bukit akan berkurang drastis. Masyarakat penghuni sekitar kawasan bukit akan kehilangan sumber air di musim kering. Kawasan hijau paru-paru kota akan hilang – ini juga erat kaitannya dengan isu pemanasan global (Bandarlampung sekarang terasa lebih panas dan lebih gerah dibanding dua dasawarsa lalu). Kota akan kelihatan gersang, apa lagi pusat bisnis di Tanjungkarang (kawasan Jl. Pemuda dan Jl Radin Intan) dan di Telukbetung memang nyaris tidak ada penghijauan. Hilangnya populasi satwa dan tumbuhan yang selama ini menjadikan Bukit Lungsir sebagai habitatnya. Cemburu sosial akan timbul mengingat real estate mewah sarat dengan ekslusivisme dan egoisme. Secara geoteknik terjadi instabilitas tanah (sekilas saya lihat sudut kemiringan lereng lebih besar dari 30 derajat). Bahaya banjir dan tanah longsor nanti akan kerap terjadi, apalagi ada kawasan di bawah Bukit Lungsir yang berupa lembah.

Kalau dipikir-pikir bencana yang bukan berasal dari act of God terjadi karena nafsu serakah manusia. Akibat keserakahan ini tatanan ekosistem dan daya dukung alam terdistorsi. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi: "The world is enough for everyone's needs, but not for someone's greed." ....Dunia ini pada dasarnya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak akan pernah cukup bagi orang yang serakah. Semoga Pemkot Bandarlampung dapat membatalkan "penggundulan" Bukit Lungsir ini sebelum terlanjur tumbuh bibit bencana di kemudian hari. Semoga pula teman-teman saya dan elemen masyarakat lainnya di Bandarlampung dapat melakukan gerakan moral untuk memengaruhi Pemkot agar menghentikan pembangunan real estate mewah tersebut. Saya lebih cinta Bandarlampung yang hijau dan minim bencana alam tenimbang gedung-gedung megah nan angkuh. Ya, sebelum terlambat.

Kamis, 23 Oktober 2008, saya membaca harian Lampung Post (Lampost) edisi cyber di http://www.lampungpost.com/. Mudah-mudahan demo yang dilakukan beberapa elemen msayarakat ini membuahkan hasil: agar Pemkot Bandarlampung menghentikan pembangunan real estate mewah di Bukit Lungsir. Walau saya tidak memiliki power apapun, paling tidak saya memberikan dukungan moral. Berikut adalah beritanya yang saya kutip langsung:

====================================

Kamis, 23 Oktober 2008
BANDARLAMPUNG

Pembangunan Bukit Lungsir Kembali Didemo

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Puluhan pengunjuk rasa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Antikorupsi (GMK) dan Gerakan Pembaharuan Pemberantasan Korupsi (GPPK) berdemo di depan Kantor Pemerintah Kota Bandar Lampung, Rabu (22-10).

Para demonstran berunjuk rasa mengenai pembangunan perumahan di Bukit Lungsir di Jalan Rasuna Said, Kelurahan Gulak Galik, Telukbetung Barat. Para pengunjuk rasa menilai pembangunan yang dilakukan PT Batu Indah Estat itu memberikan dampak negatif bagi masyarakat sekitar. Bukit Lungsir dinilai sebagai daerah resapan air. Pembangunan Bukit Lungsir juga bisa mengakibatkan terjadi longsor dan mengenai masyarakat sekitar.

Dalam aksinya, puluhan pengunjuk rasa juga mempertanyakan kebijakan Wali Kota Bandar Lampung yang memberikan rekomendasi pembangunan perumahan di Bukit Lungsir. Warga Rasuna Said dan sekitarnya meminta Pemerintah Kota Bandar Lampung menghentikan pembangunan perumahan di lereng tersebut.

