Saturday, February 20, 2010

Tanggapan tentang ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area)


{Di bawah ini saya posting tanggapan dari Pak Soelasno Lasmono, seorang kolega lama. Pak Lasno, lewat email memberikan pandangannya tentang ASEAN-China Free Trade Area yang kami diskusikan lewat milist APPI (Asosiasi Pengadaan Perminyakan Indonesia). Karena tanggapannya bagus dan melengkapi dari perspektif yang lain, maka ada baiknya saya share ke pengunjung blog ini. Semoga bermanfaat bagi sesama pembelajar industri dan perdagangan}.

Assalamualaikum pak Gamil,

Saya sdh baca opini dan ulasan pak Gamil tentang topik diatas. Menarik dan bagus, menampilkan kondisi industri dan pasar Indonesia yg sesungguhnya. Sedikit komentar mengenai kualitas barang China, yg anda ditengarahi lebih buruk dari produk Eropa, USA atau Jepang. Itu mungkin di awali saat maraknya barang selundupan dulu. Dimana umumnya yg membawa ke negara lain termasuk ke negara kita adalah cukong-cukong, pedagang yang hanya mengutamakan prinsip ke ekonomian atau untung sebesar besarnya. Di pasar China ada beberapa jenis barang made in and made by China..(meminjam istilah anda) dgn variasi kualitas sesuai harga. Variasi kualitas ini disebabkan proses learning curve, trial and error dan utilisasi industri rumah tangga serta adanya cluster-cluster industri baru dalam rangka memberdayakan manpower semaksimal mungkin.

Nah, para pedagang yang melihat oportunity inilah yg membawa barang barang low quality, cheap price ke negara negara miskin atau sedang berkembang dengan jumlah banyak yg hanya mementingkan murah...yg penting ada, yg penting punya. Contoh bila anda berbelanja di silk street..pasar murah dan penuh tawar-menawar segala jenis merk barang..kodian, anda akan dptkan barang serupa tapi tak sama dgn kualitas barang yg sangat memprihatinkan. Tetapi bila anda mau menikmati mall seperti Sing Khong (bacanya sing kuang) yg juga menjual produk produk China buat ekspor ke pasar Eropa dan USA maka harganya hampir sama dgn di Eropa sedikit lebih murah hanya karena lokasi dan memanfaat daya tarik lain yg mgkn bisa di jual di dalam negeri. Tetapi dalam 10 thn terakhir China sdh memahami konsep supply chain dan customer satisfaction. Sudah banyak direct agent atau trading representative yg mampu membawa barang berkualitas guna pelayanan dan kepuasan pelanggan. Contoh di OCTG yg saya tahu, kita tdk akan begitu mudah membeli pipa dari mill mill yg berkualitas API 5 CT, 5 L dan 5 D bahkan sdh mampu memberi produk dng PSL 2 dan PSL 3. Mil mil tsb sdh ada agent yg ditunjuk, mirip Itochu atau Marubeni model mill Jepang.Na mun demikian mill-mill yg baru belajar dan sudah memproduksi seamless juga banyak. Tinggal pilih.

Nah.. Disinilah kita harus teliti sebelum membeli..bila kita lepaskan pasar memilih maka kekhawatiran anda pasti akan terjadi krn umumnya orang kita akan memilih sing penting ono..sing penting murah. Di dunia SCM industri kita, yg seharusnya ketat dalam menjaga mutu agar menghindari kerugian yg lebih mahal, yg saya takutkan bila pengadaannya mengundang pedagang, bukan produsen, maka sdh barang tentu pedagang mengutamakan laba bukan reliability produknya. Disisi lain kitaharus membuka mata bahwa Industri China tidak tidur dan tinggal diam untuk tidak membenahi kualitas dan jaringan perdagangannya. Maka yg dihadirkan saat ini di pasar pasar eropa adalah good quality, quick delivery dan harga reasonable cheaper! Apapun spec yang anda minta.

Terakhir, saya setuju dengan pak Gamil, yg penting kita harus melihat untung-ruginya agar kebijakan ini jgn sampai membunuh industri kita yg masih umumnya hanya ada di hilir karena terlalu lama keenakan menikmati proteksi dan tdk fokus atau lebih keras tidak serius mengembangkan pohon industrinya lebih ke hulu sehingga tercipta kemandiriian atau ketahanan Industri. Pertanyaan, sampai kapan kita harus memberi (mungkin maksudnya memberi “proteksi”, red.)?

Salam,
Soelasno
Read more (Baca selengkapnya)...

