Thursday, December 31, 2009

New Year Again



The new day dawning,
and the night left behind
Is it just another day..?

Best wishes to all.....
Read more (Baca selengkapnya)...

Friday, December 25, 2009

Komitmen Indonesia Mengurangi 26% Emisi Gas Rumah Kaca di Tahun 2020 – Realistiskah?



Tanggal 7-18 Desember 2009 diadakan Konferensi Perubahan Iklim, disebut dengan COP-15, di Kopenhagen, Denmark. Permasalahan iklim adalah masalah global karena menyangkut kelangsungan hidup manusia dan semua spesies di biosfer bumi ini, dan karenanya layak diikuti beritanya, namun sayangnya ketika COP-15 berlangsung saya tidak berkesempatan mengikutinya secara runut. Hanya sepenggal-sepenggal saja. Itupun secara tidak sengaja, lewat radio misalnya.

Media massa mengutip bahwa Indonesia, melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berkomitmen untuk menurunkan kadar emisi gas rumah kaca sebesar 26% di tahun 2020. Artinya pada tahun 2020 nanti kadar emisi gas rumah kaca di Indonesia tinggal 74% dibandingkan saat ini. Apa konsekuensi dari komitmen tersebut?

Karena saya bukan ahli lingkungan maka saya tidak memiliki banyak referensi yang memadai tentang seluk-beluk Perubahan Iklim. Apa yang saya tulis disini hanya sebatas concern sebagai orang yang awam karena masalah perubahan iklim adalah masalah kita bersama – seluruh manusia dan spesies makhluk hidup – karena kita hidup di atas bumi yang sama, menghirup udara yang sama, dan – sesungguhnya – memiliki satu samudera yang sama.

Yang dimaksud gas rumah kaca adalah Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Dinitrogen oksida (N2O) dan F-gases (HFC, PFC dan SF6) dengan porsi masing-masing sekitar 81%, 13%, 5%, dan 1% (sumber: World Energy Outlook 2008, IEA/OECD). Menurut yang saya baca dari salah satu edisi khusus National Geographic tentang perubahan iklim, Metana dapat bertahan di atmosfer selama 12 tahun, N2O selama 114 tahun, sedangkan CO2 berabad-abad. 50% dari CO2 menghilang dari atmosfer dalam 30 tahun, 30% menghilang dalam beberapa ratus tahun, 20% bertahan selama seribu tahun. Tidak heran jika titik fokus perubahan iklim adalah emisi CO2.


76% dari total emisi gas CO2 merupakan hasil dari pembakaran energi (pembangkit tenaga listrik dan sektor transportasi yang menggunakan energi fosil sebagai bahan bakarnya), 19% dari deforestasi dan pembakaran hutan, sisanya dari industri lain dan peralatan rumah tangga.

Kalau dirinci berdasarkan sektor, pada tahun 2006 sektor pembangkit tenaga menyumbang 61% emisi CO2, sektor transportasi menyumbang 23%, sektor industri masif seperti industri baja, petrokimia, kertas, dan percetakan menyumbang 16%, sektor rumah tangga dan hunian (residential) 17%, pertanian 2%, serta jasa-jasa lainnya 1%.

Maka yang harus dilakukan Indonesia agar kadar emisi gas rumah kaca berkurang adalah:
  • Mengurangi konsumsi energi fosil dan beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.

  • Menyetop atau paling tidak mengendalikan deforestasi serta alih-fungsi lahan hutan.

  • Melakukan penghematan energi (terutama energi fosil), baik melalui konservasi sumber daya energi maupun efisiensi pemakaian energi.

  • Bersungguh-sungguh melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan.
Jika keempat hal di atas tidak mampu dilakukan oleh Indonesia, maka secara matematis sebagai trade-off dari tekad untuk mengurangi 26% emisi gas rumah kaca sampai 10 tahun mendatang adalah mengurangi laju pertumbuhan pemakaian energi, memperlambat laju pertumbuhan industri, dan mengerem laju pertumbuhan pemakaian kendaraan bermotor sehingga secara agregat mampu mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 26%. Hal yang tidak mungkin dilaksanakan Indonesia karena sebagai negara yang berkembang dan tengah giat membangun – meskipun banyak kebijakan yang disorientatif – memerlukan pertumbuhan berbagai sektor untuk memacu pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi sangat membutuhkan pertambahan permintaan energi.