Pembangunan perumahan di bukit Jalan Rasuna Said itu sudah mendapat restu dari Wali Kota. Sekretaris Kota Bandar Lampung Sudarno Eddi dalam rapat dengan PT Batu Indah Estat, Kamis (16-10) lalu, mengakui jika Wali Kota Eddy Sutrisno pernah mengeluarkan izin untuk pembangunan perumahan di Bukit Lungsir.

"PT Batu Indah juga sudah memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan analisis mengenai dampak lalu lintas atau amdalalin. Namun, masa izin tersebut sudah habis sehingga untuk sementara BPPLH menghentikan pembangunan," kata Sudarno.
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, Pemkot meminta PT Batu Indah Estat sebagai pengembang perumahan di bukit di Jalan Rasuna Said memperbarui izin dan mengajukan keterangan rencana kota (KRK). Selain itu, Pemkot juga meminta PT Batu Indah memenuhi tuntutan warga sekitar sebelum melanjutkan pembangunan. n */K-2

=============================
Read more (Baca selengkapnya)...

Wednesday, October 22, 2008

Seputar Industri Penunjang Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi



Tanggal 23 September 2008 saya berkesempatan mengikuti seminar “Peran Usaha Penunjang dalam Peningkatan Kegiatan Usaha Migas” yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas). Seminar tersebut dihadiri oleh para pelaku industri (pemasok barang/jasa) penunjang kegiatan migas, asosiasi, dan beberapa wakil dari perusahaan minyak. Saya ingat pertama kali ikut seminar semacam ini pada tahun 1999. Kemudian boleh dikatakan setiap tahun seminar yang sama diadakan berulang-ulang. Objektifikasi tema yang diusung dari setiap diadakannya seminarpun biasanya mirip-mirip saja:

(1) Agar industri migas memaksimalkan pemakaian produk dalam negeri. Yang dimaksud produk disini meliputi barang dan jasa.
(2) Meningkatkan daya saing industri penunjang migas agar mampu menguasai pangsa pasar di negeri sendiri.
(3) Senantiasa tetap mengharapkan adanya suatu kebijakan protektif yang adil dari pemerintah.

Ibu Evita Legowo, Dirjen Migas, menargetkan nilai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pembelian barang/jasa di sektor hulu migas mencapai 55% pada tahun 2010, dan mencapai 91% pada tahun 2025. Mudah-mudahan saya tidak salah catat untuk angka dan tahun yang terakhir ini. Maklum handout presentasinya tidak dibagikan kepada para peserta. Anyway, ini sebuah target yang cukup optimistik.

Menurut Laporan Tahunan BPMIGAS (lihat grafik di bawah) , pada tahun 2006 nilai total komitmen pengadaan barang/jasa di sektor hulu migas sebesar US$ 4,04 miliar, terdiri dari US$ 0,84 miliar untuk barang dan US$ 3,2 miliar untuk jasa. TKDN yang dicapai pada tahun 2006 sebesar 52%. Kelihatannya secara matematis target TKDN sebesar 55% pada tahun 2010 nanti akan tercapai – atau malahan akan terlampaui. Yang menarik adalah pernyataan dari Bapak Gerhard Rumeser, Kepala Divisi Pengadaan dan Manajemen Aset BPMIGAS, ketika memberi sambutan mewakili Kepala BPMIGAS. Pak Gerhard mengatakan bahwa pencapaian TKDN di sektor industri penunjang hulu migas menunjukkan suatu kemajuan bagi para pelaku industri dalam negeri, namun apakah ini sudah menunjukkan sustainability dari industri dalam negeri kita.


Saat megajukan penawaran dalam proses tender pengadaan barang/jasa, para rekanan mengisi formulir hitungan TKDN. Pengisian fomulir ini sifatnya self-assessment, artinya dihitung sendiri oleh rekanan. Dari beberapa kasus yang saya alami, para rekanan cenderung untuk membesar-besarkan nilai TKDN agar mereka bisa menang tender. Dari sini saja sudah menimbulkan pertanyaan apakah realisasi TKDN yang dikompilasi oleh BPMIGAS itu sudah mencerminkan kemampuan industri dalam negeri yang sebenarnya. Apakah para pelaku industri kita memiliki ketahanan dalam menghadapi peluang, tantangan, dan ancaman di masa mendatang.