Saturday, February 13, 2010

PERTAMINA dan ELNUSA Baru

Oleh: Prof. Widjajono Partowidagdo (Guru Besar Teknik Perminyakan ITB dan Anggota Dewan Energi Nasional)

[Pengantar: Saya mendapat kiriman artikel ini, yang kalau tidak salah pernah dimuat di Jurnal Nasional, di akhir tahun 2008. Meskipun tulisan ini sudah lewat setahun, namun masih tetap relevan untuk pembelajar energi, khususnya migas. Ditulis dengan gaya bahasa pop, Mas Wid (sapaan kami terhadap Prof. Widjajono) antara lain memaparkan mengapa dalam banyak hal Malaysia, yang dulunya belajar dari Indonesia, justru lebih berhasil dari gurunya dalam mengelola minyak dan gas bumi, dan mengapa PETRONAS - perusahaan migas Malaysia - yang baru didirikan pada tahun 1974 telah jauh meninggalkan PERTAMINA. Semoga bermanfaat].

Dasar pemikiran pengelolaan migas di Indonesia sebenarnya sudah dirancang dengan ide Kontrak Production Sharing (Bagi Hasil). Pencetus ide Kontrak Bagi Hasil adalah Bung Karno, yang mendapatkan ide tersebut berdasarkan praktek yang berlaku di pengelolaan pertanian di Jawa. Kebanyakan petani (Marhaen) adalah bukan pemilik sawah. Petani mendapatkan penghasilannya dari bagi hasil (paron). Pengelolaan ada ditangan pemiliknya.

Pak Ibnu Sutowo dalam bukunya “Peranan Minyak dalam Ketahanan Negara” (1970)8 menyatakan yang dibagi adalah minyak (hasilnya) dan bukan uangnya. Pak Ibnu menyatakan, “Dan mengenai minyak ini, terserah pada kita sendiri, apakah kita mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkannya, untuk kita”. Intinya adalah kita harus menjadi tuan di rumah kita sendiri. Itulah sebabnya dalam Kontrak Production Sharing manajemen ada di tangan pemerintah.

Perbedaan Kontrak Karya (konsesi) dan Kontrak Production Sharing (bagi hasil) adalah pada manajemennya. Pada Kontrak Karya, manajemen ada di tangan kontraktor, yang penting adalah dia membayar pajak. Sistem audit disini adalah post audit saja. Pada Kontrak Production Sharing (KPS), manajemen ada di tangan pemerintah. Setiap kali kontraktor mau mengembangkan lapangan dia harus menyerahkan POD (Plan of Development) atau perencanaan pengembangan, WP&B (Work Program and Budget) atau program kerja dan pendanaan serta AFE (Authorization fo Expenditure) atau otorisasi pengeluaran supaya pengeluaran bisa dikontrol. Sistem audit di sini adalah pre, current, dan post audit.

Tujuan jangka panjang KPS sebenarnya adalah mengusahakan minyak kita sedapat mungkin oleh kita sendiri. Dengan mengelola KPS bangsa Indonesia dapat belajar cepat tentang bagaimana mengelola perusahaan minyak serta belajar cepat untuk menguasai teknologi di bidang perminyakan. Pak Ibnu menyatakan “Tapi telah menjadi tugas kita dan telah kita sanggupi untuk mengusahakan minyak kita oleh kita sendiri. Dan ini telah memikulkan suatu kewajiban atas pundak kita semua, supaya setiap detik dan setiap ada kesempatan, kita berusaha mengejar know, how dan skill ini dalam tempo yang sependek mungkin”.

Tujuan Pak Ibnu Sutowo untuk menggunakan hasil minyak untuk meningkatkan kemampuan nasional menjadi tidak terkontrol karena Pertamina malah juga melakukan bisnis di luar bidang perminyakan, yang tidak dikelola dengan baik, bahkan dengan modal pinjaman jangka pendek serta bunga komersial sehingga mengakibatkan kesulitan keuangan. Hal tersebut mengakibatkan peraturan yang mewajibkan bahwa investasi Pertamina harus diusulkan kepada dan disetujui oleh Departemen Keuangan. Seperti diketahui, tugas Departemen Keuangan bukan hanya mengurusi Pertamina. Tugas utamanya adalah menyusun APBN dan memaksimalkan penerimaan Negara serta mengalokasikan pengeluaran Negara. Mereka berpendapat bahwa risiko bisnis perminyakan sebaiknya diserahkan ke perusahaan asing saja. Akibatnya, jatah untuk Pertamina adalah seperti tahun sebelumnya atau business as usual, sehingga produksi Pertamina pun berkisar sekitar 50 ribu barel per hari selama puluhan tahun. Itulah sebabnya kemudian Pertamina menawarkan lapangan-lapangannya untuk dikerjakan pihak lain awalnya dengan JOB (Joint Operating Body) lalu dengan TAC (Technical Assistance Contract) dan sekarang dengan KSO (Kerja Sama Operasi). Birokrasi (aturan pemerintah) tersebut juga mengakibatkan budaya di Pertamina yang tidak seperti pada layaknya perusahaan yang dapat menentukan sendiri investasinya, meminjam uang serta menawarkan saham. Hal di atas adalah pemasalahan yang penulis kemukakan pada presentasi di depan wartawan dengan judul Isu Pokok, Kebijakan dalam Pengembangan dan Pemanfaatan Sumber Daya Migas yang diadakan di Wisma Bimasena, 8 Agustus 1997 oleh Yayasan IIEE (Institut Indonesia untuk Ekonomi Energi). Di samping itu penulis juga menyatakan:7