Dari empat poin di atas mari kita tinjau secara singkat apa tantangan yang bakal dihadapi Indonesia dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca:

Pertama, mengurangi konsumsi energi fosil dan beralih ke energi terbarukan yang ramah lingkungan. Saat ini banyak pengamat mengatakan bahwa diversifikasi energi dengan memanfaatkan energi terbarukan masih jalan di tempat. Indonesia masih sangat tergantung pada tiga jenis energi fosil ini: minyak bumi, gas, dan batubara. Minyak dan batubara merupakan penyumbang terbesar emisi CO2 dari sektor energi.

Menurut data bauran energi Indonesia pada tahun 2008 minyak memakan porsi 48,4%, gas 28,6%, batubara 18,8%, sisanya yang 4,2% energi terbarukan. Berarti 95,8% kebutuhan energi Indonesia dipasok oleh energi fosil. Porsi energi fosil ini akan bertambah lagi karena proyek pembangkit listrik 10 ribu MW tahap I, yang sampai semester dua 2009 pembangunannya belum mencapai 10% yang selesai, semuanya menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya. Sementara penggunaan energi terbarukan baru akan dilaksanakan di proyek 10 ribu MW tahap II (70% bauran energi primernya akan menggunakan panas bumi dan hidro). Masih relatif mahalnya biaya investasi untuk pemanfaatan energi terbarukan merupakan salah satu kendala finansial utama saat ini.

Sekarang kita lihat sektor transportasi. Boleh dibilang nyaris 100% masih tergantung pada bahan bakar berbasis minyak bumi. Pemakaian BBG untuk sektor transportasi masih sangat terbatas. Bisa dihitung dengan jari stasiun bahan bakar yang menjual BBG. Biofuel yang dijual di stasiun pengisian bahan bakar hanya mengandung kadar etanol sekitar 1-2% saja – masih jauh dari memadai untuk menggantikan porsi BBM. Di Indonesia hmobil bermesin hibrida (kombinasi mesin listrik dan konvensional) yang lebih hemat BBM dan tingkat emisi yang jauh lebih rendah harganya rata-rata dua kali lebih mahal dari kendaraan bermesin konvensional.

Kedua, menahan laju deforestasi dan alih fungsi hutan. Ini juga untuk saat ini merupakan hal yang jalan di tempat. Dari sisi Pemerintah terkesan tidak bersungguh-sungguh untuk menghentikan pembalakan liar atau pembalakan yang melebihi HPH yang wajar. Satu per satu kasus kejahatan lingkungan menguap begitu saja. Dan saya juga tidak tahu persis seberapa besar porsi lahan hutan yang ditanami kembali (reforestasi).

Menurut data yang dikompilasi National Geographic, Indonesia menempati urutan kedua di antara lima negara di dunia dengan laju deforestasi terbesar. Dalam kurun 2000-2005 Brazil menempati urutan pertama dengan tingkat kehilangan hutan rata-rata sebesar 3,47 juta hektar per tahun, Indonesia 1,45 juta hektar per tahun, Rusia 0,53 juta, Meksiko 0,4 juta, dan Papua Nugini 0,25 juta. Brazil menempati urutan pertama karena sejak 1975 telah menggulirkan proyek bio-etanol untuk mengurangi ketergantungan dari BBM. Karena itu di Brazil banyak dilakukan alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan tebu. Dikhawatirkan nanti di Indonesia malah akan mengalami kenaikan tingkat deforestasi karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, perkebunan jarak pagar (jatropa), dan perkebunan tebu. Permasalahan hutan akan makin menghadapi situasi dilematis di masa yang akan datang tatkala biofuel akan diproduksi secara masif.

