Sunday, March 21, 2010

Seberapa Efisien Kita Mengkonsumsi Energi?



Penilaian kinerja sering kali hanya dilihat dari satu sisi, yaitu produktivitas atau ouput yang dihasilkan. Apakah itu dalam konteks individu (karyawan misalnya), organisasi, unit usaha, maupun negara. Tidak begitu banyak orang yang melihat seberapa efisien sumber daya yang dikonsumsi untuk menghasilkan output tersebut.

Bicara dalam konteks negara, apa yang berlangsung sehari-hari pada dasarnya adalah aktivitas ekonomi. Untuk melakukan sebuah aktivitas tentunya diperlukan input agar aktivitas tersebut dapat berlangsung. Input aktivitas ekonomi adalah berbagai sumber daya seperti energi, sumber daya finansial, kapital (peralatan dan mesin-mesin), ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), “kecerdasan” manusia, dan sumber daya lainnya.

Sedangkan output aktivitas ekonomi berupa tingkat kemakmuran yang dihasilkan. Ini tercermin dari berbagai indikator ekonomi − baik yang sifatnya kuantitatif maupun kualitatif − seperti pendapatan per kapita (GDP per kapita), indeks pembangunan manusia, tingkat kompetisi (competitiveness), dan indikator ekonomi lainnya.

Di antara berbagai input aktivitas ekonomi, energi sebetulnya merupakan elemen yang paling dominan. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa setiap aktivitas, setiap gerakan, dan setiap transaksi membutuhkan energi − baik secara langsung maupun tidak langsung. Kita pergi ke kantor atau berbelanja dengan menggunakan kendaraan − baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum − juga menggunakan energi. Bahan bakar adalah sumber energi yang menggerakkan kendaraan melalui proses pembakaran di dalam blok mesin. Lampu penerangan, alat pendingin ruangan, dan alat-alat listrik lainnya yang kita gunakan sehari-hari di rumah juga mengkonsumsi energi. Berbagai transaksi elektronik lewat mesin ATM, jaringan komputer, bahkan lewat telpon genggam juga menggunakan energi − ada yang diambil langsung dari sumber listrik, ada yang tersimpan dalam baterai. Manusia sendiri mampu berpikir dan bergerak karena memiliki cukup energi yang tersimpan dalam tubuh melalui asupan makanan yang dicerna oleh sistem metabolisme tubuh kita yang kompleks.

Sumber daya lain yang juga merupakan input aktivitas ekonomi seperti mesin-mesin juga menggunakan energi untuk menggerakkannya. Bahkan sebagian dari sumberdaya finansial (keuangan) juga digunakan untuk membeli energi. Pendek kata, kehidupan sehari-hari takkan pernah lepas dari energi.

Pendapatan domestik bruto atau GDP (gross domestic product) merupakan indikator ekonomi yang sifatnya dapat diukur langsung secara kuantitatif. Inilah yang sering dijadikan tolak ukur produktivitas sebuah negara. Semakin besar GDP per kapita suatu negara, semakin makmur negara itu. Makanya tidak heran jika negara-negara maju menempati peringkat papan atas dalam hal pendapatan per kapitanya.

Indikator yang sering digunakan orang dalam mengukur seberapa efisien suatu negara dalam mengkonsumsi energi adalah elastisitas energi dan intensitas energi. Elastisitas energi didefinisikan sebagai persentase pertambahan energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan persentase tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu. Sedangkan intensitas energi adalah pertambahan energi yang dibutuhkan (dalam satuan energi) untuk menghasilkan pertambahan GDP tertentu. Kalau elastisitas energi tanpa dimensi satuan, maka intensitas energi satuannya adalah satuan energi per juta US Dollar. Kurun waktu yang digunakan untuk pengukuran biasanya dalam setahun (annually).