- Kemampuan bangsa kita di bidang perminyakan tidak kalah dengan kemampuan bangsa lain. Lagipula, teknologi perminyakan bukan monopoli perusahaan multinasional. Hal-hal yang sifatnya spesifik biasanya justru di subkontrakkan ke perusahaan-perusahaan spesialis (yang bisa disewa siapapun.

- Efisiensi Pertamina perlu ditingkatkan apabila ingin menyamai prestasi perusahaan multinasional dan hal tersebut dapat dilakukan dengan menyederhanakan birokrasi (aturan tata kelola) serta membuat regulasi yang mendukungnya, seperti yang dilakukan Malaysia pada Petronas, untuk meningkatkan efisiensi tersebut.

- Pertamina dapat memanfaatkan tenaga profesional yang telah berpengalaman bekerja pada perusahaan multinasional. Hal ini dapat dilakukan dengan mengangkat mereka sebagai pegawai Pertamina atau Pertamina bekerja sama dengan swasta nasional bonafide yang merupakan himpunan dari tenaga profesional tersebut.

- Ada baiknya Pertamina menugaskan pegawainya untuk secara bergantian internship (magang) di kontraktor asing yang beroperasi di Indonesia (pengalaman tersebut akan sangat berguna). Pertamina perlu mengirimkan lebih banyak stafnya untuk sekolah di luar negeri dan meningkatkan kemampuan penelitian dan pengembangan (dengan perguruan tinggi) seperti yang dilakukan Petronas.

Malaysia memang belajar PSC (Production Sharing Contract) dan Teknik Perminyakan dari Indonesia, lagu kebangsaannyapun mengambil dari lagu Indonesia, Mahatirpun sering disebut Sukarno kecil. Indonesia adalah penggagas Pancasila dan Production Sharing Contract, tetapi kita tidak dapat mengimplementasikan kedua gagasan tersebut dengan baik sehingga keadaan kita belum seperti yang kita harapkan.

Akibatnya, ada “joke” yang menjelaskan kenapa Malaysia lebih maju dari Indonesia (kenyataannya demikian) adalah karena orang Malaysia “melayu” (lari) sedangkan orang Indonesia “melaku” (berjalan) dan kalau pengusaha Malaysia ditanya bisnisnya maka dia menjawab: “it is running well” (berlari baik) dan pengusaha Indonesia: “berjalan baik”.

Penulis yakin bahwa alumni perguruan tinggi di Indonesia tidak kalah secara akademis dibandingkan alumni perguruan tinggi di Amerika Serikat atau di Eropa. Walaupun demikian diperlukan populasi yang cukup (sekitar 30 persen) yang memiliki budaya perusahaan multinasional atau mengenal budaya internasional di suatu perusahaan nasional. Mereka adalah yang pernah bekerja di perusahaan multinasional atau yang pernah yang sekolah di luar negeri. Petronas dan Medco memiliki populasi tersebut.

Penulis setuju bahwa tidak fair untuk membandingkan Petronas dengan Pertamina saat ini karena kondisi Petronas saat ini adalah kondisi yang diharapkan Pertamina pada waktu Production Sharing Contract digagas. Walaupun demikian perlu disadari bahwa lebih majunya Petronas dari Pertamina bukan hanya karena dia lebih berhasil melaksanakan Production Sharing Contract yang kita gagas. Perlu dicatat bahwa:

