Tuesday, March 13, 2012

BBM: Naik... Tidak.... Naik?


Kebijakan subsidi energi sudah lama dijalankan. Paling tidak, seingat saya, sejak masa pemerintahan Orde Baru. Maksud Pemerintah ketika itu adalah agar pertumbuhan ekonomi cepat bergulir dengan biaya input yang murah dan terjangkau oleh masyarakat kebanyakan, dimana ketika itu pendapatan per kapita rata-rata Indonesia masih berada dalam kategori negara miskin. Sayangnya, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita, kebijakan subsidi energi terus dijalankan – tidak dicabut secara gradual – sehingga tidak lagi tepat sasaran. Seyogyanya yang disubsidi itu adalah langsung orangnya, bukan bendanya, atau bisa juga subsidi dalam bentuk pembangunan berbagai infrastruktur untuk membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Sekarang terlanjur kebijakan subsidi ini sudah menjadi komoditas politik dan memiliki efek domino yang sangat luas. Dan karenanya mengurangi atau mencabut subsidi dipandang sebagai kebijakan yang non populis, bahkan dapat menumbangkan rejim pemerintahan.

Ketergantungan Indonesia terhadap energi berbasis minyak bumi masih sangat tinggi. Menurut Indonesia Energy Outlook 2010 (IEO 2010) yang dirilis Pusat Data dan Informasi Kementerian ESDM, minyak bumi memakan porsi 39% dari total bauran energi primer (primary energy mix) di Indonesia, dan, bersama-sama dengan gas, masih akan terus dominan sampai 20 tahun mendatang. Sementara sejak tahun 2004 Indonesia sudah menjadi negara pengimpor netto minyak bumi.


Diversifikasi energi teramati jalan di tempat – tidak fokus dan tidak serius. Terutama pemanfaatan EBT (Energi Baru dan Terbarukan) dan substitusi BBM menjadi BBG atau BBN. Saat ini diperkirakan hanya tersisa 3 SPBU di Jakarta yang menyediakan BBG. Salah satu penyebab tidak berjalannya diversifikasi energi ini adalah karena pasca Orde Baru prioritas para elit lebih tercurah ke permasalahan politik, sehingga pembangunan sektor energi termasuk yang kehilangan momentum. Hal lain yang teramati menghambat pemanfaatan EBT adalah euforia otonomi daerah yang berlebihan, sehingga banyak program/agenda pembangunan dari pusat yang tidak berjalan di level daerah.

Minyak dan gas bumi masih sebagai sektor penyumbang terbesar pendapatan negara dibandingkan sektor-sektor lain. Kisarannya 20-30%, tergantung fluktuasi nilai Indonesia Crude Price (ICP – indeks harga minyak mentah Indonesia). Di satu sisi merupakan hal positif dan membanggakan, karena migas masih menjadi sektor andalan. Namun di sisi lain dapat dipandang negatif. Sebab jika sebuah negara terus menerus bergantung pada Sumber Daya Alam (SDA) untuk memacu pertumbuhan ekonominya, berarti sektor-sektor non SDA, terutama industrialisasi, kurang berkembang.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, dari sisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memang serba salah dan rentan gejolak. Kalau harga minyak naik, pendapatan negara dari sektor hulu migas akan meningkat, dan investasi untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasipun meningkat, namun APBN dari sisi pengeluaran akan tertekan karena terjadi peningkatan belanja subsidi. Sebaliknya, jika harga minyak mentah turun, beban pengeluaran APBN menjadi lebih ringan karena belanja subsidi akan menurun, namun intensitas kegiatan eksplorasi dan produksipun akan menurun pula, sehingga dapat mengakibatkan menurunnya produksi dan minimnya penemuan cadangan baru; akibatnya APBN akan tertekan dari sisi pendapatan. Jika subsidi BBM dicabut, akan terjadi penolakan yang luar biasa dari masyarakat, apalagi hingga saat ini Pemerintah belum dapat menyediakan energi alternatif pengganti BBM secara massal yang harganya sama atau lebih rendah dari harga BBM bersubsidi.

