Thursday, December 31, 2009

New Year Again



The new day dawning,
and the night left behind
Is it just another day..?

Best wishes to all.....
Read more (Baca selengkapnya)...

Friday, December 25, 2009

Komitmen Indonesia Mengurangi 26% Emisi Gas Rumah Kaca di Tahun 2020 – Realistiskah?



Tanggal 7-18 Desember 2009 diadakan Konferensi Perubahan Iklim, disebut dengan COP-15, di Kopenhagen, Denmark. Permasalahan iklim adalah masalah global karena menyangkut kelangsungan hidup manusia dan semua spesies di biosfer bumi ini, dan karenanya layak diikuti beritanya, namun sayangnya ketika COP-15 berlangsung saya tidak berkesempatan mengikutinya secara runut. Hanya sepenggal-sepenggal saja. Itupun secara tidak sengaja, lewat radio misalnya.

Media massa mengutip bahwa Indonesia, melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berkomitmen untuk menurunkan kadar emisi gas rumah kaca sebesar 26% di tahun 2020. Artinya pada tahun 2020 nanti kadar emisi gas rumah kaca di Indonesia tinggal 74% dibandingkan saat ini. Apa konsekuensi dari komitmen tersebut?

Karena saya bukan ahli lingkungan maka saya tidak memiliki banyak referensi yang memadai tentang seluk-beluk Perubahan Iklim. Apa yang saya tulis disini hanya sebatas concern sebagai orang yang awam karena masalah perubahan iklim adalah masalah kita bersama – seluruh manusia dan spesies makhluk hidup – karena kita hidup di atas bumi yang sama, menghirup udara yang sama, dan – sesungguhnya – memiliki satu samudera yang sama.

Yang dimaksud gas rumah kaca adalah Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Dinitrogen oksida (N2O) dan F-gases (HFC, PFC dan SF6) dengan porsi masing-masing sekitar 81%, 13%, 5%, dan 1% (sumber: World Energy Outlook 2008, IEA/OECD). Menurut yang saya baca dari salah satu edisi khusus National Geographic tentang perubahan iklim, Metana dapat bertahan di atmosfer selama 12 tahun, N2O selama 114 tahun, sedangkan CO2 berabad-abad. 50% dari CO2 menghilang dari atmosfer dalam 30 tahun, 30% menghilang dalam beberapa ratus tahun, 20% bertahan selama seribu tahun. Tidak heran jika titik fokus perubahan iklim adalah emisi CO2.


76% dari total emisi gas CO2 merupakan hasil dari pembakaran energi (pembangkit tenaga listrik dan sektor transportasi yang menggunakan energi fosil sebagai bahan bakarnya), 19% dari deforestasi dan pembakaran hutan, sisanya dari industri lain dan peralatan rumah tangga.

Kalau dirinci berdasarkan sektor, pada tahun 2006 sektor pembangkit tenaga menyumbang 61% emisi CO2, sektor transportasi menyumbang 23%, sektor industri masif seperti industri baja, petrokimia, kertas, dan percetakan menyumbang 16%, sektor rumah tangga dan hunian (residential) 17%, pertanian 2%, serta jasa-jasa lainnya 1%.

Maka yang harus dilakukan Indonesia agar kadar emisi gas rumah kaca berkurang adalah:
  • Mengurangi konsumsi energi fosil dan beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.

  • Menyetop atau paling tidak mengendalikan deforestasi serta alih-fungsi lahan hutan.

  • Melakukan penghematan energi (terutama energi fosil), baik melalui konservasi sumber daya energi maupun efisiensi pemakaian energi.

  • Bersungguh-sungguh melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan.
Jika keempat hal di atas tidak mampu dilakukan oleh Indonesia, maka secara matematis sebagai trade-off dari tekad untuk mengurangi 26% emisi gas rumah kaca sampai 10 tahun mendatang adalah mengurangi laju pertumbuhan pemakaian energi, memperlambat laju pertumbuhan industri, dan mengerem laju pertumbuhan pemakaian kendaraan bermotor sehingga secara agregat mampu mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 26%. Hal yang tidak mungkin dilaksanakan Indonesia karena sebagai negara yang berkembang dan tengah giat membangun – meskipun banyak kebijakan yang disorientatif – memerlukan pertumbuhan berbagai sektor untuk memacu pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi sangat membutuhkan pertambahan permintaan energi.

Dari empat poin di atas mari kita tinjau secara singkat apa tantangan yang bakal dihadapi Indonesia dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca:

Pertama, mengurangi konsumsi energi fosil dan beralih ke energi terbarukan yang ramah lingkungan. Saat ini banyak pengamat mengatakan bahwa diversifikasi energi dengan memanfaatkan energi terbarukan masih jalan di tempat. Indonesia masih sangat tergantung pada tiga jenis energi fosil ini: minyak bumi, gas, dan batubara. Minyak dan batubara merupakan penyumbang terbesar emisi CO2 dari sektor energi.

Menurut data bauran energi Indonesia pada tahun 2008 minyak memakan porsi 48,4%, gas 28,6%, batubara 18,8%, sisanya yang 4,2% energi terbarukan. Berarti 95,8% kebutuhan energi Indonesia dipasok oleh energi fosil. Porsi energi fosil ini akan bertambah lagi karena proyek pembangkit listrik 10 ribu MW tahap I, yang sampai semester dua 2009 pembangunannya belum mencapai 10% yang selesai, semuanya menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya. Sementara penggunaan energi terbarukan baru akan dilaksanakan di proyek 10 ribu MW tahap II (70% bauran energi primernya akan menggunakan panas bumi dan hidro). Masih relatif mahalnya biaya investasi untuk pemanfaatan energi terbarukan merupakan salah satu kendala finansial utama saat ini.

Sekarang kita lihat sektor transportasi. Boleh dibilang nyaris 100% masih tergantung pada bahan bakar berbasis minyak bumi. Pemakaian BBG untuk sektor transportasi masih sangat terbatas. Bisa dihitung dengan jari stasiun bahan bakar yang menjual BBG. Biofuel yang dijual di stasiun pengisian bahan bakar hanya mengandung kadar etanol sekitar 1-2% saja – masih jauh dari memadai untuk menggantikan porsi BBM. Di Indonesia hmobil bermesin hibrida (kombinasi mesin listrik dan konvensional) yang lebih hemat BBM dan tingkat emisi yang jauh lebih rendah harganya rata-rata dua kali lebih mahal dari kendaraan bermesin konvensional.

Kedua, menahan laju deforestasi dan alih fungsi hutan. Ini juga untuk saat ini merupakan hal yang jalan di tempat. Dari sisi Pemerintah terkesan tidak bersungguh-sungguh untuk menghentikan pembalakan liar atau pembalakan yang melebihi HPH yang wajar. Satu per satu kasus kejahatan lingkungan menguap begitu saja. Dan saya juga tidak tahu persis seberapa besar porsi lahan hutan yang ditanami kembali (reforestasi).

Menurut data yang dikompilasi National Geographic, Indonesia menempati urutan kedua di antara lima negara di dunia dengan laju deforestasi terbesar. Dalam kurun 2000-2005 Brazil menempati urutan pertama dengan tingkat kehilangan hutan rata-rata sebesar 3,47 juta hektar per tahun, Indonesia 1,45 juta hektar per tahun, Rusia 0,53 juta, Meksiko 0,4 juta, dan Papua Nugini 0,25 juta. Brazil menempati urutan pertama karena sejak 1975 telah menggulirkan proyek bio-etanol untuk mengurangi ketergantungan dari BBM. Karena itu di Brazil banyak dilakukan alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan tebu. Dikhawatirkan nanti di Indonesia malah akan mengalami kenaikan tingkat deforestasi karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, perkebunan jarak pagar (jatropa), dan perkebunan tebu. Permasalahan hutan akan makin menghadapi situasi dilematis di masa yang akan datang tatkala biofuel akan diproduksi secara masif.

Ketiga, penghematan energi dengan cara konservasi sumber daya dan efisiensi pemakaian. Yang teramati sekarang bahwa eksploitasi sumber-sumber energi seakan-akan dikejar target APBN. Pemerintah sering mematok angka tertentu untuk tingkat produksi minyak, gas, dan tambang mineral lainnya. Terkesan mengenyampingkan kenyataan bahwa tingkat cadangan yang tersedia akan habis dan tidak bisa dinikmati lagi oleh dua sampai tiga generasi mendatang. Eksploitasi sumber energi “asal kuras habis” – sangat tidak sejalan dengan prinsip sustainable development.

Efisiensi pemakaian energi untuk saat ini juga baru sebatas jargon. Pola hidup tidak efisien yang telah menjadi budaya selama ini ikut memicu terjadinya pemborosan energi. Para pejabat tinggi pemerintahan – pusat maupun daerah – malah tidak memberi contoh pola hidup hemat energi. Mereka banyak yang menggunakan kendaraan dinas ber-cc besar yang boros BBM – belum lagi ditambah dengan voorijder dan pengawalan oleh kendaraan lain.

Keempat, pembangunan berwawasan lingkungan. Kita lihat sehari-hari, terutama di pinggiran kota-kota besar, terjadi alih fungsi lahan hutan atau lahan hijau untuk pembangunan pemukiman. Ini juga berakibat berkurangnya daya serap CO2 karena berkurangnya pepohonan. Sepanjang jalan dari Cibubur ke Bogor tumbuh pemukiman, tempat rekreasi, lapangan olah raga, dan pusat-pusat perbelanjaan. Saya tidak anti dengan pembangunan pemukiman, namun pertanyaannya adalah, apakah alih fungsi lahan yang dilakukan sudah betul-betul melalui proses studi AMDAL yang handal dan “jujur”.

Nah, dari keempat daftar “harus dilakukan” di atas, jika tidak sungguh-sungguh dilakukan, maka emisi CO2 dari bumi Indonesia – alih-alih berkurang – malah akan bertambah kadarnya dari waktu ke waktu. Perlu kesadaran, ketulusan, dan “kejujuran” semua pihak agar target penurunan emisi tercapai. Bila melihat kondisi “business as usual” yang ada saat ini, banyak pihak yang pesimis. Perlu dilakukan langkah-langkah revolusioner, baik teknis maupun budaya, agar komitmen tersebut tercapai. Dulu banyak nilai-nilai kearifan budaya lokal – walau bercampur mitos – turut berperan serta dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Jangan sampai komitmen Indonesia di dunia internasional tersebut ibarat “jauh panggang dari api”. Seperti kalau memanggang sate, dagingnya tidak pernah matang karena panggangannya jauh dari bara api. Begitu kira-kira jika kenyataannya nanti tidak sesuai dengan harapan. Salah satu contoh adalah ketika Indonesia begitu semangat meratifikasi berbagai perjanjian perdagangan bebas. Ternyata industri nasional kita sendiri hingga saat ini belum memiliki ketahanan untuk bersaing di kancah perdagangan global. Satu per satu pasca krisis 1998 industri di Indonesia dicaplok oleh prinsipalnya dari luar negeri. Akhirnya jadilah Indonesia sebagai lahan kapitalis asing untuk sekedar membuat produk “made in Indonesia” – bukan produk “made by Indonesians”.

Saya sendiri bukan berarti pesimis dalam menyikapi komitmen Indonesia untuk mereduksi emisi gas rumah kaca hingga 26% di tahun 2020. Tetapi, sekali lagi, tanpa langkah revolusioner mustahil target tersebut akan tercapai. Apalagi jika sektor kehutanan (yang selama ini tidak mampu dijaga) yang akan dijadikan sebagai objek andalan dalam skenario pengurangan emisi gas rumah kaca itu.

Anyway, tentunya Presiden SBY melontarkan komitmen tersebut tidak sembarangan karena telah melalui kajian departemen-departemen teknis terkait serta berbagai lembaga dan para ahli lingkungan. Pastilah sudah ada blue print dan road map-nya. Semoga saja apa yang tertera dalam blue print dan road map tersebut dapat terwujud. Kita sering sangat bagus dalam tataran rencana, tetapi sangat lemah dalam implementasi. Apakah akan jauh panggang dari api? Perjalanan waktu akan membuktikan! 2020 itu tinggal 10 tahun lagi dari sekarang.
Read more (Baca selengkapnya)...