1. Malaysia menggunakan hasil minyaknya untuk pendidikan dan mengembangkan kemampuan nasionalnya, sedangkan Indonesia menggunakannya untuk subsidi harga BBM, membayar hutang dan korupsi. Pada waktu penulis sekolah di Amerika di sekolah penulis terdapat sekitar 600 mahasiswa dari Taiwan, 400 mahasiswa Indonesia dan 300 mahasiswa Malaysia. Dari 400 mahasiswa Indonesia tersebut hanya belasan yang dikirim oleh pemerintah selebihnya adalah putra putri konglomerat, sedangkan 300 mahasiswa Malaysia tersebut hampir semua dibiayai oleh negara. Tentunya ada ribuan mahasiswa Malaysia yang waktu itu belajar di seluruh Amerika Serikat. Itulah sebabnya kenapa Malaysia bisa lebih maju dari kita dan Petronas lebih maju dari Pertamina. Lapangan terbang, daerah pusat pemerintahan, menara Kualalumpur dan gedung Petronas bukan main cantiknya.

2. Terdapat kritik bahwa birokrat di Indonesia berkecenderungan tidak biasa bekerja-sama karena tidak dibangun atas kebutuhan pembangunan (seringkali kita dengar istilah egoisme sektoral, egoisme profesi, egoisme eselon, dan sebagainya). Kritik tersebut juga menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan oleh warisan penjajahan (preseden). Diperlukan usaha keras untuk merubah budaya tersebut. Menurut Pak Frans (Prof. Frans Mardi Hartanto dari ITB) terdapat perbedaan sejarah kolonialisasi Inggris dan kolonialisasi Belanda.

Kolonialisasi Inggris: 1. Pada masa imperialismenya merupakan negara industri utama; 2. Negara koloni merupakan pasar bagi produk-produknya; 3. Syarat untuk 2 adalah: a. administrasi pemerintah yang teratur berorientasi pada pelayanan masyarakat (abdi masyarakat), b. meningkatkan pendidikan rakyat terjajah agar mau membeli produk Inggris, c. aristokrasi lokal dijaga agar dapat menularkan nilai Inggris (untuk menjadikan perluasan dari Great Britain); 4. Bentuk perlawanan: swadesi (India: Mahatma Gandhi).

Kolonialisasi Belanda: 1. Belanda bukan negara industri tetapi merupakan penyedia bahan baku bagi industri Eropa Utara; 2. Negara-negara koloni merupakan sumber bahan baku (bersikap eksploitatif terhadap sumber daya alam); 3. Syarat untuk 2 adalah: a. sistem pemerintahan merupakan alat kekuasan, b. rakyat tidak perlu dididik agar tidak bisa melawan penjajah, c. diadakan kelompok perantara untuk melakukan ekspoitasi yang terdiri dari: keturunan Cina (perdagangan/daerah pesisir), administratur pemerintah (orientasi kekuasaan/abdi negara), artistokrasi lokal (menjaga kepentingan kekuasaan kolonial Belanda); 4. Bentuk perlawanan: sistem pendidikan (Boedi Utomo), sistem perdagangan (Serikat Dagang Islam), dan perang.

3. Pemerintah Malaysia pada saat ini hanya memberikan subsidi sekitar Rp 800.-/liter untuk harga minyak berapapun (harga BBM di Malaysia saat ini Rp. 7750,-/liter).3 Disamping itu, Malaysia merupakan net exporter minyak (produksi: 755 ribu bpd, konsumsi: 514 ribu bpd).1 Petronas mengelola banyak lapangan migas di luar negeri. Pada tahun 2000, Petronas beroperasi di 24 negara.9

4. Yang menyebabkan Malaysia lebih berhasil dari Indonesia adalah budaya birokrat baik di Pemerintahan maupun Perusahaan milik Negara lebih mendukung kemajuan dibandingkan Indonesia (apabila tidak berubah). Salah satu hal yang menyebabkan Pertamina kurang maju, dimasa lalu adalah karena bermental bouwher (juragan). Di masa lalu orang Pertamina kurang memiliki keinginan untuk melakukan sendiri. Kalau bisa semuanya dilakukan oleh pihak ketiga, baik di hulu maupun di hilir2 (Walaupun banyak orang Pertamina yang ingin mengerjakan sendiri, tetapi tidak dominan). Ada pimpinan Pertamina yang menyebut mental mandor.Ada juga yang menyebut mental feodal. Ciri mental juragan atau feodal yang lain adalah dia mudah tersinggung kalau dikritik.

