Sunday, September 19, 2010

Catatan Kecil tentang Proteksi Industri dan “Infant Industry Argument”


Apakah strategi industrialisasi subsitusi impor yang dilakukan selama ini dengan menerapkan berbagai kebijakan protektif berdasarkan infant industry argument telah tepat sasaran? Apa saja kegagalan dalam industrialisasi substitusi impor? Dan, apakah di tengah derasnya arus globalisasi kebijakan protektif masih relevan diberlakukan?

Bahasa Indonesia yang sangat kental nuansa sastranya dikenal sebagai bahasa yang sering menggunakan eufemisme (ungkapan pelembut). Kenaikan tarif, misalnya, diumumkan menjadi penyesuaian tarif. Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan lokakarya yang pernah saya ikuti, perlindungan atau proteksi terhadap industri dalam negeri lebih sering dilembutkan menjadi ‘keberpihakan’. Padahal sebetulnya kata ‘keberpihakan’ itu sama dan sebangun dengan ‘proteksi’. Oleh karena itu dalam artikel ini saya pakai saja kata ‘proteksi’.

Proteksi terhadap industri dalam negeri dari sisi kebijakan paling tidak dilakukan dengan salah satu atau kombinasi dari dua cara ini:

1. Tariff barrier – penerapan bea masuk dan pajak-pajak dalam rangka impor terhadap produk impor.

2. Non tariff barrier – pembatasan kuota sampai pelarangan terhadap produk impor.

Tahun lalu ada sebuah pabrikan nasional industri penunjang migas yang dijual ke pihak asing, dimana pada mulanya pihak asing ini hanya memasok bahan baku ke pabrikan nasional tersebut. Kejadian ini sempat menjadi bahan diskusi di salah satu milist yang beranggotakan para profesional di bidang pengadaan (supply chain).

Kejadian jual-menjual perusahaan sebetulnya merupakan hal biasa dan wajar-wajar saja. Seperti yang terjadi pada diri kita sehari-hari. Manakala kita butuh uang atau modal tambahan maka salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menjual aset yang kita miliki. Tetapi patut disayangkan manakala ada industri nasional yang selama ini mendapatkan fasilitas perlindungan (proteksi) dari pemerintah lalu setelah ia tumbuh cukup besar dan memiliki pangsa pasar yang signifikan di pasar domestik tiba-tiba dijual ke pihak asing.

Walaupun ada pihak yang mengatakan bahwa di industri penunjang migas tidak ada yang namanya proteksi, namun sebetulnya pemberlakukan Daftar ADP (Appreciation of Domestic Product), penerapan master list (rencana impor barang), dan diperhitungkannya TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) pada saat evaluasi lelang termasuk bentuk-bentuk proteksi non tariff barrier.

Sebagai orang yang berada di luar playing field dunia perindustrian, saya termasuk dalam kelompok aliran “ortodoks” dalam menginterpretasikan “keberhasilan berindustri”. Bagi saya kriteria keberhasilan berindustri itu sederhana saja. Jika dalam sebuah industri porsi “Indonesia contents”-nya makin lama makin bertambah, maka itu berarti “progress”. Sebaliknya, bila “Indonesia contents”-nya makin lama malah makin berkurang – apalagi sampai dijual ke pihak asing, maka menurut saya ini merupakan “set back” – sebuah kemunduran.

Dapat dimengerti sepenuhnya bahwa untuk membangun industri kita butuh kepemodalan asing dalam bentuk foreign direct invetsment. Bahwa adanya porsi kepemilikan asing, baik besar maupun kecil, saat mendirikan sebuah industri merupakan hal yang wajar dalam sebuah negara berkembang. Namun hendaknya sejalan dengan waktu, jika ingin dikatakan berhasil dalam berindustri, porsi Indonesianya semestinya makin lama makin bertambah, bukan makin berkurang.

Proteksi dan Infant Industry Argument

Sebagai konsekuensi dari penerapan proteksi, secara teoretis para pelaku industri nasional “diperkenankan” menikmati harga jual produknya lebih tinggi dari rata-rata harga pasaran internasional. Mengapa demikian? Ini bisa dijelaskan dengan apa yang disebut dengan “infant industry argument” seperti yang saya rangkumkan di bawah ini.