Saturday, December 12, 2009

“Survival Among The Richest” - Teori Darwin Berlaku di Indonesia



Pada tahun 1859 untuk yang pertama kalinya terbit buku karangan Charles Robert Darwin (1809-1882) yang berjudul “On The Origin of Species by Means of Natural Selection”. Kalau saya terjemahkan dengan bahasa saya sendiri kira-kira artinya “asal-muasal spesies makhluk hidup sebagai hasil dari seleksi alam”. Buku ini mendokumentasikan hasil-hasil petualangan, pemikiran, sekaligus menjelaskan Teori Evolusi Darwin. Sebagaimana diketahui sampai sekarang teori ini tetap kontroversial dan banyak menimbulkan pro-kontra. Para ilmuwan yang pro dikenal dengan sebutan kelompok evolutionist, sedangkan yang kontra – karena meyakini teori penciptaan (creation) – disebut kelompok creationist. Kelompok yang kontra ini berpendapat bahwa spesies makhluk hidup tercipta melalui proses yang mereka namakan intelligent design.

Saya sendiri hingga saat ini belum pernah membaca langsung buku Darwin tersebut meskipun sering terbit ulang. Pokok-pokok Teori Evolusi ini menurut yang saya baca dari beberapa referensi antara lain:
  • Beberapa spesies makhluk hidup berbagi nenek moyang yang sama. Kalau manusia dan kera nenek moyangnya dari ordo primata.

  • Darwin mempostulatkan apa yang dia sebut dengan “survival among the fittest”; artinya hanya yang terkuat yang bisa bertahan hidup, atau hanya yang terkuat yang bisa menang menghadapi seleksi alam.
Apakah saya – walau bukan ilmuwan – ikut-ikutan menjadi kelompok yang pro dengan Teori Darwin ini? Saya sendiri tidak meyakini kebenaran teori evolusi tersebut. Pemikiran saya memilih untuk lebih mempercayai teori penciptaan. Atau lebih tepatnya seperti ini: saya meyakini bahwa alam semesta ini terus berevolusi, tetapi jutaan spesies makhluk hidup yang melata di lapisan biosfer bumi merupakan ciptaan sesuai dengan rencana kosmos (cosmic plan), yaitu rencana tata ruang dan waktu alam semesta, dari Tuhan Sang Maha Pencipta. Jika ada spesies yang punah atau jika timbul spesies baru (yang diciptakan) maka hal itu merupakan sesuatu yang wajar-wajar saja karena sudah direncanakan oleh Sang Intelligent Designer.

Lalu, kenapa saya berpendapat Teori Darwin berlaku di Indonesia? Yang saya anggap berlaku adalah ekivalensi filosofis dari teori evolusi itu. Kalau Darwin mengatakan “survival among the fittest”, maka situasi di Indonesia adalah “survival among the richest” – yang kaya atau yang banyak uangnya yang bisa menang dan berjaya. Ya, saya sekedar mencoba mengaitkan ekivalensi Teori Darwin dengan tatanan hukum kita.

Paling tidak menjelang akhir tahun ini ada tiga kasus hukum yang menurut pandangan masyarakat bagaikan peristiwa David (Daud a.s.) melawan Goliath (Jalut). Kasus Prita Mulyasari yang begitu mendapat simpati dari segenap lapisan masyarakat dengan gerakan “koin peduli Prita”, kasus Ibu Minah (55 tahun) yang dipidana hukuman penjara 45 hari hanya gara-gara mengambil beberapa biji buah kakao, dan kasus yang menimpa Kholil (51) dan Basar (40) warga Lingkungan Bujel, Kelurahan Sukorame, Kecamatan Mojoroto. Mereka terancam dihukum selama 5 tahun karena mencuri buah semangka.

Keadilan memang multirasa, seperti permen nano-nano. Kadang terasa pahit, manis, atau justru masam. Semua tergantung pada subjek yang menilai dan mengalaminya. Bagi yang diuntungkan tentu akan mengecap manisnya hukum, begitu pula sebaliknya. Rasa masam keadilan di negeri ini setidaknya telah dirasakan Ibu Minah, Basar dan Kholil, serta Prita Mulyasari. Bagi rakyat jelata seperti mereka dan banyak lagi yang lainnya, wajah hukum begitu beringas, menghunjam tanpa memedulikan rasa keadilan.

Pada waktu hampir bersamaan, Anggodo Widjojo justru terkesan mendapatkan perlakukan istimewa dari aparat penegak hukum. Dia tetap bebas berkeliaran meski terindikasi kuat merekayasa kriminalisasi dua pimpinan KPK. Indikasi itu didukung adanya transkrip rekaman yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Tak satupun pasal “berhasil” menjerat si Anggodo. Enam tuduhan pelanggaran hukum, termasuk salah satunya tuduhan pencemaran nama baik Presiden, pun tak mampu menyeret adik koruptor Anggoro Widjojo itu ke balik jeruji besi. Besarnya tekanan dari publik seolah tak didengar aparat penegak hukum. Justru dengan alasan keamanan, polisi malah mengawal Anggodo selama 24 jam nonstop.

Manisnya wajah hukum juga dinikmati oleh banyak koruptor dan orang-orang yang terlibat pembalakan liar. Kalau tidak divonis bebas, paling-paling dapat hukuman percobaan dua tahun penjara. Atau jika hukuman penjara lebih lama akhirnya akan dapat remisi yang bisa mempersingkat masa hukuman.

Mungkin atas pertimbangan seperti kasus-kasus di atas, ribuan tahun yang lalu warga Romawi merumuskan bentuk Justitia – sang Dewi Keadilan. Justitia digambarkan sebagai matron yang membawa pedang dan timbangan di tangannya, dan terkadang memakai penutup mata.

Betapa tidak berdayanya rakyat atau orang-orang yang tuna kuasa melawan orang yang banyak uang atau melawan penguasa. Seorang teman saya berkelakar, kalau mencuri atau korupsi itu jangan tanggung-tanggung, langsung saja puluhan miliar atau bahkan triliunan. Supaya jika berurusan dengan hukum atau penjara bisa membayar pengacara, ‘membeli’ sistem hukum, dan bisa sekaligus membiayai hidup sampai generasi anak-cucu meskipun badan di penjara. Memang itulah beda antara keserakahan manusia dan kerbau. Kalau kerbau akan berhenti keserakahannya bila perutnya sudah kenyang. Kalau manusia tidak akan berhenti sampai bisa menghidupi generasi anak-cucu bahkan bila perlu sampai tujuh turunan.
Read more (Baca selengkapnya)...

Saturday, December 5, 2009

Miskin dan Tertimpa Bencana Karena Pilihan Sendiri



Kedengarannya memang aneh. Hidup kok malah memilih miskin dan tertimpa bencana. Bukannya memilih kaya, makmur, senang, dan terhindarkan dari bencana.

Begini ceritanya. Sekitar dua minggu lalu seusai jam kantor dan saat menunggu jemputan pulang, saya dan seorang kolega senior berbincang-bincang di lantai lobi. Setelah sedikit obrolan ngalor-ngidul tentang beberapa situasi terkini di Indonesia dia berucap, “Bangsa Indonesia menjadi miskin karena pilihan sendiri”. Sebetulnya kata-kata ini, walau tidak terlalu sering, sudah beberapa kali saya dengar dari orang lain. Tetapi mungkin karena ucapan teman di lobi sore hari itu sangat intonatif, kata-kata tersebut terngiang selama dalam perjalanan pulang ke rumah.

Apakah Bangsa Indonesia itu miskin? Kalau menurut berbagai lembaga kajian, seperti IMF dan Bank Dunia misalnya, sebetulnya Indonesia bukanlah negara termiskin. Maksud saya masih ada negara-negara lain di Asia dan – apalagi – Afrika yang lebih miskin dan tertinggal dibandingkan Indonesia; baik dari sisi pendapatan per kapita maupun indeks pembangunan manusia. Tetapi banyak orang sependapat bahwa pencapaian hasil-hasil pembangunan yang diperoleh Bangsa Indonesia setelah 64 tahun merdeka tidak sepadan dengan segenap potensi yang dimiliki Indonesia: potensi sumber daya alam yang dikandung tanah air Indonesia, letak geografisnya yang strategis, potensi flora dan fauna di lapisan biosfernya, keindahan topografi, dan jumlah tenaga kerja yang berlimpah. Dengan kata lain, semestinya Bangsa Indonesia jauh lebih maju dari sekarang ini.

Mei 2008, ketika heboh harga minyak mentah yang merangkak naik hingga sempat bertengger di level US$ 147 per barel dan Pemerintah Indonesia mengambil keputusan tidak populis dengan menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar rata-rata 30%, Pemerintah menggelontorkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada 19-an juta kepala keluarga. Jika rata-rata satu keluarga memiliki anggota sebanyak empat orang (ayah, ibu, dan dua orang anak), maka jumlah penduduk Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan sebanyak 76 juta orang – sekitar sepertiga dari jumlah total penduduk Indonesia. Kalau satu keluarga miskin rata-rata memiliki lebih dari dua orang anak, maka rasio penduduk miskin di Indonesia akan lebih besar lagi – bisa-bisa mendekati separuh dari total penduduk.

Bagi yang terbiasa hidup di tengah gemerlapnya kota-kota besar dan lingkungan pergaulan ala jet set dimana kehidupan sehari-harinya hanya seputar kantor, mal, café, dan tempat-tempat rekreasi, mungkin yang namanya kemiskinan itu tidak begitu terhendus. Paling-paling hanya sebatas melihat beberapa orang peminta-minta yang berkeliaran di lampu pengatur lalu lintas. Tapi coba kalau kita masuk ke pedesaan atau ke tempat-tempat yang terletak jauh terpencil di pedalaman, barangkali banyak orang yang dalam satu bulan belum tentu pernah memegang uang pecahan sepuluhan ribu rupiah.

Pertanyaannya, kenapa sih kok Indonesia miskin, atau lebih tepatnya kenapa porsi jumlah penduduk miskin di Indonesia masih banyak. Jawabannya: karena pilihan sendiri. Lho apa iya masyarakat Indonesia memilih hidup miskin? Nanti dulu, yang saya maksudkan “memilih” untuk miskin itu adalah para elit. Mereka – para elit – lah yang memilih untuk memiskinkan bangsanya. “Kelompok elit” disini saya definisikan sebagai orang-orang yang sangat berpengaruh dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan strategis yang ber-impact pada kehidupan orang banyak. Para kroni yang memiliki kekuatan politik-ekonomi dan bisa mempengaruhi para pengambil keputusan juga bisa dikategorikan sebagai kelompok elit. Keputusan strategis tersebut tidak semata-mata menyangkut politik-ekonomi tetapi juga bisa menyangkut segenap aspek “ipoleksosbudhankam” – ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.

Kelompok elit yang jumlahnya hanya segelintir – jika dibandingkan dengan 225 juta jiwa penduduk Indonesia – itulah yang “mengatur” negara ini. Sayangnya tidak semua dari mereka berperilaku “lurus”, bukan? Kalau semua elit kita berperilaku lurus maka tentulah peringkat indeks persepsi korupsi di Indonesia tidak berada di kwartil pertama.

Ya, biang keladi kemiskinan yang mendera bangsa Indonesia adalah akibat ulah para elitnya sendiri. Misalnya saja begini: andaikan ada seorang elit yang diberi amanah untuk mengelola sumber daya alam dihadapkan pada dua pilihan, antara memilih keputusan yang lebih berpihak pada kemaslahatan bangsa atau berpihak pada kepentingan investor (pemilik modal). Jika sesuai dengan sumpah jabatannya atau sesuai dengan amanat konstitusi, tentu dia akan mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan bangsanya. Namun, karena elit tersebut bisa disuap akhirnya dia malah mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan si pemilik modal. Akibatnya sumberdaya alam yang semestinya bisa lebih memakmurkan masyarakat setempat dikeruk habis oleh si pemilik modal, masyarakat hanya mendapatkan tetesannya saja. Menjadi miskinlah masyarakat itu.

Katakanlah seorang elit menerima suap “hanya” sebesar Rp 1 miliar, lalu dia menimbulkan kerugian publik secara akumulatif yang jika divaluasi nilainya Rp 1 triliun. Keuntungan pribadi si elit berbanding public opportunity cost adalah 1 berbanding 1000. Berarti dia menghilangkan kesempatan makmur bagi rakyat yang kadarnya 1000 kali lipat dibandingkan uang yang dia peroleh. Ini sekedar ilustrasi bagaimana ulah elit yang secara sistemik memiskinkan bangsanya sendiri.