5. Budaya tidak suka dikritik ini juga dimiliki sebagian pimpinan Indonesia dimasa lalu. Kebudayaan kita adalah paternalistik dimana pemimpin merupakan panutan. Sebagai manusia, mahluk yang fana, bisa saja pemimpin berbuat salah dan itu bisa berakibat fatal karena jika dibiarkan dicontoh sebagian rakyatnya dan menyesengsarakan mayoritas rakyatnya yang lain. Sehingga kritik masyarakat dan kesediaan pemimpin untuk dikritik mutlak diperlukan. Lee Kuan Yew dalam pidatonya di parlemen Singapura, 23 Pebruari 1977 berkata, “Any time, every time, you can damn the prime minister and so long as it is not a lie and a criminal lie, nothing happens to you. You can say a lot of things. You can write books about him, damning him. So long as it is not a libel, go ahead”.6 Kapanpun, setiap saat, Anda dapat menghujat perdana menteri dan selama itu bukan dusta atau dusta kriminal, anda tidak akan apa-apa. Anda dapat mengatakan apapun. Anda dapat menulis buku mengenainya, menghujatnya. Selama itu bukan fitnah, silahkan. Meskipun mungkin Lee Kuan Yew bukanlah seseorang yang suka dikritik tetapi sebagai negarawan dia tidak boleh mengharamkan kritik, sehingga dia berusaha keras untuk tidak berbuat kesalahan dan hasilnya adalah Singapura yang maju.

Kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) tidak mendorong kompetisi, tetapi mendorong ketidakefisienan karena yang terjadi adalah perlombaan memberikan upeti dan bukan perlombaan meningkatkan kualitas dan efisiensi. Hal tersebut akan menjadikan masyarakat menjadi malas dan tidak kreatif, sehingga mengakibatkan bangsa menjadi tidak kompetitif. Mahatma Gandhi bahkan menyatakan: Throughout my life I have gained more from my critic friends than from my admirers, especially when the criticism was made in courteous and friendly language.5 Selama hidup, saya telah mendapat lebih banyak dari teman-teman pengkritik daripada para pengagumku, terutama jika kritiknya dibuat dalam bahasa yang sopan dan bersahabat.

Sesungguhnya apabila ingin menjadi perusahaan multinasional maka yang perlu dilakukan Pertamina adalah mengikuti langkah-langkah yang dilakukan perusahaan multinasional. Kita tidak harus mencontoh Petronas (karena UU Migas menyebabkan kita berbeda dengan Petronas), tetapi kita bisa mencontoh CNOOC & Petrochina (Cina), Petrobras (Brasil), Statoil (Norwegia) bahkan Medco.

Ada hadis mengatakan "Belajarlah sampai ke negeri Cina". Begitu melakukan reformasi, Cina langsung mengirim warganya untuk belajar ke Amerika. Pada waktu penulis sekolah di Los Angeles pada pertengahan 80-an, penulis mendapat beasiswa sekitar $ 700 per bulan dari USAID (United States Agency for International Development). Pemerintah Cina pada waktu itu menetapkan bahwa beasiswa $ 700 per bulan tersebut dipakai untuk 4 orang, sehingga setiap orang harus bisa hidup dengan uang dibawah $ 200 per bulan. Mereka ada yang tinggal 8 orang satu apartemen dan bergantian tidur. Kalau yang separuh tidur, separuhnya lagi belajar di perpustakaan atau di ruang komputer. Orang-orang Cina tersebut pada awalnya tidak mengambil gelar, melainkan hanya mengambil beberapa pelajaran saja. Setelah beasiswa dari USAID habis, sebagian dari mereka ada yang mendapatkan beasiswa dari kampus untuk mendapatkan gelar karena ketekunannya, sebagian pulang. Diantara teman yang pulang ada yang mengundang penulis makan supermi di apartemennya yang sangat kecil di daerah penduduk asal Mexico. Teman dari Cina tersebut kebetulan dia adalah manajer salah satu lapangan migas di negaranya. Dia berpesan: "Buat apa kamu pakai barang buatan Amerika untuk mengembangkan lapangan minyak di Indonesia, pakai saja buatan Cina. Memang buatan kita tidak canggih, tetapi yang penting kan jauh lebih murah untuk produksi yang sama".

Kemudian pada akhir tahun 90-an kita sudah memakai banyak barang buatan Cina, baik motor Cina maupun peralatan perminyakan. Bahkan tahun 2002 perusahaan minyak Cina sudah membeli dua perusahaan migas YPF dan Devon di Indonesia. Memang pada awalnya buatan Cina tidak sebaik buatan Amerika, tetapi dengan lakunya produksinya di pasar maka makin lama buatannya makin baik. Perlu diingat bahwa mobil kijang pada awalnya seperti kotak sabun, tetapi lama kelamaan harganya semahal dan produknya sebaik mobil mewah lainnya. Sebelum penulis pergi ke Beijing pada awal 90 an, penulis berpikir bahwa akan mendatangi negara yang belum modern dan kaku, ternyata penulis mendatangi negara yang sedang membangun di mana-mana. Saat ini Beijing dan Shanghai menjadi kota yang sangat modern. Bahkan CNOOC berhasil menang lelang mengakuisisi Unocal, tetapi dibatalkan oleh Senat Amerika Serikat.

