Monday, August 17, 2009

Menyoal Kembali Relevansi “Nasionalisme” dalam Prakarsa Berindustri

{Memperingati 64 tahun Indonesia merdeka}

Di era globalisasi sekarang ini keterlibatan dan saling ketergantungan antar negara dan antar elemen masyarakatnya begitu intens, terutama dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Tren mata rantai pasokan dalam menciptakan sebuah produk industri mengarah ke apa yang disebut dengan fully integrated supply chain. Penyediaan bahan mentah, bahan baku, produsen (pabrik), dan jalur pemasaran sudah melibatkan lintas negara.

Beberapa jenis produk sudah tidak jelas lagi buatan negara mana. Misalnya bahan mentahnya bisa dari Indonesia, pembuatan bahan baku di Thailand, riset dan pengembangan di Amerika, penyedia modal (kapital) dari Jepang, pembuatan produk jadi (finished product) di China, lalu pemasarannya meliputi Benua Asia dan Eropa. Perusahaan-perusahaan berskala global yang sepenuhnya go-public sudah tidak jelas lagi pemiliknya. Pemiliknya adalah para pembeli saham di bursa-bursa pasar global yang diwakili oleh Dewan Komisaris. Belum lagi fenomena jual-menjual perusahaan atau jual-menjual sebagian porsi kepemilikan di sebuah perusahaan sudah dianggap hal yang biasa dan wajar dari sudut kepentingan bisnis. Termasuk pelepasan sebagian kepemilikan badan-badan usaha milik negara ke pihak pemilik modal asing, baik melalui mekanisme pasar modal maupun investasi langsung.

Apakah konteks “nasionalisme” dalam berindustri masih relevan di tengah hingar-bingarnya globalisasi dan derasnya arus finansial global lintas negara? Apalagi dengan adanya jargon “uang tidak mengenal nasionalisme”. Memang pertanyaan tersebut tidaklah begitu sederhana jawabannya dan tentunya akan mendapatkan tanggapan beragam dari masing-masing individu masyarakat bangsa Indonesia, mengingat masing-masing orang akan memaknai konteks “nasionalisme” secara berbeda-beda pula.

Hingsa saat ini beberapa fakta yang masih terjadi di sektor industri kita adalah:
  • Ketergantungan terhadap sumber daya impor masih sangat tinggi; baik dari sisi sumber daya manusia, sumber daya finansial, maupun sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi (“iptek”).


  • Indonesia sejauh ini hanya dijadikan para pelaku industri global sebagai basis untuk memproduksi barang sekaligus sebagai basis untuk memasarkan produknya. Dengan penduduk Indonesia yang mencapai 225 juta jiwa, ditambah dengan perilaku yang konsumtif, maka Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial sekaligus menguntungkan. Sementara “ruh iptek” yang terkandung dalam infoware (informasi yang memuat preskripsi iptek), humanware (SDM yang menguasai iptek), technoware (benda-benda sebagai input maupun output dalam iptek), dan orgaware (institusi yang mewadahi informasi tentang proses-proses iptek, terutama R&D) tetap dikuasai pihak asing.


  • Adanya pihak asing yang melakukan investasi di Indonesia, selain karena didukung oleh berbagai kebijakan insentif (misalnya saja adanya kebijakan proteksi), lebih karena berbagai keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dimiliki Indonesia (misalnya ketersediaan sumber daya alam serta melimpahnya tenaga kerja dengan upah murah), bukan karena keunggulan kompetitif bangsa Indonesia (misalnya tingkat penguasaan iptek yang tinggi). Beda dengan di India, misalnya, yang terkenal unggul dalam penguasaan teknologi informasi sehingga para investor IT dari manca negara – bahkan sekelas Bill Gates – melakukan investasi di India.
Bahwa yang namanya kepemilikan lintas negara itu memang kelihatannya sudah tidak bisa dielakkan. Contohnya saja pabrikan mobil Daimler dari Jerman memiliki sebagian saham di pabrikan mobil Mitsubishi di Jepang. Lalu pabrikan mobil Renault dari Perancis memiliki sebagian saham di pabrikan mobil Nissan ―juga di Jepang. Lalu pertanyaannya, apakah gara-gara ada kepemilikan asing di kedua pabrikan mobil Jepang tersebut lantas kemudian konten Jepang (Japanese contents) pada dua pabrikan tersebut hilang? Tidak. Orang-orang Jepangnya tetap menguasai “ruh teknologi”-nya. Andai kepemilikan asing tersebut lepas, orang-orang Jepang di kedua pabrikan tersebut tetap bisa membuat mobil. Paling-paling ada guncangan finansial sesaat akibat larinya working capital.