Kalau dirunut dari sejarahnya, perjalanan industri penunjang migas lebih kurang sama dengan industri manufaktur lainnya di Indonesia. Pembangunan industri dimulai di sisi proses produksi hilir, tidak terintegrasi dari hulu ke hilir. Lalu diterapkan argumen infant industry, yaitu industri yang baru berdiri tersebut diproteksi oleh pemerintah agar dapat membangun kekuatan sumber daya sendiri: SDM, penguasaan teknologi, dan finansial. Tujuan strategis jangka panjang dari kebijakan protektif adalah agar industri dalam negeri dapat sepenuhnya mandiri dengan menguasai proses produksi dari hulu sampai hilir serta dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sumber daya impor.

Namun apa yang terjadi setelah pelaku industri kita memperoleh banyak keuntungan dari kebijakan protektif tersebut? Pertama, hasil keuntungannya tidak mereka investasikan untuk membangun fasilitas proses produksi di sisi hulu. Keuntungannya justru mereka gunakan untuk membangun industri lain (produk berbeda) yang juga diproteksi oleh pemerintah. Begitu seterusnya sehingga satu pelaku industri memiliki beberapa pabrik yang kesemua produknya diproteksi, dan fasilitas yang ada hanya fasilitas proses produksi hilir saja. Akibatnya Indonesia tidak memiliki (atau sangat sedikit memiliki) industri terintegrasi yang memiliki fasilitas produksi dari hulu sampai hilir, dan karenanya selalu bergantung pada sumber daya impor. Kedua, kebijakan protektif yang diberlakukan selama ini justru cenderung memanjakan pelaku industri kita, sehingga mereka jadi tidak efisien dan tidak memiliki daya saing yang nyata. Mereka tidak memanfaatkan momentum ini untuk mengintensifkan penelitian dan pengembangan (research and development). Untuk bersaing di pasar domestik saja kalau tidak dipayungi oleh kebijakan protektif sudah kewalahan, apalagi untuk bersaing di pasar global.

Baihaki Hakim, mantan Direktur Utama Pertamina periode 2000-2003, dalam suatu forum segi empat antara Depperindag, Departemen ESDM, Kontraktor Production Sharing, dan para pelaku industri nasional yang diselenggarakan di kantor Kementerian ESDM pada bulan Juli 2001 mengatakan bahwa kebijakan protektif terhadap industri Indonesia yang sudah berumur puluhan tahun – apabila dilaksanakan terus menerus – sama saja dengan mensubsidi “bayi berjanggut”. Maksud Pak Baihaki adalah bahwa banyak industri di Indonesia yang sudah dibina selama puluhan tahun oleh industri migas namun masih saja tidak mempunyai daya saing.

Sayangnya, berbagai kebijakan yang ada – paling tidak menurut apa yang saya pelajari – tidak ada yang dapat memacu (atau katakanlah “memaksa”) industri kita agar sesegera mungkin menginvestasikan hasil keuntungannya untuk membangun fasilitas produksi hulu supaya ketergantungan terhadap sumber daya impor dapat dikurangi. Momentum terbaik untuk melakukan ini sebetulnya pada saat Indonesia belum terikat dengan badan-badan perdagangan bebas dunia semacam AFTA, APEC, atau WTO. Ketika itu – sebut saja sebelum paruh kedua tahun 1990-an – kebijakan protektif yang radikal masih menungkinkan sehingga para pelaku industri memperoleh keuntungan yang lebih besar tenimbang kondisi sekarang ini. Tetapi hasil keuntungan tersebut pada umumnya tidak mereka investasikan ke proses produksi hulu.

