Monday, August 10, 2020

Daya Saing Investasi Hulu Migas


Shell memutuskan hengkang dari lapangan gas Abadi, Blok Masela. Chevron siap hengkang dari proyek laut dalam IDD di Selat Makassar. Begitu dua headline berita yang sering muncul di berbagai media akhir-akhir ini.

Banyak yang menghubungkan fenomena larinya investor karena daya saing suatu negara rendah atau tidak menarik untuk berinvestasi dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas. Apakah pendapat tersebut benar 100%? Apakah masuk dan keluarnya investor global dalam suatu negara melulu karena rating daya saing? Apakah daya tarik investasi hulu migas Indonesia rendah?

Untuk melihat rating atau skor daya saing investasi hulu migas (selanjutnya saya sebut exploration and production attractiveness atau disingkat E&P attractiveness) secara kuantitatif, saya mengambil hasil kajian dari empat konsultan yang memang bergerak di jasa konsultansi migas dan energi secara global, yaitu IHS Markit, Wood Mackenzie,  GlobalData, dan Fraser Institute.

IHS melakukan asesmen rating dari tiga parameter, yaitu Activity and Success (level produksi, volume cadangan, aktivitas lima tahun terakhir, dan temuan baru dalam lima tahun terakhir), Fiscal Attractiveness (termin kontrak, rezim fiskal), Oil and Gas Risk (situasi politik, ekonomi, keterbukaan terhadap dunia international, sanctity of contract, stabilitas kebijakan dan regulasi).

Dari tiga parameter di atas, rating Indonesia sudah bagus di sisi aktivitas, urutan ke-27 dari 130-an negara. Sedangkan untuk sistem fiskal Indonesia berada di urutan ke-71, dan berada di urutan ke-88 untuk urusan risiko. Artinya untuk meningkatkan posisinya, mengikuti versi IHS, Indonesia tinggal memperbaiki fiscal term dan mengurangi risiko usaha; antara lain menghargai contract sanctity dan meningkatkan stabilitas regulasi. Secara keseluruhan parameter IHS Markit menempatkan E&P attractiveness Indonesia pada urutan ke-24 (skor 5,2) – masuk dalam kelompok kuartil teratas. Kanada menempati posisi tertinggi dengan skor 7,2.

Wood Mackenzie lebih fokus pada fiscal terms dengan tiga faktor: stabilitas fiskal, prospectivity, dan cost environment. Berdasarkan simulasi  Global Economic Model (GEM) Wood Mac, Indonesia berada di kelompok medium dengan skor 2,4 dari maksimum skor 5. Untuk meningkatkan rating versi Wood Mac, tentunya Indonesia perlu memperbaiki fiscal terms yang ada.

GlobalData melakukan asesmen dengan melihat tingkat perolehan Internal Rate of Return (IRR) yang dihitung berdasarkan rezim fiskal di berbagai negara. Menurut riset GlobalData, tingkat IRR rata-rata semua rezim fiskal adalah sekitar 22%. Rezim fiskal yang paling rigid menghasilkan IRR 10% atau kurang, sedangkan rezim fiskal yang paling menarik menghasilkan IRR rata-rata 35% atau lebih.

GlobalData membagi fiscal attractiveness menjadi delapan kelompok berdasarkan perolehan IRR, dengan rentang skor minimum 1,0 dan maksimum 5,0 lalu diplot dalam format heat map.




Read more (Baca selengkapnya)...