Asumsi makro APBN yang hanya menempatkan “minyak” sebagai target lifting makin memperparah adanya semacam asimetri informasi, dimana sebagian besar masyarakat Indonesia (termasuk para elit dan pengamat yang tidak pernah terlibat langsung dalam tata kelola usaha hulu migas) masih beranggapan bahwa Indonesia sangat kaya minyak. Padahal di akhir tahun 2009 cadangan terbukti minyak Indonesia yang tinggal 3,96 miliar barel (dengan rasio cadangan terbukti terhadap produksi 10,5 tahun) hanya 0,29% dari total cadangan minyak dunia. Sedangkan produksi minyak Indonesia yang sekarang di level 920-an ribu barel per hari hanya 1,13% dari total produksi minyak dunia (BP Statistical Review of World Energy 2011). Semestinya asumsi makro APBN menyebutkan “minyak dan gas bumi” secara bersamaan dalam satuan Barrel of Oil Equivalent per Day (BOEPD). Kegiatan usaha hulu migas kini dan akan datang secara volumetrik (BOE) akan lebih didominasi oleh gas. Kita telah memasuki era gas. Era minyak diramalkan akan menjadi “masa lalu” jika tidak ada lagi temuan cadangan minyak yang volumenya signifikan. Memang pasca ditemukannya cadangan minyak di Lapangan Banyu Urip, Cepu, dapat dikatakan tidak ada lagi temuan cadangan yang berarti, paling-paling sekedar tambahan transformasi dari probable reserve dan possible reserve menjadi cadangan pasti (proven reserve).

Target produksi dan pendapatan sektor hulu migas dalam APBN yang selama ini teramati ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah menyebabkan eksploitasi migas sebagai SDA tak terbarukan (non renewable and depleted natural resources) cenderung mengarah ke “asal kuras habis”, tidak lagi sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan – dimana harus ada konservasi SDA yang disisakan untuk generasi mendatang jika memang cadangannya makin menipis.

Indonesia Sangat Boros Energi?

Para pengemat menilai dengan elastisitas energi (ε) sebesar 1,84 Indonesia dikatakan sangat boros energi (jika menurut versi IEO 2010 angka elastisitas energi Indonesia sekitar 1,4). Elastisitas energi didefinisikan sebagai persentase peningkatan kebutuhan energi terhadao persentase pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto. Artinya berapa persen diperlukan tambahan pasokan energi dalam setiap persen pertumbuhan GDP. Namun boros-tidaknya konsumsi energi tidak dapat dilihat dari perspektif elastisitas energi semata. Tingkat efisiensi konsumsi energi dapat dilihat juga dari (i) seberapa besar output ekonomi untuk setiap unit energi yang dikonsumsi – atau singkatnya Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi, dan (ii) kurva “S” pertumbuhan konsumsi energi.

Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi

Di bawah ini diagram sederhana linier antara input dan output aktivitas ekonomi:


Dua tahun lalu saya melakukan exercise terhadap 13 negara: Amerika Serikat, Inggeris (UK), Switzerland, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, China, India, Singapura, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Malaysia. Data GDP nominal diambil dari www.en.wikipedia.org. Sedangkan data konsumsi energi primer diambil dari BP Statistical Review of World Energy 2009. Data GDP dan konsumsi energi primer tahun 2008 untuk ketiga belas negara ditampilkan dalam bentuk tabel.

Lalu rasio GDP terhadap konsumsi energi diurutkan dari besar ke kecil dan ditampilkan dalam bar chart. Satuan Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi adalah US Dollar per TOE. Artinya berapa dollar Amerika Serikat yang dapat dihasilkan (sebagai output aktivitas ekonomi) untuk setiap TOE energi yang dikonsumsi sebuah negara.