Pembangunan pemukiman mewah yang sebetulnya tidak sesuai dengan tata ruang secara makro juga termasuk ulah para elit yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal. Studi AMDAL dibuat untuk menjustifikasi kemauan para pemilik modal. Persetujuan dan perijinan begitu gampang diperoleh disebabkan para elit mendapatkan “entertainment”. Begitu pemukiman mulai dibangun maka terjadilah gusur-menggusur. Banyak orang kehilangan tempat tinggal dan kehilangan kesempatan mata pencaharian. Setelah pemukiman dibangun, masyarakat sekitar yang berada di luar dan di hilir pemukiman tertimpa bencana banjir karena lahan pemukiman tersebut pada mulanya adalah lembah tempat penampungan air (situ). Keputusan si elit menimbulkan kemiskinan, frustrasi, duka, dan sengsara bagi rakyatnya.

Adanya “markus” (makelar kasus) adalah contoh dari ulah elit penegak hukum yang berkhianat pada sumpahnya sendiri. Adanya “makpro” (makelar proyek) dalam proyek-proyek infrastruktur juga merupakan contoh ulah para elit yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal dan – tentunya – kepentingan dirinya sendiri karena mendapatkan “uang saku”.

Di sektor energi kita masih terus-menerus dilanda krisis listrik. Anehnya di kota-kota besar dimana banyak mal dan apartemen mewah dibangun pasokan listrik selalu tersedia. Coba kita jalan-jalan ke pinggiran kota, tidak perlu ke pedalaman pulau-pulau di luar Jawa, kita ke tempat-tempat pemukiman masyarakat jelata yang radiusnya hanya beberapa puluh kilometer dari kota Jakarta saja sudah terbiasa dengan hidup tanpa penerangan listrik. Betapa para pengambil kebijakan pembangunan terkesan tidak berpihak pada kepentingan bangsanya sendiri yang dalam banyak hal perlu pengentasan. Para elit banyak yang benci dengan kemiskinan, tetapi mereka sendiri terkesan tidak betul-betul bersungguh-sungguh untuk memberantas kemisikinan itu.

Tidak adanya integritas dan komitmen moral dari para elit inilah yang menyebabkan terhambatnya laju proses pembangunan di Indonesia. Tahu-tahu kita sudah tertinggal oleh negara-negara tetangga yang dulu belajar dari kita atau negara-negara yang dulu tingkat kemajuannya lebih rendah dari kita.

Tawar-menawar politik yang dilanjutkan dengan tawar-menawar posisi lalu dilanjutkan lagi dengan tawar-menawar give and take juga berpotensi akan men-drive sebuah keputusan di kelak kemudian hari yang sangat berpihak pada kepentinan pribadi atau kelompok tertentu, dan mengorbankan kepentingan masyarakat banyak yang lebih luas - bahkan bisa mengenyampingkan kepentingan luhur bangsa.

Bangsa Indonesia masih banyak yang miskin, sengsara, dan sering tertimpa bencana (yang bukan murni “The Act of God”) adalah karena pilihan para elitnya sendiri. Kalau di tahun 2008 Pak Sutrisno Bachir sering tampil di berbagai media massa dengan jargon “hidup adalah perbuatan”, maka menurut saya “hidup adalah pilihan”. Sebab kita mesti membuat pilihan dulu baru bisa melakukan perbuatan. Kalau memilih miskin, ya jadi miskin. Memilih sengsara, ya jadi sengsara. Memilih bencana, ya sering tertimpa bencana.

Sebagai penutup, benarlah apa yang dikatakan oleh Mbah Peter Drucker (Empu Manajemen Modern yang sangat kondang), “There are no under-developed countries, but mismanaged countries”. Pada hakikatnya tidak ada negara terkebelakang, yang ada hanyalah negara yang salah kelola.
Read more (Baca selengkapnya)...

Wednesday, November 25, 2009

Klasifikasi Sumber Energi



Ketika mendengar kata “energi”, apa yang terpikir oleh kita? Barangkali yang terbayangkan adalah sesuatu yang bergerak, sesuatu yang menggerakkan, atau sesuatu yang memiliki kemampuan untuk melakukan usaha. Secara harfiah “energi” artinya adalah “tenaga”. Kalau menurut definisi dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2007, energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika.

Energi panas (kalori) hasil pembakaran bahan bakar minyak (BBM) mampu menggerakkan poros mesin kendaraan. Selanjutnya lewat mekanisme tertentu energi putaran mesin ditransfer ke roda-roda kendaraan. Akhirnya kendaraan tersebut melaju di jalan-jalan. Contoh lain adalah energi yang terkandung pada air terjun. Karena menyimpan energi mekanik (potensial dan kinetik), air terjun mampu menggerakkan turbin. Selanjutnya energi mekanik hasil putaran pada turbin dikonversikan menjadi energi listrik. Tiba di rumah-rumah pemukiman atau perkantoran listrik tersebut bisa menyalakan lampu, menyalakan pendingin ruangan, memanaskan alat-alat listrik, dan mendinginkan lemari es.

Bicara tentang energi, mungkin di antara kita ada yang pernah mendengar istilah energi primer, energi sekunder, sumber daya energi, dan sumber energi. Lalu ada lagi istilah energi fosil, energi non fosil, energi terbarukan, dan energi tak terbarukan. Kita coba bahas secara singkat pengertian istilah-istilah tersebut.

Klasifikasi Sumber Energi

Di dunia ini tersedia berbagai sumber daya alam; antara lain angin, air, batu bara, minyak bumi, hutan, panas matahari, dan lain-lain. Di antara sumber daya alam tersebut ada yang bisa menjadi sumber energi, sehingga disebut sumber daya energi. Berdasarkan definisi dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2007 Bab I Pasal 1, sumber energi adalah sesuatu yang dapat menghasilkan energi – baik secara langsung maupun melalui proses konversi. Sedangkan sumber daya energi adalah sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan baik sebagai sumber energi maupun sebagai energi.

Berdasarkan ketersediaannya sumber daya alam ada yang sifatnya terbarukan (renewable resource) dan ada yang tidak terbarukan (non renewable resource). Demikian pula hanya dengan sumber energi, ada energi terbarukan (renewable energy) dan energi tak terbarukan (non renewable energy). Pengklasifikasian seperti ini sangat dipengaruhi oleh peran variabel waktu. Sumber daya alam yang dapat diperbarui merupakan sumber daya yang terus-menerus tersedia sebagai input produksi dengan batas waktu tak terhingga. Termasuk sumber daya alam yang dapat diperbarui adalah panas matahari, angin, panas bumi, dan air laut (ombak). Sedangkan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui adalah sumber daya yang yang persediannya sebagai input produksi terbatas dalam jangka waktu tertentu. Termasuk disini adalah minyak bumi, gas bumi, dan batubara.

Bicara mengenai rentang waktu, laju pemakaian (produksi), serta pembentukan kembali (generation), pada akhirnya sumber daya yang terbarukan bisa berubah menjadi sumber daya tak terbarukan. Air sungai, misalnya, jika laju pemakaiannya jauh lebih besar dari debit dan kualitas air dari arah hulu atau dari sumber mata airnya, maka lama-kelamaan sungai tersebut akan mengalami kekeringan sampai airnya habis. Begitu juga dengan hutan. Dibutuhkan waktu paling tidak 10-20 tahun untuk membesarkan pepohonan yang memiliki nilai ekonomi. Jika laju produksi hutan (penebangan kayu) lebih besar dari laju pertumbuhan kembali pepohonan, maka sumber daya hutan tersebut akan habis.

Sumber daya alam seperti minyak bumi, gas bumi, dan batubara membtuhkan waktu jutaan tahun untuk proses pembentukannya. Dengan jumlah ketersediaan yang terbatas di alam – artinya bisa dikuantifisir – dan dengan laju produksi yang besar serta skala waktu produksinya harian (jauh lebih kecil dari skala waktu jutaan tahun), maka tentu saja sumber daya alam ini makin lama makin tipis persediaannya hingga akhirnya habis.

Pada akhirnya klasifikasi sumber daya alam terbarukan dan tak terbarukan akan sangat tergantung juga pada manajemen pemanfaatannya, yaitu sejauh mana besarnya laju produksi dibandingkan dengan laju pembentukan kembali. Sumber daya akan menjadi tak bebarukan apabila laju produksi (production rate) lebih besar dari laju pembentukan kembali (generation rate) di alam.

Berdasarkan asal-muasalnya sumber daya energi bisa diklasifikasikan sebagai fosil dan non fosil. Minyak bumi, gas bumi, dan batubara disebut sebagai sumber energi fosil karena, menurut teori yang berlaku hingga saat ini, berasal dari jasad-jasad organik (makhluk hidup) yang mengalami proses sedimentasi selama jutaan tahun. Sedangkan energi non fosil adalah sumber energi yang pembentukannya bukan berasal dari jasad organik. Termasuk sumber energi non fosil adalah sinar matahari, air, angin, dan panas bumi.

Dari segi pemakaian sumber energi terdiri atas energi primer dan energi sekunder. Energi yang langsung diberikan oleh alam dalam wujud aslinya dan belum mengalami perubahan (konversi) disebut sebagai energi primer. Sementara energi sekunder adalah energi primer yang telah mengalami proses lebih lanjut.

Minyak bumi jika baru digali (baru diproduksikan ke permukaan), gas bumi, batu bara, uranium (nuklir), tenaga air, biomassa, panas bumi, radiasi panas matahari (solar), tenaga angin, dan tenaga air laut dalam wujud aslinya disebut sebagai energi primer. Hasil olahan minyak bumi seperti bahan bakar minyak dan LPG disebut sebagai energi sekunder. Air terjun apabila belum diolah masuk klasifikasi energi primer. Apabila sudah dipasang pembangkit tenaga listrik maka hasil olahannya, yaitu energi listrik, disebut sebagai energi sekunder. Pada dasarnya energi sekunder berasal dari olahan energi primer.

Bila dilihat dari nilai komersial, sumber energi bisa diklasifikasikan sebagai komersial, non komersial, dan energi baru. Energi komersial adalah energi yang sudah dapat dipakai dan diperdagangkan dalam skala ekonomis. Energi non komersial adalah energi yang sudah dapat dipakai dan dapat diperdagangkan tetapi belum mencapai skala eknomis. Sedangkan energi baru adalah energi yang pemanfaatannya masih sangat terbatas dan sedang dalam tahap pengembangan (pilot project). Energi ini belum dapat diperdagangkan karena belum mencapai skala ekonomis. Klasifikasi berdasarkan nilai ekonomi ini bisa berbeda-beda berdasarkan waktu dan tempat. Energi non komersial atau energi baru bisa saja suatu saat menjadi energi komersial. Atau energi non komersial di suatu tempat bisa saja menjadi energi komersial di tempat lain. Secara ringkas klasifikasi sumber energi ditunjukkan pada Tabel di atas.
Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, November 19, 2009

Perilaku Para Pelaku Industri Terhadap Naik-Turunnya Nilai Mata Uang


Sejenak melarikan diri dari berita carut-marutnya tatanan hukum di Indonesia yang diekspos secara ekstensif di berbagai media massa; dan juga sejenak melarikan diri dari berita krisis listrik yang kini tengah melanda wilayah Jakarta akibat mismanagement yang akut di sektor energi. Lalu saya juga ikut bersimpati dengan Prita Mulyasari yang dikenakan dakwaan pasal “pencemaran nama baik” kasusnya masih terus berlanjut dan bahkan sekarang terancam hukuman penjara. Life is not fair. Untungnya kita masih punya Jakarta Fair.

Kita ingat ketika dunia mulai dilanda krisis finansial global di paruh kedua tahun lalu, nilai IHSG di Bursa Efek Indonesia terjun bebas bertengger sedikit di atas 1000 (saya tidak ingat persis angkanya). Sementara nilai mata uang dollar AS nyaris menyentuh level Rp 13.000, walau hanya beberapa hari, kemudian cukup lama berada di kisaran Rp 11.000-12.000. Sebelum mengalami kenaikan, nilai mata uang dollar AS stabil di kisaran Rp 9.000. Apa konsekuensi pelemahan nilai Rupiah tersebut terhadap industri manufaktur?

