Sunday, June 7, 2015

Mengelola Migas: Dari Sekedar "Menghasilkan Pendapatan" Menjadi "Penciptaan Nilai Tambah"



Minyak dunia terutama dihasilkan dari lapangan-lapangan tua yang telah beroperasi selama lebih 40 tahun (Richard Heinberg: The Party’s Over). Di Indonesia sendiri sekitar 90% produksi minyak dihasilkan oleh lapangan-lapangan tua yang telah beroperasi sejak dan sebelum tahun 1970-an. Industri migas modern di Indonesia sesungguhnya telah dimulai pada tahun 1885 di jaman pemerintahan kolonial ketika seorang Belanda yang bernama Aeilko Jans Zijlker berhasil mendapatkan temuan minyak komersial di sumur Telaga Said-1, Sumatera Utara.  Temuan ini hanya berselang 29 tahun setelah Colonel Drake dari Amerika Serikat berhasil menemukan minyak di Pennsylvania pada tahun 1859. Untuk melakukan eksplorasi dan pengembangan lapangan minyak yang intensif di Pulau Sumatera Pemerintah Belanda mendirikan perusahaan The Royal Dutch Petroleum Company pada tahun 1890, yang kemudian pada tahun 1907 bergabung dengan perusahaan The Shell Transport & Trading Ltd of UK sehingga menjadi The Royal Dutch Shell, atau dikenal dengan “Shell” saat ini. Mungkin jika tidak membaca dari sejarah, tidak ada yang dapat menyangka bahwa bayi perusahaan migas raksasa Shell sebetulnya lahir di bumi Indonesia.

Sudah sejak lama Indonesia sangat bergantung pada sektor hulu migas, baik sebagai sumber pendapatan negara maupun sebagai pasokan energi. Di era 1970-1980-an, porsi penerimaan negara (hak pemerintah) dari industri hulu migas dapat mencapai 70 s.d. 80% dari total pendapatan negara. Sekarang porsinya tinggal 20-30%, tergantung volume produksi dan fluktuasi harga minyak. Berkurangnya porsi penerimaan dari sektor hulu migas terhadap  total penerimaan negara disebabkan karena tingkat produksi minyak yang terus turun serta tumbuhnya sektor industri lain. Artinya migas sebagai sumber daya alam telah cukup berhasil memainkan peranannya dalam mengenergisasi pembangunan yang menumbuhkembangkan sektor industri lain, sehingga menyebabkan terus meningkatnya pendapatan negara dari sektor pajak.

Kegiatan usaha hulu migas di Indonesia dijalankan atas dasar kontrak kerja sama yang disebut Production Sharing Contract (PSC) atau disebut juga Kontrak Bagi Hasil (KBH). Indonesia adalah negara pelopor PSC yang kemudian banyak diadopsi negara-negara berkembang lainnya di berbagai belahan dunia. Kontrak PSC pertama ditandatangani pada tahun 1966 untuk wilayah kerja Offshore Northwest Java (ONWJ) yang kini dioperatori oleh Pertamina Hulu Energi – ONWJ (PHE-ONWJ). Dalam kontrak PSC manajemen dalam bentuk pengawasan dan pengendalian ada di tangan pemerintah. Sifat PSC yang didesain “learning by doing” karena adanya penggantian biasa operasi (recoverable cost) memungkinkan negara tuan rumah untuk memperoleh transfer pengetahuan dan keahlian teknis dari para kontraktor migas karena tersedia cukup banyak ruang bagi pemerintah untuk melakukan “intervensi”. Jadi, sejak awal adanya PSC, semangat untuk membangun kapasitas nasional sudah ada, sehingga isu kapasitas nasional sebetulnya bukan hal baru.

Read more (Baca selengkapnya)...