Dari tiga belas negara, ternyata Switzerland yang paling efisien konsumsi energinya; katakanlah demikian jika Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi ini bisa dijadikan sebagai tolak ukur tingkat efisiensi energi. Switzerland, negara yang hidup dari industri jasa, dalam setiap TOE energi yang dikonsumsinya bisa menghasilkan pendapatan US$ 17 ribu lebih. Amerika Serikat, negara adidaya yang sering jadi rujukan negara-negara lain, hanya menghasilkan US$ 6281 per TOE, lebih rendah dari Filipina yang menghasilkan US$ 6676 per TOE. Indonesia menghasilkan US$ 4114 dalam setiap TOE energi yang dikonsumsi.

China ternyata paling tidak efisien konsumsi energinya dari 13 negara yang di-exercise. China hanya menghasilkan US$ 2447 dari setiap TOE energi yang dikonsumsinya. Filipina paling tinggi di antara sesama negara ASEAN. Memang biasanya terbatasnya ketersediaan sumber daya energi domestik (banyak melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan energi) dapat menstimulasi sebuah negara menjadi lebih efisien dalam mengkonsumsi energi. Apalagi di Filipina tidak ada kebijakan subsidi energi seperti di Indonesia.

Akan halnya Indonesia sendiri, jika dibandingkan sesama negara ASEAN selain Filipina, posisi Indonesia masih lebih baik dari Malaysia, Thailand, dan Singapura. Bahkan lebih baik dari Korea Selatan, India, dan China. Memang rasio GDP terhadap konsumsi energi belum tentu secara langsung mencerminkan tingkat kemakmuran sebuah negara. Malaysia, Korea Selatan, Singapura, Thailand, dan China memiliki GDP per kapita lebih tinggi dari Indonesia, walau rasio GDP terhadap konsumsi energi mereka lebih rendah. Namun, paling tidak, seberapa efisien konsumsi energi sebuah negara bisa dilihat dari perspektif lain, tidak semata berdasarkan parameter elastisitas energi.

Kurva “S” Pertumbuhan Konsumsi Energi


Kurva “S” merupakan salah satu cara yang sering digunakan untuk memonitor progres sebuah proyek. Cara yang sama dapat diterapkan untuk menganalisa evolusi pertumbuhan kebutuhan energi sebuah negara. Kurva “S” pertumbuhan energi dibagai menjadi empat fase, yaitu fase pra-industrialisasi, fase pembangunan (industrialisasi), fase ekuilibrium, dan fase lanjutan.

Fase pra-industrialisasi adalah periode ketika sebuah negara belum mengalami industrialisasi atau belum begitu intensif melakukan pembangunan fisik. Pada fase ini tentunya kebutuhan akan energi relatif kecil. Untuk Indonesia dapat dikatakan fase ini terjadi antara tahun 1945 sampai 1970. Fase pembangunan (industrialisasi) adalah periode dimana industrialisasi sangat intensif sehingga memacu pertumbuhan ekonomi dan selanjutnya menyebabkan kebutuhan energi meningkat pesat. Indonesia saat ini berada di fase kedua ini.

Fase ekuilibrium adalah periode dimana supply-demand energi sebuah negara sudah mencapai titik keseimbangan, yaitu ketika negara tersebut sudah mapan dan mampu menyeimbangkan berbagai kebutuhan nasionalnya, sehingga pertambahan kebutuhan energinya sangat rendah. Untuk fase selanjutnya tergantung lagi pada kondisi sebuah negara. Apakah ada industrialisasi lanjutan atau tidak. Di fase lanjutan ini permintaan energi bisa naik, stagnan, atau turun tergantung keberhasilan manajemen energi negara tersebut dalam melakukan konservasi, efisiensi, dan diversifikasi energi.