Dari berbagai rujukan yang saya baca, dikatakan bahwa Indonesia termasuk negara yang boros energi karena elastisitas dan intensitas energinya termasuk yang tertinggi di ASEAN, apalagi dibandingkan negara-negera yang sudah maju. Menurut saya tidak fair jika tingkat efisiensi energi hanya dilihat dari kedua parameter tersebut. Mengapa demikian? Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, dimana kurva pasokan-permintaan (supply-demand) energinya belum optimal, atau belum mencapai titik ekuilibrium, tentu dibutuhkan lebih banyak penambahan pasokan energi untuk mengenergisasi proses pembangunan yang berjalan dari tahun ke tahun. Ambil contoh misalnya di sektor energi listrik. Saat ini rasio elektrifikasi di Indonesia baru mencapai sekitar 65%, artinya rata-rata masih ada 35 dari 100 rumah tangga di seluruh Indonesia yang belum dialiri listri. Tentu saja Indonesia yang rasio elektrifikasinya masih jauh dibawah 100% ini membutuhkan tambahan pasokan energi yang relatif lebih banyak dibandingkan negara-negara maju yang rasio elektrifikasinya sudah mencapai 100%.

Berangkat dari pandangan singkat di atas, kali ini saya ingin melihat seberapa efisien konsumsi energi dipandang dari sisi lain, yaitu membandingkan pendapatan domestik bruto per kapita terhadap konsumsi energi per kapita. Atau singkatnya rasio GDP terhadap total konsumsi energi. Ini secara matematis menyatakan berapa pendapatan yang dihasilkan dalam setiap unit energi yang dikonsumsi.

Yang dimaksud “energi” dalam bahasan disini adalah energi primer, yaitu energi dalam bentuk sumber aslinya yang disediakan oleh alam – belum mengalami konversi. Minyak bumi, gas alam, batubara, panas bumi, energi mekanik air, enegi mekanik angin, dan energi nuklir adalah contoh-contoh energi primer. Sedangkan listrik, BBM, elpiji untuk memasak, dan jenis-jenis energi lain yang siap pakai termasuk energi sekunder. Namun perlu dicatat bahwa, energi sekunder inipun asalnya dari energi primer yang mengalami proses konversi. BBM berasal dari minyak bumi. Elpiji bisa berasal dari minyak bumi, bisa berasal dari gas alam. Listrik di rumah-rumah bisa berasal dari batubara, gas, panas bumi, tenaga air, atau jenis energi primer lainnya yang mengalami proses konversi di pembangkit tenaga listrik.

Dalam bauran energi, bermacam-macam satuan energi yang digunakan oleh berbagai lembaga kajian. Ada GJ (giga joule), BOE (barrel of oil equivalent – barel setara minyak), BTU (British thermal unit), dan TOE (tonne of oil equivalent – ton setara minyak). Pada artikel ini saya meggunakan satuan yang sering dipakai oleh International Energy Agency (IEA), sebuah badan yang berada dibawah naungan kelompok negara-negera OECD, yaitu TOE. Satu TOE didefinsikan sebagai jumlah energi yang nilainya setara dengan energi yang dihasilkan dari hasil pembakaran satu ton minyak mentah. 1 TOE setara dengan 42 GJ (giga joule) atau setara dengan 6,84 BOE. Jadi untuk keperluan pembauran, berbagai jenis energi primer disetarakan dengan minyak.

Saya melakukan exercise terhadap 13 negara (saya tidak percaya jika angka “13” adalah angka sial!): Amerika Serikat, Inggeris (UK), Swiss (Switzerland), Norwegia, Jepang, Korea Selatan, China, India, Singapura, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Malaysia. Data GDP nominal saya ambil dari www.en.wikipedia.org. Menurut catatan kaki dalam Wikipedia, sumber data primernya berasal dari IMF (International Monetary Fund). Sedangkan data konsumsi energi primer saya ambil dari BP Statistical Review of World Energy - June 2009. Mekipun BP tidak memasukkan panas bumi dan energi terbarukan non komersial lainnya dalam statistik energi primernya, namun jika untuk keperluan menganalisa ketiga belas negara tersebut datanya masih cukup memadai meski tidak 100% akurat. Data-data yang ada memang untuk tahun 2008. Data tahun 2009 belum berhasil saya temukan. Mungkin belum selesai dikompilasi oleh lembaga-lembaga kajian.