Apa artinya proteksi industri bagi bangsa Indonesia? Dengan adanya proteksi berarti (1) pelaku industri menjual produknya di pasar domestik di atas harga internasional, (2) pangsa pasar (market share) domestik dikuasai oleh industri dalam negeri, dan (3) rakyat Indonesia akan membayar lebih mahal dari harga yang semestinya. Rakyat Indonesia justru mensubsidi pelaku industri dalam negeri. Semestinya setelah menikmati keuntungan dari perjalanan panjang kebijakan protektif para pelaku industri kita dapat memberikan nilai tambah yang maksimal kepada bangsa ini melalui penguasaan teknologi, penguasaan proses produksi dari hulu sampai hilir, mampu membuat produk made by Indonesians (tidak sekedar made in Indonesia), dan mampu membuat produk unggulan berkualitas dunia yang dapat mem-penetrasi pasar global.

Saya setuju dengan kebijakan protektif karena ini juga dilakukan di berbagai belahan dunia walaupun wujudnya berbeda-beda. Tetapi dengan mempertimbangkan derasnya arus globalisasi dan pasar bebas serta usia sebagian industri Indonesia yang tidak lagi dapat dikategorikan sebagai infant industry, maka perlu dibuat suatu kebijakan penjadwalan yang terarah atau suatu road map sehingga dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama – katakan lima tahun mendatang – industri penunjang migas kita mampu membangun fasilitas produksi hulu (sebagai tambahan dari fasilitas proses produksi hilir yang sudah ada), mampu melepaskan diri dari sumber daya impor, dan mampu berkompetisi di pasar bebas. Inilah perwujudan nyata dari suatu ketahanan (sustainability) industri dalam negeri kita.

Read more (Baca selengkapnya)...

Friday, October 17, 2008

Globalisasi dan Sekulerisme


Sebagaimana pernah saya kemukakan dalam postingan di bulan Juni 2008 dengan tajuk “Globalisasi: Perangkap Ekonomi Negara Maju (?)” bahwa banyak kalangan berpendapat globalisasi itu pada dasarnya tidak lebih dari sekedar ekspansi kekayaan negara maju atau para kapitalis – bukan niatan tulus untuk berbagi kemakmuran dengan negara berkembang. Di sisi lain, jika tidak memiliki ketahanan ekonomi, maka negara berkembang akan dieksploitir oleh negara maju, baik secara langsung lewat lembaga-lembaga keuangannya ataupun lewat MNC (Multi National Companies). Hal inilah yang sejak tahun 1950-an diwaspadai Bung Karno sebagai model penjajahan baru, yang diistilahkan oleh beliau sebagai NEKOLIM (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Sebuah negara maju menguasai negara berkembang bukan lagi dalam bentuk penjajahan wilayah (koloni), tetapi dalam bentuk penjajahan ekonomi dan ideologi – terutama faham sekuler.

Tetapi kan MNC itu banyak yang melakukan investasi langsung (direct investment) sehingga banyak meyerap tenaga kerja lokal? Ya itu hanya karena pertimbangan ekonomi semata. Jika tidak terikat oleh peraturan setempat, jangan-jangan si MNC ini akan memboyong semua sumber daya yang ada dari negeri asalnya ke tempat dia melakukan investasi – tidak terkecuali tenaga kerja.

Meskipun ekspansi kapital menjalar ke seluruh penjuru dunia, namun tetaplah pusat-pusat keuangan global itu berada di tiga tempat: Amerika Utara, Eropa Barat, dan Asia Timur. Ironisnya ketiga tempat ini - terutama Eropa Barat dan Amerika Utara - dalam banyak hal menimbulkan (atau dibuat “seolah-olah” menimbulkan) friksi terhadap tatanan budaya dan nilai-nilai Islam. Bahkan Samuel Huttington dalam bukunya yang berjudul The Clash of Civilization membuat hipotesis akan adanya benturan peradaban antara Barat dan Islam.