Industri manufaktur di Indonesia pada umumnya masih sangat tergantung pada sumber daya impor; baik teknologi, finansial, maupun SDM-nya. Sebagian besar industri manufaktur kita hanya bergerak atau memiliki fasilitas proses produksi hilir. Hanya dengan fasilitas proses produksi hilir ini saja produknya sudah layak disebut sebagai produk “made in Indonesia” dengan perolehan local content (tingkat komponen dalam negeri) tertentu. Contoh yang gamblang adalah industri otomotif yang sudah berusia 40 tahun sampai sekarang hanya berpuas diri dengan kemampuan merakit (assembly).

Dengan adanya komponen-komponen impor yang dibayar dengan valuta asing, otomatis biaya produksinya dalam nilai mata uang Rupiah akan meningkat. Peningkatan biaya produksi secara otomatis pula akan mengakibatkan naiknya harga jual per unit produk.

Saya ambil contoh salah satu produk mobil tipe tertentu. Mobil tersebut diklaim memiliki local content sebesar 74%. Artinya 74% dari biaya produksi merupakan komponen-komponen buatan dalam negeri. Di tahun 2008 harganya Rp 220 juta per unit. Setelah kurs mata uang dollar AS mengalamai kenaikan ke level Rp 11.000-12.000, harga mobil tersebut melambung menjadi Rp 270 juta per unit.

Katakanlah nilai dollar AS, walau berfluktuasi, mengalami kenaikan rata-rata 25% dari nilai semula. Nilai komponen impor dari mobil tersebut adalah 26%, yaitu 100%-74%. Semestinya yang terpengaruh dengan kenaikan nilai mata uang dollar AS hanya 26% saja. Jadi tambahan kenaikan harga yang wajar sebesar 26% X 220 juta X 125% = Rp 71.500.000. Harusnya harganya – dengan adanya kenaikan rata-rata kurs dollas AS sebesar 25% – adalah Rp 234.300.000, bukan menjadi Rp 270 juta.

Sekarang kurs mata uang dollar AS berada di kisaran Rp 9.200 – 9.500. Artinya sudah kembali berada di level awal sebelum nilai dollar AS naik tajam. Tapi apa kenyataannya? Harga mobil tersebut tidak turun. Tetap bertengger di level Rp 270 juta per unit.

Ada dua hal yang menarik perhatian saya disini. Pertama, menyangkut local content (tingkat komponen dalam negeri). Saya meragukan apakah angka local content yang diklaim pihak pabrikan selama ini valid. Atau, katakanlah jika memang benar komponen-komponen tersebut buatan dalam negeri, berarti kita bisa berhipotesis bahwa yang diklaim komponen dalam negeri tersebut hanya berdasarkan pasokan lapis pertama saja (first tier supplier). Sementara kalau dilacak ke second tier supplier-nya komponen tersebut mungkin saja asli impor.

Kedua, jangan-jangan para pelaku industri manufaktur yang berkolaborasi dengan prinsipalnya di luar negeri memanfaatkan keuntungan berlipat dari adanya kenaikan kurs tersebut. Sebab, logikanya, kalau kurs mata uang asing nilainya sudah turun, semestinya harga produknya juga ikut turun. Kalu tidak turun berarti pelaku industrinya mengeruk keuntungan lebih.

Mobil dalam ilustrasi di atas hanya merupakan salah satu contoh kasus saja. Masih banyak jenis-jenis produk industri lain berbasis impor menerapkan hal serupa. Ambil contoh lain adalah produk ban kendaraan. Tahun lalu harganya naik bukan alang-kepalang dengan alasan harga minyak naik, karena ada komponen pembuatan ban yang menggunakan minyak bumi. Sekarang harga minyak di kisaran 70-80 dollar AS per barel dan nilai mata uang dollar AS sudah turun tetapi harga ban tetap saja segitu-segitunya.

Siapa yang mesti menanggung beban? Konsumen. Apa untungnya bagi bangsa Indonesia? Tidak ada nilai tambah. Fenomena ini menunjukkan ketidakberdaulatan kita dalam berindustri dan betapa Indonesia hanya dijadikan basis bagi para kapitalis global untuk mengeruk keuntungan semaksimum mungkin. Ya begitulah nasib sebuah bangsa yang basis iptek-nya lemah dan industrinya masih sangat bergantung pada sumber daya impor.
Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, November 9, 2009

Pengaruh Uang dalam Penegakan Hukum


{Menyikapi kasus “cicak-buaya” yang akhirnya melibatkan “pertarungan segi empat” antara KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan publik, maka di bawah ini saya sarikan bahan kuliah dari Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar UI yang juga salah seorang anggota Tim 8 kasus Bibit-Chandra. Bahan kuliah saya peroleh ketika berkesempatan mengikuti mata kuliah “Hukum dan Pembangunan” di Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB pada tahun 2003. Saya pikir topiknya masih sangat relevan dengan kondisi hukum di Indonesia sekarang ini}.

Salah satu faktor tidak berjalannya penegakan hukum di Indonesia adalah karena penegakan hukum terlalu didominasi oleh uang. Penegakan hukum sangat diwarnai dengan pejabat yang rentan untuk disuap. Di setiap lini aparat penegak hukum, termasuk para pendukung penegak hukum, sangat rentan terhadap praktrek korupsi dan suap.

Mereka yang tidak mempunyai uang bisa-bisa tidak mendapat keadilan. “Adil” dalam perspektif hukum bisa tidak berarti apa-apa apabila tidak didukung dengan uang. Dalam konteks demikian keberadaan keadilan secara hakiki tidak pernah ditentukan oleh hukum itu sendiri.

Di dalam masyarakat dan negara manapun fenomena yang menunjukkan uang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan proses hukum bukanlah hal yang baru. Perbedaannya terletak pada gradasi dari penyelewengan jabatan penegakan hukumnya. Di negara berkembang umumnya gradasi penyelewengan di masyarakat sangat meluas dan melebar. Hampir setiap sendi kehidupan uang berpengaruh terhadap wewenang yang dipegang oleh pejabat publik. Sementara di negara maju gradasinya tidak terlalu meluas.

Di bidang penegakan hukum, uang sangat berpengaruh terhadap wewenang yang dimiliki oleh aparat hukum. Di Indonesia kita bisa melihat betapa uang mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap penegakan hukum. Penegakan hukum akan berpihak pada mereka yang mempunyai uang, seolah sang “Dewi Keadilan” bisa mengintip dari penutup matanya terhadap siapa yang memiliki uang.

Uang dapat berpengaruh pada saat polisi melakukan pemberkasan perkara. Dengan uang pasal yang digunakan oleh polisi dapat diubah-ubah sesuai jumlah uang yang ditawarkan. Seorang yang melakukan pembunuhan, dengan catatan ada bukti-bukti, dapat dikenakan pasal yang sangat berat hingga yang paling ringan. Bisa saja pelaku pembunuhan disangka dengan pasal pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP), pembunuhan yang disengaja tetapi tidak direncanakan (pasal 338 KUHP), pembunuhan yang tidak dilakukan dengan sengaja (pasal 351 KUHP), bahkan matinya orang yang disebabkan karena penganiayaan (pasal 359 KUHP). Di tingkat ini pasal mana yang akan dikenakan seolah tergantung pada uang yang disediakan kepada polisi yang mempunyai wewenang menyidik. Disini penggunaan pasal seolah menjadi bahan negosiasi antara polisi dengan tersangka. Bahkan di tingkat ini uang dapat berpengaruh pada perlu tidaknya pelaku ditahan selama penyidikan dilakukan.

Pada tingkat penuntutan oleh jaksa uang bisa berpengaruh terhadap diteruskan tidaknya penuntutan. Dengan uang bisa digunakan alasan sakit, tidak cukup bukti, tidak dianggap sebagai tindakan kejahatan, bahkan dideponir kasusnya. Apabila penuntutan diteruskan, uang dapat berpengaruh pada sanksi yang akan dikenakan. Apakah sanksi-sanksi berupa hukuman denda atau hukuman badan. Apabila hukuman badan yang hendak dijatuhkan, uang akan berpengaruh pada berapa lama hukuman penjara akan dikenakan.

Selanjutnya pada tingkat pengadilan dari yang terendah dingga tertinggi, uang berpengaruh pada putusan yang akan dikeluarkan oleh hakim. Uang dapat melepaskan atau membebaskan seorang terdakwa. Kalau terdakwa dinyatakan bersalah, dengan uang hukuman bisa diatur serendah dan seringan mungkin.

Bahkan di tingkat eksekusi putusan, uang juga berpengaruh di lembaga pemasyarakatan. Bagi mereka yang mempunyai uang, maka akan mendapat perlakuan lebih baik dan manusiawi daripada mereka yang tidak mempunyai uang. Perlakuan istimewa ini dapat berupa ruang tahanan yang lebih baik, perlakukan sopan dari petugas, hingga masalah kebebasan mendapatkan berita dan berkomunikasi dengan pihak luar.

Pengacara yang membela pun tidak luput dari uang. Uang sangat berpengaruh pada pengacara yang melakukan pembelaan di siding pengadilan. Uang sangat menentukan kualitas pengacara yang dapat disewa. Semakin besar uang yang disediakan semakin handal pengacara yang diperoleh. Terdakwa yang tidak memiliki uang, apalagi kasusnya tidak menyedot perhatian masyarakat dan media massa, harus puas dengan pengacara kacangan. Belum lagi dengan uang seorang terdakwa dapat menyewa pengacara yang mempunyai lobi bagus dengan para aparat penegak hukum. Disini tidak dipentingkan otak pengacara tetapi lebih dipentingkan koneksi si pengcara dengan polisi, jaksa, dan hakim.

Gambaran di atas menunjukan sudut-sudut dimana uang bisa berpengaruh pada proses penegakan hukum. Bahkan penegakan hukum disini tidak terbatas pada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim, melainkan juga pada aparat penegak hukum lainnya. Aparat imigrasi, bea cukai, pajak dan lain sebagainya bisa masuk dalam kategori ini.

Tidak heran bila Indonesia sedang mengalami akibat yang luar biasa dari pengaruh uang. Keadilan, berita, undang-undang dan banyak lagi lainnya hanya berpihak pada mereka yang memiliki uang. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa pengaruh uang terhadap wewenang telah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Berbagai upaya dilakukan untuk memberantas penyalahgunaan ini. Upaya hukum dilakukan dengan cara membentuk aturan seperti UU Tindak Pidana Korupsi dan mendirikan lembaga yang khusus menangani masalah korupsi dan kekayaan pejabat. Namun semua itu seolah tidak mempunyai makna.
Read more (Baca selengkapnya)...

Wednesday, November 4, 2009

Tantangan dan Harapan Bagi Menteri Baru ESDM


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Kamis 22 Oktober 2009, di Istana Negara Jakarta melantik 34 menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dan tiga pejabat setingkat menteri. Dengan demikian resmilah para menteri yang dilantik untuk mulai menjalankan tugasnya.

Darwin Zahedy Saleh dilantik sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang baru. Ada beberapa catatan kecil yang akan saya sampaikan sehubungan dengan adanya nakhoda baru di Kementerian ESDM ini – sebuah departemen yang dianggap sangat vital dan strategis dalam mewujudkan ketahanan nasional.

Pertama-tama saya tidak begitu mempersoalkan latar belakang Darwin Saleh sebagai ekonom dan politisi. Menurut saya, apapun latar belakang orang sepanjang dia mampu mengemban amanah dengan baik dan benar, berarti dia mampu. Bukankah sejarah membuktikan sudah beberapa kali Kementerian ESDM, yang dulu namanya Kementerian Pertambangan dan Energi, dipimpin oleh orang-orang yang berlatar belakang non teknis. Salah satunya adalah Subroto. Beliau adalah ekonom yang pernah menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi di era Orde Baru. Pak Broto, demikian beliau biasa dipanggil, ketika itu populer tidak hanya di kalangan negara-negara OPEC tetapi juga di seluruh dunia. Maka waktulah nantinya yang akan menunjukkan apakah seseorang mampu menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya.

