Sunday, January 31, 2010

Carut-Marut Tatanan Keadilan


Salah satu sel mewah yang diliput media

Kata “carut-marut” sering dipakai untuk menggambarkan suasana kacau-balau bak benang kusut. Beberapa orang menulisnya dengan “karut-marut”, artinya sama saja. Saya tidak tahu persis dan belum berkesempatan mempelajari darimana kata majemuk ini berasal. Saya menduga ada kemungkinan kata ini berasal dari nama “Harut” dan “Marut”, cerita tentang malaikat dari Negeri Babilonia (Irak modern sekarang) yang dalam tradisi Islam diabadikan dalam Alqur’an Surat Al-Baqarah ayat 102.

Menurut referensi yang saya baca, ada dua pendapat dari para mufasir (ahli tafsir) tentang pemaknaan “Harut dan Marut”. Versi pertama menafsirkan bahwa Harut dan Marut adalah benar-benar nama dua malaikat. Ceritanya Allah subhanahu wata’ala mengutus dua malaikat bernama Harut dan Marut ke bumi untuk membantu menyelesaikan berbagai perselisihan antar sesama manusia. Sebelum berbaur dengan manusia, Allah memberikan hawa-nafsu kepada Harut dan Marut. Ternyata setelah turun ke bumi kedua malaikat tersebut tidak tahan menahan hawa nafsunya. Mereka meminum khamar (mabuk-mabuk), melakukan pemerkosaan, melakukan pembunuhan, dan mengajarkan ilmu sihir.

Versi kedua menafsirkan bahwa Harut dan Marut itu adalah dua orang manusia biasa. Karena sangat soleh dan mulia akhlaknya, mereka berdua disamakan derajatnya oleh orang-orang Babilonia sebagai “malaikat”. Akan tetapi di akhir kehidupannya kedua orang tersebut terjerembab ke lembah nista. Melakukan tipu daya, berbagai perbuatan dosa besar, dan juga mempraktekkan ilmu sihir untuk menyesatkan manusia. Makanya di Babilonia ada sumur yang namanya sumur Harut dan Marut. Konon di sumur inilah kedua orang (atau kedua malaikat?) tersebut terkubur saat ajalnya.

Kelompok mufasir mana yang benar, wallahu ‘alam. Saya hanya mencoba memberikan perumpamaan bahwa carut-marut tatanan keadilan di negeri tercinta ini serupa dengan cerita Harut dan Marut tersebut. Berbagai fakta yang terjadi dalam sistem hukum dan peradilan kita sungguh sangat bertolak belakang dengan pernyataan para elit dan para hamba hukum yang sering dengan lantang mengatakan “negara kita adalah negara hukum” atau “demi hukum”.

Setelah disuguhi berita dan tayangan kasus Antasari, kasus cicak-buaya, kasus Prita, kasus Ibu Minah yang gara-gara hanya memetik tiga butir buah kakao dipidana kurungan 45 hari, Anggodo yang telah sekian bulan melenggang bebas sampai akhirnya ditahan KPK, adanya markus (makelar kasus), kasus bail-out Bank Century yang mendapat kucuran Rp 6,8 triliun, kemudian di pertengahan Januari 2010 kita disuguhi liputan adanya sel-sel mewah di rumah tahanan.

Kejadian demi kejadian dalam sistem hukum dan peradilan kita makin mempertontonkan bahwa betapa yang namanya “negara hukum” dan “penegakan hukum” itu ibarat jauh panggang dari api. Seperti kita memanggang ikan, tidak akan pernah matang karena posisinya jauh dari tungku bara api. Semakin pula menyuguhkan fakta bahwa yang memiliki uang dan kekuasaanlah mendapat tempat istimewa dalam sistem hukum dan peradilan kita. Uang telah mengendalikan segalanya. Sedangkan rakyat kecil (“wong cilik” dalam pengertian sebenarnya) begitu gampang ditangkap, diadili, dan dijebloskan ke sel tahanan; dengan dakwaan yang masih bisa diperdebatkan baik dari sisi hukum positif maupun dari sisi ‘rasa keadilan’ yang sesungguhnya.