Data GDP dan Konsumsi energi primer ketiga belas negara saya tabulasikan seperti berikut:


Lalu rasio GDP terhadap konsumsi energi saya urutkan dari besar ke kecil dan saya tampilkan dalam bar chart di bawah ini. Satuan rasio GDP-konsumsi energi adalah US Dollar per TOE. Artinya berapa dollar Amerika Serikat yang dapat dihasilkan (sebagai output aktivitas ekonomi) untuk setiap TOE energi yang dikonsumsi suatu negara.


Dari ketiga belas negara, ternyata Swiss yang paling efisien pemakaian energinya – katakanlah demikian jika ukuran US$ per TOE ini bisa dijadikan sebagai tolak ukur tingkat efisiensi energi. Di Swiss, negara yang hidup dari industri jasa dan konon tempat penyimpanan hasil money laundring ini, dalam setiap TOE energi yang dikonsumsinya bisa menghasilkan pendapatan US$ 17 ribu lebih. Amerika Serikat, negara adidaya yang selalu jadi acuan negara-negara lain, hanya menghasilkan US$ 6281 per TOE, lebih rendah dari Filipina yang menghasilkan US$ 6676 per TOE. Indonesia sendiri menghasilkan US$ 3957 dalam setiap TOE energi yang dikonsumsi.

China ternyata yang paling boros konsumsi energinya dari 13 negara yang saya exercise. China hanya menghasilkan US$ 2447 dari setiap TOE energi yang dikonsumsi. Filipina yang paling tinggi di sesama negara ASEAN. Biasanya keterbatasan tersedianya sumber daya energi domestik (banyak melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan energinya) dapat menstimulasi sebuah negara untuk lebih efisien dalam mengkonsumsi energi. Apalagi di Filipina, sepengetahuan saya, tidak ada kebijakan subsidi energi seperti di Indonesia.

Akan halnya Indonesia sendiri, jika dibandingkan sesama negara ASEAN selain Filipina, posisi Indonesia masih lebih baik dari Malaysia, Thailand, dan Singapura. Bahkan lebih baik dari Korea Selatan, India, dan China. Memang rasio GDP terhadap konsumsi energi belum tentu secara langsung mencerminkan tingkat kemakmuran sebuah negara. Malaysia, Korea Selatan, Singapura, Thailand, China memiliki GDP per kapita lebih tinggi dari Indonesia, walau rasio GDP terhadap konsumsi energi mereka lebih rendah dari Indonesia. Namun, paling tidak, seberapa efisien konsumsi energi sebuah negara bisa dilihat dari sisi lain, tidak semata berdasarkan parameter elastisitas dan intensitas energi.

Hal menarik yang secara “tidak sengaja” saya temukan adalah, bahwa GDP nominal Indonesia yang pada tahun 2008 mencapai US$ 511,8 miliar menempatkan Indonesia sebagai negara yang masuk 20 besar kekuatan ekonomi dunia. Amerika Serikat, dengan GDP nominal US$ 14,44 triliun tetap berada di peringkat teratas. China di tahun 2008 dengan GDP nominal US$ 4,9 triliun masih berada di peringkat ketiga di bawah Jepang yang GDP-nya US$ 4,91 triliun. Di tahun 2009, menurut berbagai sumber, China telah menempati urutan kedua sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar.

