Thursday, August 20, 2009

Menyambut Ramadhan 1430 H



Menyambut Bulan Suci Ramadhan 1430 H, perkenankan saya mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa kepada rekan-rekan yang beragama Islam.

Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 183:
Yaa ayyuhaladziina aamanuu kutiba alaikumush shiyaamu kamaa kutiba 'alalladziina min qablikum la 'allakum tattaquun.

Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan pada umat-umat sebelum kamu, agar kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa.”

Supaya dapat menjalankan ibadah puasa dengan ‘plong’, saya meminta maaf yang sedalam-dalamnya atas segala perkataan, perbuatan, ataupun tingkah laku saya yang tidak berkenan di hati rekan-rekan semua. Mari kita menjalankan ibadah puasa ini dengan khusu’, damai, dan penuh cinta: cinta pada Sang Khalik, cinta pada sesama manusia, cinta pada sesama makhluk, dan cinta pada alam yang telah menyediakan sumber dan zat kehidupan (energi, air, udara, makanan).

Semoga Allah Swt menerima amal ibadah kita. Lebih penting lagi, semoga hikmah dan semangat Ramadhan dapat kita jalankan terus sepanjang tahun.
Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, August 17, 2009

Menyoal Kembali Relevansi “Nasionalisme” dalam Prakarsa Berindustri

{Memperingati 64 tahun Indonesia merdeka}

Di era globalisasi sekarang ini keterlibatan dan saling ketergantungan antar negara dan antar elemen masyarakatnya begitu intens, terutama dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Tren mata rantai pasokan dalam menciptakan sebuah produk industri mengarah ke apa yang disebut dengan fully integrated supply chain. Penyediaan bahan mentah, bahan baku, produsen (pabrik), dan jalur pemasaran sudah melibatkan lintas negara.

Beberapa jenis produk sudah tidak jelas lagi buatan negara mana. Misalnya bahan mentahnya bisa dari Indonesia, pembuatan bahan baku di Thailand, riset dan pengembangan di Amerika, penyedia modal (kapital) dari Jepang, pembuatan produk jadi (finished product) di China, lalu pemasarannya meliputi Benua Asia dan Eropa. Perusahaan-perusahaan berskala global yang sepenuhnya go-public sudah tidak jelas lagi pemiliknya. Pemiliknya adalah para pembeli saham di bursa-bursa pasar global yang diwakili oleh Dewan Komisaris. Belum lagi fenomena jual-menjual perusahaan atau jual-menjual sebagian porsi kepemilikan di sebuah perusahaan sudah dianggap hal yang biasa dan wajar dari sudut kepentingan bisnis. Termasuk pelepasan sebagian kepemilikan badan-badan usaha milik negara ke pihak pemilik modal asing, baik melalui mekanisme pasar modal maupun investasi langsung.

Apakah konteks “nasionalisme” dalam berindustri masih relevan di tengah hingar-bingarnya globalisasi dan derasnya arus finansial global lintas negara? Apalagi dengan adanya jargon “uang tidak mengenal nasionalisme”. Memang pertanyaan tersebut tidaklah begitu sederhana jawabannya dan tentunya akan mendapatkan tanggapan beragam dari masing-masing individu masyarakat bangsa Indonesia, mengingat masing-masing orang akan memaknai konteks “nasionalisme” secara berbeda-beda pula.

Hingsa saat ini beberapa fakta yang masih terjadi di sektor industri kita adalah:
  • Ketergantungan terhadap sumber daya impor masih sangat tinggi; baik dari sisi sumber daya manusia, sumber daya finansial, maupun sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi (“iptek”).


  • Indonesia sejauh ini hanya dijadikan para pelaku industri global sebagai basis untuk memproduksi barang sekaligus sebagai basis untuk memasarkan produknya. Dengan penduduk Indonesia yang mencapai 225 juta jiwa, ditambah dengan perilaku yang konsumtif, maka Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial sekaligus menguntungkan. Sementara “ruh iptek” yang terkandung dalam infoware (informasi yang memuat preskripsi iptek), humanware (SDM yang menguasai iptek), technoware (benda-benda sebagai input maupun output dalam iptek), dan orgaware (institusi yang mewadahi informasi tentang proses-proses iptek, terutama R&D) tetap dikuasai pihak asing.