Praktek-praktek yang jauh dari norma keadilan sangat menyakitkan hati rakyat. Apalagi yang namanya rakyat di Indonesia ini mayoritas hanyalah orang-orang biasa yang tidak memiliki akses ke pusat-pusat kekuasaan dan karenanya tidak memungkinkan mencari pembela hukum yang handal karena tidak memiliki cukup uang untuk itu. Untuk makan-minum sehari-hari saja sudah senin-kamis. Dari yang namanya ‘rakyat’ ini, paling tidak sekitar 76 juta jiwa – menurut data statistik jumlah kepala keluarga yang memperoleh bantuan langsung tunai di tahun 2008 – berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah kiraan ini memakan porsi sepertiga dari total populasi Indonesia.

Perlu diingat, di tengah-tengah praktek ketidakadilan, ideologi trans nasional yang destruktif akan gampang menyusup dan diserap oleh masyarakat setempat. Makanya ideologi destruktif sering disebut sebagai ‘bahaya laten’ karena di samping tidak terlihat, efeknya tertanam jauh ke dalam relung hati manusia yang berhasil disusupinya.

Sejarah telah memberikan pembelajaran pada kita bahwa praktek ketidakadilan yang kronis dari para penguasa akan memancing kerusuhan sipil (civil disturbance). Kerusuhan dalam skala masif dan terorganisir dapat menimbulkan revolusi. Jika terjadi revolusi, nasib dan eksistensi negara-bangsa (nation-state) menjadi taruhannya. Maka berhati-hatilah dengan ketidakadilan.

Ketika berkesempatan mengikuti tayangan berita tentang adanya sel-sel mewah, saya jadi terkejut. Namun yang membuat saya terkejut bukan karena saya baru mendengar berita tentang adanya sel mewah tersebut. Sebetulnya adanya sel mewah dalam rumah tahanan bukan berita baru, sudah ada dan sudah menjadi semacam rahasia umum sejak dulu. Yang membuat saya terkejut adalah, kok pimpinan rumah tahanan, Direktur yang membawahinya, Dirjen yang membawahinya, sampai Menteri yang membawahinya jadi pada ‘terkejut’ semua. Seakan-akan bagi bapak-bapak ini berita adanya sel-sel mewah tersebut baru terjadi kemarin sore. Ya, tak ubahnya seperti berita tentang adanya praktek kekerasan menahun di beberapa lembaga perguruan tinggi, bapak-bapak kita langsung merasa ‘terkejut’, sekan tidak pernah mendengar sama sekali adanya praktek paranoid di lembaga yang berada di bawah naungannnya sendiri.

Saya jadi ingat lagu “menanti kejujuran”, sebuah lagu sweet rock yang dinyanyikan Achmad Albar dengan grup Gong 2000-nya yang sempat tenar di pertengahan tahun 1990-an. Ya, kapankah kejujuran dapat menjadi budaya bangsa? Apakah jawabannya akan sama dengan lakon teater “Menunggu Godot” yang sempat populer di penghujung 1970-an sampai awal 1980-an? Dalam lakon teater ini diceritakan ada seorang lelaki janjian ketemu dengan seseorang (juga laki-laki) yang bernama Godot di taman alun-alun kota. Ternyata sampai lakon selesai, si Godot tidak pernah datang.
Read more (Baca selengkapnya)...

Sunday, January 17, 2010

Menghadapi ASEAN-China Free Trade Area (Perdagangan Bebas ASEAN-China); Apakah Industri Kita Sudah Memiliki Ketahanan?

{Ditulis sebagai bahan diskusi dalam milist APPI (Asosiasi Pengadaan Perminyakan Indonesia)}


Sebelum saya lanjutkan, saya ingin memberitahu terlebih dahulu bahwa untuk ranah ‘perdagangan bebas’ dan ‘industri’, saya adalah orang yang berada di luar “lapangan permainan”- artinya saya tidak termasuk di antara kategori ini: pelaku bisnis, pelaku industri, pengamat, para ahli, apalagi sebagai orang yang memiliki keterlibatan dalam mengambil kebijakan di sektor industri dan perdagangan. Tentunya pengetahuan dan referensi yang saya miliki tentang seluk beluk industri dan perdagangan bebas sangat terbatas. Apa yang saya tulis disini hanya sebatas “concern” salah seorang dari 225 juta orang stakeholders dalam Indonesia Inc.