Hal yang dapat disimpulkan dari kajian singkat ini adalah bahwa tingkat efisiensi konsumsi energi Indonesia tidaklah terlalu jelek. Andai sikap hidup efisien dapat lebih membudaya sebagai “way of life” bangsa Indonesia, tentu efisiensi masih bisa ditingkatkan lagi. Dengan semua carut marut tata kelola pemerintahan yang ada seperti kasus cicak-buaya, makelar kasus, makelar proyek, adanya sel-sel mewah dalam penjara, dan skor indeks persepsi korupsi yang masih berada di kuartil bawah masih bisa menempatkan Indonesia sebagai negara yang masuk dalam kelompok 20 besar kekuatan ekonomi dunia. Salut! Maka sebetulnya Indonesia memiliki peluang dan potensi dahsyat – tidak sekedar mimpi – untuk bisa menjadi negara yang masuk dalam kelompok lima besar kekuatan ekonomi dunia di tahun 2025. Sindrom “negara gagal” akan segera dapat dihilangkan jika Indonesia melakukan lompatan kuantum untuk memperbaiki skor indeks tata kelola pemerintahannya agar paling tidak berada di kuartil tiga (skor 70-an dari 100). Selain memperbaiki tata kelola pemerintahan, segenap komponen bangsa juga mesti bersatu-padu. Jangan seperti sekarang, nyaris setiap hari kita disuguhi berita saling bertikai. Pertikaian internal memperlemah ketahanan nasional kita.
Read more (Baca selengkapnya)...

Sunday, March 7, 2010

“Cost Recovery” Yang Selalu Menjadi “Hot Issue” di Sektor Hulu Minyak dan Gas Bumi Indonesia



Tanpa bermaksud menggurui, karena saya juga masih pembelajar pemula di sektor hulu migas, saya akan menjelaskan sekilas kepada rekan-rekan yang sehari-harinya tidak bersentuhan dengan dunia migas (atau mungkin sebetulnya berkecimpung di migas tetapi tidak begitu “ngeh”, hehehe...) bahwa yang dimaksud dengan “cost recovery” adalah penggantian biaya operasional yang telah dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan migas – baik asing maupun nasional – dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia.

Model kontrak migas yang dijalankan di Indonesia hingga saat ini adalah bagi hasil produksi atau biasa disebut dengan Production Sharing Contract (PSC). Idenya mirip dengan petani yang menggarap sawah yang lahannya dimiliki orang lain. Biaya tanam, perawatan, dan panen ditanggung pemilik lahan. Hasil keuntungan bersihnya, setelah dipotong biaya operasional, dibagi-bagi antara pemilik lahan dan petani. Porsi pembagian yang diperoleh masing-masing tergantung kesepakatan. Hanya bedanya kalau menggarap sawah biasanya biaya operasionalnya langsung ditanggung oleh pemilik lahan. Sedangkan dalam menggarap ladang migas pada model kontrak PSC di Indonesia biaya operasionalnya ditalangi dulu oleh penggarapnya baru kemudian biaya tersebut diganti setelah ada hasil panennya. Makanya para “penggarap” – yang sampai saat ini masih sangat didominasi perusahaan migas asing itu – mesti meyakinkan pihak Pemerintah Indonesia berapa “panen” yang dapat dihasilkannya dan berapa anggaran (biaya) yang diperlukan untuk menghasilkan panen tersebut. Begitu kira-kira penjelasan singkatnya.

Kenyataannya hitung-hitungan hak (entittlement) masing-masing pihak di sektor hulu migas bisa jadi complicated karena tidak jarang si penggarap suka main petak umpet. Yang saya maksud main petak umpet disini adalah para penggarap berkecenderungan ingin mengklaim semua ekspenditur (pengeluaran biaya) sebagai cost recovery. Padahal belum tentu semua item biaya bisa dimasukkan dalam kategori yang boleh diganti. Nah, disinilah dituntut kejelian sekaligus komitmen moral para pengawas dan pengendali (terutama para auditor) kegiatan usaha hulu migas.