  • Adanya pihak asing yang melakukan investasi di Indonesia, selain karena didukung oleh berbagai kebijakan insentif (misalnya saja adanya kebijakan proteksi), lebih karena berbagai keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dimiliki Indonesia (misalnya ketersediaan sumber daya alam serta melimpahnya tenaga kerja dengan upah murah), bukan karena keunggulan kompetitif bangsa Indonesia (misalnya tingkat penguasaan iptek yang tinggi). Beda dengan di India, misalnya, yang terkenal unggul dalam penguasaan teknologi informasi sehingga para investor IT dari manca negara – bahkan sekelas Bill Gates – melakukan investasi di India.
Bahwa yang namanya kepemilikan lintas negara itu memang kelihatannya sudah tidak bisa dielakkan. Contohnya saja pabrikan mobil Daimler dari Jerman memiliki sebagian saham di pabrikan mobil Mitsubishi di Jepang. Lalu pabrikan mobil Renault dari Perancis memiliki sebagian saham di pabrikan mobil Nissan ―juga di Jepang. Lalu pertanyaannya, apakah gara-gara ada kepemilikan asing di kedua pabrikan mobil Jepang tersebut lantas kemudian konten Jepang (Japanese contents) pada dua pabrikan tersebut hilang? Tidak. Orang-orang Jepangnya tetap menguasai “ruh teknologi”-nya. Andai kepemilikan asing tersebut lepas, orang-orang Jepang di kedua pabrikan tersebut tetap bisa membuat mobil. Paling-paling ada guncangan finansial sesaat akibat larinya working capital.

Kita bandingkan dengan di Indonesia. Pada tahun 2003 produsen barang-barang elektronik terkenal SONY yang berbasis di Jepang menutup pabriknya yang berlokasi di daerah Karawang (di pinggiran jalan tol Jakarta-Cikampek) dengan alasan bisnis mereka sudah tidak menguntungkan lagi dan, menurut mereka pula, bisnis di Indonesia sudah tidak nyaman lagi karena terlalu banyak pungutan – resmi maupun tidak resmi – dari berbagai instansi dan berbagai elemen masyarakat. SONY “memindahkan” pabriknya dari Karawang ke Malaysia. Apa yang SONY tinggalkan di Indonesia? Apakah seperginya SONY orang Indonesia lantas bisa membuat televisi seperti SONY? Yang mereka tinggalkan hanyalah onggokan pabrik dan ratusan – bahkan mungkin ribuan – tenaga kerja Indonesia yang hanya bisa “merakit” komponen-komponen. Sementara “ruh teknologi”-nya mereka bawa pergi. Tentu saja kita tidak pernah bisa membuat sendiri televisi seperti SONY.

Kita lihat lagi di industri otomotif. Sekitar 40 tahun lalu untuk pertama kalinya pabrikan “perakit” kendaraan roda empat berdiri di Indonesia, dengan kepemilikan saham mayoritas oleh pengusaha nasional dan sisanya dimiliki oleh prinsipalnya dari Jepang. Produk otomotif yang dibuat di Indonesia merupakan salah satu contoh penerapan kebijakan protektif yang sudah lama perjalanannya. Apa yang dilakukan pabrikan otomotif nasional setelah mereka mendapat keuntungan dari kebijakan protektif tersebut? Alih-alih menginvestasikan hasil keuntungan tersebut untuk membangun fasilitas produksi hulu, mereka malah melakukan investasi “ke samping”; seperti membangun pabrik perakitan otomotif merek lain yang juga diproteksi, melakukan investasi di real estate, membuka usaha perbankan dan asuransi, merambah bisnis perkebunan, merambah bisnis jalan tol, dan sebagainya.

