Friday, May 30, 2008

SDM perminyakan Indonesia 'lari' ke luar negeri

Fenomena larinya SDM (Sumber Daya Manusia) perminyakan Indonesia ke luar negeri semakin intens. Tidak hanya ke Timur Tengah, Malaysia, dan Brunei saja, tetapi juga ke Afrika Utara, Kanada, dan bahkan sampai Laut Utara. Perusahaan minyak Malaysia PETRONAS yang melesat jauh lebih maju tenimbang gurunya (Pertamina) banyak mempekerjakan tenaga dari Indonesia. Pertimbangan para SDM kita yang lari keluar tentu saja karena penghasilan dan jaminan kesejahteraan yang lebih menarik (baca: jauh lebih menarik) di luar sana. Sebagai contoh saja, kalau ke Qatar paling tidak bisa mendapatkan gaji awal bersih USD 7000 per bulan, belum termasuk benefit lain. Menurut yang saya amati, sampai dua tahun lalu kebanyakan SDM perminyakan yang lari ke luar negeri adalah para GGE (geophysist, geologist, dan engineer). Mereka inilah tenaga inti dalam suatu perusahaan minyak dimana ‘ruh’ teknologi perminyakan berada dalam diri mereka. Namun saat ini SDM perminyakan yang lari ke luar tidak hanya dari kelompok GGE, tetapi juga sudah mulai menular ke kelompok administratif seperti keuangan, audit, dan supply chain management.

Sampai saat ini saya belum tahu apakah sudah ada studi yang membahas fenomena migrasinya para tenaga perminyakan kita ke luar negeri. Beberapa pertanyaan timbul:

(1) Apakah larinya SDM kita keluar ada pengaruhnya terhadap terus menurunnya produksi minyak Indonesia dan terus menipisnya cadangan minyak Indonesia akibat tidak ada penemuan cadangan baru?

(2) Apakah larinya SDM ini ada pengaruhnya terhadap lambatnya penguasaan teknologi perminyakan bagi bangsa Indonesia?

(3) Apakah larinya SDM kita ada pengaruhnya terhadap meningkatnya biaya cost recovery karena bertambahnya pemakaian tenaga kerja asing dan import resources lainnya di Indonesia?

(4) Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Apakah hanya semata-mata karena gaji di luar jauh lebih menjanjikan atau ada juga faktor-faktor lain yang salah di dalam negeri ini – terutama menyangkut situasi kerja di perusahaan-perusahaan migas (asing maupun lokal) yang ada di Indonesia.

(5) Apakah bagi Pemerintah Indonesia ini dianggap fenomena yang biasa-biasa saja? Sehingga sejauh ini tidak ada upaya apapun untuk mempertahankan SDM-nya agar betah membangun negeri sendiri.

Kalau memang dianggap ‘biasa-biasa’ saja dan dianggap tidak ada pengaruhnya, ya biarkan saja. Tetapi hati-hatilah dengan anggapan ‘biasa-biasa’ saja itu. Seperti yang sering kita jumpai dalam perjalanan bangsa ini, banyak kegagalan terjadi karena menganggap remeh sebuah fenomena saat fenomena tersebut baru muncul.
Read more (Baca selengkapnya)...

Indonesia keluar dari OPEC

Seperti yang dilansir oleh beberapa mas media hari Kamis 29 Mei 2008, resmilah sudah Indonesia keluar dari OPEC mulai tahun ini. Menurut keterangan dari Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro, Indonesia yang sekarang sudah jadi net-importer minyak berada dalam posisi yang tidak menguntungkan jika terus mempertahankan keanggotaannya di OPEC, walaupun OPEC sendiri tidak berkeberatan dengan kondisi Indonesia yang sudah jadi net-importer itu. Masih menurut Pak Menteri, sudah terjadi perbedaan kepentingan antara Indonesia dengan kedua belas negara anggota OPEC lain, dimana OPEC senantiasa menetapkan kuota produksi untuk mempertahankan harga minyak pada level yang memberikan keuntungan maksimum dari hasil penjualan minyak mentah (crude) bagi para anggotanya.