Industrialisasi di negara berkembang pada umumnya dilakukan sebagai upaya mensubstitusi barang impor, yaitu serangkaian usaha untuk mencoba membuat sendiri komoditi-komoditi yang semula selalu diimpor – biasanya produk-produk manufaktur – dengan mengalihkan permintaan impor ke sumber-sumber produksi dan penawaran dari dalam negeri. Tahapan pelaksanaan strategi yang pertama biasanya adalah pemberlakuan hambatan tarif (tariff barrier) atau kuota terhadap impor produk-produk tertentu. Selanjutnya disusul dengan membangun industri domestik untuk memproduksi barang-barang yang biasa diimpor tersebut. Hal tersebut biasanya dilaksanakan melalui kerja sama (pengalihan infoware, technoware, orgaware, dan humanware) dengan perusahaan-perusahaan asing yang terdorong untuk membangun industri di kawasan tertentu dan unit-unit usahanya di negara yang bersangkutan, dengan dilindungi oleh dinding proteksi berupa tarif. Selain itu, mereka juga diberi insentif-insentif seperti keringanan pajak, serta berbagai fasilitas dan rangsangan investasi lainnya.

Steven M. Suranovic, ekonom dari George Washington University, mengemukakan bahwa menurut argumen infant industry proteksi diperlukan untuk industri kecil yang baru tumbuh terutama di negara yang sedang berkembang (less developed countries). Industri yang baru dibangun belum memiliki kemampuan yang memadai untuk berkompetisi secara frontal dengan industri mapan dari negara-negara yang sudah maju. Industri negara maju sudah berada di jalur bisnisnya dalam waktu yang sudah lama dan sudah mampu melakukan efisiensi dalam proses-proses produksinya. Mereka mempunyai informasi dan pengetahuan yang cukup tentang optimisasi proses produksi, situasi dan karateristik pasar, serta kondisi pasar tenaga kerja sehingga mereka mampu menjual produk yang berharga murah di pasar internasional tetapi masih tetap bisa menghasilkan keuntungan yang memadai.

Pada puncaknya, seperti di Korea Selatan, Taiwan, dan China, para produsen domestik mereka tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik tanpa tarif, akan tetapi juga untuk ekspor ke pasar internasional. Hal ini bisa mereka lakukan karena mereka telah mampu menghasilkan produk tersebut dengan struktur biaya yang murah sehingga harga yang ditawarkan sangat kompetitif dan mampu bersaing di pasar luar negeri. Jadi, bagi negara-negara berkembang, paling tidak secara teoretis, strategi industrialisasi substitusi impor tersebut dipandang sebagai syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mereka mulai melaksanakan strategi industrialisasi promosi ekspor. Atas dasar alasan inilah, dan beberapa alasan lainnya (misalnya keinginan untuk lebih mandiri di bidang industri manufaktur, atau sekedar untuk menerapkan tarif demi meningkatkan pendapatan negara), maka banyak pemerintahan negara-negara dunia ketiga yang tertarik dan menerapkan strategi industrialisasi substitusi impor tersebut.


Gambar 1 menunjukkan contoh analisis kasus proteksi, misalnya pasar produk manufaktur – katakanlah tekstil – dalam sebuah negara yang baru berkembang. Mula-mula berlaku perdagangan bebas dan harga pasaran dunia adalah P1. Pada harga ini jumlah permintaan konsumen adalah D1, tetapi kurva penawaran (supply) masih terlalu tinggi untuk menjamin ketersediaan pasokan karena harga produk substitusi impor (produk lokal) tersebut masih terlalu tinggi. Ini yang dikatakan bahwa produsen lokal tidak dapat menghasilkan produk yang berharga cukup murah untuk berkompetisi dengan barang impor. Andaikan argumen infant industry digunakan untuk menjustifikasi proteksi terhadap industri domestik yang belum ada dan baru akan dibangun, diberlakukanlah tarif bea masuk terhadap barang impor sehingga harga barang impor tersebut di pasar domestik naik menjadi P2. Dalam hal ini besarnya tarif sama dengan perbedaan antara P2 dan P1, yaitu t = P2 – P1. Kenaikan harga di pasar domestik akan menstimulasi industri lokal sehingga dapat memproduksi dan menjual barangnya sebanyak S2. Permintaan akan turun menjadi D2 dan impor akan berkurang (D2-S2). Titik ekuilibrium (Qe,Pe) pada gambar menunjukkan kondisi ekuilibrium sistem perdagangan domestik tertutup (tidak ada perdagangan internasional). Luas bidang segi empat yang diarsir merupakan jumlah pendapatan pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah dari tarif impor yang diberlakukan terhadap produk impor tersebut.