Walaupun Bung Karno mengajarkan Berdikari (Mandiri) dan Gotong Royong (peduli kepada kebahagiaan sesama bangsa), semangat tersebut terasa makin berkurang. Presiden Brasil saat ini yaitu Luis Ignacio Silva (Lula) yang ketika masih menjadi pemimpin buruh pada tahun 1985 menyatakan:4

Without being radical or overly bold, I will tell you that the Third World war has already started-a silent war, not for that reason any the less sinister. This war is tearing down Brazil, Latin America and practically all the third world. Instead of soldiers dying there are children, instead of millions of wounded there are millions of unemployed; instead of destruction of bridges there is the tearing down of factories, schools, hospitals and entire economies. It is a war by the United States against the Latin American continent and the third world....It is a war over the foreign debt, one which has as its main weapon interest, a weapon more deadly than the atom bomb.

Tanpa menjadi radikal atau terlalu berani, saya beritahu anda bahwa perang dunia ketiga telah dimulai - suatu perang dingin, bukan untuk alasan yang kurang mengancam. Perang ini menghancurkan Brasil, Amerika Latin dan praktis seluruh Dunia Ketiga. Bukan tentara yang mati tetapi anak-anak, bukan jutaan yang terluka tetapi jutaan yang menganggur; bukan merobohkan jembatan-jembatan tetapi menghancurkan pabrik-pabrik, sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit dan semua ekonomi. Ini adalah perang oleh Amerika Serikat melawan Amerika Latin dan dunia ketiga…. Ini adalah perang melawan hutang luar negeri, yang mana mempunyai senjata utama yaitu suku bunga, suatu senjata yang lebih mematikan dari bom atom….

Sesungguhnya Lula lebih menyatakan perlunya berjuang untuk melawan ketidakberdayaan Brasil terhadap ketergantungannya kepada Amerika Serikat. Persis seperti berperang melawan ketergantungan pada narkoba maupun kata-kata dalam sajak Nanao Sakaki bahwa mendaki gunung bukan untuk menaklukan gunung tetapi justru menaklukan diri sendiri: “I don’t climb mountain ….Mountain climb me….Mountain is myself…. I climb on myself.” Saya tidak mendaki gunung….Gunung mendaki diriku….Gunung adalah diriku….Aku menaklukkan diriku sendiri. Brasil banyak mengirimkan mahasiswanya ke Amerika Serikat dan berusaha mandiri. Petrobras akhir-akhir ini menemukan cadangan minyak di Tupi dengan potensi 5-8 milyar barel. Walaupun produksi minyaknya 1,83 juta barel per hari dan konsumsi minyaknya 2,2 juta barel per hari (dua kali Indonesia) dan cadangan terbukti minyaknya 12,6 milyar barel (tiga kali Indonesia), Brasil menerapkan harga BBM Rp 14.700,- per liter dan menutupi kekurangan konsumsinya dengan bioethanol.1,3 Dengan demikian penerimaan minyaknya utuh, karena tidak ada subsidi BBM dan bahkan mengenakan pajak BBM. Brasil berhasil menjadi salah satu Negara maju saat ini (sekitar 20 tahun setelah pernyataan Lula diatas).

Demikian pula Norwegia, walaupun Negara tersebut memproduksikan minyak sebesar 2,8 juta barel per hari pada tahun 2006 pemakaian domestiknya hanya 200 ribu barel per hari, yaitu hanya untuk transportasi.1 Untuk listrik, Negara ini menggunakan tenaga air. Harga BBM nya Rp 25.200,-.3 BUMN nya yaitu Statoil, saat ini dikenal sebagai perusahaan yang menguasai Teknologi laut dalam, EOR (Enhanced Oil Recovery) dan lain-lain.