Menurut laporan bulanan OPEC edisi Mei 2008, total produksi crude OPEC pada bulan April 2008 mencapai 31,7 juta bph (barel per hari); atau 36,7% dari total produksi crude dunia yang mencapai 86,35 juta bph. Sementara produksi crude Indonesia (yaitu produksi minyak mentah tidak termasuk kondensat) hanya 876 ribu bph; atau hanya 2,8% dari total produksi crude OPEC.

Keluar dari OPEC tentu saja ada plus minusnya. Bagi OPEC, kalau dilihat dari sisi porsi produksi crude Indonesia yang sangat kecil itu mungkin tidak ada pengaruh apa-apa, walaupun dari sisi kepentingan geopolitik tetap ada rasa kehilangan seorang 'teman' . Sisi positif bagi Indonesia antara lain tidak lagi bayar iuran keanggotaan (yang besarnya 2 juta euro per tahun) dan tidak lagi terikat oleh batasan-batasan yang diberlakukan oleh OPEC. Sisi negatifnya, mengingat Indonesia sekarang mengimpor rata-rata sekitar 400 ribu bph crude dari Timur Tengah, mungkin saja nanti tidak ada lagi semacam solidaritas OPEC atau 'kesetiakawanan' yang menjamin ketersediaan pasokan crude untuk input di pengilangan Pertamina. Namun pada dasarnya asal punya uang, mencari dan membeli crude dari manapun sumbernya tidak masalah.

Bagaimanapun tentunya ini adalah sebuah proses keputusan yang panjang. Sudah diperhitungkan matang-matang oleh pemerintah lewat rapat-rapat kabinet. Semoga saja keputusan tersebut memang lebih menguntungkan bagi bangsa ini.
Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, May 29, 2008

Pilih pemimpin yang cerdas atau bermoral?

Isu moral atau tepatnya revitalisasi moral sering mencuat ke publik sehubungan dengan krisis multi dimensi yang (sedang) melanda Indonesia sejak akhir tahun 1997. Bahkan kalau kita amati sekarang, dalam kampanye-kampanye PILKADA sangat sering ditonjolkan calon pemimpin daerah yang track record moralnya bagus - dikenal sebagai sosok yang 'jujur' misalnya. Memang banyak pihak berpendapat bahwa penyebab paling mendasar timbulnya krisis itu adalah karena tidak adanya komitmen moral dari para pemimpin, bukan karena tidak ada pemimpin yang cerdas.

Lalu dengan kondisi keterpurukan bangsa dan permasalahannya yang sangat sangat kompleks sekarang, kita harus memilih yang mana antara pemimpin yang cerdas atau bermoral? Banyak kalangan mengatakan lebih baik memilih pemimpin yang bermoral. Kalau menurut saya mesti memenuhi kriteria dua-duanya: cerdas dan bermoral. Lho kan namanya disuruh memilih itu mesti salah satu. Ya tetap harus memenuhi kriteria dua-duanya. Kalau tidak, maka good governance tidak akan jalan, rakyat akan dikecewakan di tengah jalan periode kepemimpinannya. Indonesia ini penduduknya lebih dari 225 juta jiwa. Pastilah cukup banyak orang yang cerdas sekaligus bermoral. Hanya mungkin bangsa ini saja yang tidak cukup cerdas dan tidak cukup bermoral untuk mencari, menyeleksi, dan mengangkat pemimpin yang memenuhi kedua krtiteria tersebut. Read more (Baca selengkapnya)...

Geostrategi minyak

Ketika minggu lalu saya mengikuti salah satu forum diskusi energi, ada hal menarik tentang pengelompokan geostrategi negara-negara berdasarkan penguasaan sumber minyak bumi dan gas (migas), kepemilikan sumber migas, kekuatan ekonomi, dan kekuatan militer. Meskipun dalam forum tersebut sebetulnya dikemukakan ada lima kelompok negara, namun disini saya elaborasi menjadi enam kelompok:

(1) Negara-negara maju dengan penguasaan terhadap sumber migas baik secara langsung maupun tidak langsung serta mempunyai kekuatan militer (Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa Barat).

(2) Negara-negara maju yang tidak memiliki penguasaan sumber migas dan tidak berfokus pada kekuatan militer, namun mempunyai kekuatan ekonomi (Jepang, Korsel, Taiwan, dan Singapura).