Perdagangan Bebas ASEAN-China atau ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) akhir-akhir ini memang menjadi buah bibir dan topik-topik hangat di media massa (walau saya sendiri tidak berkesempatan mengikuti beritanya secara intensif) karena sangat mengkhawatirkan banyak pihak. Banyak pabrik dikatakan terancam tutup. Bakal terjadi gelombang PHK besar-besaran. Bagaimana tidak? Sebelum diberlakukannya perdagangan bebas ASEAN-China saja pasar Indonesia – mulai dari produk berbasis hi-tech sampai kancing baju – dibanjiri oleh produk buatan China. Konon di sentra perekonomian seperti Tanah Abang, produk pakaian-jadi China telah merebut sekitar 40% dari pangsa pasar. Apalagi jika pasar bebas ASEAN-China diberlakukan.

Berbagai sumber mengatakan sepanjang tahun 2009 China membukukan total nilai ekspor sebesar US$ 1,2 triliun. China berhasil menggeser posisi Jerman yang di tahun yang sama membukukan total nilai ekspor sebesar US$ 1,1 triliun. Dengan demikian, di tahun 2009 China merupakan negara di dunia dengan nilai ekspor terbesar. Jika GDP Indonesia besarnya Rp 5 ribu triliun atau setara US$ 500 miliar, berarti nilai ekspor China lebih dari dua kali lipat GDP Indonesia. Bisa dibayangkan, China memang sudah menjelma menjadi seekor naga yang sudah berlari kencang sambil melakukan berbagai lompatan kuantum. China memang sudah menjadi kekuatan ekonomi yang tak terbendung.

Lantas, jika banyak menimbulkan kekhawatiran, mengapa Pemerintah meratifikasi Perdagangan bebas ASEAN-China, terlepas dari apakah kebijakan tersebut dinilai “reasonable” atau kontroversial? Terus terang saya tidak tahu jawabannya. Yang jelas semestinya sebuah keputusan yang menyangkut Indonesia Inc. sudah melewati berbagai tahapan proses dan pemikiran yang matang. Seyogyanya sudah diperhitungkan betul-betul untung-ruginya, serta sudah dilakukan assessment menyeluruh terhadap peluang, ancaman, dan tantangan yang akan timbul sebagai konsekuensi dari diberlakukannya pasar bebas itu. Semestinya juga pemerintah telah menyiapkan berbagai anticipative plan, berupa jurus-jurus penangkal untuk menghindari terjadinya de-industrialisasi dan gelombang PHK masal. Mudah-mudahan demikian karena sudah beberapa kali saya mendengar pihak pemerintah menyuarakan jaminan tidak bakalan terjadi yang namanya penutupan pabrik, tidak bakalan terjadi yang namanya gelombang PHK masal.

Paling tidak ada tiga sektor yang berkaitan langsung dengan ACFTA ini: investasi atau penanaman modal, perdagangan, dan industri. Dari sisi investasi mungkin pemerintah berharap perdagangan bebas ini akan menambah dan lebih memperlancar masuknya arus investasi dari China. Bukankah selama ini Pemerintah Indonesia memang sudah berkiblat ke China? Tanpa invetasi dari China, kemungkinan Jembatan Suramadu belum berdiri. Tanpa investasi dari China, kemungkinan Proyek Litsrik 10 ribu MW Tahap Pertama yang saat ini installed capacity-nya baru rampung 15% itu belum tentu bisa berlanjut seperti sekarang ini. Dari perspektif investasi, kelihatannya positif.