Perjalanan sejarah sekulerisme di negara-negara Barat memang cukup panjang. Bentuk sekulerisme yang paling awal adalah adanya pemisahan antara pemerintahan negara dan agama. Bandingkan misalnya dengan tatanan pemerintahan di jaman Khulafaur Rasyidin dimana seorang khalifah adalah pemimpin negara sekaligus pemimpin agama. Sebelum jaman renaissance, budaya masyarakat Barat sangat kental dengan nilai-nilai moral Christendom. Setelah munculnya para ilmuwan yang membawa faham materialis – sebut saja Isaac Newton dan Charles Darwin – yang berpuncak pada timbulnya fenomena yang disebut dengan revolusi industri di kwartal terakhir abad ke-18 ketika James Watt dari Inggeris untuk pertama kalinya berhasil membuat mesin uap komersial, maka mulailah faham sekuler berbasiskan materialisme itu menjalar ke negara-negara Barat lainnya lalu mereka usung ke wilayah jajahannya di benua Asia, Afrika, Amerika, dan Australia.

Mengapa negara maju dipandang cukup getol untuk menarik orang menjadi sekuler? Jawabannya sederhana saja. Jika pola pikir orang lain dapat mereka tarik mengikuti pola pikir mereka, maka mereka akan lebih gampang mengeksploitasi bangsa yang menjadi sasaran mereka; dan bahkan dapat mereka setir untuk membela kepentingan mereka. Merekalah yang mendesakkan faham-faham sekulerisme melalui isu-isu liberalisme, HAM, kesetaraan gender, pluralisme, homoseksualitas, biseksualitas, dan perkawinan sesama jenis. Di sisi lain, karena tidak menyadari atau tidak mau mempelajari bahwa isu-isu yang dihembuskan oleh globalisasi tersebut sebetulnya bukan masalah baru (sudah ada aturannya dalam agama), banyak yang merasa terperangah sekaligus terpengaruh dengan faham sekulerisme ala Barat tersebut. Padahal faham tersebut tujuannya perlahan tapi pasti adalah untuk menarik masyarakat bangsa ini menuju faham sekuler pula.

Pertanyaannya, apakah sutau bangsa kalau mau maju itu harus menjadi bangsa sekuler? Kita lihat Turki sejak awal abad ke-20 dibawah komando Kemal Pasha (yang dijuluki Kemal Attaturk – bapak bangsa Turki) begitu ketatnya menjalankan praktek sekuler dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, namun hingga kini tidak juga membuat mereka satu level dengan negara Barat. Permasalan yang dialami oleh Turki masih kurang lebih sama dengan negara berkembang lainnya, yaitu masalah kesejahteraan rakyat. Sebenarnya budaya universal yang memacu bangsa-bangsa untuk maju adalah tertanamnya budaya iptek dalam tatanan budaya bangsa. Kalau saya sarikan dari Nurmahmudi Ismail (2004) dan Alex Inkeles (1983), berikut adalah nilai-nilai budaya global dan modern yang mesti kita anut jika kita ingin menjadi bangsa yang maju:

· Orientasi pada iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi).
· Efektif dan efisien.
· Inovatif.
· Produktif.
· Mobilitas tinggi.
· Tepat waktu dan disiplin.
· Membuka diri pada hal-hal baru.
· Melakukan segala sesuatu sesuai rencana.


Apa yang dikatakan oleh Nurmahmudi dan Alex Inkeles di atas sebetulnya merupakan nilai universal yang tidak ada masalah jika dianut sebuah bangsa, bahkan tidak ada pertentangan dengan nilai agama. Kalau menurut tradisi Islam, apa yang dikatakan oleh Nurmahmudi dan Inkeles di atas tidak lebih merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai yang terdapat dalam Alquran. Ayat pertama yang diwahyukan dimulai dengan kata bahasa Arab iqra’ yang artinya ‘bacalah’. Ini adalah perintah universal bagi manusia agar belajar dan belajar supaya menjadi orang yang cerdas sehingga menguasai iptek. Ayat pertama dalam Surat 103 berbunyi wal-‘ashr yang artinya ‘demi waktu’. Ini adalah perintah universal agar manusia memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien mungkin, jangan mengisi waktu dengan kegiatan yang tidak bermanfaat.