(3) Negara-negara yang perekonomiannya berkembang pesat, tidak memiliki penguasaan sumber migas, namun mempunyai kekuatan militer (Rusia, China, Korut, India, Pakistan).

(4) Negara-negara penguasa langsung sumber migas besar dengan perekonomian dan militer yang ’cukup kuat’ (Saudi Arabia, Iran).

(5) Negara-negara penguasa langsung sumber migas besar, namun lemah perekonomian dan militernya (Afrika Utara, Irak, Amerika Selatan, Federasi Uni Soviet, Nigeria).

(6) Negara-negara berkembang yang perekonomiannya lemah, tidak memiliki kekuatan militer, serta tidak memiliki cadangan migas atau cadangan migasnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Coba tebak: Indonesia masuk kelompok yang mana.
Read more (Baca selengkapnya)...

Wednesday, May 28, 2008

Halo rekan-rekan di daerah

Saya yakin rekan-rekan di jajaran dinas pertambangan dan energi daerah (atau apapun nama institusi daerahnya yang diberi amanah untuk mengurusi manajemen energi di daerahnya masing-masing) mengikuti perkembangan harga minyak dunia dan, terutama, krisis energi di Indonesia saat ini. Saya yakin pula rekan-rekan di daerah sudah atau sedang melakukan brain storming baik secara internal maupun antar institusi – daerah maupun pusat – agar keterjaminan pasokan (security of supply) energi, terutama BBM dan listrik, berada pada tingkat yang aman.

Tanpa bermaksud menggurui (atau lebih tepatnya saya hanya sekedar mengingatkan kembali), apa yang mesti dilakukan di daerah antara lain:

(1) Mengevaluasi manajemen pasokan energi yang ada selama ini. Identifikasi kendalanya dan identifikasi poin-poin kritikal yang dapat berpotensi menimbulkan masalah. Lalu cari solusi bagaimana agar kendala dan poin-poin kritikal tersebut dapat ‘dijinakkan’.

(2) Menginventarisir seakurat mungkin kebutuhan BBM di daerahnya, termasuk berapa hari stok aman yang harus tersedia agar tidak menimbulkan krisis berupa antrian.

(3) Kordinasikan dengan pemerintah pusat apa yang dibutuhkan daerah dan apa yang ‘bisa diberikan’ oleh pemerintah pusat, untuk waktu sekarang dan akan datang.

(4) Membuat proyeksi kebutuhan energi daerah untuk jangka menengah dan jangka panjang.

(5) Inventarisir potensi energi alternatif (terutama energi terbarukan/renewable energy) yang ada di daerah masing-masing guna memberikan kontribusi untuk pasokan energi di masa mendatang – sejalan dengan diversifikasi energi.

(6) Membuat strategi kebijakan energi daerah yang komprehensif, termasuk mengevaluasi kemampuan sumber daya daerah yang ada (SDA, SDM, keuangan, dll) untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Untuk yang ini saya yakin masing-masing daerah sudah punya blue print-nya. Tinggal implementasinya saja yang serius.

Untuk daerah yang lokasinya jauh dari pengilangan, mesti bekerja lebih ekstra lagi untuk menjamin ketercukupan pasokan BBM di daerahnya. Sekedar bahan informasi (bagi yang belum mengetahui), berikut adalah lokasi-lokasi pengilangan PERTAMINA:

1. UP I Pangkalan Brandan (Sumut).
2. UP II Dumai-Sungai Pakning (Riau).
3. UP III Plaju (Sumsel).
4. UP IV Cilacap (Jateng).
5. UP V Balikpapan (Kaltim).
6. UP VI Balongan (Jabar).
7. UP VII Kasim (Papua).

Read more (Baca selengkapnya)...