Beberapa kondisi saat ini di sektor energi yang bisa menjadi highlights bagi Menteri ESDM baru dalam memulai tugasnya adalah:
  • Ketergantungan yang masih sangat tinggi terhadap energi primer berbasiskan fosil, terutama minyak bumi. Dari salah satu bahan presentasi yang bersumberkan dari Kementerian ESDM beberapa bulan lalu saya peroleh informasi bahwa bauran energi (energy mix) dari konsumsi energi primer Indonesia secara nasional di tahun 2008 terdiri dari 48.4% minyak bumi, 28.6% gas alam, 18.8% batubara, dan sisanya – hanya 4.2% – adalah energi terbarukan (panas bumi, hidro, energi surya, energi bayu, dan biomassa). Saat ini yang cukup berhasil melepaskan diri dari ketergantungan terhadap minyak bumi adalah sektor listrik. Sedangkan sektor transportasi dan rumah tangga boleh dikatakan nyaris seratus persen masih tergantung pada energi berbasis minyak bumi. Bahkan LPG yang sehari-hari dipakai memasak di dapur-dapur rumah tangga merupakan produk sekunder dari proes pengilangan minyak bumi, bukan dari pemipaan gas alam.


  • Sejak tahun 2004 Indonesia sudah menjadi negara net importer minyak bumi sebagai akibat dari konsumsi minyak bumi yang naik terus sementara produksinya terus menunjukkan penurunan dari level 1.52 juta bpd pada tahun 1998 menjadi 970 ribu bpd pada tahun 2008. Sementara konsumsi minyak pada tahun 2008, meskipun saya tidak memperoleh angka pasti, diperkirakan berada di level 1.25 juta bpd (atau 1.22 juta bpd jika menurut data dari BP Statistical Review of World Energy 2009).



  • Program diversifikasi energi dengan cara mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi dan beralih ke pemanfaatan energi baru dan terbarukan (new and renewable energy) menurut banyak kalangan, baik praktisi bisnis maupun pengamat, masih jalan di tempat. Padahal Indonesia dianugerahi berbagai potensi sumber energi terbarukan. Makanya di beberapa media massa, baik cetak maupun elektronik, karena ‘greget,’ ada pihak yang mengatakan bahwa kita perlu mempunyai “Menteri Energi Terbarukan”. Selama ini mayoritas sumber daya manajemen energi hanya tercurah untuk mengurusi energi fosil (migas dan batubara) saja.


  • Sampai Semester II tahun 2009 pasokan listrik belum normal. Artinya tenaga listrik yang dihasilkan dari kapasitas pembangkit listrik (power plant) yang sudah terpasang sekarang belum mampu memenuhi kebutuhan listrik secara nasional. Proyek 10 ribu MW Tahap I banyak yang terlambat penyelesaiannya. Di beberapa daerah, seperti di Sumatera Bagian Selatan misalnya, masih sering terjadi pemadaman bergilir. Sebetulnya pemadaman tidak hanya terjadi di daerah-daerah, tetapi juga di kota-kota besar termasuk Jakarta. Tahun lalu Rasio Elektrifikasi Nasional baru mencapai sekitar 65%. Artinya rata-rata di seluruh Indonesia baru 65 dari 100 rumah yang dialiri listrik.


  • Program hemat energi melalui konservasi sumber energi dan efisiensi pemakaian energi juga baru hanya sebatas jargon-jargon. Pola hidup inefisien selama ini ikut memicu terjadinya pemborosan energi. Para pimpunan justru tidak memberikan contoh nyata tentang penghematan energi. Kita lihat di jalan-jalan raya para pejabat tinggi, baik pusat maupun daerah, banyak yang menggunakan kendaraan dinas ber-cc besar yang boros BBM.


  • Hingga saat ini Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya asing dalam membangun sektor energinya; baik sumber daya finansial, teknologi, maupun SDM. Meskipun industrialisasi energi seperti migas dan batubara sudah lama dimulai sejak jaman kolonial Belanda, tetapi Indonesia belum juga mampu mandiri dalam mengelola sumber-sumber energinya. Di sektor migas, hanya sekitar 30% dari produksi migas Indonesia yang diproduksi langsung oleh perusahaan-perusahaan migas nasional, sisanya diproduksi oleh perusahaan-perusahaan migas asing yang beroperasi di Indonesia dalam bentuk kontrak kerjasama.
Kondisi-kondisi di atas ditambah dengan fakta bahwa (1) cadangan minyak bumi yang semakin menipis karena rendahnya reserve replacement ratio, (2) dari sisi pendapatan per kapita Indonesia bukan termasuk negara kaya, (3) daya beli masyarakat masih rendah – sekitar 76 juta jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan, dan (4) energi yang dijual ke masyarakat (misalnya BBM, LPG, dan listrik) masih dijual dengan harga subsidi, maka sudah cukup menunjukkan bahwa model supply-demand energi di Indonesia sangat unsustainable – sangat rentan gejolak baik dari segi sosial, politik, ekonomi, maupun lingkungan. Ketika pasokan energi tidak mencukupi, atau ketika harga energi dinaikkan sampai melebihi kemampuan daya beli masyarakat, maka akan timbul fenomena krisis energi.

Tantangan jangka pendek dan menengah bagi Menteri ESDM yang baru menurut saya adalah:
  • Menjamin ketercukupan pasokan energi setiap saat sesuai dengan pertumbuhan kebutuhan energi. Peluang terbuka lebar karena Indonesia dianugerahi beragam sumber energi. Khusus untuk sektor listrik, dalam jangka pendek bisa dilakukan dengan mempercepat penyelesaian menyeluruh terhadap Proyek 10 ribu MW Tahap I dan mempercepat pemulaian Proyek 10 ribu MW Tahap II. Visi PLN yang disebut dengan “75/100”, yaitu mewujudkan Rasio Elektrifikasi Nasional mencapai 100% ketika Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-75, patut didukung.


  • Mengurangi ketergantungan terhadap energi berbasis minyak bumi dengan cara diversifikasi energi, yaitu memanfaatkan sumber-sumber energi lain, baik energi baru maupun terbarukan. Jika ada alternatif energi lain yang lebih murah dari BBM, maka masyarakat bisa beralih ke energi alternatif tersebut dengan membayar harga yang tetap terjangkau tanpa perlu subsidi. Karena separuh dari produk BBM di Indonesia dipakai oleh sektor transportasi, maka peluang terbuka dengan cara menjalin kordinasi intensif dengan instansi lain yang berwenang menangani industri otomotif dan manajemen transportasi agar mesin kendaraan dapat menggunakan bahan bakar selain BBM (BBG, biofuel, listrik, dll); sekaligus mencari upaya agar orang-orang yang semula menggunakan kendaraan pribadi dapat beralih ke sarana transportasi umum massal yang cepat, aman, sehat, dan murah. Saat ini kendaraan berbahan bakar non-BBM (seperti mesin hybrid dan mesin listrik) harganya jauh lebih mahal dari kendaraan bermesin konvensional yang menggunakan BBM. Kebijakan seperti ini justru tidak memacu sektor transportasi untuk segera beralih ke bahan bakar non-BBM. Semestinya kendaraan bermesin non-konvensional yang mendapatkan insentif dari Pemerintah agar harganya lebih terjangkau.



  • Penghematan energi (energy saving); baik konservasi sumber energi maupun efisiensi pemakaian energi. Sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), eksplorasi dan eksploitasi energi harus dijalankan secara arif agar tidak merusak lingkungan dan masih tersisa untuk generasi-generasi mendatang.


  • Karena Indonesia masih sangat tergantung pada sumber daya asing dalam mengelola energinya, maka iklim investasi harus dibuat kondusif, adil bagi seluruh stakeholders, dan berazaskan prinsip kesetaraan (kemitraan). Ini adalah isu non teknis yang juga harus jadi salah satu fokus perhatian Menteri baru. Mengapa demikian? Karena banyak peraturan saling tumpang-tindih (over lap) sehingga membingungkan investor. Selain itu, masih banyak para rent seekers yang bergentayangan yang mampu memaksakan kehendak dan kepentingan ekonominya sehingga memicu praktek-praktek KKN. KKN sangat merongrong kedaulatan negara karena menyebabkan Indonesia diombang-ambingkan kepentingan asing.


  • Peningkatan penguasaaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) agar kelak Indonesia memiliki kemampuan dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber-sumber energinya. Pemanfaatan energi terbarukan, meskipun bukan merupakan hal baru bagi negara-negara maju, namun merupakan hal yang cukup baru dalam skala global. Oleh karena itu terbuka peluang lebar bagi Bangsa Indonesia untuk bisa menguasai seluk-beluk teknologi eksplorasi dan eksploitasi energi terbarukan dengan cara ikut belajar dari awal.
Tentunya tantangan strategis jangka panjang sekaligus harapan bagi Menteri ESDM yang baru adalah bagaimana caranya mewujudkan kemandirian dan ketahanan nasional di sektor energi. Kemandirian disini artinya Indonesia memiliki kemampuan dan kedaulatan penuh untuk mengelola supply-demand energinya – meskipun dalam beberapa hal tetap memerlukan kemitraan dengan pihak asing. Ketahanan (sustainability) di sektor energi melalui pendekatan “4A”:
  • Availability: kemampuan untuk memberikan jaminan pasokan energi setiap saat (security of energy supply).


  • Accessibillity: kemampuan untuk mendapatkan akses terhadap energi; baik akses terhadap sumber daya energi maupun akses terhadap energi final yang siap pakai.


  • Affordability: kemampuan untuk mendapatkan akses yang adil terhadap energi, termasuk harga energi yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.


  • Acceptability: energi yang dapat diterima dan dapat digunakan sesuai dengan kondisi dan peruntukannya – fit for purpose and condition.
Saya ucapkan selamat bekerja untuk Pak Darwin Saleh. Semoga dapat menjalankan tugas dengan baik, cepat, dan benar. Banyak pengamat mengatakan kondisi supply-demand energi kita sudah berada di level siaga (stage alert). Harus bergerak cepat untuk melakukan remedial action. Bila perlu melakukan apa yang disebut Green Peace dengan energy revolution.
Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, October 8, 2009

"Rings of Fire"



Sudah cukup lama meninggalkan blog. Memang irama hidup manusia seperti “bioritmik” berbentuk gelombang sinusoidal. Kadang di atas, kadang di bawah. Terutama yang namanya mood – atau suasana hati. Di bulan Ramadan kemarin entah kenapa saya tidak ada mood untuk menulis. Apakah karena gara-gara menjalankan ibadah puasa sehingga tidak ada energi tersisa untuk menulis, ataukah karena gara-gara di bulan Ramadan itu waktu dan pikiran begitu tersita untuk menjalankan ibadah baik yang wajib maupun yang sunnah? Ah, ini hanya excuses saja. Menjalankan ibadah di bulan Ramadan tidak mesti miskin produktivitas. Justru semestinya di bulan Ramadan kita mendapatkan suntikan tambahan energi spiritual untuk menjadi manusia yang lebih produktif.

Di jaman Nabi s.a.w. dan umat-umat sesudah beliau, banyak kegemilangan dan kemenangan justru didapatkan saat Ramadan. Konon Perang Badar dimenangkan di bulan Ramadan. Perebutan kembali Jerussalem oleh Salahuddin Al-Ayyubi konon juga terjadi di bulan Ramadan. Lalu Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 yang menurut Kalender Islam bertepatan dengn 9 Ramadan 1364 H. Jadi pada hakikatnya Bulan Ramadan memang bulan kemenangan. Pendek kata, tidak ada alasan untuk tidak produktif di bulan Ramadan. Tapi kenapa saya tidak menulis satupun artikel di bulan Ramadan yang baru lalu? Ada dua alasan. Pertama, saya merasa tidak ada topik yang layak diangkat yang berkaitan dengan bidang kompetensi saya. Kedua, karena lagi terjangkit “M” - banyak “merenung” atau memang lagi “malas”, hehehe…

Setelah bencana tsunami di Aceh bulan Desembar 2004, begitu kerapnya Indonesia dilanda bencana. Baik yang sifatnya murni bencana alam, yang dalam bahasa hukum kontraknya sering disebut sebagai “the act of God”, sampai dengan bencana yang disebabkan ulah manusia sendiri. Sebulan terakhir paling tidak tercatat ada dua gempa tektonik besar yang melanda Indonesia. Gempa 7,2 skala Richter yang terjadi di Jawa Barat pada tanggal 2 September 2009, dan gempa 7,6 skala Richter yang terjadi di Sumatera Barat pada tanggal 30 September 2009.