Akibatnya sektor otomotif kita terus menerus tergantung pada prinsipalnya. Pasca krisis moneter tahun 1998 hal ini makin parah. Sebagian besar pabrikan otomotif kita boleh dikatakan kepemilikannya sudah diambil alih oleh prinsipalnya. Manajemennya pun otomatis barada di tangan prinsipal. Maka prinsipal-lah yang memiliki “kedaulatan” terhadap pabrikan otomotif nasional. Dan selamanya pula para prinsipal-lah yang tetap menguasai “ruh teknologi” otomotif. Sementara bangsa kita hanya bisa merakit, menjual, dan membayar saja. Andai para prinsipal ini memutuskan menutup pabriknya, seperti halnya SONY, maka pabrik otomotif yang ada hanya akan menjadi rongsokan gedung sebagai salah satu saksi bisu sejarah kegagalan bangsa Indonesia dalam berindustri.

Sangat berbeda dengan produsen mobil Hyundai di Korea Selatan dan Proton di Malaysia. Keduanya memulai sebagai ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) sekaligus pabrik perakitan mobil Mitsubishi. Tetapi dengan kontrol kebijakan yang tepat dari pemerintahnya ditambah dengan semangat melakukan “pengindustrian intelegensi” di kalangan pelaku industrinya (tidak sekedar bermental “pedagang”), maka keduanya berhasil membuat mobil merek tersendiri yang sekarang sudah menjadi global brand – Hyundai sudah lebih dahulu.

Dari tahun ke tahun di jaman yang serba materialis ini nasionalisme dipandang sudah luntur. Tidak hanya di kalangan generasi muda, tetapi juga di kalangan para penyelenggara negara. Ini dibuktikan dengan absennya Lagu Kebangsaan Indonesia Raya di Gedung DPR dalam prosesi Pidato Kenegaraan Presiden 14 Agustus 2009 lalu. Masih pentingkah nasionalisme?

Menurut saya nasionalisme masih sangat penting dan relevan, selama tidak chauvinistis. Bangsa adidaya seperti Amerika Serikat saja masih mengedepankan nasionalisme. Tahun 2005 ketika perusahaan minyak Unocal akan dijual, pada mulanya penawar tertinggi adalah Chevron – juga perusahaan minyak berbasis di Amerika Serikat. Kemudian masuklah CNOOC – perusahaan minyak dari China – menawar lebih tinggi dari Chevron. Para petinggi Unocal hampir memutuskan menjualnya ke CNOOC. Kemudian Kongres dan beberapa elemen bangsa Amerika Serikat campur tangan memprotes rencana petinggi Unocal tersebut. Akhirnya, demi membela kepentingan geopolitik Amerika Serikat di percaturan global, Unocal dijual ke Chevron. Contoh lain ketika Amerika Serikat paling terkena dampak krisis finansial global di tahun 2008, tim Obama mengkampanyekan “buy Americans” – beli produk buatan Amerika.

Lalu bagaimana memaknai “nasionalisme” dalam berindustri? Menurut saya ada tiga hal pokok:
  1. Bangsa Indonesia harus mampu dan memiliki semangat untuk menguasai “ruh ilmu pengetahuan dan teknologi”-nya, mulai dari proses produksi hulu sampai hilir. Para pelaku industri jangan sekedar bermental pedagang.


  2. Pihak Indonesia harus memiliki porsi mayoritas kepemilikan dalam sebuah industri. Dengan demikian, bila mesti dilakukan semacam voting dalam mengambil keputusan, maka pihak Indonesia dapat memenangkannya, dan – karenanya – bangsa Indonesia memiliki “kedaulatan” dalam prakarsa berindustri. Jadi masalah porsi kepemilikan tetaplah penting di tengah derasnya arus globalisasi. Adanya penjualan beberapa aset industri nasional ke pihak asing sehingga kepemilikan pihak nasional menjadi minoritas merupakan contoh kemunduran dalam berindustri.