Medco adalah perusahaan minyak swasta nasional yang mulai dari perusahaan pemboran sehingga jiwa dari perusahaan ini adalah wirausaha. Usaha pemboran maju karena mengutamakan pelayanan prima. Ketika mengelola perusahaan minyak dia memperkerjakan orang-orang yang kenyang makan asam garam perusahaan multinasional. Sehingga, karena prestasinya di nasional, kemudian dia menjadi perusahaan multinasional dan melakukan hal-hal yang dilakukan perusahaan multinasional

Syarat suatu perusahaan untuk menjadi perusahaan multinasional baik dia swasta maupun milik negara adalah mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku pada perusahaan multinasional seperti:

- Menggunakan corporate governance (tata kelola perusahaan) dan sistem manajemen dan sistem informasi yang berlaku di perusahaan-perusahaan multi nasional. Keberhasilannya dinilai dengan pencapaian visi, misi serta target-target yang direncanakan.

- Menggunakan SDM (Sumber Daya Manusia) dengan kualitas internasional, pemilihannya berdasarkan fit and proper test dengan standar internasional dan kinerjanya dinilai berdasarkan key performance index (KPI) yang berlaku di perusahaan multinasional.

- Memberikan remunerasi (gaji dan tunjangan) seperti yang berlaku di perusahaan multinasional.

Penulis pernah diminta memberi komentar atas presentasi Pertamina oleh Menteri Negara BUMN di kantornya. Penulis mengajukan agar Pertamina:

1. Mengevaluasi kembali sistem kontrak untuk lapangan-lapangannya yang ditawarkan untuk Kerja Sama Operasi (KSO) dengan pihak lain. Seyogyanya model kontraknya lebih bersifat partnership dan win-win, karena dengan demikian akan menyebabkan investor yang lebih bonafide tertarik.

2. Mengusahakan Enhanced Oil Recovery (EOR) untuk lapangan-lapangannya. Perlu dicatat, dengan tingginya harga minyak, maka biaya EOR yang bisa mencapai $20/barel masih memberikan keuntungan yang cukup besar bagi pengembangan lapangan.

3. Mengusahakan populasi yang cukup bagi SDM yang pernah bekerja di perusahaan multinasional atau pernah sekolah di luar negeri untuk membangun budaya perusahaan multinasional.

Pada 21 Juli 2008 penulis diminta untuk memberikan overview tentang kegiatan perminyakan dan diminta pendapat untuk memajukan Elnusa. Elnusa dimulai sebagai perusahaan yang menyediakan jasa, seperti Medco. Menurut penulis dengan kemampuan tersebut Elnusa dapat berperan sebagai:

1. Perusahaan pemberi jasa perminyakan dengan imbalan fee.
2. Perusahaan pemberi jasa perminyakan dengan imbalan bagi hasil di lapangan yang dikelelola oleh kontraktor tertentu.
3. Perusahaan kontraktor migas.

Ketiga hal tersebut dapat dilakukan Elnusa baik di dalam maupun di luar negeri.
Seyogyanya Pertamina segera mencari modal dengan menawarkan saham juga melakukan usaha di luar negeri, apabila prospek di luar negeri lebih baik dengan keberhasilan berusaha baik di dalam maupun di luar negeri maka akan makin banyak investor yang menanamkan modalnya di Pertamina. Apalagi kita mempunyai banyak teman baik di OPEC maupun di negara Selatan yang menjadi sangat kaya dengan kenaikan harga minyak.

Beberapa tawaran investasi migas di negara sahabat dimasa lalu tidak digunakan dengan baik oleh Pertamina maupun Elnusa. Penulis mendapat bocoran bahwa Pertamina pernah mendapat tawaran mengoperasikan prospek minyak di negara Amerika Latin, tetapi tidak ditindaklanjuti karena prospek tersebut terletak di hutan lebat. Kalau perusahaan minyak tidak mau beroperasi di hutan lebat lalu mau beroperasi dimana?. Saat ini banyak alumni perusahaan migas di Indonesia yang sekarang bekerja di luar negeri dan mereka mendapat penghargaan yang sama baiknya dengan bangsa lain. Mereka dapat membantu pengembangan Pertamina dan Elnusa di luar negeri.

Pada dan selesai acara dialog di Metro TV yang dipandu oleh Wianda Pusponegoro, dengan pembicara Ketua Komisi VII DPR, Dirut Pertamina dan Penulis, Dirut Pertamina menyatakan bahwa Pertamina saat ini sedang melakukan reformasi dimana Direkturnya sebagian besar adalah yang pernah bekerja di perusahaan multinasional atau mendapat pendidikan internasional. Sekarang paling tidak remunerasi Pertamina sama dengan Medco. Pegawainya yang berprestasi baik (berdasarkan KPI) mendapat honor yang jauh lebih besar dari yang kurang berprestasi. Pengangkatan Direktur Umum dan SDM (Sumber Daya Manusia) yang pernah menjadi VP Business Ethics and Assurance, BP Indonesia dan Deputi Bidang Pencegahan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah pilihan yang tepat karena masalah utama transformasi Pertamina adalah masalah budaya (mental) SDM nya.