Tatkala melihat rekaman video amatir di televisi tentang runtuhnya sebuah bukit di Sumatera Barat yang menenggelamkan pemukiman penduduk, saya jadi ingat tenggelamnya kota Pompeii di Italia akibat letusan Gunung Vesuvius pada tahun 79 Masehi. Lalu ketika saya menghubung-hubungkannya dengan cerita-cerita dalam Kitab Suci tentang umat-umat terdahulu, saya jadi ingat peristiwa kemurkaan Tuhan terhadap umat Nabi Luth a.s., dimana kota Sodom (Sadama) dan Gomorah (Amura) ditenggelamkan ke dalam bumi sebagai hukuman terhadap umatnya yang mengingkari ajaran Tuhan dan menzolimi nabi-Nya. Maka tidak heran jika banyak orang, terutama para alim ulama, mengaitkan peristiwa-peristiwa dahsyat di Indonesia dengan ayat-ayat dalam kitab suci. Ini dari perspektif agama.

Gempa memang kerap terjadi di Indonesia. Tiada hari tanpa gempa. Kita mungkin tidak menyadari bahwa di Indonesia ini bisa terjadi puluhan atau mungkin ratusan gempa setiap hari. Hanya saja dari gempa-gempa tersebut lebih banyak yang intensitasnya kecil – tidak dapat kita rasakan (hanya terbaca oleh alat pendeteksi gempa). Mengapa gempa kerap terjadi?

Saya bukan ahli geologi, saya coba mempelajarinya secara sederhana dari sudut pandang orang awam. Lapisan bumi paling luar yang disebut kerak bumi (earth crust) yang materinya berupa benda padat terdiri atas lempengan-lempengan (lihat gambar Tectonic Plate Boundaries di atas). Kerak bumi ini duduk di atas lapisan mantel atas bumi yang materinya berupa benda semi padat. Kalau dianalogikan, antara kerak dan mantel atas bumi ini ibarat sebilah papan yang terapung di atas lumpur – sangat labil dan rentan pergeseran.

Indonesia terletak di jalur pertemuan Lempeng Eurasia (Eurasian Plate) dan Lempeng Australia (Australian Plate) – dua lempeng yang menurut para geolog masih sangat aktif mengadakan pergerakan sehingga menimbulkan fenomena yang disebut “gempa tektonik”. Jalur pertemuan lempeng membentang dari sebelah barat Pulau Sumatera, lalu ke selatan Pulau Jawa, Bali, Sunda kecil, kemudian belok ke Kepulauan Maluku lalu ke utara Papua. Jalur pertemuan antar lempeng tektonik disebut dengan istilah RINGS OF FIRE – yang artinya cincin atau lingkaran berapi. Karena wilayah Kepulauan Indonesia memang terletak di jalur rings of fire, akibatnya Indonesia sangat rawan gempa. Wilayah yang berada dekat jalur rings of fire ini pada umumnya banyak didapati pegunungan berapi – baik yang masih aktif, istirahat (dormant), maupun yang sudah mati. Sepanjang pesisir barat Sumatera dan pesisir selatan Jawa memang banyak didapati gunung berapi. Yang relatif jauh posisinya dari rings of fire adalah Pulau Kalimantan. Makanya di Kalimantan jarang terdengar berita terjadi gempa dan tidak didapati gunung berapi – bahkan Kalimantan langka pegunungan.

Wilayah kerak bumi yang terletak di jalur rings of fire memberikan dua sisi yang saling bertolak belakang terhadap manusia: sebagai berkah sekaligus memiliki potensi bencana dahsyat. Sebagai berkah karena pada umumnya wilayah yang terletak di jalur rings of fire tanahnya subur, pemandangan alam indah (topografi mempesona), banyak terkandung sumber daya alam (termasuk energi), serta kaya dengan spesies satwa dan vegetasi yang sangat beragam. Bilamana manusia yang menghuninya “cerdas”, maka secara teoretis manusianya semestinya hidup makmur. Sebaliknya, jika terjadi gempa tektonik berintensitas besar, maka daerah yang terkena gempa akan porak-poranda.

Yang paling utama perlu ditanamkan dalam mind set kita adalah bahwa wilayah Indonesia memang rawan gempa, bukan wilayah yang adem-ayem. Maka proses-proses pembangunan yang sedang dan yang akan dijalankan harus memasukkan unsur potensi bencana ini sebagai salah satu variabel input dalam membuat kebijakan.

Pada dasarnya bencana tidak pandang bulu dan zero tolerance – nol toleransi. Kita mesti terbiasa berpola pikir seperti orang-orang yang menghuni permukaan bumi yang iklim dan cuacanya nol toleransi terhadap manusia. Dalam artian, jika manusia tidak mampu menghadapi atau beradaptasi dengan kondisi alam dimana dia hidup, maka tidak akan ada kelangsungan hidup. Ambil contoh misalnya di belahan bumi yang memiliki empat musim, dimana perbedaan suhu udara antara musim dingin dan musim panas begitu ekstrimnya. Jika manusianya tidak mampu menghadapi perubahan iklim ini maka keberlangsungan hidupnya akan terancam. Contoh lain adalah Jepang yang orang-orangnya begitu “akrab” dengan perubahan cuaca empat musim dan juga rawan bencana gempa seperti Indonesia.

Alam yang nol toleransi justru menyebabkan penghuninya kreatif dan terangsang untuk mengeksplorasi semaksimum mungkin sisi-sisi kecerdasan pikirannya. Kalau kita perhatikan, negara-negara yang maju pada umumnya memiliki iklim (cuaca) yang nol toleransi, kerap terjadi bencana alam, dan bahkan banyak yang miskin sumber daya alam. Rupanya di tengah kondisi alam yang tidak bersahabat dan miskin sumber daya alam, kreativitas justru terpacu. A smooth sea never makes a skillful mariner, laut yang tenang tidak akan menghasilkan pelaut yang tangguh, kata pepatah orang Barat.

Maka dari dua sisi pada satu mata uang: kekayaan sumber daya alam Indonesia di satu sisi dan potensi bencana di sisi yang lain, semestinya bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang makmur dan unggul. Bukan makin hari terjebak dalam keterpurukan demi keterpurukan. Kita perlu merevitalisasi pikiran-pikiran cerdas kita agar mampu memaknai ayat-ayat Tuhan, seperti misalnya yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 163-164 di bawah ini:

Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS. Al-Baqarah: 163-164)

Bencana memang menimbulkan nestapa dan membanjirkan air mata. Banyak orang yang kehilangan sanak keluarga, kehilangan tempat tinggal, kehilangan harta-benda, bahkan kehilangan harapan. Untuk itulah kita perlu membantu saudara-saudara kita yang terimpa musibah; baik berupa bantuan moril (doa, dorongan semangat), maupun bantuan materil. “Hidup tidak sendiri” dan “kita tidak akan mampu hidup sendirian”. Allah SWT Yang Berkuasa Dan Yang Menentukan segalanya.

Ya Allah yang Maha Rahman dan Maha Rahim,
Kepada mereka yang tewas akibat gempa, jadikanlah mereka yang di akhir hayatnya menyebut asma-Mu sebagaimana layaknya wafat seorang syuhada,
Ampunilah dosa-dosa mereka,
Lapangkanlah alam barzah mereka.

Ya Allah ya Karim,
Kepada sanak keluarga yang masih tertinggal di dunia fana,
Tetap tegarkanlah iman mereka,
Jangan Kau putuskan asa dari diri mereka,
Agar mereka tetap mampu melangkah menuju masa depan

Amin, ya Robb
.
Read more (Baca selengkapnya)...

Friday, September 18, 2009

Selamat Idul Fitri 1430 H



Bulan Ramadan telah di penghujung. Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan SELAMAT IDUL FITRI 1430 H. Minal aidin walfaizin, mohon maaf lahir dan batin. Selama nge-blog (baik menulis di blog sendiri maupun menulis komentar di blog lain), berkomunikasi lewat milist, atau berinteraksi langsung tentunya ada tulisan, ucapan, atau perbuatan yang tidak berkenan. Untuk itu, mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya.

Mari saling memaafkan dengan tulus agar kita dapat kembali ke fitrah kita seperti murninya embun pagi. Semoga pula semangat Ramadan tetap dapat kita jaga sepanjang tahun sampai tiba Ramadan berikutnya – jika Allah masih memberi kesempatan.


Selamat Idul Fitri

Selamat Idul Fitri, kawan
Maafkan aku jika ada kesalahan

Selamat Idul Fitri, langit
Maafkan kami
yang senantiasa mengelabukanmu

Selamat Idul Fitri, bumi
Maafkan kami
yang senantiasa menguras isi perutmu

Selamat Idul Fitri, satwa
Maafkan kami
yang senantiasa menghabisi habitatmu

Selamat Idul Fitri, hutan
Maafkan kami
yang senantiasa menebangmu

Selamat Idul Fitri, sungai
Maafkan kami
yang senantiasa mengotori dan
mendangkalkanmu

Selamat Idul Fitri, laut
Maafkan kami
yang senantiasa mengirim limbah
ke tepianmu

Selamat Idul Fitri, gunung
Maafkan kami
yang senantiasa menggundulimu
Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, August 20, 2009

Menyambut Ramadhan 1430 H



Menyambut Bulan Suci Ramadhan 1430 H, perkenankan saya mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa kepada rekan-rekan yang beragama Islam.

Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 183:
Yaa ayyuhaladziina aamanuu kutiba alaikumush shiyaamu kamaa kutiba 'alalladziina min qablikum la 'allakum tattaquun.

Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan pada umat-umat sebelum kamu, agar kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa.”

Supaya dapat menjalankan ibadah puasa dengan ‘plong’, saya meminta maaf yang sedalam-dalamnya atas segala perkataan, perbuatan, ataupun tingkah laku saya yang tidak berkenan di hati rekan-rekan semua. Mari kita menjalankan ibadah puasa ini dengan khusu’, damai, dan penuh cinta: cinta pada Sang Khalik, cinta pada sesama manusia, cinta pada sesama makhluk, dan cinta pada alam yang telah menyediakan sumber dan zat kehidupan (energi, air, udara, makanan).

Semoga Allah Swt menerima amal ibadah kita. Lebih penting lagi, semoga hikmah dan semangat Ramadhan dapat kita jalankan terus sepanjang tahun.
Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, August 17, 2009

Menyoal Kembali Relevansi “Nasionalisme” dalam Prakarsa Berindustri

{Memperingati 64 tahun Indonesia merdeka}

Di era globalisasi sekarang ini keterlibatan dan saling ketergantungan antar negara dan antar elemen masyarakatnya begitu intens, terutama dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Tren mata rantai pasokan dalam menciptakan sebuah produk industri mengarah ke apa yang disebut dengan fully integrated supply chain. Penyediaan bahan mentah, bahan baku, produsen (pabrik), dan jalur pemasaran sudah melibatkan lintas negara.

Beberapa jenis produk sudah tidak jelas lagi buatan negara mana. Misalnya bahan mentahnya bisa dari Indonesia, pembuatan bahan baku di Thailand, riset dan pengembangan di Amerika, penyedia modal (kapital) dari Jepang, pembuatan produk jadi (finished product) di China, lalu pemasarannya meliputi Benua Asia dan Eropa. Perusahaan-perusahaan berskala global yang sepenuhnya go-public sudah tidak jelas lagi pemiliknya. Pemiliknya adalah para pembeli saham di bursa-bursa pasar global yang diwakili oleh Dewan Komisaris. Belum lagi fenomena jual-menjual perusahaan atau jual-menjual sebagian porsi kepemilikan di sebuah perusahaan sudah dianggap hal yang biasa dan wajar dari sudut kepentingan bisnis. Termasuk pelepasan sebagian kepemilikan badan-badan usaha milik negara ke pihak pemilik modal asing, baik melalui mekanisme pasar modal maupun investasi langsung.