Ketiga, penghematan energi dengan cara konservasi sumber daya dan efisiensi pemakaian. Yang teramati sekarang bahwa eksploitasi sumber-sumber energi seakan-akan dikejar target APBN. Pemerintah sering mematok angka tertentu untuk tingkat produksi minyak, gas, dan tambang mineral lainnya. Terkesan mengenyampingkan kenyataan bahwa tingkat cadangan yang tersedia akan habis dan tidak bisa dinikmati lagi oleh dua sampai tiga generasi mendatang. Eksploitasi sumber energi “asal kuras habis” – sangat tidak sejalan dengan prinsip sustainable development.

Efisiensi pemakaian energi untuk saat ini juga baru sebatas jargon. Pola hidup tidak efisien yang telah menjadi budaya selama ini ikut memicu terjadinya pemborosan energi. Para pejabat tinggi pemerintahan – pusat maupun daerah – malah tidak memberi contoh pola hidup hemat energi. Mereka banyak yang menggunakan kendaraan dinas ber-cc besar yang boros BBM – belum lagi ditambah dengan voorijder dan pengawalan oleh kendaraan lain.

Keempat, pembangunan berwawasan lingkungan. Kita lihat sehari-hari, terutama di pinggiran kota-kota besar, terjadi alih fungsi lahan hutan atau lahan hijau untuk pembangunan pemukiman. Ini juga berakibat berkurangnya daya serap CO2 karena berkurangnya pepohonan. Sepanjang jalan dari Cibubur ke Bogor tumbuh pemukiman, tempat rekreasi, lapangan olah raga, dan pusat-pusat perbelanjaan. Saya tidak anti dengan pembangunan pemukiman, namun pertanyaannya adalah, apakah alih fungsi lahan yang dilakukan sudah betul-betul melalui proses studi AMDAL yang handal dan “jujur”.

Nah, dari keempat daftar “harus dilakukan” di atas, jika tidak sungguh-sungguh dilakukan, maka emisi CO2 dari bumi Indonesia – alih-alih berkurang – malah akan bertambah kadarnya dari waktu ke waktu. Perlu kesadaran, ketulusan, dan “kejujuran” semua pihak agar target penurunan emisi tercapai. Bila melihat kondisi “business as usual” yang ada saat ini, banyak pihak yang pesimis. Perlu dilakukan langkah-langkah revolusioner, baik teknis maupun budaya, agar komitmen tersebut tercapai. Dulu banyak nilai-nilai kearifan budaya lokal – walau bercampur mitos – turut berperan serta dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Jangan sampai komitmen Indonesia di dunia internasional tersebut ibarat “jauh panggang dari api”. Seperti kalau memanggang sate, dagingnya tidak pernah matang karena panggangannya jauh dari bara api. Begitu kira-kira jika kenyataannya nanti tidak sesuai dengan harapan. Salah satu contoh adalah ketika Indonesia begitu semangat meratifikasi berbagai perjanjian perdagangan bebas. Ternyata industri nasional kita sendiri hingga saat ini belum memiliki ketahanan untuk bersaing di kancah perdagangan global. Satu per satu pasca krisis 1998 industri di Indonesia dicaplok oleh prinsipalnya dari luar negeri. Akhirnya jadilah Indonesia sebagai lahan kapitalis asing untuk sekedar membuat produk “made in Indonesia” – bukan produk “made by Indonesians”.

Saya sendiri bukan berarti pesimis dalam menyikapi komitmen Indonesia untuk mereduksi emisi gas rumah kaca hingga 26% di tahun 2020. Tetapi, sekali lagi, tanpa langkah revolusioner mustahil target tersebut akan tercapai. Apalagi jika sektor kehutanan (yang selama ini tidak mampu dijaga) yang akan dijadikan sebagai objek andalan dalam skenario pengurangan emisi gas rumah kaca itu.

Anyway, tentunya Presiden SBY melontarkan komitmen tersebut tidak sembarangan karena telah melalui kajian departemen-departemen teknis terkait serta berbagai lembaga dan para ahli lingkungan. Pastilah sudah ada blue print dan road map-nya. Semoga saja apa yang tertera dalam blue print dan road map tersebut dapat terwujud. Kita sering sangat bagus dalam tataran rencana, tetapi sangat lemah dalam implementasi. Apakah akan jauh panggang dari api? Perjalanan waktu akan membuktikan! 2020 itu tinggal 10 tahun lagi dari sekarang.
Read more (Baca selengkapnya)...