Semakin tinggi tarif yang dikenakan, akan semakin dekat hasil penjumlahan harga pasaran dunia plus pajak impor dengan harga domestik sebelum adanya perdagangan internasional (pada Gambar 2 artinya P2 semakin mendekati Pe). Dalam jangka pendek, jelas pengenaan tarif tersebut akan merugikan konsumen domestik. Dengan adanya tarif itu maka pada dasarnya konsumen mensubsidi para produsen domestik melalui harga yang lebih tinggi dan kuantitas konsumsi yang lebih sedikit. Namun dalam jangka panjang, para penganjur proteksi bagi sektor-sektor infant industry di negara berkembang menyatakan bahwa masing-masing pihak akan diuntungkan begitu para produsen lokal mencapai skala ekonomis dan mampu melakukan efisiensi sehingga kurva penawaran bergeser turun dari S ke S’. Akhirnya harga akan cenderung kembali turun ke arah P1 (harga pasaran dunia), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Produksi domestik selanjutnya akan mampu melayani pasar domestik maupun pasar-pasar dunia. Kalau itu sudah tercapai, maka semua pihak, yaitu para konsumen, produsen, serta para karyawannya akan diuntungkan, tarif akan dihapuskan, dan pemerintah akan memperoleh pajak penghasilan dari produsen domestik yang telah mapan itu sebagai ganti pajak impor yang dihapuskan tersebut. Secara teoretis, semuanya tampak logis dan persuasif.

Jadi, tujuan strategis jangka panjang dari kebijakan proteksi menurut argumen infant industry adalah agar industri di sebuah negara mampu mandiri, memperkuat kemampuan sendiri (indigenous capabilities), dan mampu melepaskan diri dari belenggu ketergantungan terhadap sumber daya impor.

Beberapa Permasalahan Industri dan Perdagangan Indonesia

Perekonomian nasional memiliki berbagai permasalahan dalam kaitannya dengan sektor industri dan perdagangan (Carunia Firdausy, 2000):

(1) Strategi industri yang dilaksanakan selama ini lebih menekankan pada industri berspektrum luas (broad-based industry) dan industri teknologi tinggi (hi-tech industry). Adanya strategi ini mengakibatkan berkembangnya industri yang berbasis impor. Industri-industri tersebut sering terpukul oleh depresiasi mata uang rupiah yang tajam. Di samping itu, struktur industri masih belum cukup kokoh dan seimbang. Hal ini tercermin dari masih adanya kekosongan mata rantai proses produksi yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara industri hulu dan hilir. Industri swasta kita yang pekat dengan orientasi “dagang” (mercantile) memang belum merasakan urgensi riset “iptek” (ilmu pengetahuan dan teknologi) bagi mereka. Bahkan, untuk mendapatkan pay-out yang cepat, mayoritas pelaku industri di Indonesia hanya bergerak di proses produksi hilirnya saja, sehingga oleh para kritikus disebut sebagai “tukang jahit”. Selain itu, sebaran industri belum merata karena masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Industri yang hanya terkonsentrasi pada satu kawasan ini tentulah tidak sejalan dengan kondisi geografis Indonesia yang menyebut dirinya sebagai negara kepulauan.

(2) Adanya kelemahan kegiatan ekspor Indonesia yang tergantung pada kandungan impor bahan baku yang tinggi, relatif masih tingginya tingkat suku bunga pinjaman bank di Indonesia, belum sepenuhnya L/C (Letter of Credit) Indonesia diterima di pasar internasional, serta kelambatan pemberian fasilitas pembiayaan perdagangan (trade financing) kepada eksportir.

(3) Komposisi komoditi ekspor Indonesia pada umumnya bukan merupakan komoditi yang berdaya saing, melainkan karena adanya keunggulan komparatif yang berkaitan dengan (i) tersedianya sumber daya alam - seperti hasil perikanan, kopi, karet, dan kayu; (ii) tersedianya tenaga kerja yang murah – seperti pada industri tekstil, alas kaki, dan barang elektronik; (iii) adanya kebijakan akomodatif negara lain, misalnya adanya preferensi untuk beberapa produk yang diekspor ke negara pemberi fasilitas atau strategi perusahaan prinsipal (parent company) di luar negeri yang mengalokasikan pabriknya.

(4) Komoditi primer yang merupakan andalan ekspor Indonesia pada umumnya dalam bentuk bahan mentah (raw material), sehingga nilai tambah yang diperoleh sangat kecil. Misalnya Indonesia mengekspor kayu dalam bentuk gelondongan, yang kemudian diimpor lagi dalam bentuk mebel (furniture) karena terbatasnya penguasaan desain dan teknologi finishing.