Apakah konteks “nasionalisme” dalam berindustri masih relevan di tengah hingar-bingarnya globalisasi dan derasnya arus finansial global lintas negara? Apalagi dengan adanya jargon “uang tidak mengenal nasionalisme”. Memang pertanyaan tersebut tidaklah begitu sederhana jawabannya dan tentunya akan mendapatkan tanggapan beragam dari masing-masing individu masyarakat bangsa Indonesia, mengingat masing-masing orang akan memaknai konteks “nasionalisme” secara berbeda-beda pula.

Hingsa saat ini beberapa fakta yang masih terjadi di sektor industri kita adalah:
  • Ketergantungan terhadap sumber daya impor masih sangat tinggi; baik dari sisi sumber daya manusia, sumber daya finansial, maupun sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi (“iptek”).


  • Indonesia sejauh ini hanya dijadikan para pelaku industri global sebagai basis untuk memproduksi barang sekaligus sebagai basis untuk memasarkan produknya. Dengan penduduk Indonesia yang mencapai 225 juta jiwa, ditambah dengan perilaku yang konsumtif, maka Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial sekaligus menguntungkan. Sementara “ruh iptek” yang terkandung dalam infoware (informasi yang memuat preskripsi iptek), humanware (SDM yang menguasai iptek), technoware (benda-benda sebagai input maupun output dalam iptek), dan orgaware (institusi yang mewadahi informasi tentang proses-proses iptek, terutama R&D) tetap dikuasai pihak asing.


  • Adanya pihak asing yang melakukan investasi di Indonesia, selain karena didukung oleh berbagai kebijakan insentif (misalnya saja adanya kebijakan proteksi), lebih karena berbagai keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dimiliki Indonesia (misalnya ketersediaan sumber daya alam serta melimpahnya tenaga kerja dengan upah murah), bukan karena keunggulan kompetitif bangsa Indonesia (misalnya tingkat penguasaan iptek yang tinggi). Beda dengan di India, misalnya, yang terkenal unggul dalam penguasaan teknologi informasi sehingga para investor IT dari manca negara – bahkan sekelas Bill Gates – melakukan investasi di India.
Bahwa yang namanya kepemilikan lintas negara itu memang kelihatannya sudah tidak bisa dielakkan. Contohnya saja pabrikan mobil Daimler dari Jerman memiliki sebagian saham di pabrikan mobil Mitsubishi di Jepang. Lalu pabrikan mobil Renault dari Perancis memiliki sebagian saham di pabrikan mobil Nissan ―juga di Jepang. Lalu pertanyaannya, apakah gara-gara ada kepemilikan asing di kedua pabrikan mobil Jepang tersebut lantas kemudian konten Jepang (Japanese contents) pada dua pabrikan tersebut hilang? Tidak. Orang-orang Jepangnya tetap menguasai “ruh teknologi”-nya. Andai kepemilikan asing tersebut lepas, orang-orang Jepang di kedua pabrikan tersebut tetap bisa membuat mobil. Paling-paling ada guncangan finansial sesaat akibat larinya working capital.

Kita bandingkan dengan di Indonesia. Pada tahun 2003 produsen barang-barang elektronik terkenal SONY yang berbasis di Jepang menutup pabriknya yang berlokasi di daerah Karawang (di pinggiran jalan tol Jakarta-Cikampek) dengan alasan bisnis mereka sudah tidak menguntungkan lagi dan, menurut mereka pula, bisnis di Indonesia sudah tidak nyaman lagi karena terlalu banyak pungutan – resmi maupun tidak resmi – dari berbagai instansi dan berbagai elemen masyarakat. SONY “memindahkan” pabriknya dari Karawang ke Malaysia. Apa yang SONY tinggalkan di Indonesia? Apakah seperginya SONY orang Indonesia lantas bisa membuat televisi seperti SONY? Yang mereka tinggalkan hanyalah onggokan pabrik dan ratusan – bahkan mungkin ribuan – tenaga kerja Indonesia yang hanya bisa “merakit” komponen-komponen. Sementara “ruh teknologi”-nya mereka bawa pergi. Tentu saja kita tidak pernah bisa membuat sendiri televisi seperti SONY.

Kita lihat lagi di industri otomotif. Sekitar 40 tahun lalu untuk pertama kalinya pabrikan “perakit” kendaraan roda empat berdiri di Indonesia, dengan kepemilikan saham mayoritas oleh pengusaha nasional dan sisanya dimiliki oleh prinsipalnya dari Jepang. Produk otomotif yang dibuat di Indonesia merupakan salah satu contoh penerapan kebijakan protektif yang sudah lama perjalanannya. Apa yang dilakukan pabrikan otomotif nasional setelah mereka mendapat keuntungan dari kebijakan protektif tersebut? Alih-alih menginvestasikan hasil keuntungan tersebut untuk membangun fasilitas produksi hulu, mereka malah melakukan investasi “ke samping”; seperti membangun pabrik perakitan otomotif merek lain yang juga diproteksi, melakukan investasi di real estate, membuka usaha perbankan dan asuransi, merambah bisnis perkebunan, merambah bisnis jalan tol, dan sebagainya.

Akibatnya sektor otomotif kita terus menerus tergantung pada prinsipalnya. Pasca krisis moneter tahun 1998 hal ini makin parah. Sebagian besar pabrikan otomotif kita boleh dikatakan kepemilikannya sudah diambil alih oleh prinsipalnya. Manajemennya pun otomatis barada di tangan prinsipal. Maka prinsipal-lah yang memiliki “kedaulatan” terhadap pabrikan otomotif nasional. Dan selamanya pula para prinsipal-lah yang tetap menguasai “ruh teknologi” otomotif. Sementara bangsa kita hanya bisa merakit, menjual, dan membayar saja. Andai para prinsipal ini memutuskan menutup pabriknya, seperti halnya SONY, maka pabrik otomotif yang ada hanya akan menjadi rongsokan gedung sebagai salah satu saksi bisu sejarah kegagalan bangsa Indonesia dalam berindustri.

Sangat berbeda dengan produsen mobil Hyundai di Korea Selatan dan Proton di Malaysia. Keduanya memulai sebagai ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) sekaligus pabrik perakitan mobil Mitsubishi. Tetapi dengan kontrol kebijakan yang tepat dari pemerintahnya ditambah dengan semangat melakukan “pengindustrian intelegensi” di kalangan pelaku industrinya (tidak sekedar bermental “pedagang”), maka keduanya berhasil membuat mobil merek tersendiri yang sekarang sudah menjadi global brand – Hyundai sudah lebih dahulu.

Dari tahun ke tahun di jaman yang serba materialis ini nasionalisme dipandang sudah luntur. Tidak hanya di kalangan generasi muda, tetapi juga di kalangan para penyelenggara negara. Ini dibuktikan dengan absennya Lagu Kebangsaan Indonesia Raya di Gedung DPR dalam prosesi Pidato Kenegaraan Presiden 14 Agustus 2009 lalu. Masih pentingkah nasionalisme?

Menurut saya nasionalisme masih sangat penting dan relevan, selama tidak chauvinistis. Bangsa adidaya seperti Amerika Serikat saja masih mengedepankan nasionalisme. Tahun 2005 ketika perusahaan minyak Unocal akan dijual, pada mulanya penawar tertinggi adalah Chevron – juga perusahaan minyak berbasis di Amerika Serikat. Kemudian masuklah CNOOC – perusahaan minyak dari China – menawar lebih tinggi dari Chevron. Para petinggi Unocal hampir memutuskan menjualnya ke CNOOC. Kemudian Kongres dan beberapa elemen bangsa Amerika Serikat campur tangan memprotes rencana petinggi Unocal tersebut. Akhirnya, demi membela kepentingan geopolitik Amerika Serikat di percaturan global, Unocal dijual ke Chevron. Contoh lain ketika Amerika Serikat paling terkena dampak krisis finansial global di tahun 2008, tim Obama mengkampanyekan “buy Americans” – beli produk buatan Amerika.

Lalu bagaimana memaknai “nasionalisme” dalam berindustri? Menurut saya ada tiga hal pokok:
  1. Bangsa Indonesia harus mampu dan memiliki semangat untuk menguasai “ruh ilmu pengetahuan dan teknologi”-nya, mulai dari proses produksi hulu sampai hilir. Para pelaku industri jangan sekedar bermental pedagang.


  2. Pihak Indonesia harus memiliki porsi mayoritas kepemilikan dalam sebuah industri. Dengan demikian, bila mesti dilakukan semacam voting dalam mengambil keputusan, maka pihak Indonesia dapat memenangkannya, dan – karenanya – bangsa Indonesia memiliki “kedaulatan” dalam prakarsa berindustri. Jadi masalah porsi kepemilikan tetaplah penting di tengah derasnya arus globalisasi. Adanya penjualan beberapa aset industri nasional ke pihak asing sehingga kepemilikan pihak nasional menjadi minoritas merupakan contoh kemunduran dalam berindustri.


  3. Kepentingan industri harus berpihak pada kepentingan bangsa, yaitu memberi nilai tambah semaksimum mungkin bagi segenap komponen bangsa Indonesia.
Dengan tiga poin berbau “nasionalis” di atas, maka dapat diharapkan ke depannya bangsa Indonesia mampu membuat produk unggulan buatan Indonesia sendiri – made by Indonesians; tidak hanya sekedar jadi tukang rakit atau tukang bayar para kapitalis global. Satu hal yang mesti diingat, globalisasi pada hakikatnya adalah ekspansi kekayaan, bukan berbagi-bagi kemakmuran.

Tidakkah kita ingin hari ulang tahun kemerdekaan kita dari tahun ke tahun dirayakan dengan peluncuran berbagai produk unggulan buatan sendiri yang padat teknologi serta berbagai prestasi membanggakan lainnya? Seperti halnya China, India, dan Iran. Tidak sekedar dirayakan dengan rutinitas semacam lomba panjat pinang, lari karung, lomba bawa kelereng dengan sendok, atau lomba makan kerupuk.

Salam merah-putih. Merdeka!
Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, August 6, 2009

Pencapaian TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dalam Pengadaan Barang dan Jasa di Sektor Hulu Migas



Ketika minggu lalu saya melontarkan isu “de-nasionalisasi industri nasional” sebagai topik diskusi di milist APPI (Asosiasi Pengadaan Perminyakan Indonesia), ternyata mendapat tanggapan yang cukup hangat dan positif dari beberapa stakeholders industri penunjang migas. Ya, memang dengan berbagai set-back yang terjadi dalam tatanan industri nasional kita akhir-akhir ini, seyogyanyalah segera ditindaklanjuti dengan langkah-langkah kongkrit agar sedapat mungkin industri nasional kita berada di jalur yang sesuai dengan cita-cita luhur pembangunan industri. Kalau dibiarkan terus, isu yang semula hanya sebatas “de-nasionalisasi” bisa bertambah parah menjadi “de-industrialisasi” – matinya industri.

Kita semua berangan-angan agar bangsa kita memiliki industri yang kuat, mampu menghasilkan produk berkualitas dunia, serta mampu menghasilkan produk “made by Indonesians” – tidak sekedar “made in Indonesia”. Industri nasional yang kuat merupakan lokomotif penggerak ekonomi serta menambah rasa bangga dan percaya diri kita di kancah pergaulan internasional. Selain itu, keberhasilan berindustri juga menunjukkan tingkat kemampuan “iptek” sebuah bangsa.

Kali ini saya akan mengulas singkat seberapa besar porsi dan peranan industri nasional kita dalam menunjang kegiatan usaha hulu migas di Indonesia. Apakah angka-angka yang diraih sudah merefleksikan sustainability yang sesungguhnya dari industri penunjang migas kita. Dan apa harapan-harapan ke depannya.

Karakteriskik Pasar Usaha Penunjang Migas

Berkembangnya usaha penunjang migas tak lepas dari efek pengganda (multiplier effect) yang diberikan oleh kegiatan operasional migas di Indonesia. Maka volume pasarnya pun sangat ditentukan oleh intensitas kegiatan di sektor migas. Berikut adalah beberapa karakteristik pasar usaha penunjang migas:
  1. Pasar bersifat captive market, artinya pemakainya sudah tertentu yaitu perusahaan atau industri yang bergerak di sektor hulu migas.


  2. Volume penjualan sifatnya consumer driven karena besar kecilnya kebutuhan bergantung pada intensitas kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di sektor hulu migas.


  3. Spesifikasi barang dan jasa sepenuhnya ditentukan oleh pemakai, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan operasional di lapangan, dan – sampai batas-batas tertentu – selera si pemakai.