Bahwa bangsa kita masih berbudaya tidak efisien, sehingga memicu terjadinya pemborosan energi, dengan sportif kita mesti mengakui. Tetapi sebetulnya besarnya angka elastisitas energi bukanlah karena budaya tidak efisien semata, melainkan lebih karena didorong oleh beberapa faktor berikut:
  • Supply-demand energi di Indonesia belum mencapai titik ekuilibrium. Contohnya saja di sub sektor energi listrik, akhir tahun 2009 rasio elektrifikasi nasional baru mencapai sekitar 65% - masih jauh di bawah 100%; artinya rata-rata di seluruh wilayah Indonesia masih ada 35 dari 100 rumah tangga yang belum dialiri listrik.

  • Pertumbuhan industri dan pemukiman yang pesat memerlukan tambahan pasokan energi yang besar untuk mengimbanginya.

  • Jika dilihat dari pemetaan konsumsi energi per kapita yang dirilis oleh International Energy Agency dalam World Energy Outlook 2008, Indonesia termasuk dalam range terendah, bahkan lebih rendah dari beberapa negara ASEAN. Rendahnya konsumsi energi per kapita ini disebabkan karena ketersediaan dan kemudahan akses energi di wilayah Indonesia yang tidak merata dan belum berkeadilan. Kawasan JAMBAL (Jawa-Madura-Bali) dan kota-kota besar lainnya cenderung berlimpah energi, sedangkan di kawasan terpencil (bahkan ada yang berdekatan langsung dengan sumber energi) tidak tersedia insfrastruktur dan akses terhadap energi.

  • Pasca diterpa krisis moneter 1998 beberapa sektor pembangunan di Indonesia sempat kehilangan momentum, antara lain karena para elit lebih berkonsentarasi ke permasalahan politik, euforia demokratisasi, dan otonomi daerah. Tentunya banyak langkah pemerintah yang sifatnya “tancap gas” untuk mengejar berbagai proses pembangunan yang pernah tertunda. Energi adalah salah satu sektor yang sempat kehilangan momentum pembangunan.
Butir-butir di atas mengindikasikan bahwa Indonesia memang masih membutuhkan banyak tambahan pasokan energi dari tahun ke tahun sebelum mencapai titik ekuilibrium, sehingga tidak heran jika elastisitas energinya masih tinggi (di atas angka “1”). Sedangkan negara-negara maju yang rasio elektrifikasinya sudah 100% dan supply-demand energinya sudah mencapai titik ekuilibrium, ditambah dengan budaya efisien, angka elastisitas energinya sangat rendah, bahkan ada yang negatif. Dari analisa singkat Kurva “S” ini juga dapat dikatakan bahwa tidak fair jika menentukan boros atau tidaknya konsumsi energi hanya berdasarkan angka elastisitas energi semata. Mesti dilihat kondisi sebuah negara dikaikan dengan tingkat kemajuannya. Ketika industri dan ekonominya sedang tumbuh pesat, maka kebutuhan energinya akan meningkat secara signifikan. Ketika negara tersebut sudah mapan dan mampu menyeimbangkan berbagai kebutuhan nasionalnya, angka elastisitas energinya akan rendah.

Penutup
  1. Adanya kenyataan bahwa (i) ketergantungan yang sangat tinggi terhadap energi berbasis minyak bumi (BBM), (ii) Indonesia yang sudah menjadi importir netto minyak bumi sejak tahun 2004, (iii) diterapkannya subsidi energi sejak lama, (iv) peran hulu migas dalam pendapatan negara masih sangat dominan, dan (v) diversifikasi energi yang terasa jalan di tempat menyebabkan Indonesia pada posisi serba salah dari sisi neraca APBN. Jika harga minyak mentah naik, pendapatan negara akan naik namum APBN akan tertekan dari sisi pembelanjaan karena membengkaknya belanja subsidi. Sebaliknya, jika harga minyak turun, APBN akan tertekan dari sisi pendapatan, namun aman dari sisi pembelanjaan.