Tuesday, May 27, 2008

Porsi minyak Indonesia


Barangkali ada beberapa rekan (terutama yang tidak bergerak di bidang perminyakan; atau yang di perminyakan juga tetapi tidak begitu ngeh) ingin mengetahui seberapa besar porsi produksi dan cadangan terbukti minyak bumi Indonesia dibandingkan negara-negara OPEC lain berikut persentasenya terhadap dunia, ini saya sarikan data dari BP Statistical World Energy Review 2007 yang detailnya bisa dilihat di http://www.bp.com/. Data ini adalah kondisi pada akhir Desember 2006. Tidak terlalu baru memang, tetapi kondisi setahun lalu masih cukup representatif jika hanya untuk sekedar mengetahui urutan Indonesia. Data produksi dalam ribuan barel per hari, sedangkan data cadangan dalam miliar barel (catatan: data produksi Indonesia pada tahun 2006 saya ambil dari laporan tahunan BPMIGAS - ketika itu masih 1 jutaan bph). R/P Ratio adalah rasio cadangan terbukti terhadap laju produksi terakhir – lebih kurang dapat memberikan gambaran berapa tahun lagi minyak di suatu negara habis, jika tidak ada penemuan cadangan baru tentunya.
Yang menarik adalah Iran. Meskipun cadangannya urutan kedua terbesar OPEC bahkan urutan kedua terbesar dunia dengan R/P Ratio 87 tahun, tetapi justru sudah melaksanakan diversifikasi energi secara serius, yaitu mulai meninggalkan BBM secara ekstensif untuk konsumsi energi dalam negeri. Untuk kendaraan bermotor mereka sudah beralih ke gas. Untuk pembangkit listrik mereka sedang mengembangkan tenaga nuklir – yang selalu dicurigai oleh negara Barat. Bagaimana dengan Indonesia? Kalau menurut saya sih, sudah cadangannya kecil, diversifikasi energi tidak serius pula.
Read more (Baca selengkapnya)...

Saturday, May 24, 2008

Kapan minyak Indonesia habis?



Wes ewes ewes bablas ……!!! Akhirnya harga BBM bersubsidi naik juga mulai tanggal 24 Mei 2008 jam 00:00 WIB. Premium menjadi Rp 6000 per liter, solar menjadi Rp 5500 per liter. Tentu saja keputusan pemerintah ini disambut dengan duka cita dan aksi unjuk rasa di beberapa tempat di Indonesia karena seperti yang sudah-sudah, walaupun sudah ada pelipur lara dalam bentuk BLT untuk rakyat miskin yang besarnya Rp 100 ribu per bulan per kepala keluarga, namun tidak ada artinya dibandingkan efek domino kenaikan BBM yang nanti akan merembet kemana-mana. Sementara pada penutupan hari Jumat, 23 Mei 2008, harga minyak mentah di pasar NYMEX (New York Merchantile Exchange) jenis light sweet crude sudah melampaui USD 132 per barel.
Dalam posting ini saya tidak akan bercerita tentang reaksi masyarakat akibat kenaikan BBM karena ini sudah menjadi headline di media masa. Saya mencoba membuat semacam simplified forecast alias ramalan sederhana tentang kapan minyak Indonesia habis. Karena caranya sederhana, tentu saja tidak pakai hitungan canggih-canggih semisal simulasi komputer yang biasa dipakai oleh para petroleum engineer ataupun model hitungan juru ramal yang handal. Dalam forecast ini diasumsikan (1) laju produksi mempunyai kecendrungan terus menurun, (2) tidak ada lapangan baru yang menambah produksi, dan (3) tidak ada cadangan baru yang ditemukan.

Cara pertama (lihat gambar pertama). Ekstrapolasi linier terhadap tren penurunan produksi mulai tahun 1997. Terlihat pada gambar pertama bahwa produksi mencapai nol pada tahun 2025. Pertanyaannya, kapankah eksploitasi lapangan minyak berhenti? Tentu saja jika dipandang tidak ekonomis lagi. Batas ekonomis sangat bervariatif untuk masing-masing lapangan, bahkan masing-masing sumur. Sukar untuk menjeneralisir berapa batas ekonomis untuk skala Indonesia yang jumlah sumur minyaknya puluhan ribu. Jika, sebut saja batas ekonomis itu adalah 200 ribu barel per hari (bph), maka berdasarkan cara pertama ini produksi minyak akan terhenti pada tahun 2022. Cara ini dapat dikatakan tidak pernah digunakan oleh para petroleum engineer.