  3. Kepentingan industri harus berpihak pada kepentingan bangsa, yaitu memberi nilai tambah semaksimum mungkin bagi segenap komponen bangsa Indonesia.
Dengan tiga poin berbau “nasionalis” di atas, maka dapat diharapkan ke depannya bangsa Indonesia mampu membuat produk unggulan buatan Indonesia sendiri – made by Indonesians; tidak hanya sekedar jadi tukang rakit atau tukang bayar para kapitalis global. Satu hal yang mesti diingat, globalisasi pada hakikatnya adalah ekspansi kekayaan, bukan berbagi-bagi kemakmuran.

Tidakkah kita ingin hari ulang tahun kemerdekaan kita dari tahun ke tahun dirayakan dengan peluncuran berbagai produk unggulan buatan sendiri yang padat teknologi serta berbagai prestasi membanggakan lainnya? Seperti halnya China, India, dan Iran. Tidak sekedar dirayakan dengan rutinitas semacam lomba panjat pinang, lari karung, lomba bawa kelereng dengan sendok, atau lomba makan kerupuk.

Salam merah-putih. Merdeka!
Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, August 6, 2009

Pencapaian TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dalam Pengadaan Barang dan Jasa di Sektor Hulu Migas



Ketika minggu lalu saya melontarkan isu “de-nasionalisasi industri nasional” sebagai topik diskusi di milist APPI (Asosiasi Pengadaan Perminyakan Indonesia), ternyata mendapat tanggapan yang cukup hangat dan positif dari beberapa stakeholders industri penunjang migas. Ya, memang dengan berbagai set-back yang terjadi dalam tatanan industri nasional kita akhir-akhir ini, seyogyanyalah segera ditindaklanjuti dengan langkah-langkah kongkrit agar sedapat mungkin industri nasional kita berada di jalur yang sesuai dengan cita-cita luhur pembangunan industri. Kalau dibiarkan terus, isu yang semula hanya sebatas “de-nasionalisasi” bisa bertambah parah menjadi “de-industrialisasi” – matinya industri.

Kita semua berangan-angan agar bangsa kita memiliki industri yang kuat, mampu menghasilkan produk berkualitas dunia, serta mampu menghasilkan produk “made by Indonesians” – tidak sekedar “made in Indonesia”. Industri nasional yang kuat merupakan lokomotif penggerak ekonomi serta menambah rasa bangga dan percaya diri kita di kancah pergaulan internasional. Selain itu, keberhasilan berindustri juga menunjukkan tingkat kemampuan “iptek” sebuah bangsa.

Kali ini saya akan mengulas singkat seberapa besar porsi dan peranan industri nasional kita dalam menunjang kegiatan usaha hulu migas di Indonesia. Apakah angka-angka yang diraih sudah merefleksikan sustainability yang sesungguhnya dari industri penunjang migas kita. Dan apa harapan-harapan ke depannya.

Karakteriskik Pasar Usaha Penunjang Migas

Berkembangnya usaha penunjang migas tak lepas dari efek pengganda (multiplier effect) yang diberikan oleh kegiatan operasional migas di Indonesia. Maka volume pasarnya pun sangat ditentukan oleh intensitas kegiatan di sektor migas. Berikut adalah beberapa karakteristik pasar usaha penunjang migas:
  1. Pasar bersifat captive market, artinya pemakainya sudah tertentu yaitu perusahaan atau industri yang bergerak di sektor hulu migas.


  2. Volume penjualan sifatnya consumer driven karena besar kecilnya kebutuhan bergantung pada intensitas kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di sektor hulu migas.


  3. Spesifikasi barang dan jasa sepenuhnya ditentukan oleh pemakai, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan operasional di lapangan, dan – sampai batas-batas tertentu – selera si pemakai.


  4. Harga produk bisa didikte oleh pembeli (buyers’ market) apabila aktivitas di sektor hulu migas berkurang – biasanya terjadi saat harga minyak turun; dan akan didikte oleh penjual (sellers’ market) apabila aktivitas eksplorasi dan eksploitasi migas meningkat – biasanya terjadi saat harga minyak naik.
Berdasarkan karakteristik pasar di atas, maka dapat dikatakan bahwa sektor usaha penunjang migas pada prinsipnya tidak pada posisi yang dapat menciptakan volume pasar. Beda dengan industri consumer goods, gadgets, atau home appliances yang bisa memprovokasi keinginan orang untuk membeli sehingga dapat menciptakan volume pasar.