Dari sisi perdagangan, pemerintah mengharapkan adanya semacam give and take counter-trade yang dapat membukukan neraca perdagangan positif bagi Indonesia. Indonesia bisa mengisi celah permintaan produk atau komoditi yang tidak dimiliki China. Bisa diterka bahwa tekanan terhadap sumber daya alam akan makin besar, karena komoditi primer berbasis sumber daya alamlah yang hingga kini masih menjadi andalan ekspor Indonesia.

Bagaimana dengan produk industri? Inilah yang akan berhadapan langsung secara frontal dan akan mendapat serangan bertubi-tubi dari China. Sebetulnya, jika saja industri nasional kita memiliki ketahanan (sustainability), adanya era perdagangan bebas bukanlah sesuatu yang terlalu menakutkan. Hal ini semua sangat tergantung pada kemampuan daya saing produk yang dihasilkan, kemampuan adaptasi, kualitas sumber daya manusia, dan kebijakan pemerintah yang adil. Apabila faktor-faktor ini dimiliki oleh suatu tatanan perekonomian, maka walaupun globalisasi dapat menghasilkan berbagai perubahan perekonomian suatu negara, tetapi globalisasi dapat memberikan keuntungan bagi perekonomian itu sendiri. Sebaliknya, apabila suatu negara tidak memiliki faktor-faktor ini, maka globalisasi akan menggilas perekonomian negara tersebut.

Yang nampak selama ini adalah bahwa tatanan industri kita tidak betul-betul dipersiapkan untuk memiliki ketahanan agar mampu bersaing di pasar bebas. Industri manufaktur kita yang pada awalnya dibangun berdasarkan strategi substitusi impor hingga saat ini masih sangat tergantung pada impor bahan baku, barang modal (kapital), input perantara, dan impor teknologi.

Beberapa permasalahan industri dan perdagangan kita antara lain:
  • Industri Indonesia sangat tergantung pada impor sumber-sumber teknologi dari negara lain, terutama negara-negara yang telah maju dalam berteknologi dan berindustri (industrially developed countries). Ketergantungan yang tinggi terhadap impor teknologi ini merupakan salah satu faktor tersembunyi yang menjadi penyebab kegagalan dari berbagai sistem industri dan sistem ekonomi di Indonesia.


  • Secara intrinsik, baik pada tataran nasional maupun internasional, sistem industri Indonesia tidak memiliki kemampuan responsif dan adaptif yang mandiri. Karenanya sangat lemah dalam mengantisipasi perubahan dan tak mampu melakukan tindakan-tindakan preventif untuk menghadapi terjadinya perubahan tersebut. Tuntutan perubahan pasar dan persaingan antar industri secara global tidak hanya mencakup perubahan di dalam corak, sifat, kualitas, dan harga dari komoditas yang diperdagangkan, tetapi juga tuntutan lain yang muncul karena berkembangnya idealisme masyarakat dunia terhadap hak azasi manusia, pelestarian lingkungan, liberalisasi perdagangan, dan sebagainya.


  • Gerak ekonomi Indonesia sangat tergantung pada arus modal asing yang masuk ke Indonesia serta besarnya cadangan devisa yang terhimpun melalui perdagangan dan hutang luar negeri.


  • Komposisi komoditi ekspor Indonesia pada umumnya bukan merupakan komoditi yang berdaya saing, melainkan karena adanya keunggulan komparatif yang berkaitan dengan (i) tersedianya sumber daya alam - seperti hasil perikanan, kopi, karet, dan kayu; dan (ii) tersedianya tenaga kerja yang murah – seperti pada industri tekstil, alas kaki, dan barang elektronik. Keunggulan komparatif, bukan keunggulan kompetitif, inilah yang dijadikan acuan untuk menarik investor.


  • Komoditi primer yang merupakan andalan ekspor Indonesia pada umumnya dalam bentuk bahan mentah (raw material), sehingga nilai tambah yang diperoleh sangat kecil. Misalnya Indonesia mengekspor kayu dalam bentuk gelondongan, yang kemudian diimpor lagi dalam bentuk mebel (furniture) karena terbatasnya penguasaan desain dan teknologi finishing.