Bagaimana agar bangsa ini mampu menghadapi tantangan di era globalisasi dan agar tidak ‘terjajah’ oleh kekuatan negara maju? Tanamkan dan praktekkan nilai-nilai budaya global seperti disebut di atas dalam tatanan budaya bangsa ini. Bila tidak, maka bangsa ini hanya akan dipecundangi oleh negara-negara maju. Para penganut agama agar menggali nilai-nilai universal yang dapat menstimulasinya untuk maju dan bersaing di pasar global karena - sekali lagi - esensi nilai budaya global yang memacu manusia untuk maju sama sekali tidak bertentangan dengan agama, dan karenanya bangsa ini tidak mesti menjadi sekuler. Menurut pendapat saya, selain sebagai pedoman moral, agama justru memerintahkan manusia untuk membangun peradaban, bukan bermalas-malasan.
Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, October 13, 2008

Rokok dan Sekulerisme


Mungkin agak janggal menghubung-hubungkan rokok dengan sekulerisme. Tapi namanya juga blog opini ya boleh-boleh saja. Definisi sekulerisme beragam. Ada yang bilang sekulerisme itu adalah pemisahan antara pemerintahan negara dan agama. Ada yang bilang sekulerisme itu adalah orang yang tidak konsisten menjalankan perintah agamanya dalam praktek kehidupan sehari-hari, artinya hanya menjalankan ritualnya saja seperti solat, puasa, haji, dan sebagainya. Kalau menurut saya, sederhananya sekuler itu adalah tidak menjalankan dan sekaligus tidak menghormati ajaran agamanya sendiri.

Saya memperhatikan dari tahun ke tahun semakin banyak umat muslim di Indonesia – paling tidak menurut apa yang saya lihat di seputar Jakarta dan beberapa kota lain yang kebetulan saya mengadakan perjalanan saat bulan ramadan – yang tanpa sungkan-sungkan mempertontonkan dirinya tidak berpuasa. Sebut saja saudara-saudara kita yang berprofesi sebagai supir angkot, pengojek sepeda motor, juru parkir, dan petugas keamanan. Supir angkot sambil menyetir angkotnya dengan tangan kiri, tangan kanannya memegang rokok dengan asap terkepul. Pengojek motor sambil menunggu penumpang mengepulkan asap rokok. Juru parkir sambil mengarahkan mobil parkir tangannya memegang rokok. Petugas keamanan sambil istirahat di pos jaga mengepulkan asap rokok. Bagaimana kira-kira saya bisa tahu bahwa mereka muslim? Ya dari nama di baju seragam (untuk juru parkir dan petugas keamanan) dan ornamen yang terdapat di kendaraan mereka (untuk supir angkot dan pengojek sepeda motor).

Saat saya iseng menanyai dua atau tiga orang di antara mereka mengapa tidak puasa, mereka dengan ringan menjawab, "Tuhan Maha Tahu jika saya tidak kuat berpuasa." Lalu ada juga yang menjawab, "Kalau menahan lapar saya kuat, tetapi kalau tanpa rokok saya tidak kuat." Berarti daya rusak rokok ini kalau dipikir-pikir memang luar biasa. Selain dapat memiskin orang – sehingga BLT sering dipelesetkan menjadi 'bantuan langsung tembakau', juga dapat menjauhkan orang dari ajaran agamanya – alias sekuler. Sayangnya ini justru banyak terjadi di kalangan lapisan bawah yang menjadi bagian mayoritas dari masyarakat Indonesia.

Di jaman yang katanya reformasi ini orang memang makin cenderung sekuler. Dan sekulerisme itu antara lain disebabkan karena sebatang rokok.
Read more (Baca selengkapnya)...