Kita bandingkan dengan di Indonesia. Pada tahun 2003 produsen barang-barang elektronik terkenal SONY yang berbasis di Jepang menutup pabriknya yang berlokasi di daerah Karawang (di pinggiran jalan tol Jakarta-Cikampek) dengan alasan bisnis mereka sudah tidak menguntungkan lagi dan, menurut mereka pula, bisnis di Indonesia sudah tidak nyaman lagi karena terlalu banyak pungutan – resmi maupun tidak resmi – dari berbagai instansi dan berbagai elemen masyarakat. SONY “memindahkan” pabriknya dari Karawang ke Malaysia. Apa yang SONY tinggalkan di Indonesia? Apakah seperginya SONY orang Indonesia lantas bisa membuat televisi seperti SONY? Yang mereka tinggalkan hanyalah onggokan pabrik dan ratusan – bahkan mungkin ribuan – tenaga kerja Indonesia yang hanya bisa “merakit” komponen-komponen. Sementara “ruh teknologi”-nya mereka bawa pergi. Tentu saja kita tidak pernah bisa membuat sendiri televisi seperti SONY.

Kita lihat lagi di industri otomotif. Sekitar 40 tahun lalu untuk pertama kalinya pabrikan “perakit” kendaraan roda empat berdiri di Indonesia, dengan kepemilikan saham mayoritas oleh pengusaha nasional dan sisanya dimiliki oleh prinsipalnya dari Jepang. Produk otomotif yang dibuat di Indonesia merupakan salah satu contoh penerapan kebijakan protektif yang sudah lama perjalanannya. Apa yang dilakukan pabrikan otomotif nasional setelah mereka mendapat keuntungan dari kebijakan protektif tersebut? Alih-alih menginvestasikan hasil keuntungan tersebut untuk membangun fasilitas produksi hulu, mereka malah melakukan investasi “ke samping”; seperti membangun pabrik perakitan otomotif merek lain yang juga diproteksi, melakukan investasi di real estate, membuka usaha perbankan dan asuransi, merambah bisnis perkebunan, merambah bisnis jalan tol, dan sebagainya.

Akibatnya sektor otomotif kita terus menerus tergantung pada prinsipalnya. Pasca krisis moneter tahun 1998 hal ini makin parah. Sebagian besar pabrikan otomotif kita boleh dikatakan kepemilikannya sudah diambil alih oleh prinsipalnya. Manajemennya pun otomatis barada di tangan prinsipal. Maka prinsipal-lah yang memiliki “kedaulatan” terhadap pabrikan otomotif nasional. Dan selamanya pula para prinsipal-lah yang tetap menguasai “ruh teknologi” otomotif. Sementara bangsa kita hanya bisa merakit, menjual, dan membayar saja. Andai para prinsipal ini memutuskan menutup pabriknya, seperti halnya SONY, maka pabrik otomotif yang ada hanya akan menjadi rongsokan gedung sebagai salah satu saksi bisu sejarah kegagalan bangsa Indonesia dalam berindustri.