  2. Selama diversifikasi energi belum berjalan baik dan ketergantungan terhadap minyak masih tinggi, maka diperkirakan Pemerintah akan terus menuntut sektor hulu migas menggenjot level produksinya seperti kecenderungan yang telah terjadi selama ini. Sehingga eksploitasi migas akan mengarah ke praktek “asal kuras habis” ketimbang pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, Pemerintah harus melakukan efisiensi, konservasi, dan diversifikasi energi secara sungguh-sungguh. Masyarakat akan lebih “legowo” menerima kenyataan BBM dengan harga keekonomian apabila sudah ada alternatif energi pengganti BBM yang sama atau lebih murah harganya dibanding BBM bersubsidi. Kenyataan yang sering terjadi terbalik: Pemerintah mengurangi/mencabut subsidi terlebih dahulu baru berjanji mengembangkan energi alternatif yang lebih murah, namun kenyataannya janji tersebut sering tidak ditepati.

  3. Salah satu penyebab sulitnya pengembangan energi alternatif pengganti BBM karena harganya “dipaksa” bersaing dengan harga energi yang disubsidi, sehingga kurang menarik minat investor. Oleh karena itu, pencabutan subsidi secara gradual diharapkan dapat memicu upaya diversifikasi energi.

  4. Boros-tidaknya konsumsi energi sebuah negara tidak dapat hanya dilihat dari angka elastisitas energinya semata, namun juga harus dilihat berapa output ekonomi (GDP) yang dihasilkan dari setiap unit energi yang dikonsumsi serta kondisi pembangunan atau tingkat kemajuan di negara tersebut.

  5. Semua pemangku kepentingan di sektor energi, terutama Pemerintah, BUMN dan BUMD yang bergerak di usaha energi, kontraktor asing dan perusahaan nasional yang begerak di sektor energi sepatutnya memberikan contoh/teladan dalam diversifikasi dan penghematan energi. Misalnya mempelopori penggunaan mobil bermesin hybrid untuk kendaraan dinas/operasional dan penggunaan BBG. Jangan mentang-mentang kendaraan dinas yang disediakan oleh instansi/perusahaannya lantas menggunakan kendaraan roda empat ber-cc besar yang boros BBM. Ini artinya sangat minim keteladanan dan minim rasa empati di tengah-tengah galaunya perasaan rakyat dalam menyongsong kenaikan BBM yang nampaknya sudah di depan mata karena “gong”-nya sudah ditabuh oleh Pemerintah.

  6. Asimetri informasi yang terjadi selama ini, bahwa masyarakat Indonesia masih beranggapan Indonesia negara kaya minyak, harus diluruskan:
    • Insan-insan migas melalui kegiatan kehumasan harus aktif mengkampanyekan bahwa Indonesia bukan negara kaya minyak, sekaligus merubah persepsi dari “Barrel of Oil” menjadi “Barrel of Oil Equivalent” karena kita sudah memasuki era gas.
    • Asumsi makro APBN seyogyanya menampilkan target lifting “minyak dan gas” dalam Barrel of Oil Equivalent per Day (BOEPD), ketimbang hanya target lifting minyak dalam Barrel Oil per Day (BOPD). Selain itu target lifting mesti dilihat dari kemampuan maksimal (deliverability) lapangan-lapangan migas yang ada, bukan ditentukan secara sepihak oleh Pemerintah pada saat penyusunan RAPBN.

  7. Jika Pemerintah mengharapkan porsi tambahan keuntungan dari windfall profit disebabkan lonjakan harga minyak (indeks ICP rata-rata di bulan Februari 2012 sebesar US$ 122,17 per barel), tidak ada salahnya mencoba menegosiasi Kontratktor KKS, meskipun termin fiskal kontrak PSC kita menganut fix rate dan kontrak pada dasarnya menganut asas “pacta sunt servanda”, seperti yang sempat diwacanakan dengan “sharing the pain” di tahun 2008 ketika harga minyak dunia sempat hampir menyentuh level US$ 150 per barel.