Saturday, December 12, 2009

“Survival Among The Richest” - Teori Darwin Berlaku di Indonesia



Pada tahun 1859 untuk yang pertama kalinya terbit buku karangan Charles Robert Darwin (1809-1882) yang berjudul “On The Origin of Species by Means of Natural Selection”. Kalau saya terjemahkan dengan bahasa saya sendiri kira-kira artinya “asal-muasal spesies makhluk hidup sebagai hasil dari seleksi alam”. Buku ini mendokumentasikan hasil-hasil petualangan, pemikiran, sekaligus menjelaskan Teori Evolusi Darwin. Sebagaimana diketahui sampai sekarang teori ini tetap kontroversial dan banyak menimbulkan pro-kontra. Para ilmuwan yang pro dikenal dengan sebutan kelompok evolutionist, sedangkan yang kontra – karena meyakini teori penciptaan (creation) – disebut kelompok creationist. Kelompok yang kontra ini berpendapat bahwa spesies makhluk hidup tercipta melalui proses yang mereka namakan intelligent design.

Saya sendiri hingga saat ini belum pernah membaca langsung buku Darwin tersebut meskipun sering terbit ulang. Pokok-pokok Teori Evolusi ini menurut yang saya baca dari beberapa referensi antara lain:
  • Beberapa spesies makhluk hidup berbagi nenek moyang yang sama. Kalau manusia dan kera nenek moyangnya dari ordo primata.

  • Darwin mempostulatkan apa yang dia sebut dengan “survival among the fittest”; artinya hanya yang terkuat yang bisa bertahan hidup, atau hanya yang terkuat yang bisa menang menghadapi seleksi alam.
Apakah saya – walau bukan ilmuwan – ikut-ikutan menjadi kelompok yang pro dengan Teori Darwin ini? Saya sendiri tidak meyakini kebenaran teori evolusi tersebut. Pemikiran saya memilih untuk lebih mempercayai teori penciptaan. Atau lebih tepatnya seperti ini: saya meyakini bahwa alam semesta ini terus berevolusi, tetapi jutaan spesies makhluk hidup yang melata di lapisan biosfer bumi merupakan ciptaan sesuai dengan rencana kosmos (cosmic plan), yaitu rencana tata ruang dan waktu alam semesta, dari Tuhan Sang Maha Pencipta. Jika ada spesies yang punah atau jika timbul spesies baru (yang diciptakan) maka hal itu merupakan sesuatu yang wajar-wajar saja karena sudah direncanakan oleh Sang Intelligent Designer.

Lalu, kenapa saya berpendapat Teori Darwin berlaku di Indonesia? Yang saya anggap berlaku adalah ekivalensi filosofis dari teori evolusi itu. Kalau Darwin mengatakan “survival among the fittest”, maka situasi di Indonesia adalah “survival among the richest” – yang kaya atau yang banyak uangnya yang bisa menang dan berjaya. Ya, saya sekedar mencoba mengaitkan ekivalensi Teori Darwin dengan tatanan hukum kita.

Paling tidak menjelang akhir tahun ini ada tiga kasus hukum yang menurut pandangan masyarakat bagaikan peristiwa David (Daud a.s.) melawan Goliath (Jalut). Kasus Prita Mulyasari yang begitu mendapat simpati dari segenap lapisan masyarakat dengan gerakan “koin peduli Prita”, kasus Ibu Minah (55 tahun) yang dipidana hukuman penjara 45 hari hanya gara-gara mengambil beberapa biji buah kakao, dan kasus yang menimpa Kholil (51) dan Basar (40) warga Lingkungan Bujel, Kelurahan Sukorame, Kecamatan Mojoroto. Mereka terancam dihukum selama 5 tahun karena mencuri buah semangka.

Keadilan memang multirasa, seperti permen nano-nano. Kadang terasa pahit, manis, atau justru masam. Semua tergantung pada subjek yang menilai dan mengalaminya. Bagi yang diuntungkan tentu akan mengecap manisnya hukum, begitu pula sebaliknya. Rasa masam keadilan di negeri ini setidaknya telah dirasakan Ibu Minah, Basar dan Kholil, serta Prita Mulyasari. Bagi rakyat jelata seperti mereka dan banyak lagi yang lainnya, wajah hukum begitu beringas, menghunjam tanpa memedulikan rasa keadilan.