(5) Masih relatif rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan formal dan pola pelaksanaan pelatihan yang cebderung masih bersifat umum dan kurang berorientasi pada perkembangan kebutuhan dunia usaha. Selain itu, rendahnya kualitas sumber daya manusia akibat dari pola penyerapan tenaga kerja di masa lalu yang masih mementingkan pada jumlah tenaga manusia yang terserap (labor intensive) ketimbang kualitas tenaga manusianya (labor efficiency).

Menurut Saswinadi Sasmojo (2004: 99-105) sebetulnya penyebab utama (root cause) dari kegagalan Indonesia dalam berindustri adalah karena industri Indonesia sangat tergantung pada impor sumber-sumber teknologi dari negara lain, terutama negara-negara yang telah maju dalam berteknologi dan berindustri (industrially developed countries). Ketergantungan yang tinggi terhadap impor teknologi ini merupakan salah satu faktor tersembunyi yang menjadi penyebab kegagalan dari berbagai sistem industri dan sistem ekonomi di Indonesia:

(1) Secara intrinsik, baik pada tataran nasional maupun internasional, sistem industri Indonesia tidak memiliki kemampuan responsif dan adaptif yang mandiri. Karenanya sangat lemah dalam mengantisipasi perubahan dan tak mampu melakukan tindakan-tindakan preventif untuk menghadapi terjadinya perubahan tersebut. Tuntutan perubahan pasar dan persaingan antar industri secara global tidak hanya mencakup perubahan di dalam corak, sifat, kualitas, dan harga dari komoditas yang diperdagangkan, tetapi juga tuntutan lain yang muncul karena berkembangnya idealisme masyarakat dunia terhadap hak azasi manusia, pelestarian lingkungan, liberalisasi perdagangan, dan sebagainya.

(2) Gerak ekonomi Indonesia sangat tergantung pada arus modal asing yang masuk atau keluar Indonesia serta besarnya cadangan devisa yang terhimpun melalui perdagangan dan hutang luar negeri.

Kebijakan yang telah secara berkelanjutan ditempuh tersebut, teramati tidak mampu membawa ekonomi Indonesia menjadi makin mandiri, bahkan menjadi makin terkungkung kepada berbagai ketergantungan, yaitu:

a. ketergantungan kepada pendapatan ekspor,
b. ketergantungan pada pinjaman luar negeri,
c. ketergantungan kepada adanya investasi asing, dan
d. ketergantungan akan impor teknologi dari negara-negara industri.

Selain itu, pengamatan historis terhadap terjadinya kegagalan meluas di berbagai sistem di Indonesia menunjukkan bahwa telah terjadi suatu “situasi asimetrik” (Saswinadi Sasmojo et. al., 1998). Di arena sistem ekonomi, situasi asimetrik tersebut muncul dalam bentuk persaingan tidak sehat, adanya iklim dan perlakuan yang memihak terhadap sekelompok terbatas sehingga terjadi perbedaan dalam menggapai dan memanfaatkan kesempatan dan sumber daya untuk berusaha (seperti penyediaan fasilitas dana, akses pada informasi, dan titik kekuasaan dalam teknologi, pasar, dan sebagainya), bahkan adanya tindakan-tindakan yang merintangi kesempatan bagi kelompok yang lebih besar yang sebetulnya justru menyangkut kepentingan masyarakat banyak.

Beberapa Kegagalan dalam Industrialisasi Substitusi Impor

Sebagian besar pengamat sependapat bahwa penerapan strategi industrialisasi substitusi impor di sejumlah negara-negara berkembang, seperti di negara-negara Amerika Latin telah menunjukan keberhasilannya (terutama industri pipa dan baja). Namun secara spesifik muncul lima jenis dampak negatif yang tidak diharapkan atau diperkirakan sebelumnya (Todaro, 2000):

(1) Perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam sektor-sektor yang diproteksi itu – baik perusahaan milik pemerintah maupun swasta – ternyata menyalahgunakan segala perlindungan dan kemudahan yang disediakan pemerintah. Karena merasa sangat nyaman di bawah perlindungan proteksi tarif yang membebaskannya dari tekanan-tekanan persaingan, mereka justru terlena sehingga modus operasi bisnisnya menjadi tidak efisien dan cenderung boros.