Cara kedua (lihat gambar kedua). Tren produksi minyak diplot di atas kertas semi-log. Data produksi pada skala logaritma, dan waktu pada skala normal. Cara ini sering digunakan para petroleum engineer, disebut juga exponential decline rate (laju penurunan produksi secara eksponensial). Menurut cara ini, berhentinya produksi minyak juga tergantung berapa batas ekonomisnya. Jika katakanlah skala ekonomisnya 200 ribu bph, maka produksi minyak akan terhenti pada tahun 2045. Tapi kan 200 barel per hari itu uangnya banyak? Mungkin saja dalam 20 tahun mendatang biaya eksploitasi di Indonesia terlalu mahal, sehingga 200 ribu bph itu belum bisa membuat break even.

Cara ketiga. Membandingkan cadangan terbukti (proved reserve) dengan laju produksi terakhir, disebut juga Reserve to Production Ratio (R/P Ratio) . Cadangan terbukti adalah volume minyak bumi yang masih tersisa yang berdasarkan data-data geologi dan teknis dapat diproduksi di masa mendatang berdasarkan kondisi operasional (ekonomi dan teknologi) yang ada sekarang. Menurut data dari berbagai sumber, cadangan terbukti Indonesia pada akhir tahun 2006 sebesar 4,3 miliar barel. Jika produksi sekarang rata-rata 0,93 juta bph, berarti minyak Indonesia akan habis dalam kurun waktu 13 tahun mendatang, yaitu di tahun 2021.

Jadi memang tidak ada jawaban yang unik tentang kapan perminyakan di Indonesia akan ’tutup buku’. Namun bagaimanapun menurut saya Indonesia sudah dalam posisi SIAGA-1, artinya harus secara sungguh-sungguh mengantisipasi penurunan produksi ini; apalagi R/P ratio sudah membunyikan 'alarm'. Apakah umur ketersediaan minyak di Indonesia dapat diperpanjang? Jika lapangan baru bertambah (misalnya Exxon-Mobil Cepu yang sampai sekarang belum produksi juga dan konon dapat menambah kontribusi 200 ribu bph) dan ditemukannya cadangan-cadangan baru, maka usia perminyakan di Indonesia akan lebih panjang.
Read more (Baca selengkapnya)...

Wednesday, May 21, 2008

Rokok dan kemiskinan


Isu kemiskinan kembali menghangat sehubungan dengan rencana kenaikan BBM dan rencana pengucuran BLT (Bantuan Langsung Tunai). Beberapa waktu lalu saya melihat tayangan di salah satu stasiun TV swasta yang membahas korelasi antara kecanduan merokok dan kemiskinan. Berdasarkan hasil survei dalam tayangan tersebut ternyata 80% orang miskin di Indonesia adalah perokok berat – cukup mencengangkan!

Seorang bapak yang berprofesi sebagai pemulung ditanya berapa penghasilan rata-rata per hari dan berapa uang yang dihabiskannya untuk beli rokok. Bapak pemulung ini mengatakan penghasilannya sehari rata-rata Rp 20 ribu; Rp 12 ribu untuk beli rokok, Rp 4 ribu untuk makan dan minum di jalan, sisanya Rp 4 ribu yang dibawa pulang untuk anak-isterinya. Anak-anak bapak pemulung ini menderita kekurangan gizi dan putus sekolah. Seorang bapak yang berprofesi sebagai pengojek juga ditanyakan hal yang sama. Bapak pengojek ini mengatakan penghasilannya sehari rata-rata Rp 40 ribu; Rp 23 ribu untuk beli rokok, Rp 7 ribu untuk makan dan minum, sisanya Rp 10 ribu dibawa pulang untuk anak-isterinya. Anak-anak bapak pengojek ini sebagian putus sekolah dan hidup keluarganya sangat pas-pasan. Kalau saja si bapak pemulung tidak merokok, keluarganya akan memperoleh uang tambahan Rp 360 ribu per bulan. Kalau saja si bapak pengojek tidak merokok, keluarganya akan memperoleh uang tambahan Rp 600 ribu per bulan. Angka yang jauh di atas BLT yang hanya rata-rata Rp 100 ribu per bulan per kepala keluarga.