  8. Belajar dari penerapan kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract – PSC) negara lain, ditambah dengan fluktuasi harga minyak yang sukar diprediksi batas atas-bawahnya, maka memang sudah waktunya mengkaji dan menerapkan formula sliding scale terhadap beberapa parameter PSC, baik yang front end loaded, seperti bonus-bonus, maupun yang neutral (back end loaded), seperti besaran first tranche petroleum (FTP), profit split, dan tax rate. Kriteria sliding scale-nya bisa berdasarkan tingkat produksi, harga minyak, Revenue-to-Cost ratio, dsb. Dengan demikian, jika ada windfall profit, Pemerintah secara otomatis dapat ikut menikmati tambahan porsi keuntungan tanpa perlu repot-repot menegosiasi kontraktor. Seperti misalnya ribut-ribut Freeport yang terus timbul-tenggelam tanpa solusi final.

  9. Sehubungan dengan kondisi dan dinamika kegiatan usaha migas baik di tataran nasional, regional, maupun internasional, tidak ada salahnya mengkaji bentuk-bentuk kontrak lain yang mungkin saja lebih menguntungkan bagi negara, seperti misalnya Royalty/Tax System, Service Agreement, PSC yang di-split langsung dari gross revenue (Peruvian type PSC), dan PSC dengan cost recovery limit. Dalam UU No. 22/2001 tentang Migas, PSC hanyalah salah satu bentuk kontrak kerja sama, jadi tidak menutup peluang terhadap bentuk-bentuk kontrak selain PSC. Ada istilah “no model fits for all conditions”.

  10. Sebagai non-renewable and depleted resources, sudah saatnya ada dana abadi yang disisihkan dari pendapatan kegiatan hulu migas (semacam depletion premium) yang dapat digunakan untuk melakukan assessment cekungan/sumber hidrokarbon secara lebih detail dan lebih representatif, sehingga ketika sebuah wilayah kerja baru ditenderkan, kontraktor mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan dengan tingkat keberhasilan (success ratio) eksplorasi lebih tinggi. Selain itu, dana depletion premium dapat digunakan untuk keperluan riset-riset dan inovasi untuk menjawab tantangan kegiatan hulu migas di masa mendatang yang akan didominasi oleh teknologi lepas pantai (offshore), Enhanced Oil Recovery (EOR), pengolahan gas, dan pengembangan hidrokarbon non konvensional. Selama ini teramati ada ketidakseimbangan dalam tingkat penguasaan teknologi, dimana para ekspatriat dari kontraktor migas asing jauh lebih menguasai, sehingga yang namanya “best engineering practices” di kegiatan usaha hulu migas terkesan lebih “didikte” oleh kontraktor migas asing.

  11. Keandalan data sumber daya (resources) energi primer banyak dipertanyakan tingkat akurasinya. Misalnya di berbagai publikasi disebutkan sumber daya tenaga air (hydro) sebesar 76,7 MWe. Konon data ini dibuat di pertengahan tahun 1980-an dimana kondisi sungai-sungai di Indonesia ketika itu jauh lebih tinggi kualitas fisik dan debitnya dibandingkan kondisi sekarang. Ini yang dikatakan harus transparan dan jujur dalam memberikan data.
Begitu strategisnya migas bagi kepentingan nasional, begitu banyaknya pemangku kepentingan, begitu banyaknya faktor internal dan eksternal yang memengaruhi, begitu banyaknya tantangan dan kendala, serta – tak kalah penting – begitu banyaknya yang memiliki kepentingan politik-ekonomi, maka usaha untuk memperbaiki tata kelola migas – baik di kegiatan usaha hulu maupun hilir – memerlukan kajian yang mendalam, komprehensif, dan pendekatan yang holistik. Yang paling utama adalah bahwa para pemangku kepentingan harus mengedepankan itikad baik (good faith) dan kepentingan bangsa. Jangan menjadikan Indonesia sebagai benalu bagi dirinya sendiri. Berdosa kita kepada para founding fathers negara ini yang rata-rata sangat visioner – memiliki pemikiran dan pandangan jauh kedepan.
Read more (Baca selengkapnya)...