Selain itu, ada keunikan lain dalam tata niaga sektor hulu migas di Indonesia. Sebagaimana diketahui, secara garis besar ada dua bentuk proteksi terhadap industri dalam negeri: (i) tariff barrier – yaitu dikenakannya bea masuk dan pajak-pajak impor, dan (ii) non tariff barrier – yaitu penerapan kuota sampai pelarangan terhadap produk impor. Karena industri hulu migas memperoleh insentif berupa pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor, maka pada dasarnya hanya kebijakan non tariff barrier yang bisa diimplementasikan di sektor hulu migas. Inilah yang pelaksanaannya dikontrol dengan yang namanya Daftar ADP (Appreciation of Domestic Products), master list (rencana impor barang), dan preferensi terhadap TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri).

Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)

Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk barang adalah perbandingan antara harga barang jadi dikurangi harga komponen luar negeri terhadap harga barang jadi, atau dapat dirumuskan sebagai:


Nilai TKDN Pengadaan Barang dan Jasa di Sektor Hulu Migas

Ada 1240 produsen barang dan jasa masuk Daftar ADP edisi tahun 2008 yang dibuat oleh Ditjen Migas. Sesuai dengan amanat UU No. 22/2001 tentang minyak dan gas bumi, BPMIGAS senantiasa melakukan upaya pengawasan dalam mendorong dipenuhinya komitmen pemanfaatan barang/jasa produksi dalam negeri saat pelaksanaan pengadaannya. Menurut laporan tahunannya, BPMIGAS bersama kontraktor KKKS telah berhasil meningkatkan pemanfaatan kompetensi dan produksi dalam negeri secara maksimal.



Perkembangan TKDN Barang/Jasa Sektor Hulu Migas, 2004-2008 (Sumber: Laporan Tahunan 2008 BPMIGAS).

Pada tahun 2007 nilai komitmen pengadaan barang dan jasa mencapai US$ 4,3 miliar. Nilai TKDN tahun 2007 mencapai US$ 2,3 miliar, atau 53,4% dari total nilai kontrak. Pada tahun 2008 nilai komitmen mencapai US$ 3,9 miliar, terdiri atas pengadaanbarang senilai US$ 1,2 miliar dan jasa sebesar US$ 2,7 miliar. Kontrak pengadaan barang dan jasa tersebut didominasi jasa pemboran dan pendukung pemboran senilai US$ 2,4 miliar, pembangunan fasilitas produksi senilai US$ 0,6 miliar, dan jasa pendukung operasional senilai US$ 0,9 miliar. TKDN pada kontrak-kontrak pengadaan barang dan jasa untuk mendukung kegiatan sektor hulu migas selama tahun 2008 mencapai US$ 2,3 miliar, setara 58% dari total komitmen kontrak barang dan jasa. Realisasi pencapaian persentase TKDN di tahun 2008 melampaui target yang ditetapkan dalam cetak biru BPMIGAS yang mengharuskan TKDN pada usaha hulu migas mencapai 55 persen pada tahun 2010.

Kelihatannya pencapaian TKDN dua tahun terakhir menunjukkan bahwa industri dalam negeri kita telah cukup mendominasi pangsa pasar kebutuhan sektor hulu migas. Namun apakah angka ini dapat diklaim sebagai indikator yang menunjukkan sustainability yang sesungguhnya dari industri nasional penunjang migas kita? Apakah para pelaku industri kita memiliki ketahanan dalam menghadapi peluang, tantangan, sekaligus ancaman global di masa depan?