  • Masih relatif rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan formal dan pola pelaksanaan pelatihan yang cebderung masih bersifat umum dan kurang berorientasi pada perkembangan kebutuhan dunia usaha. Selain itu, rendahnya kualitas sumber daya manusia akibat dari pola penyerapan tenaga kerja di masa lalu yang masih mementingkan pada jumlah tenaga manusia yang terserap (labor intensive) ketimbang kualitas tenaga manusianya (labor efficiency).
Mau Produk “Made by Indonesia” atau Hanya Puas dengan Sekedar “Made in Indonesia”?

Rasanya mulai dari Keppres 80/2003 beserta aturan-aturan turunannya mendefinisikan bahwa produk nasional adalah produk (baik berupa barang, jasa, atau rancang bangun) yang dibuat di Indonesia. Perusahaan nasional adalah perusahaan yang didirikan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia – terlepas dari siapapun yang memiliki perusahaan itu (WNI atau warga negara asing). Sedangkan industri nasional adalah industri yang didirikan di Indonesia – juga terlepas dari apakah kepemodalannya dari penanaman modal asing (PMA) atau PMDN.

Maka antara produk “made in Indonesia” dengan “made by Indonesia” serta antara “Indonesia content” dengan “local content” menurut saya terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Katakanlah mobil dengan brand “A” yang berasal dari Jepang dirakit di Indonesia. Maka kita dapat katakan bahwa mobil tersebut sekedar dibuat di Indonesia atau made in Indonesia; bukan betul-betul dibuat oleh Indonesia atau made by Indonesia. Sebab mulai dari mayoritas porsi kepemilikan, mayoritas sumber daya finansial, sampai penguasaan “ruh” teknologinya dimiliki oleh prinsipalnya dari Jepang.

Sekarang tinggal mau kemana kita mengarah. Apakah kita sudah cukup puas dengan dijadikannya Indonesia sebagai basis investor global untuk sekedar membuat produk “made in Indonesia” saja, atau mau mengarah ke peningkatan kapasitas nasional sehingga nantinya komponen bangsa ini betul-betul mampu membuat produk “made by Indonesia”. Apakah kita sudah cukup puas dengan sekedar masuknya investor asing untuk menanamkan modalnya dan mendirikan pabriknya di Indonesia lalu mengharapkan multiplier effects yang dimunculkannya, atau nantinya mau mengarah ke skenario yang mayoritas sumber daya industrinya dimiliki orang Indonesia sendiri.

Pilihan ada di tangan segenap stakeholders bangsa ini. Masing-masing tentunya punya pemaknaan sendiri-sendiri. Kalau penganut mazhab ortodoks seperti saya masih berkeyakinan bahwa masalah kepemilikan dan penguasaan ruh teknologi (lebih dari sekedar berjiwa enterpreneurship) masih sangat relevan dalam membentuk ketahanan industri. Makin besar porsi “Indonesia content” yang dimiliki industri nasional kita, maka akan makin mandiri kita dalam prakarsa berindustri. Disinilah inti dari semangat berdikari yang dicanangkan founding fathers kita saat Indonesia masih berusia kanak-kanak. Berdikari tidak berarti anti asing. Bangsa Indonesia tetap memerlukan banyak kemitraan dengan elemen-elemen asing, tetapi hendaklah kemitraan itu betul-betul dijalankan secara adil dan berdasarkan semangat kesetaraan.

Kita ambil salah satu contoh jika hanya sekedar mementingkan arus investasi asing dalam mengindustrikan Indonesia. Di tahun 2003 ada pabrikan barang elektronik merek sangat terkenal yang investornya dari Jepang hengkang dari Indonesia dan menutup pabriknya di Karawang. Setelah mereka merelokasikan pabriknya ke Malaysia, apa yang terjadi? Apakah Indonesia bisa membuat – katakanlah – televisi dengan kualitas yang sama? Jawabannya: tidak, karena ruh teknologinya tetap dikuasai si investor. Di sisi lain, tidak adanya taktik dan strategi jangka panjang untuk dapat mengambil alih kemampuan teknologi yang tersimpan dalam technoware, humanware, infoware, dan orgaware yang dimiliki investor asing. Ini sekedar ilustrasi akibat jika hanya mementingkan arus investasi asing dalam prakarsa berindustri. Ternyata derasnya arus investasi asing tidak menjamin sebuah bangsa untuk mampu berindustri sendiri.