  4. Harga produk bisa didikte oleh pembeli (buyers’ market) apabila aktivitas di sektor hulu migas berkurang – biasanya terjadi saat harga minyak turun; dan akan didikte oleh penjual (sellers’ market) apabila aktivitas eksplorasi dan eksploitasi migas meningkat – biasanya terjadi saat harga minyak naik.
Berdasarkan karakteristik pasar di atas, maka dapat dikatakan bahwa sektor usaha penunjang migas pada prinsipnya tidak pada posisi yang dapat menciptakan volume pasar. Beda dengan industri consumer goods, gadgets, atau home appliances yang bisa memprovokasi keinginan orang untuk membeli sehingga dapat menciptakan volume pasar.

Selain itu, ada keunikan lain dalam tata niaga sektor hulu migas di Indonesia. Sebagaimana diketahui, secara garis besar ada dua bentuk proteksi terhadap industri dalam negeri: (i) tariff barrier – yaitu dikenakannya bea masuk dan pajak-pajak impor, dan (ii) non tariff barrier – yaitu penerapan kuota sampai pelarangan terhadap produk impor. Karena industri hulu migas memperoleh insentif berupa pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor, maka pada dasarnya hanya kebijakan non tariff barrier yang bisa diimplementasikan di sektor hulu migas. Inilah yang pelaksanaannya dikontrol dengan yang namanya Daftar ADP (Appreciation of Domestic Products), master list (rencana impor barang), dan preferensi terhadap TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri).

Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)

Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk barang adalah perbandingan antara harga barang jadi dikurangi harga komponen luar negeri terhadap harga barang jadi, atau dapat dirumuskan sebagai:


Nilai TKDN Pengadaan Barang dan Jasa di Sektor Hulu Migas

Ada 1240 produsen barang dan jasa masuk Daftar ADP edisi tahun 2008 yang dibuat oleh Ditjen Migas. Sesuai dengan amanat UU No. 22/2001 tentang minyak dan gas bumi, BPMIGAS senantiasa melakukan upaya pengawasan dalam mendorong dipenuhinya komitmen pemanfaatan barang/jasa produksi dalam negeri saat pelaksanaan pengadaannya. Menurut laporan tahunannya, BPMIGAS bersama kontraktor KKKS telah berhasil meningkatkan pemanfaatan kompetensi dan produksi dalam negeri secara maksimal.



Perkembangan TKDN Barang/Jasa Sektor Hulu Migas, 2004-2008 (Sumber: Laporan Tahunan 2008 BPMIGAS).

Pada tahun 2007 nilai komitmen pengadaan barang dan jasa mencapai US$ 4,3 miliar. Nilai TKDN tahun 2007 mencapai US$ 2,3 miliar, atau 53,4% dari total nilai kontrak. Pada tahun 2008 nilai komitmen mencapai US$ 3,9 miliar, terdiri atas pengadaanbarang senilai US$ 1,2 miliar dan jasa sebesar US$ 2,7 miliar. Kontrak pengadaan barang dan jasa tersebut didominasi jasa pemboran dan pendukung pemboran senilai US$ 2,4 miliar, pembangunan fasilitas produksi senilai US$ 0,6 miliar, dan jasa pendukung operasional senilai US$ 0,9 miliar. TKDN pada kontrak-kontrak pengadaan barang dan jasa untuk mendukung kegiatan sektor hulu migas selama tahun 2008 mencapai US$ 2,3 miliar, setara 58% dari total komitmen kontrak barang dan jasa. Realisasi pencapaian persentase TKDN di tahun 2008 melampaui target yang ditetapkan dalam cetak biru BPMIGAS yang mengharuskan TKDN pada usaha hulu migas mencapai 55 persen pada tahun 2010.

Kelihatannya pencapaian TKDN dua tahun terakhir menunjukkan bahwa industri dalam negeri kita telah cukup mendominasi pangsa pasar kebutuhan sektor hulu migas. Namun apakah angka ini dapat diklaim sebagai indikator yang menunjukkan sustainability yang sesungguhnya dari industri nasional penunjang migas kita? Apakah para pelaku industri kita memiliki ketahanan dalam menghadapi peluang, tantangan, sekaligus ancaman global di masa depan?

Saat mengajukan penawaran dalam proses tender pengadaan barang/jasa, para rekanan mengisi formulir hitungan TKDN. Pengisian fomulir ini sifatnya self-assessment, artinya dihitung sendiri oleh rekanan. Dalam beberapa kasus yang teramati, ada rekanan yang cenderung membesar-besarkan nilai TKDN agar mereka bisa memenangkan tender. Hal lainnya adalah, sejauh mana akurasi data yang dikompilasi oleh BPMIGAS tersebut.

Kemudian dengan adanya beberapa set-back yang terjadi akhir-akhir ini, antara lain dijualnya industri nasional oleh pemiliknya ke pihak asing, atau makin berkurangnya porsi kepemilikan nasional terhadap sumber daya-sumber daya di sebuah industri, maka fenomena ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa industri nasional kita sudah sustainable.

Tinjauan Singkat Kondisi Industri Penunjang Migas

Kalau dirunut dari sejarahnya, perjalanan industri penunjang migas lebih kurang sama dengan industri manufaktur lainnya di Indonesia. Pembangunan industri dimulai di sisi proses produksi hilir, tidak terintegrasi dari hulu ke hilir. Lalu diterapkan argumen infant industry, yaitu industri yang baru berdiri tersebut diproteksi oleh pemerintah agar dapat membangun kekuatan sumber daya sendiri: sumber daya manusia (SDM), sumber daya finansial, dan penguasaan teknologi untuk dapat menghasilkan produk unggulan berkualitas dunia. Tujuan strategis jangka panjang dari kebijakan protektif adalah agar industri dalam negeri dapat mandiri dengan menguasai proses produksi dari hulu sampai hilir serta dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sumber daya impor.

Namun tujuan strategis tersebut belum tercapai karena, pertama, hasil keuntungan yang diperoleh tidak segera diinvestasikan oleh pelaku industri untuk membangun fasilitas proses produksi di sisi hulu. Keuntungannya justru mereka gunakan untuk membangun industri lain (produk berbeda) yang juga diproteksi oleh pemerintah. Begitu seterusnya sehingga satu pelaku industri memiliki beberapa pabrik yang kesemua produknya diproteksi. Sedangkan fasilitas–fasilitas yang ada hanya fasilitas proses produksi hilir saja. Akibatnya banyak industri yang nilai TKDN-nya tidak pernah bertambah karena tidak memiliki fasilitas terintegrasi dari hulu sampai hilir karena masih sangat tergantung pada sumber daya impor – terutama pasokan bahan baku dan teknologi.

Kedua, kebijakan protektif yang diberlakukan selama ini justru cenderung memanjakan pelaku industri kita, sehingga mereka jadi tidak efisien dan tidak memiliki daya saing yang nyata. Nuansa sebagai “pedagang” (mercantile) pada para pelaku indusri kita jauh lebih kental ketimbang sebagai “industrialist”. Makanya industri kita belum memiliki budaya “iptek”. Ini terlihat dari masih lemahnya sisi R&D dan minimnya “pengindustrian inteligensi”.

Ketiga, arah kebijakan (road map) tidak jelas. Lemah dari sisi implementasi. Tujuan akhir (ultimate goal)-nya kemana dan kapan mesti terlaksana berikut kriteria-kriterianya tidak terdefinisi dengan baik. Paling tidak ini menurut apa yang saya amati sebagai orang yang berada di luar “lapangan permainan”.

Keempat, dalam banyak hal, pengambil manfaat terbesar dari kebijakan protektif berupa tariff barrier maupun non tariff barrier justru para prinsipal dari luar negeri selaku pemasok bahan baku dan pemasok teknologi. Mereka inilah yang lebih banyak menangguk untung dari kebijakan protektif tersebut. Mengapa demikian? Karena mereka tahu ada proteksi, maka mereka bisa mematok harga tinggi terhadap bahan baku dan teknologi yang mereka pasok ke Indonesia. Akibatnya beberapa pelaku industri dalam negeri memperoleh profit margin yang tidak memadai untuk melakukan investasi lebih lanjut. Ini juga ditengarai salah satu penyebab terhambatnya pengembangan industri ke arah hulu.

Memang implementasi berbagai kebijakan yang ada belum cukup mampu untuk memacu industri kita agar membangun fasilitas produksi hulu. Apalagi pelaku industri saat ini mendapat tekanan finansial dengan adanya arus serangan produk murah dari manca negara, terutama produk dari China. Ditambah lagi dengan telah terikatnya Indonesia dengan pasal-pasal perjanjian perdagangan bebas seperti AFTA dan WTO, maka kebijakan protektif yang radikal sudah sulit untuk dilaksanakan. Momentum terbaik untuk memanfaatkan hasil keuntungan proteksi ini sebetulnya pada saat Indonesia belum terikat dengan badan-badan perdagangan bebas tersebut. Ketika itu – sebut saja sebelum paruh kedua tahun 1990-an – pelaksanaan proteksi masih menungkinkan bagi para pelaku industri untuk memperoleh marjin laba yang lebih besar dibandingkan kondisi sekarang ini dan situasi pasarpun ketika itu tidak sejenuh sekarang ini (belum begitu banyak pemain). Tetapi hasil keuntungan di masa lalu tersebut pada umumnya tidak mereka investasikan ke proses produksi hulu.

Sebenarnya kebijakan protektif terhadap industri dalam negeri umum dilakukan juga di berbagai belahan dunia, walaupun dengan cara yang berbeda-beda. Cara langsung adalah keluarnya bentuk peraturan dari pemerintah. Cara tidak langsung umpamanya melalui penguatan lobi-lobi asosiasi, pelatihan, atau subsidi. Proteksi berupa preferensi harga dan pembatasan kuota masih diperlukan. Namun dengan mempertimbangkan derasnya arus globalisasi serta usia sebagian industri yang tidak lagi dapat dikategorikan sebagai infant industry, maka kebijakan protektif tersebut harus dibarengi dengan penjadwalan terarah atau suatu road map yang definitif (misalnya 10 tahun ke depan) agar industri pendukung migas betul-betul mampu mandiri. Harus ada tahapan rekayasa (desain), tahapan pendanaan, tahapan konstruksi pembangunan fasilitas produksi hulu, serta tahapan penguasan pangsa pasar domestik sekaligus penetrasi pasar ekspor. Proteksi yang berkepanjangan tanpa batasan waktu dan tanpa sasaran yang jelas – apalagi industri yang tidak dapat lagi dikategorikan sebagai infant industry – justru menyebabkan industri nasional makin tidak memiliki ketahanan.

Harapan Kedepan Terhadap Industri Penunjang Migas

Karena memberikan multiplier effect yang sangat berarti bagi pembangunan nasional; misalnya lewat setoran pajak, penyerapan tenaga kerja, serta pemanfaatan industri barang/jasa pendukungnya; maka diharapkan di masa mendatang Indonesia dapat membangun industri penunjang migas yang,
  1. sepenuhnya mampu mendukung kegiatan operasional migas;


  2. berdaya saing kuat, yaitu adanya kemampuan untuk memproduksi barang/jasa yang berkualitas, memenuhi persyaratan K3L2 (kesehatan, keselamatan kerja, dan lindungan lingkungan), harga kompetitif, serta penyerahan tepat waktu;


  3. menguasai pasar lokal – katakanlah lebih dari dua per tiga volume pasar, sekaligus mampu mengakses pasar ekspor;


  4. memiliki fasilitas produksi dari hulu sampai hilir sehingga mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pasokan bahan baku impor, teknologi impor, serta berbagai sumber daya impor lainnya; dan


  5. terus menerus meningkatkan kemampuan sendiri (indigenous capabilities) sehingga betul-betul mampu membuat produk “made by Indonesians”, bukan sekedar dijadikan basis bagi kapitalis global untuk membuat produknya.
Bila kelima hal di atas sudah tercapai, maka Indonesia akan memiliki industri penunjang migas yang sustainable. Pertanyaannya, kapan itu bisa terjadi? Mudah-mudahan tidak seperti lakon teater “Menunggu Godot” – yang sangat populer di era penghujung 1970-an sampai awal 1980-an.
Read more (Baca selengkapnya)...