(2) Pengambil manfaat utama dari proses substitusi impor tersebut ternyata adalah perusahaan-perusahaan asing selaku prinsipal yang memasok bahan baku, teknologi, dan sumber daya lainnya. Mereka itu memang yang paling mampu mengambil manfaat dari segala kesempatan ekonomis yang tersedia di balik tembok proteksi tarif serta adanya insentif-insentif khusus untuk melakukan investasi. Sebagian besar keuntungan bisnis yang mereka peroleh akan dikirimkan kembali ke luar negeri (negara asalnya), sedangkan sisanya – yang biasanya tinggal sedikit itu – mengalir ke tangan orang-orang kaya pelaku industri setempat, yaitu mereka yang bekerja sama dengan para pengusaha asing dan turut mengusahakan perlindungan ekonomi dan politik dari pemerintah.

(3) Sebagian besar upaya substitusi impor tersebut hanya mungkin dilaksanakan dengan adanya impor barang-barang modal (kapital) dan barang setengah jadi (untuk keperluan pendirian pabrik dan pelaksanaan proses produksi). Biasanya impor itu dilaksanakan oleh perusahaan domestik yang bekerja sama dengan perusahaan asing yang seringkali dibiayai dengan subsidi dari pemerintah. Sebagian besar impor yang dilakukan bersal dari induk perusahaan asing tersebut di luar negeri atau dari anak perusahaan lainnnya yang berada di luar negeri.

(4) Meningkatnya tekanan terhadap ekspor komoditi primer tradisional. Dalam rangka mendorong industri manufaktur domestik melalui impor barang-barang modal dan setengah jadi (barang antara), pemerintah sengaja menetapkan kurs atau nilai tukar (exchange rate) – yakni patokan nilai bagi Bank Sentral suatu negara untuk membeli atau menjual mata uang domestik – resmi yang berlebihan (over valued) terhadap uang domestik. Tujuannya sendiri adalah untuk meningkatkan harga-harga produk ekspor dan sekaligus untuk menurunkan harga-harga impor yang dihitung berdasarkan nilai tukar mata uang setempat.

(5) Substitusi impor yang sudah diterima sebagi sebuah gagasan penting guna memacu proses industrialisasi secara berkesinambungan dengan menciptakan “keterkaitan ke depan” (forward linkage) dan “keterkaitan ke belakang” (backward linkage) dengan sektor-sektor lainnya, dalam prakteknya justru menggangu proses industrialisasi itu sendiri. Jika yang diproteksi itu adalah industri hulu, maka biaya-biaya input untuk industri hilir akan naik karena harga barang setengah jadi atau bahan baku sebagai output dari indutsri hulu lebih tinggi dari harga yang semestinya. Sebaliknya, jika yang diproteksi itu adalah industri hilir, maka ada kecenderungan diharuskannya industri tersebut membeli kebutuhan-kebutuhan input mereka dari sumber-sumber yang sudah ditentukan di luar negeri dengan harga yang lebih mahal (kasus ini terjadi misalnya pada industri pipa pemboran); bukan dari para pemasok setempat yang memiliki “keterkaitan ke belakang” dan bukan pula dari sumber lain yang harga bahan-bahan input-nya lebih rendah. Karena adanya inefisiensi harga, maka perusahaan penghasil barang substitusi impor itu pada kenyataanya justru dapat mengganjal proses industrialisasi secara terpadu.

Penutup

Dengan dijualnya industri nasional ke pihak asing, maka akibatnya antara lain:

• Devisa yang diperoleh dari hasil penjualan akan lari ke luar negeri.

• Akses terhadap teknologi (infoware, humanware, technoware, orgaware) akan tetap dikuasai pihak asing, sehingga bangsa kita sulit atau tidak akan pernah menguasai “ruh” teknologinya.

• Biasanya pihak pemilik asing akan melakukan reorganisasi. Orang-orang kita biasanya hanya ditempatkan di level pekerja dan lini manajemen bawah. Sementara lini manajemen menengah ke atas dan berbagai posisi strategis lainnya akan ditempati orang-orang mereka. Ini jelas akan memperlambat proses alih teknologi dan kemampuan manajemen.

• Nilai tambah bagi bangsa jadi minim. Indonesia hanya dijadikan basis para investor global untuk membuat produk “made in Indonesia”, bukan “made by Indonesia”.

• Dalam jangka panjang bangsa kita akan makin lama lagi membangun kemandirian dan ketahanan berindustri.