Where To From Here?

Terlepas dari masalah apakah platform industri kita sudah kuat atau belum untuk bersaing di pasar bebas, terlepas dari suka atau tak suka, dan terlepas dari pro-kontra, yang jelas Indonesia telah meratifikasi berbagai perjanjian perdagangan bebas. Mulai dari WTO, APEC, AFTA, dan yang terakhir ACFTA. Maka segenap stakeholders industri dalam negeri harus merapatkan barisan agar tetap survive dan bagaimana caranya agar timbul peluang-peluang baru di balik ancaman dan tantangan pasar bebas. Untuk itu perlu dipersiapkan berbagai perangkat dan instrumen.

Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan sebagai resolusi adalah:
  • Perkuat keunggulan kompetitif industri kita. Adanya serangan produk China yang murah meriah memang akan menyebabkan guncangan – ibarat pesawat udara yang masuk ke zona turbulensi udara. Seberapa mampu pesawat dan penumpang selamat akan sangat bergantung pada kepiawaian pilot dan awak kabinnya. Saya memperkirakan jika produk kita kompetitif (terutama dari segi kualitas) maka turbulensi itu bersifat sementara. Toh selama ini dikenal bahwa produk China yang murah itu kualitasnya banyak yang abal-abal. Lama kelamaan orang akan kembali pada pepatah “ada harga ada barang”. Tetapi yang paling tertekan nantinya adalah sektor usaha kecil dan menengah (UKM) yang segmen pasarnya golongan bawah, seperti produk pakaian-jadi (konveksi) misalnya. Masyarakat golongan bawah yang merupakan porsi mayoritas dari penduduk Indonesia belum begitu mementingkan kualitas dan merek. Mana yang murah itu yang akan dibeli.


  • Cintai produk Indonesia. Jepang patut dicontoh dalam mencintai produk negeri sendiri. Konon orang Jepang tidak mau membeli produk impor di negerinya karena mereka menyadari bahwa jika industri lokalnya mati maka akan terpukullah perekonomiannya. Ternyata semangat nasionalisme, walau mungkin di sebagian kalangan sudah dianggap ketinggalan jaman karena uang memang tidak mengenal nasionalisme, masih cukup relevan sebagai salah satu unsur dalam membentuk ketahanan industri. Mencintai produk negeri sendiri akan sangat membantu sektor industri kita keluar dari perangkap turbulensi seperti yang saya ibaratkan di atas.


  • Dalam kondisi SOS dimana industri kita terancam mati, pemerintah harus memiliki persiapan jurus-jurus untuk melindungi dan berpihak pada industri dalam negerinya. Sepengetahuan saya yang namanya perdagangan bebas itu tidaklah betul-betul sebebas-bebasnya. Masih ada celah untuk menegosiasi ulang berbagai pos tarif. Masih ada celah untuk melakukan safeguard. Dalam konteks perjanjian perdagangan bebas tentu semangatnya adalah semangat pertemanan. Tentunya sangat tidak adil jika hoapeng (teman)-nya bakal megap-megap bak ikan koki di dalam akuarium yang kekeringan air.


  • Di era pasar bebas, serangan produk impor dapat dihambat – atau minimal bisa diperlambat – dengan cara soft trade barrier; misalnya dengan mengimplementasikan standarisasi baku mutu semacam SNI (Standar Nasional Indonesia), sertifikasi-sertifikasi, dan lain-lain. Asosiasi-asosiasi yang berafiliasi ke industri dapat memegang peranan dalam hal ini. Di negara-negara maju penganut liberalisasi peran asosiasi sangat besar dalam membendung serangan produk impor.