Cot recovery tak henti-hentinya menjadi isu panas, terutama sekali dalam lima tahun terakhir. Sampai-sampai Menteri ESDM yang sebelumnya dijabat Purnomo Yusgiantoro menerbitkan Permen ESDM No. 22/2008 pada pertengahan 2008 yang berisikan negative list 13 item jenis ekspenditur yang tidak bolah diklaim sebagai cost recovery. Memang di tahun 2008 tatkala harga minyak mentah dunia merangkak naik sampai US$ 147 per barel terjadi kepanikan (walau disembunyikan). Mei 2008 harga BBM bersubsidi “terpaksa” naik rata-rata 30%, walau kemudian di semester pertama 2009 diturunkan bertahap sebanyak tiga kali kembali ke harga April 2008. Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa sih kalau harga minyak naik menjulang malah panik? Dan, sebaliknya, kok kalau harga minyak turun juga nangis? Bukankah kalau harga minyak naik, Indonesia semestinya dapat rejeki berlimpah?

Cost recovery sering jadi kambing hitam dalam berbagai bahasan tentang migas. Kali ini saya tidak bermaksud mengupas apa yang menjadi penyebab naiknya cost recovery, walau dapat dijelaskan baik secara teknis maupun non teknis. Saya hanya ingin mengemukakan opini pribadi kenapa sebetulnya sektor migas kita selalu digonjang-ganjingkan, alias selalu diributkan:

Pertama, minyak memberikan tremendous wealth – kemakmuran luar biasa, baik di sisi bisnis minyak itu sendiri maupun di sisi industri penunjang serta multiplier effects lainnya. Hingga saat ini, dengan berbagai keunggulannya dibandingkan jenis energi lain, dominasi minyak dalam bauran energi dunia masih tak tergantikan. Lepas dari harganya yang sangat fluktuatif, minyak masih tetap menjadi primadona energi. Pertanyaannya, kok rakyat Indonesia masih banyak yang miskin, atau kenapa peningkatan kemakmuran di Indonesia berjalan begitu lamban padahal Indonesia memiliki minyak? Lebih ekstrim lagi kalau kita lihat di Nigeria yang produksi minyaknya lebih dari dua kali Indonesia dan cadangan terbuktinya lebih dari 10 kali Indonesia malah makin kacau-balau, seakan minyak lebih sebagai kutukan – the curse of oil – ketimbang berkah? Tentu saja bukan minyaknya yang salah, tetapi pengelola negaranya yang salah. Seperti yang dikatakan Peter Drucker, pada dasarnya tidak ada negara terkebelakang, yang ada hanyalah negara yang salah kelola.

Di Indonesia sendiri meskipun penguasaan migas masih berada di tangan pemerintah pusat, namun sebetulnya daerah penghasil migas mendapat kucuran dana dari pusat dalam bentuk DBH (Dana Bagi Hasil) sebagai tambahan DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus). Jika kemakmuran hasil kucuran DBH migas tersebut tidak dirasakan oleh rakyat di daerah; misalnya infrastruktur tidak dibangun, gedung-gedung sekolah terbengkalai, pemerintah daerah setempat malah membangun proyek-proyek mercu suar seperti tugu-tugu dan momunen mewah yang sama sekali tidak menyejahterakan rakyatnya; tinggal tebak siapa yang mesti dipersalahkan.

Kedua, hingga saat ini peranan migas masih sangat dominan sebagai penyumbang terbesar dalam anggaran pendapatan negara dibandingkan sektor-sektor lain. Di tahun 2008 ketika harga minyak dunia selama beberapa bulan bertengger di atas US$ 100 per barel dan rata-rata ICP (Indonesian Crude Price) mencapai US$ 93 per barel, pendapatan bersih yang menjadi hak pemerintah (Indonesia share) mencapai US$ 35,3 miliar – sepertiga dari anggaran pendapatan negara dalam APBN 2008 yang sebesar Rp 895 triliun. Tahun 2009 ketika harga minyak dunia turun dan ICP rata-rata US$ 63 per barel, pendapatan bersih yang menjadi hak pemerintah turun menjadi US$ 19,77 miliar (masih angka sementara) – sekitar 20% dari anggaran pendapatan negara dalam APBN 2009 yang sebesar Rp 986 triliun. Dari persentase terhadap APBN tersebut terlihat bahwa kontribusi sektor hulu migas memang masih sangat signifikan! Coba kalau pendapatan dari sektor hulu migas hanya “peanut” saja – katakanlah hanya 2-3% dari anggaran pendapatan dalam APBN, pasti bakal minim gonjang-ganjing.

