Thursday, November 14, 2013

Kemacetan Jakarta





Kemacetan adalah suasana sehari-hari kota-kota besar dunia. Hanya level keberhasilan mitigasinya yang berbeda. Ada yang berhasil mengatasinya dengan baik, ada yang hanya sekedar diatasi dengan solusi yang sifatnya sementara dan tambal-sulam.  Kemacetan di Jakarta sudah menjadi santapan warga atau orang yang sehari-hari beraktivitas di kota ini. Tak habis-habisnya menjadi topik bahasan berbagai media serta menjadi ajang polemik dan perdebatan. Masalah kemacetan juga sering masuk ke ranah politik (dipolitisasi); misalnya dijadikan tema kampanye “tiga tahun bisa”, atau dijadikan topik bagi para politisi untuk saling menyerang.

Belum lama ini sempat terjadi saling sindir antara Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan Pemerintah DKI Jakarta, dalam hal ini Gubernur Joko Widodo (Jokowi). SBY mengatakan kemacetan di Jakarta merupakan tanggung jawab Pemprov DKI, Jokowi balik membalas mengatakan bahwa kemacetan Jakarta merupakan tanggung jawab bersama. Dalam hal ini Jokowi benar. Kemacetan merupakan tanggung jawab semua elemen pemangku kepentingan di Jakarta. Kebijakan pusat bisa saja justru menambah kesemrawutan Jakarta. Kebijakan Jokowi yang menghentikan sementara ijin pembangunan mal baru di Jakarta patut didukung, sebab kenyataannya kemacetan yang ditimbulkan mal sering tidak kalah dengan pasar tradisional, di samping berpotensi mematikan pasar tradisional.

Jakarta tidak hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga pusat perkantoran, sentra ekonomi, dan pusat transaksi keuangan. Konon 60% dari jumlah uang yang beredar di Indonesia ada di Jakarta. Jakarta memang memiliki magnet yang luar biasa sehingga banyak orang dari daerah berbondong-bondong mengadu nasib di Jakarta. Saya termasuk salah satunya. Karena di tahun 1992 saya diterima bekerja di perusahaan yang kantor pusatnya ada di Jakarta, dan saya ditempatkan di kantor pusat, maka mau tak mau saya mesti ikut pindah kerja ke Jakarta; meskipun saya bermukim di pinggirian Jakarta – alias Jakarta coret – karena tidak lulus seleksi finansial untuk membeli tempat tinggal di DKI. 

Fenomena urbanisasi yang sejak lama ini terus terakumulasi dari tahun ke tahun sehingga setiap ada perbaikan atau penambahan infrastruktur kota selalu tidak pernah cukup untuk menyelesaikan persoalan kota – terutama kemacetan. Seiring dengan meningkatnya level kemakmuran warga dan semakin bertumbuhkembangnya perekonomian menyebabkan jumlah penduduk dan volume kendaraan terus bertambah. Kesemrawutan makin menjadi manakala tingkat kedisiplinan berlalu lintas masih memprihatinkan. Padahal sejauh mana budaya disiplin sebuah bangsa dapat dilihat dari kedisiplinannya berlalu lintas; baik pengendara, pengguna sarana dan prasarana, maupun aparat penegak hukumnya.

Seperti yang saya baca di harian Kompas, 9 November 2013,  paling tidak ada 17 langkah penanganan transportasi kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) yang melibatkan Pemda Jabodetabek, Pemprov DKI, Kemenhub, PT KAI,  Kemenko Ekonomi, Kemenkeu, Kementerian ESDM, dan Pertamina. 17 langkah yang dimaksud adalah pemberlakuan electronic road pricing (ERP), sterilisasi empat jalur bus Transjakarta (busway), perbaikan sarana-prasarana jalan, penambahan dua jalur bus Transjakarta, kebijakan dan penegakan hukum perparkiran “on street”, bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi, restrukturisasi bus kecil yang tidak efisien, re-routing KRL Jabodetabek, penertiban angkutan liar, percepatan pembangunan MRT, revisi rencana induk transportasi Jabodetabek, pembentukan otoritas transportasi Jabodetabek, pembangunan rel ganda KRL Jabodetabek, pembangunan lingkar dalam KRL terintegrasi, jalan tol tambahan (“outer” dan “outer-outer”), pembatasan kendaraan bermotor pribadi, serta lahan “park and ride” untuk KRL.

Read more (Baca selengkapnya)...