Pertamina sekarang adalah produsen minyak nomor dua dengan produksi 128 ribu barel per hari dan produsen gas nomor dua dengan produksi 885 MMSCFD di Indonesia (WP&B 2008). Dari kerjasamanya dengan pihak lain Pertamina memperoleh tambahan minyak sebesar 36 ribu barel per hari dan gas sebesar 35 MMSCFD (WP&B 2008). Pertamina bekerja sama dengan Statoil untuk eksplorasi laut dalam serta sedang mencari mitra untuk mengerjakan blok Natuna. Seyogyanya, Pertamina segera mengerjakan Blok Natuna. Dengan dikerjakannya blok tersebut maka kesejahteraan penduduk disekitarnya lebih baik, sehingga meningkatkan kemampuan dan ketahanan Nasional.

Elnusa sekarang sudah menjadi perusahaan publik. Pada 2008 komposisi saham Elnusa terdiri dari 41,1% Pertamina, 37,5% PT TDE (Tri Daya Esta), 18% Masyarakat. Pada saat ini ada sekitar 12 perusahaan dan 19 anak perusahaan Pertamina yang sudah dianggap masuk bursa. Seyogyanya Pertamina tahun 2009 sudah masuk bursa. Hal tersebut dapat mengatasi permasalahan pengembangan dananya.

Apabila Pertamina dan Elnusa dapat mengatasi permasalahan dana serta SDM dan melakukan Good Corporate Governance maka tidak ada alasan untuk tidak menjadi ”World Class Company”. Memang jalan yang ditempuh adalah mendaki dan sulit, tetapi dengan ridho-Nya, tidak ada hal yang tidak mungkin. Semoga berhasil.

DAFTAR PUSTAKA

1. BP, BP Statistical Review of World Energy, London, 2007.
2. DKPP (Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina), Restrukturisasi Korporat Pertamina, Jakarta, Desember 2003.
3. German Technical Cooperation (GTZ), Average Gasoline Prices Around the World, 2008.
4. Gorringe, T., Fair Shares: Ethics and the Global Economy, Thames & Hudson, Slovenia, 1999.
5. Kripalani, K., All Men Are Brothers, Life and Thoughts of Mahatma Gandhi, Navajivan Publishing House, Ahmedabad - 14, 1660.
6. Minchin, J., No Man is An Island. Allen & Unwin, Sydney, 1990.
7. Partowidagdo, W., Manajemen dan Ekonomi Migas, Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB, Bandung, 2002.
8. Sutowo, I., Peranan Minyak Dalam Ketahanan Negara, Pertamina, Jakarta, 1970.
9. Warta Pertamina, Petronas Beroperasi di 24 Negara, Jakarta, Oktober, 2000.
10.Warta Pertamina, Maret 2008 Elnusa Melantai di Bursa, Jakarta, Maret, 2008.

Riwayat Hidup:

Widjajono Partowidagdo adalah Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Pengelolaan Lapangan Migas pada Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Sekretaris Komisi Permasalahan Bangsa Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) serta anggota Tim P3 (Pengawasan Peningkatan Produksi) Migas ESDM, Penasehat Asosiasi Perusahaan Migas (Aspermigas) dan Kaukus Migas Nasional. Pernah menjadi Ketua Kelompok Keahlian Teknik Pemboran, Produksi dan Manajemen Migas pada Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral ITB, 2005-2007, Ketua Program Pasca Sarjana Studi Pembangunan ITB, 1993-2004, Pembantu Dekan Urusan Akademis, Fakultas Teknologi Mineral serta Anggota Senat ITB, 1994-1997 dan Koordinator Penelitian Pembangunan Berkelanjutan pada Pusat Antar Universitas untuk Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, 1989-1992 serta Penasehat Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI) dan Asosiasi Panasbumi Indonesia (API).

Mendapat Sarjana Teknik Perminyakan ITB, MSc in Petroleum Engineering, MSc in Operations Research, MA in Economics dan PhD dengan disertasi An Oil and Gas Supply and Economics Model for Indonesia dari University of Southern California, Los Angeles, USA. Menulis dua buku yaitu “Manajemen dan Ekonomi Minyak dan Gas Bumi”, 2002 serta “Memahami Pembangunan dan Analisis Kebijakan”, 2004 serta koordinator penulisan buku Agenda 21 Sektor Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan, UNDP dan KLH, Jakarta, 2000
.
Read more (Baca selengkapnya)...