Ketiga, andaikan ladang-ladang migas di Indonesia ini 100% digarap oleh orang-orang Indonesia sendiri, sebut saja oleh BUMN seperti Pertamina atau perusahaan swasta nasional lainnya, apakah bakalan sering ribut-ribut? Menurut saya tentu tidak. Hingga saat ini baru sekitar 30% dari porsi migas nasional yang diproduksikan sendiri oleh Pertamina dan perusahaan swasta nasional lain yang bergerak di sektor hulu migas, sisanya yang 70% diproduksikan oleh perusahaan-perusahaan migas asing yang beroperasi di Indonesia di bawah kontrak kerja sama. Ini berarti Indonesia masih belum mampu mengelola sendiri sektor hulu migasnya. Masih sangat bergantung pada investasi, teknologi, dan sumber daya asing.

Fakta bahwa industrialisasi migas di Indonesia telah dimulai sejak satu seperempat abad lalu di jaman pemerintahan Hindia Belanda dan fakta bahwa Indonesia merupakan pelopor kontrak model PSC belum mampu juga membuat Indonesia mandiri dalam mengelola sektor migasnya.

Keempat, sejak 2004 Indonesia sudah menjadi net importer minyak bumi – lebih banyak konsumsi daripada produksi. Saat ini rata-rata konsumsi minyak bumi Indonesia diperkirakan paling tidak 1,3 juta barel per hari. Sedangkan produksi rata-rata di level 960 ribu barel per hari. Berarti secara netto Indonesia mesti mengimpor paling tidak 340 ribu barel per hari dalam bentuk minyak mentah dan produk berbasis minyak bumi lain yang sudah jadi (BBM, pelumas, dan lain-lain). Sementara kapasitas kilang Pertamina yang ada di seluruh Indonesia hanya sekitar 1 juta barel per hari.


Kelima, kondisi net importer minyak bumi di satu sisi serta kebijakan subsidi BBM di sisi lain memang sering menempatkan Indonesia dalam posisi serba salah. Kalau harga minyak naik, pendapatan negara dari sektor hulu migas akan meningkat, dan investasi untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasipun meningkat, namun APBN dari sisi pengeluaran akan tertekan karena terjadi peningkatan belanja subsidi. Sebaliknya, jika harga minyak mentah turun, beban pengeluaran APBN menjadi lebih ringan karena belanja subsidi akan menurun, namun intensitas kegiatan eksplorasi dan produksipun akan menurun pula, sehingga dapat mengakibatkan makin menurunnya produksi dan minimnya penemuan cadangan baru; akibatnya APBN akan tertekan dari sisi pendapatan.

Keenam, ketergantungan Indonesia terhadap energi berbasis minyak bumi masih sangat tinggi. Minyak bumi memakan porsi 48% dari total bauran energi primer (energy mix) di Indonesia. Makanya setiap ada pergeseran harga minyak akan serta-merta mempengaruhi perekonomian kita. Variabel atau parameter ekonomi yang terkait dengan harga minyak langsung dikaji ulang.

Yang terakhir, mari berandai-andai sejenak. Andaikan di bumi Indonesia ini tidak ada minyak, tentunya tidak ada ribut-ribut tentang minyak. Kalau begitu, apa lebih baik kita tidak punya minyak supaya tidak ribut-ribut terus. Tapi kan kalau tidak ada minyak makin banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan? Belum tentu. Tuhan kan maha adil. Di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan negara-negara kecil Eropa yang sudah maju justru sangat miskin sumber daya alam. Karena itulah bangsanya terpacu untuk maju dan memiliki budaya unggul. Anyway, intinya karunia Tuhan yang berlimpah di bumi Indonesia ini ternyata memang belum dapat menyejahterakan rakyat sebagaimana mestinya. Jadi, siapakah yang salah?
Read more (Baca selengkapnya)...