Sangat berbeda dengan produsen mobil Hyundai di Korea Selatan dan Proton di Malaysia. Keduanya memulai sebagai ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) sekaligus pabrik perakitan mobil Mitsubishi. Tetapi dengan kontrol kebijakan yang tepat dari pemerintahnya ditambah dengan semangat melakukan “pengindustrian intelegensi” di kalangan pelaku industrinya (tidak sekedar bermental “pedagang”), maka keduanya berhasil membuat mobil merek tersendiri yang sekarang sudah menjadi global brand – Hyundai sudah lebih dahulu.

Dari tahun ke tahun di jaman yang serba materialis ini nasionalisme dipandang sudah luntur. Tidak hanya di kalangan generasi muda, tetapi juga di kalangan para penyelenggara negara. Ini dibuktikan dengan absennya Lagu Kebangsaan Indonesia Raya di Gedung DPR dalam prosesi Pidato Kenegaraan Presiden 14 Agustus 2009 lalu. Masih pentingkah nasionalisme?

Menurut saya nasionalisme masih sangat penting dan relevan, selama tidak chauvinistis. Bangsa adidaya seperti Amerika Serikat saja masih mengedepankan nasionalisme. Tahun 2005 ketika perusahaan minyak Unocal akan dijual, pada mulanya penawar tertinggi adalah Chevron – juga perusahaan minyak berbasis di Amerika Serikat. Kemudian masuklah CNOOC – perusahaan minyak dari China – menawar lebih tinggi dari Chevron. Para petinggi Unocal hampir memutuskan menjualnya ke CNOOC. Kemudian Kongres dan beberapa elemen bangsa Amerika Serikat campur tangan memprotes rencana petinggi Unocal tersebut. Akhirnya, demi membela kepentingan geopolitik Amerika Serikat di percaturan global, Unocal dijual ke Chevron. Contoh lain ketika Amerika Serikat paling terkena dampak krisis finansial global di tahun 2008, tim Obama mengkampanyekan “buy Americans” – beli produk buatan Amerika.

Lalu bagaimana memaknai “nasionalisme” dalam berindustri? Menurut saya ada tiga hal pokok:
  1. Bangsa Indonesia harus mampu dan memiliki semangat untuk menguasai “ruh ilmu pengetahuan dan teknologi”-nya, mulai dari proses produksi hulu sampai hilir. Para pelaku industri jangan sekedar bermental pedagang.


  2. Pihak Indonesia harus memiliki porsi mayoritas kepemilikan dalam sebuah industri. Dengan demikian, bila mesti dilakukan semacam voting dalam mengambil keputusan, maka pihak Indonesia dapat memenangkannya, dan – karenanya – bangsa Indonesia memiliki “kedaulatan” dalam prakarsa berindustri. Jadi masalah porsi kepemilikan tetaplah penting di tengah derasnya arus globalisasi. Adanya penjualan beberapa aset industri nasional ke pihak asing sehingga kepemilikan pihak nasional menjadi minoritas merupakan contoh kemunduran dalam berindustri.


  3. Kepentingan industri harus berpihak pada kepentingan bangsa, yaitu memberi nilai tambah semaksimum mungkin bagi segenap komponen bangsa Indonesia.
Dengan tiga poin berbau “nasionalis” di atas, maka dapat diharapkan ke depannya bangsa Indonesia mampu membuat produk unggulan buatan Indonesia sendiri – made by Indonesians; tidak hanya sekedar jadi tukang rakit atau tukang bayar para kapitalis global. Satu hal yang mesti diingat, globalisasi pada hakikatnya adalah ekspansi kekayaan, bukan berbagi-bagi kemakmuran.

Tidakkah kita ingin hari ulang tahun kemerdekaan kita dari tahun ke tahun dirayakan dengan peluncuran berbagai produk unggulan buatan sendiri yang padat teknologi serta berbagai prestasi membanggakan lainnya? Seperti halnya China, India, dan Iran. Tidak sekedar dirayakan dengan rutinitas semacam lomba panjat pinang, lari karung, lomba bawa kelereng dengan sendok, atau lomba makan kerupuk.

Salam merah-putih. Merdeka!

No comments: