Saturday, May 22, 2021

Another Song Of Silence




Longing for the one:
Like the daylight's longing for the moon
Like the dark night's longing for the sun

But the day can meet the moon
when the twilight is about to disappear
: though only a moment

But the night can meet the sun
when the dawn is about to show up
: though only a moment

Let a cherished moment
take over this silence
Let a precious moment
take over this loneliness
Let the singer sing a song of joy
: take over the sadness

And that moment
: is yet to come


Sunyi, sepi, sendiri...... Sejauh manakah pentingnya kesunyian itu bagi seseorang? Tentunya tergantung bagaimana orang memaknainya. Ada yang butuh dengan kesunyian, ada yang – pada kondisi ekstrim – tidak membutuhkan sama sekali. Bagiku sunyi itu tetap dibutuhkan. Mengapa demikian? Dalam sunyi pintu-pintu ilmu pengetahuan membukakan dirinya bagi pikiran manusia yang sedang mengembara. Dalam hening kita dapat khusyu’ berbicara dengan kata hati sendiri – bahkan ’berbicara’ dengan Sang Pencipta. Dalam sepi ide-ide brilian muncul. Dalam kesendirian karya-karya besar lahir. Tidak sedikit orang besar melahirkan pemikiran-pemikiran agung ketika sedang sendiri dan terasing. Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Gandhi, dan Nelson Mandela adalah contoh orang-orang besar itu.

Lalu lebih penting mana antara sunyi dan ramai? Sekali lagi, tergantung bagaimana memaknai keduanya. Menurutku keduanya saling mengisi. Mengapa demikian? Ide brilian dan pemikiran besar hanyalah sebatas ide dan pemikiran yang tidak pernah dapat terwujud tanpa dilontarkan ke dalam keramaian dalam bentuk diskusi, debat, ceramah, atau dinamika organisasi. Demikian juga dengan sebuah cinta. Tak akan tersambung kalau tidak diucapkan, bukan?

Tetap diperlukan saat-saat tertentu – walau hanya sesaat – untuk menarik diri dari keriuhan. Ilham Khoiri (dalam tajuk ”Dari Tari Kita Berkontemplasi”, Kompas, 9 Agustus 2008) mengatakan:

”Pernahkah kita jenuh dengan rutinitas sehari-hari dan tersudut oleh gempuran berbagai informasi yang mengharu biru? Jika begitu, ada baiknya mencoba diam sejenak, mengambil jeda dari kenyataan riuh, lantas meresapi pergumulan batin sendiri”.
 
Sunyi..... adakalanya, bahkan seringkali, lebih berarti dari keriuhan. 
 
Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, August 10, 2020

Daya Saing Investasi Hulu Migas


Shell memutuskan hengkang dari lapangan gas Abadi, Blok Masela. Chevron siap hengkang dari proyek laut dalam IDD di Selat Makassar. Begitu dua headline berita yang sering muncul di berbagai media akhir-akhir ini.

Banyak yang menghubungkan fenomena larinya investor karena daya saing suatu negara rendah atau tidak menarik untuk berinvestasi dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas. Apakah pendapat tersebut benar 100%? Apakah masuk dan keluarnya investor global dalam suatu negara melulu karena rating daya saing? Apakah daya tarik investasi hulu migas Indonesia rendah?

Untuk melihat rating atau skor daya saing investasi hulu migas (selanjutnya saya sebut exploration and production attractiveness atau disingkat E&P attractiveness) secara kuantitatif, saya mengambil hasil kajian dari empat konsultan yang memang bergerak di jasa konsultansi migas dan energi secara global, yaitu IHS Markit, Wood Mackenzie,  GlobalData, dan Fraser Institute.

IHS melakukan asesmen rating dari tiga parameter, yaitu Activity and Success (level produksi, volume cadangan, aktivitas lima tahun terakhir, dan temuan baru dalam lima tahun terakhir), Fiscal Attractiveness (termin kontrak, rezim fiskal), Oil and Gas Risk (situasi politik, ekonomi, keterbukaan terhadap dunia international, sanctity of contract, stabilitas kebijakan dan regulasi).

Dari tiga parameter di atas, rating Indonesia sudah bagus di sisi aktivitas, urutan ke-27 dari 130-an negara. Sedangkan untuk sistem fiskal Indonesia berada di urutan ke-71, dan berada di urutan ke-88 untuk urusan risiko. Artinya untuk meningkatkan posisinya, mengikuti versi IHS, Indonesia tinggal memperbaiki fiscal term dan mengurangi risiko usaha; antara lain menghargai contract sanctity dan meningkatkan stabilitas regulasi. Secara keseluruhan parameter IHS Markit menempatkan E&P attractiveness Indonesia pada urutan ke-24 (skor 5,2) – masuk dalam kelompok kuartil teratas. Kanada menempati posisi tertinggi dengan skor 7,2.

Wood Mackenzie lebih fokus pada fiscal terms dengan tiga faktor: stabilitas fiskal, prospectivity, dan cost environment. Berdasarkan simulasi  Global Economic Model (GEM) Wood Mac, Indonesia berada di kelompok medium dengan skor 2,4 dari maksimum skor 5. Untuk meningkatkan rating versi Wood Mac, tentunya Indonesia perlu memperbaiki fiscal terms yang ada.

GlobalData melakukan asesmen dengan melihat tingkat perolehan Internal Rate of Return (IRR) yang dihitung berdasarkan rezim fiskal di berbagai negara. Menurut riset GlobalData, tingkat IRR rata-rata semua rezim fiskal adalah sekitar 22%. Rezim fiskal yang paling rigid menghasilkan IRR 10% atau kurang, sedangkan rezim fiskal yang paling menarik menghasilkan IRR rata-rata 35% atau lebih.

GlobalData membagi fiscal attractiveness menjadi delapan kelompok berdasarkan perolehan IRR, dengan rentang skor minimum 1,0 dan maksimum 5,0 lalu diplot dalam format heat map.




Read more (Baca selengkapnya)...

Tuesday, April 28, 2020

“Full storage is the scariest thing…”


Minggu lalu (20/4) untuk pertama kali dalam sejarah WTI diperdagangkan dengan harga negatif mencapai minus $37.63 per barel. Ini artinya pembeli malah dibayar untuk mengambil minyak. Penyebab utamanya adalah hub penyimpanan crude (stockpiles) di Cushing, Oklahoma sudah fully booked. Selain WTI, minyak Western Canadian Select juga sempat berharga negatif.

Pandemi Covid-19 yang saat ini masih naik eskalasinya menyebabkan ekonomi global makin terjun ke jurang resesi. Adanya kebijakan lockdown, physical distancing, dan pembatasan sosial berskala besar di berbagai belahan dunia menyebabkan lumpuhnya transportasi, mobilitas manusia berkurang drastis, pusat-pusat bisnis dan industri sebagian besar tutup. Akibatnya konsumsi energi berbasis minyak bumi turun tajam. Para pengamat memperkirakan permintaan minyak bumi saat ini drop 30% dari kondisi normal, atau drop sekitar 30 juta bopd.

Pertengahan April lalu negara-negara OPEC+ (yaitu OPEC plus Rusia) sepakat akan memangkas produksi mereka sebanyak 9,7 juta bopd di bulan Mei dan Juni. Sementara dalam selang waktu lima minggu produksi minyak AS turun 900 ribu bopd dari 13,1 juta bopd (13/3) menjadi 12,2 juta bopd (17/4) – dikutip dari Energy Information Agency.

Dengan rencana OPEC+ menurunkan produksinya sebesar 9,7 juta bopd, plus produksi AS yang telah turun 900 ribu bopd, ini belum cukup untuk mem-balancing turunnya demand sebanyak 30 juta bopd. Secara matematis masih ada kelebihan pasokan sekitar 20 juta bopd.
Jika sebelumnya sampai Q1-2020 krisis minyak dipicu oleh lower demand, over supply, dan pandemi Covid-19 yang berkepanjangan. Sekarang ada tambahan ancaman baru yaitu penuhnya penyimpanan; baik tangki penyimpanan di darat, penyimpanan bawah tanah (cavern), kapal tanker, maupun pipa. 
Read more (Baca selengkapnya)...