Pada waktu hampir bersamaan, Anggodo Widjojo justru terkesan mendapatkan perlakukan istimewa dari aparat penegak hukum. Dia tetap bebas berkeliaran meski terindikasi kuat merekayasa kriminalisasi dua pimpinan KPK. Indikasi itu didukung adanya transkrip rekaman yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Tak satupun pasal “berhasil” menjerat si Anggodo. Enam tuduhan pelanggaran hukum, termasuk salah satunya tuduhan pencemaran nama baik Presiden, pun tak mampu menyeret adik koruptor Anggoro Widjojo itu ke balik jeruji besi. Besarnya tekanan dari publik seolah tak didengar aparat penegak hukum. Justru dengan alasan keamanan, polisi malah mengawal Anggodo selama 24 jam nonstop.

Manisnya wajah hukum juga dinikmati oleh banyak koruptor dan orang-orang yang terlibat pembalakan liar. Kalau tidak divonis bebas, paling-paling dapat hukuman percobaan dua tahun penjara. Atau jika hukuman penjara lebih lama akhirnya akan dapat remisi yang bisa mempersingkat masa hukuman.

Mungkin atas pertimbangan seperti kasus-kasus di atas, ribuan tahun yang lalu warga Romawi merumuskan bentuk Justitia – sang Dewi Keadilan. Justitia digambarkan sebagai matron yang membawa pedang dan timbangan di tangannya, dan terkadang memakai penutup mata.

Betapa tidak berdayanya rakyat atau orang-orang yang tuna kuasa melawan orang yang banyak uang atau melawan penguasa. Seorang teman saya berkelakar, kalau mencuri atau korupsi itu jangan tanggung-tanggung, langsung saja puluhan miliar atau bahkan triliunan. Supaya jika berurusan dengan hukum atau penjara bisa membayar pengacara, ‘membeli’ sistem hukum, dan bisa sekaligus membiayai hidup sampai generasi anak-cucu meskipun badan di penjara. Memang itulah beda antara keserakahan manusia dan kerbau. Kalau kerbau akan berhenti keserakahannya bila perutnya sudah kenyang. Kalau manusia tidak akan berhenti sampai bisa menghidupi generasi anak-cucu bahkan bila perlu sampai tujuh turunan.
Read more (Baca selengkapnya)...

Saturday, December 5, 2009

Miskin dan Tertimpa Bencana Karena Pilihan Sendiri



Kedengarannya memang aneh. Hidup kok malah memilih miskin dan tertimpa bencana. Bukannya memilih kaya, makmur, senang, dan terhindarkan dari bencana.

Begini ceritanya. Sekitar dua minggu lalu seusai jam kantor dan saat menunggu jemputan pulang, saya dan seorang kolega senior berbincang-bincang di lantai lobi. Setelah sedikit obrolan ngalor-ngidul tentang beberapa situasi terkini di Indonesia dia berucap, “Bangsa Indonesia menjadi miskin karena pilihan sendiri”. Sebetulnya kata-kata ini, walau tidak terlalu sering, sudah beberapa kali saya dengar dari orang lain. Tetapi mungkin karena ucapan teman di lobi sore hari itu sangat intonatif, kata-kata tersebut terngiang selama dalam perjalanan pulang ke rumah.

Apakah Bangsa Indonesia itu miskin? Kalau menurut berbagai lembaga kajian, seperti IMF dan Bank Dunia misalnya, sebetulnya Indonesia bukanlah negara termiskin. Maksud saya masih ada negara-negara lain di Asia dan – apalagi – Afrika yang lebih miskin dan tertinggal dibandingkan Indonesia; baik dari sisi pendapatan per kapita maupun indeks pembangunan manusia. Tetapi banyak orang sependapat bahwa pencapaian hasil-hasil pembangunan yang diperoleh Bangsa Indonesia setelah 64 tahun merdeka tidak sepadan dengan segenap potensi yang dimiliki Indonesia: potensi sumber daya alam yang dikandung tanah air Indonesia, letak geografisnya yang strategis, potensi flora dan fauna di lapisan biosfernya, keindahan topografi, dan jumlah tenaga kerja yang berlimpah. Dengan kata lain, semestinya Bangsa Indonesia jauh lebih maju dari sekarang ini.

Mei 2008, ketika heboh harga minyak mentah yang merangkak naik hingga sempat bertengger di level US$ 147 per barel dan Pemerintah Indonesia mengambil keputusan tidak populis dengan menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar rata-rata 30%, Pemerintah menggelontorkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada 19-an juta kepala keluarga. Jika rata-rata satu keluarga memiliki anggota sebanyak empat orang (ayah, ibu, dan dua orang anak), maka jumlah penduduk Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan sebanyak 76 juta orang – sekitar sepertiga dari jumlah total penduduk Indonesia. Kalau satu keluarga miskin rata-rata memiliki lebih dari dua orang anak, maka rasio penduduk miskin di Indonesia akan lebih besar lagi – bisa-bisa mendekati separuh dari total penduduk.

Bagi yang terbiasa hidup di tengah gemerlapnya kota-kota besar dan lingkungan pergaulan ala jet set dimana kehidupan sehari-harinya hanya seputar kantor, mal, café, dan tempat-tempat rekreasi, mungkin yang namanya kemiskinan itu tidak begitu terhendus. Paling-paling hanya sebatas melihat beberapa orang peminta-minta yang berkeliaran di lampu pengatur lalu lintas. Tapi coba kalau kita masuk ke pedesaan atau ke tempat-tempat yang terletak jauh terpencil di pedalaman, barangkali banyak orang yang dalam satu bulan belum tentu pernah memegang uang pecahan sepuluhan ribu rupiah.

Pertanyaannya, kenapa sih kok Indonesia miskin, atau lebih tepatnya kenapa porsi jumlah penduduk miskin di Indonesia masih banyak. Jawabannya: karena pilihan sendiri. Lho apa iya masyarakat Indonesia memilih hidup miskin? Nanti dulu, yang saya maksudkan “memilih” untuk miskin itu adalah para elit. Mereka – para elit – lah yang memilih untuk memiskinkan bangsanya. “Kelompok elit” disini saya definisikan sebagai orang-orang yang sangat berpengaruh dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan strategis yang ber-impact pada kehidupan orang banyak. Para kroni yang memiliki kekuatan politik-ekonomi dan bisa mempengaruhi para pengambil keputusan juga bisa dikategorikan sebagai kelompok elit. Keputusan strategis tersebut tidak semata-mata menyangkut politik-ekonomi tetapi juga bisa menyangkut segenap aspek “ipoleksosbudhankam” – ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.

Kelompok elit yang jumlahnya hanya segelintir – jika dibandingkan dengan 225 juta jiwa penduduk Indonesia – itulah yang “mengatur” negara ini. Sayangnya tidak semua dari mereka berperilaku “lurus”, bukan? Kalau semua elit kita berperilaku lurus maka tentulah peringkat indeks persepsi korupsi di Indonesia tidak berada di kwartil pertama.

Ya, biang keladi kemiskinan yang mendera bangsa Indonesia adalah akibat ulah para elitnya sendiri. Misalnya saja begini: andaikan ada seorang elit yang diberi amanah untuk mengelola sumber daya alam dihadapkan pada dua pilihan, antara memilih keputusan yang lebih berpihak pada kemaslahatan bangsa atau berpihak pada kepentingan investor (pemilik modal). Jika sesuai dengan sumpah jabatannya atau sesuai dengan amanat konstitusi, tentu dia akan mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan bangsanya. Namun, karena elit tersebut bisa disuap akhirnya dia malah mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan si pemilik modal. Akibatnya sumberdaya alam yang semestinya bisa lebih memakmurkan masyarakat setempat dikeruk habis oleh si pemilik modal, masyarakat hanya mendapatkan tetesannya saja. Menjadi miskinlah masyarakat itu.

Katakanlah seorang elit menerima suap “hanya” sebesar Rp 1 miliar, lalu dia menimbulkan kerugian publik secara akumulatif yang jika divaluasi nilainya Rp 1 triliun. Keuntungan pribadi si elit berbanding public opportunity cost adalah 1 berbanding 1000. Berarti dia menghilangkan kesempatan makmur bagi rakyat yang kadarnya 1000 kali lipat dibandingkan uang yang dia peroleh. Ini sekedar ilustrasi bagaimana ulah elit yang secara sistemik memiskinkan bangsanya sendiri.

Pembangunan pemukiman mewah yang sebetulnya tidak sesuai dengan tata ruang secara makro juga termasuk ulah para elit yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal. Studi AMDAL dibuat untuk menjustifikasi kemauan para pemilik modal. Persetujuan dan perijinan begitu gampang diperoleh disebabkan para elit mendapatkan “entertainment”. Begitu pemukiman mulai dibangun maka terjadilah gusur-menggusur. Banyak orang kehilangan tempat tinggal dan kehilangan kesempatan mata pencaharian. Setelah pemukiman dibangun, masyarakat sekitar yang berada di luar dan di hilir pemukiman tertimpa bencana banjir karena lahan pemukiman tersebut pada mulanya adalah lembah tempat penampungan air (situ). Keputusan si elit menimbulkan kemiskinan, frustrasi, duka, dan sengsara bagi rakyatnya.

Adanya “markus” (makelar kasus) adalah contoh dari ulah elit penegak hukum yang berkhianat pada sumpahnya sendiri. Adanya “makpro” (makelar proyek) dalam proyek-proyek infrastruktur juga merupakan contoh ulah para elit yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal dan – tentunya – kepentingan dirinya sendiri karena mendapatkan “uang saku”.

Di sektor energi kita masih terus-menerus dilanda krisis listrik. Anehnya di kota-kota besar dimana banyak mal dan apartemen mewah dibangun pasokan listrik selalu tersedia. Coba kita jalan-jalan ke pinggiran kota, tidak perlu ke pedalaman pulau-pulau di luar Jawa, kita ke tempat-tempat pemukiman masyarakat jelata yang radiusnya hanya beberapa puluh kilometer dari kota Jakarta saja sudah terbiasa dengan hidup tanpa penerangan listrik. Betapa para pengambil kebijakan pembangunan terkesan tidak berpihak pada kepentingan bangsanya sendiri yang dalam banyak hal perlu pengentasan. Para elit banyak yang benci dengan kemiskinan, tetapi mereka sendiri terkesan tidak betul-betul bersungguh-sungguh untuk memberantas kemisikinan itu.

Tidak adanya integritas dan komitmen moral dari para elit inilah yang menyebabkan terhambatnya laju proses pembangunan di Indonesia. Tahu-tahu kita sudah tertinggal oleh negara-negara tetangga yang dulu belajar dari kita atau negara-negara yang dulu tingkat kemajuannya lebih rendah dari kita.

Tawar-menawar politik yang dilanjutkan dengan tawar-menawar posisi lalu dilanjutkan lagi dengan tawar-menawar give and take juga berpotensi akan men-drive sebuah keputusan di kelak kemudian hari yang sangat berpihak pada kepentinan pribadi atau kelompok tertentu, dan mengorbankan kepentingan masyarakat banyak yang lebih luas - bahkan bisa mengenyampingkan kepentingan luhur bangsa.

Bangsa Indonesia masih banyak yang miskin, sengsara, dan sering tertimpa bencana (yang bukan murni “The Act of God”) adalah karena pilihan para elitnya sendiri. Kalau di tahun 2008 Pak Sutrisno Bachir sering tampil di berbagai media massa dengan jargon “hidup adalah perbuatan”, maka menurut saya “hidup adalah pilihan”. Sebab kita mesti membuat pilihan dulu baru bisa melakukan perbuatan. Kalau memilih miskin, ya jadi miskin. Memilih sengsara, ya jadi sengsara. Memilih bencana, ya sering tertimpa bencana.

Sebagai penutup, benarlah apa yang dikatakan oleh Mbah Peter Drucker (Empu Manajemen Modern yang sangat kondang), “There are no under-developed countries, but mismanaged countries”. Pada hakikatnya tidak ada negara terkebelakang, yang ada hanyalah negara yang salah kelola.
Read more (Baca selengkapnya)...