  • Langkah strategis yang justru menurut saya dapat diambil manfaatnya dalam membangun perindustrian kita adalah dalam hal investasi langsung (foreign direct investment). Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka mengatur apa saja bidang usaha yang terbuka dan tertutup untuk investasi. Jika kebijakan serupa ini masih bisa diberlakukan maka kita bisa memanfaatkan atau “menggiring” arus modal asing agar berinvestasi ke arah hulu (upstream) proses produksi, atau berinvestasi ke industri yang bisa menjadi input perantara bagi industri lain yang sudah ada. Jangan ikut-ikutan berinvestasi ke fasilitas produksi hilir (downstream) yang sudah dimiliki Indonesia saat ini. Kita ambil contoh industri pipa baja tanpa kampuh (seamless steel pipe). Industri baja kita yang paling hulu adalah Krakatau Steel. Sedangkan industri pipa tanpa kampuh kita saat ini baru memiliki kemampuan melakukan proses perlakuan panas (heat treatment) dan penyelesaian akhir (end finishing). Nah, Indonesia bisa memanfaatkan investor asing untuk membangun industri yang khusus memasok bahan bakunya (green pipe). Sehingga secara backward linkage industri baru ini dapat mengambil input baja pejal dari hasil produksi Krakatau Steel, dan secara forward linkage produk industri baru ini bisa memasok kebutuhan bahan baku untuk industri pipa yang sudah ada. Dengan demikian gap bisa terpenuhi, dan Indonesia dapat memiliki industri terintegrasi dari hulu sampai hilir, tanpa mengancam kelangsungan industri yang sudah ada.

    Contoh lain adalah industri otomotif. Kenapa tidak kita undang investor dari China agar membangun industri otomotif terintegrasi di Indonesia. Tidak sekedar hanya bisa merakit seperti yag dilakukan oleh berbagai pabrikan otomotif yang sudah ada saat ini. Jika di Indonesia ada pabrikan otomotif yang terintegrasi, maka diharapkan Indonesia akan mampu membuat mobil sendiri; seperti halnya Korea Selatan dan Malaysia.


  • Bagi industri nasional yang sudah ada dan butuh suntikan modal untuk mengembangkan fasilitas produksinya ke arah hulu atau untuk memperkuat platform-nya tentunya perlu diberlakukan berbagai insentif, terutama dari segi pendanaan. Angka suku bunga kredit yang dua digit saat ini (di atas 12%) dirasakan sangat mencekik leher debitur. Tingginya suku bunga kredit di Indonesia merupakan salah satu pemicu ekonomi biaya tinggi (high cost economy) serta tingginya biaya produk (cost of goods).


  • Hal yang tidak dapat ditawar adalah perkuat “iptek” di sektor industri kita. Para kritikus menilai bahwa selama ini industri kita belum memiliki budaya “iptek”. Ini terlihat dari masih lemahnya sisi R&D dan minimnya “pengindustrian inteligensi”. Rendahnya intensitas kegiatan iptek dalam industri lebih kurang mencerminkan karakter budaya bangsa yang memang belum menyadari ugensi iptek. Pasca Habibie kondisi ini makin menyedihkan lagi. Karena prioritas elit bangsa lebih banyak terfokus dan terkuras untuk mengurusi carut-marut persoalan politik, maka iptek seakan termarjinalkan – tidak ada gregetnya, begitu kira-kira. Padahal kalau kita berkaca ke negara-negara maju, tidak satupun negara maju yang tidak memiliki basis iptek yang kuat.


  • Meski kemitraan dengan pihak-pihak asing di era pasar bebas ini tak terelakkan, namun dalam prakarsa berindustri tetaplah semangat untuk terus menambah porsi Indonesia content (lebih dari sekedar local content) dan berusaha membuat produk made by Indonesia (lebih dari sekedar made in Indonesia). Kelak kemudian hari, jika berhasil, akan melepaskan Bangsa Indonesia dari belenggu ketergantungan terhadap sumber daya impor.
Anyway, tentunya banyak para ahli dan profesional dari berbagai kalangan stakeholders industri nasional kita yang jauh lebih mampu memikirkan resolusi guna membuat jurus-jurus antisipasi terhadap perdagangan bebas ASEAN-China ini.

Have a nice weekend.
Read more (Baca selengkapnya)...