Friday, March 27, 2020

Wabah COVID-19 : Tantangan Besar Bagi Industri Hulu Migas


Tentunya wabah COVID-19 bukan hanya tantangan besar bagi industri hulu migas, namun tantangan bagi seluruh sektor dan lini kehidupan secara global. Dalam artikel ini saya mencoba menyampaikan ulasan singkat bagaimana pelaku industri hulu migas (perusahaan migas global maupun nasional) bereaksi di tengah harga minya dunia yang merosot tajam.


Harga minyak dunia turun drastis Maret 2020. Pada 24 Feb 2020 WTI masih di angka 51.43 dan Brent masih 55.77. Pada 18 Maret 2020 WTI sempat menyentuh angka 20.83 dan Brent 26.69. Posisi terakhir pada 25 Maret 2020 WTI di angka 24.29 dan Brent di angka 24.29 (sumber OILPRICE.com). Dalam sebulan harga minyak merosot tajam lebih dari 55%.

Jika dirunut sejak akhir 2019, penurunan harga minyak dipicu oleh kombinasi tiga hal: (i) diawali oleh lower demand akibat wabah Covid-19 yang berawal di Wuhan kemudian bergerak menjadi pandemi global; (ii) over supply akibat pertemuan 6 Maret 2020 antara OPEC dan negara-negara mitranya (terutama Rusia), yang berakhir tanpa kesepakatan untuk mengurangi tingkat produksi di tengah ekspektasi pasar akan penurunan permintaan minyak global dalam beberapa bulan mendatang; (iii) Covid-19 yang belum ditemukan vaksinnya makin menambah banyak korban jiwa serta makin mengeskalasi sebagai pandemi global yang mengakibatkan kontraksi pertumbuhan ekonomi global. Transportasi adalah sektor yang paling terpukul.

Banyak pengamat memperkirakan harga minyak akan berkisar di level +/- 30 sampai ditemukannya vaksin Covid-19.Penurunan tajam harga minyak bukanlah kejadian baru. Menurut World Bank, dalam kurun 35 tahun terakhir paling tidak ada enam episode kejadian dimana harga minyak turun lebih dari 30% dari baseline semula

Kemerosotan harga minyak tentu saja akan menyebabkan perlambatan dalam kegiatan eksplorasi dan produksi, akibatnya akan memberikan dampak negatif bagi banyak sektor lain dalam ekonomi global. Seperti pada waktu-waktu sebelumnya, jika penurunan harga minyak terjadi dalam jangka waktu lama, para perusahaan migas global akan melakukan spending cuts dan efisiensi, sehingga dapat mengakibatkan perlambatan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Spending cuts artinya mengurangi pengeluaran, terutama capex yang sifatnya capital intensive, dan proyek-proyek jangka menengah-panjang yang memang belum menambah produksi dalam waktu dekat. FID dan non-sanctioned project juga bisa tertunda. Efisiensi artinya mereka akan merestrukturisasi pengeluaran berdasarkan skala prioritas, re-scoping proyek-proyek (termasuk proyek pembangunan fasilitas dan pengeboran), dan sementara waktu berfokus pada kegiatan yang sifatnya mempertahankan level produksi.

Penting untuk disadari bahwa bisnis minyak telah menghadapi perubahan dan ketidakpastian sejak awal. Kita tidak bisa menghindari peristiwa siklus, ketika harga naik dan turun. Itu adalah sifat pasar; sudah hukum ekonomi, jika tidak dapat dikatakan hukum alam. Nanti akan tiba waktunya tercapai ekuilibrium supply-demand yang baru, sehingga secara perlahan kegiatan eksplorasi dan produksi akan rebound kembali.

Berdasarkan artikel IHS Markit (24 Mar 2020), setelah harga minyak jatuh tajam 18 Maret 2020, para operator migas melakukan revisi anggarannya berdasarkan harga crude $30, yang sebelumnya berdasarkan harga crude $50. Berikut saya kutip langsung artikel tersebut:

Read more (Baca selengkapnya)...