Oleh karena itu penjualan aset industri nasional ke pihak asing memang disayangkan. Apalagi jika alasan penjualan oleh pemiliknya adalah untuk memperoleh tambahan uang cash dalam rangka menutupi kerugian di sektor bisnisnya yang lain, bukan karena industri tersebut rapor neraca keuangannya merah. Maklumlah industri kita banyak yang merupakan bagian dari konglomerasi, sehingga sering terjadi ‘subsidi silang’.

Sektor hulu migas selama ini termasuk yang paling patuh dengan aturan-aturan protektif ini. Saat mengevaluasi harga penawaran, kita harus memasukkan nilai TKDN dalam evaluasi. Lalu untuk mengimpor barang, kita harus mengajukan apa yang disebut dengan masterlist (rencana impor barang). Kedua hal yang saya sebut ini tidak lain merupakan bentuk proteksi non tariff barrier. Tetapi, in return, tentunya kita menginginkan agar industri nasional kita memiliki nilai tambah semaksimum mungkin bagi bangsanya. Industri nasional kita mesti kuat, mampu mandiri, dan memiliki ketahanan.

Dengan adanya fenomena jual-menjual ke pihak asing ini, maka rumusan TKDN barang yang sekarang hanya mengacu pada direct costs of materials rasanya tidak fair bagi industri nasional yang kepemilikan sumber dayanya betul-betul “nasional”.

Semoga berbagai pihak (stakeholders) yang sama-sama memiliki perhatian dan kepentingan dengan keberlangsungan pembangunan industri nasional bisa ikut “mengawal” kebijakan protektif ini agar tujuan luhurnya, yaitu untuk membentuk kemandirian dan ketahanan industri nasional, dapat terwujud. Memang permasalahannya kompleks. Karena itulah diperlukan kesungguhan, bukan excuses, jika bangsa ini tidak mau terus-menerus terbelenggu oleh sumber daya asing.

Pertanyaannya, di tengah derasnya arus globalisasi masih relevankah kebijakan protektif ini? Di pertengahan 2008 saya penah membaca sebuah artikel berita berisikan petikan wawancara dengan Joseph E. Stiglitz, ekonom MIT (Massachussets Institute of Techology) peraih Nobel Ekonomi 2001 yang dikenal sebagai pengeritik lembaga-lembaga internasional IMF, Bank Dunia dan WTO sebagai kepanjangan tangan negara maju – terutama Amerika Serikat. Stiglitz menganjurkan kepada negara-negara berkembang agar bersikap lebih tegas terhadap IMF dan Bank Dunia. Juga harus tahu apa yang lebih diperlukan oleh sebagian besar masyarakatnya yang hidup dalam kemiskinan. Ia mengingatkan bahwa Amerika Serikat yang sangat mendukung globalisasi dan pasar bebas ternyata tetap menerapkan proteksi atas sejumlah sektor pertanian dan industrinya, sehingga menerapkan standar ganda di kancah internasional. Maka, negara berkembang juga semestinya berhak memberlakukan proteksi atas beberapa produknya.

Untuk kasus Indonesia, yang sedang berperang dengan korupsi, kemiskinan, dan pengangguran, Stiglitz mengingatkan bahwa “kekuatan pasar bebas” sering merugikan segmen-segmen besar masyarakat yang lemah (miskin), karena itu Pemerintah harus melakukan upaya-upaya nyata melindungi rakyatnya. Semakin lemah komitmen moral jajaran pimpinan pemerintahan negara berkembang, semakin negara tersebut akan diombang-ambingkan oleh kepentingan ekonomi negara maju.

Bahan Bacaan:

1. Firdausy, Carunia : “Tantangan dan Peluang Globalisasi bagi Perekonomian Nasional”, Indonesia Menapak Abad 21: Kajian Ekonomi Politik, Kumpulan Tulisan Kedeputian IPSK dan LIPI, Millenium Publisher, Jakarta, 2000.

2. Sasmojo, Saswinadi et. al. : “Situasi Asimetrik sebagai Penyebab Kelumpuhan Ekonomi dan Tatanan dalam Kehidupan”, Jurnal Studi Pembangunan ITB, Vol. 1 No. 2, Bandung, Mei 1998.

3. Sasmojo, Saswinadi : Sains, Teknologi, Masyarakat dan Pembangunan, Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB, Bandung, 2004.

4. Suranovic, S.M. : “The Infant Industry Argument and Dynamic Comparative Advantage”, International Trade Theory and Policy, Chapter 100-4, http://www.internationalecon/v.1.0/ch100/100c050.html.

5. Todaro, M.P. : Economic Development, 7th edition, Pearson Education Ltd., 2000.

Read more (Baca selengkapnya)...