Saat mengajukan penawaran dalam proses tender pengadaan barang/jasa, para rekanan mengisi formulir hitungan TKDN. Pengisian fomulir ini sifatnya self-assessment, artinya dihitung sendiri oleh rekanan. Dalam beberapa kasus yang teramati, ada rekanan yang cenderung membesar-besarkan nilai TKDN agar mereka bisa memenangkan tender. Hal lainnya adalah, sejauh mana akurasi data yang dikompilasi oleh BPMIGAS tersebut.

Kemudian dengan adanya beberapa set-back yang terjadi akhir-akhir ini, antara lain dijualnya industri nasional oleh pemiliknya ke pihak asing, atau makin berkurangnya porsi kepemilikan nasional terhadap sumber daya-sumber daya di sebuah industri, maka fenomena ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa industri nasional kita sudah sustainable.

Tinjauan Singkat Kondisi Industri Penunjang Migas

Kalau dirunut dari sejarahnya, perjalanan industri penunjang migas lebih kurang sama dengan industri manufaktur lainnya di Indonesia. Pembangunan industri dimulai di sisi proses produksi hilir, tidak terintegrasi dari hulu ke hilir. Lalu diterapkan argumen infant industry, yaitu industri yang baru berdiri tersebut diproteksi oleh pemerintah agar dapat membangun kekuatan sumber daya sendiri: sumber daya manusia (SDM), sumber daya finansial, dan penguasaan teknologi untuk dapat menghasilkan produk unggulan berkualitas dunia. Tujuan strategis jangka panjang dari kebijakan protektif adalah agar industri dalam negeri dapat mandiri dengan menguasai proses produksi dari hulu sampai hilir serta dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sumber daya impor.

Namun tujuan strategis tersebut belum tercapai karena, pertama, hasil keuntungan yang diperoleh tidak segera diinvestasikan oleh pelaku industri untuk membangun fasilitas proses produksi di sisi hulu. Keuntungannya justru mereka gunakan untuk membangun industri lain (produk berbeda) yang juga diproteksi oleh pemerintah. Begitu seterusnya sehingga satu pelaku industri memiliki beberapa pabrik yang kesemua produknya diproteksi. Sedangkan fasilitas–fasilitas yang ada hanya fasilitas proses produksi hilir saja. Akibatnya banyak industri yang nilai TKDN-nya tidak pernah bertambah karena tidak memiliki fasilitas terintegrasi dari hulu sampai hilir karena masih sangat tergantung pada sumber daya impor – terutama pasokan bahan baku dan teknologi.

Kedua, kebijakan protektif yang diberlakukan selama ini justru cenderung memanjakan pelaku industri kita, sehingga mereka jadi tidak efisien dan tidak memiliki daya saing yang nyata. Nuansa sebagai “pedagang” (mercantile) pada para pelaku indusri kita jauh lebih kental ketimbang sebagai “industrialist”. Makanya industri kita belum memiliki budaya “iptek”. Ini terlihat dari masih lemahnya sisi R&D dan minimnya “pengindustrian inteligensi”.

Ketiga, arah kebijakan (road map) tidak jelas. Lemah dari sisi implementasi. Tujuan akhir (ultimate goal)-nya kemana dan kapan mesti terlaksana berikut kriteria-kriterianya tidak terdefinisi dengan baik. Paling tidak ini menurut apa yang saya amati sebagai orang yang berada di luar “lapangan permainan”.

Keempat, dalam banyak hal, pengambil manfaat terbesar dari kebijakan protektif berupa tariff barrier maupun non tariff barrier justru para prinsipal dari luar negeri selaku pemasok bahan baku dan pemasok teknologi. Mereka inilah yang lebih banyak menangguk untung dari kebijakan protektif tersebut. Mengapa demikian? Karena mereka tahu ada proteksi, maka mereka bisa mematok harga tinggi terhadap bahan baku dan teknologi yang mereka pasok ke Indonesia. Akibatnya beberapa pelaku industri dalam negeri memperoleh profit margin yang tidak memadai untuk melakukan investasi lebih lanjut. Ini juga ditengarai salah satu penyebab terhambatnya pengembangan industri ke arah hulu.

Memang implementasi berbagai kebijakan yang ada belum cukup mampu untuk memacu industri kita agar membangun fasilitas produksi hulu. Apalagi pelaku industri saat ini mendapat tekanan finansial dengan adanya arus serangan produk murah dari manca negara, terutama produk dari China. Ditambah lagi dengan telah terikatnya Indonesia dengan pasal-pasal perjanjian perdagangan bebas seperti AFTA dan WTO, maka kebijakan protektif yang radikal sudah sulit untuk dilaksanakan. Momentum terbaik untuk memanfaatkan hasil keuntungan proteksi ini sebetulnya pada saat Indonesia belum terikat dengan badan-badan perdagangan bebas tersebut. Ketika itu – sebut saja sebelum paruh kedua tahun 1990-an – pelaksanaan proteksi masih menungkinkan bagi para pelaku industri untuk memperoleh marjin laba yang lebih besar dibandingkan kondisi sekarang ini dan situasi pasarpun ketika itu tidak sejenuh sekarang ini (belum begitu banyak pemain). Tetapi hasil keuntungan di masa lalu tersebut pada umumnya tidak mereka investasikan ke proses produksi hulu.

Sebenarnya kebijakan protektif terhadap industri dalam negeri umum dilakukan juga di berbagai belahan dunia, walaupun dengan cara yang berbeda-beda. Cara langsung adalah keluarnya bentuk peraturan dari pemerintah. Cara tidak langsung umpamanya melalui penguatan lobi-lobi asosiasi, pelatihan, atau subsidi. Proteksi berupa preferensi harga dan pembatasan kuota masih diperlukan. Namun dengan mempertimbangkan derasnya arus globalisasi serta usia sebagian industri yang tidak lagi dapat dikategorikan sebagai infant industry, maka kebijakan protektif tersebut harus dibarengi dengan penjadwalan terarah atau suatu road map yang definitif (misalnya 10 tahun ke depan) agar industri pendukung migas betul-betul mampu mandiri. Harus ada tahapan rekayasa (desain), tahapan pendanaan, tahapan konstruksi pembangunan fasilitas produksi hulu, serta tahapan penguasan pangsa pasar domestik sekaligus penetrasi pasar ekspor. Proteksi yang berkepanjangan tanpa batasan waktu dan tanpa sasaran yang jelas – apalagi industri yang tidak dapat lagi dikategorikan sebagai infant industry – justru menyebabkan industri nasional makin tidak memiliki ketahanan.

Harapan Kedepan Terhadap Industri Penunjang Migas

Karena memberikan multiplier effect yang sangat berarti bagi pembangunan nasional; misalnya lewat setoran pajak, penyerapan tenaga kerja, serta pemanfaatan industri barang/jasa pendukungnya; maka diharapkan di masa mendatang Indonesia dapat membangun industri penunjang migas yang,
  1. sepenuhnya mampu mendukung kegiatan operasional migas;


  2. berdaya saing kuat, yaitu adanya kemampuan untuk memproduksi barang/jasa yang berkualitas, memenuhi persyaratan K3L2 (kesehatan, keselamatan kerja, dan lindungan lingkungan), harga kompetitif, serta penyerahan tepat waktu;


  3. menguasai pasar lokal – katakanlah lebih dari dua per tiga volume pasar, sekaligus mampu mengakses pasar ekspor;


  4. memiliki fasilitas produksi dari hulu sampai hilir sehingga mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pasokan bahan baku impor, teknologi impor, serta berbagai sumber daya impor lainnya; dan


  5. terus menerus meningkatkan kemampuan sendiri (indigenous capabilities) sehingga betul-betul mampu membuat produk “made by Indonesians”, bukan sekedar dijadikan basis bagi kapitalis global untuk membuat produknya.
Bila kelima hal di atas sudah tercapai, maka Indonesia akan memiliki industri penunjang migas yang sustainable. Pertanyaannya, kapan itu bisa terjadi? Mudah-mudahan tidak seperti lakon teater “Menunggu Godot” – yang sangat populer di era penghujung 1970-an sampai awal 1980-an.
Read more (Baca selengkapnya)...