Kelihatannya tayangan TV tersebut ingin mengatakan bahwa ada korelasi positif antara kecanduan merokok dan tingkat kemiskinan. Orang yang sangat miskin bila menjadi perokok berat, maka keluarganya dapat menjadi sangat-sangat miskin. Orang miskin bila menjadi perokok berat, maka keluarganya dapat menjadi sangat miskin. Orang yang penghasilannya sangat pas-pasan apabila menjadi perokok berat, maka taraf hidup keluarganya dapat turun derajatnya menjadi keluarga miskin. Bagi mereka yang kelas menengah ke atas tentunya secara finansial tidak masalah jika menjadi perokok. Namun apakah berarti orang miskin tidak boleh merokok sedangkan orang kaya boleh merokok? Ya tidak juga. Terserah saja. Kalau Pak Soetrisno Bachir yang sekarang wajahnya terpampang di baliho-baliho berukuran besar dan sering muncul dalam tayangan TV mengatakan ‘hidup adalah perbuatan’, maka saya mengatakan ‘hidup adalah pilihan’. Memilih untuk merokok atau tidak merokok. Kalau beranggapan merokok itu lebih banyak mudaratnya tenimbang manfaatnya, ya sebaiknya jangan merokok. Kalau beranggapan merokok itu banyak manfaatnya, ya sah-sah saja kalau mau jadi perokok. Walaupun bebas memilih, alangkah baiknya jika pilihan itu adalah sesuatu yang betul-betul membawa manfaat untuk diri sendiri, keluarga, dan orang lain.

Merokok juga seringkali dimitoskan identik dengan simbol kejantanan. Sewaktu saya sedang menyelesaikan studi S-1 di Bandung dulu saya sering kumpul-kumpul dengan sesama teman mahasiswa. Seorang teman mengatakan kepada saya, “Kalau tidak merokok itu sama saja dengan bencong. Tidak macho.” Saya tidak memberikan komentar terhadap pernyataan sang teman ini. Secara kebetulan dalam perjalanan pulang di malam hari, dengan boncengan sepeda motor, saya dan teman ini melewati sebuah taman yang bernama Taman Maluku – lokasinya tidak jauh di belakang Bandung Indah Plaza sekarang. Di Taman Maluku ini memang – maaf – tempat berkumpulnya para bencong. Semua bencong di taman itu terlihat sedang merokok. Kemudian saya berkata ke teman saya, “Lihat tuh, semua bencong merokok. Berarti justru yang merokok itu yang sama dengan ……”. Teman saya itu hanya mesem-mesem mendengar serangan balik saya.

Lalu apakah berhenti merokok itu gampang? Mark Twain (1835-1910) seorang pujangga Amerika Serikat yang mempunyai nama asli Samuel Clemens mengatakan, “Berhenti merokok itu gampang. Saya sudah melakukannya ratusan sekali”. Memang semuanya tergantung niat dan usaha.
Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, May 19, 2008

Selamat jalan Sophan Sophiaan


Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Artis sekaligus politisi senior kawakan Sophan Sophiaan telah pergi meninggalan kita semua dalam usia 64 tahun pada Sabtu sore hari tanggal 17 Mei 2007. Almarhum merupakan sosok fenomenal yang langka di tanah air ini: tegas, berprinsip, penuh komitmen, tidak suka berpura-pura, serta rasa nasionalisme dan cintanya yang luar biasa pada Indonesia. Bahkan almarhum gugur saat sedang mengemban tugas keliling dalam Kepanitiaan Nasional Peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional. Sikap tegas dan ’lurus’ itu tercermin pada gurat wajahnya yang tampan itu. Boleh jadi sifat ini terwariskan pada sosok Sophan karena almarhum lahir dari keluarga pejuang. Rumah tangganya pun dikenal khalayak sangat harmonis, sehingga nyaris tidak pernah diterpa isu negatif. Beda dengan kebanyakan rumah tangga artis-artis sekarang seperti yang sering kita saksikan dalam tayangan infotainment.

Bahwa kematian di tangan Tuhan adalah suatu keniscayaan. Namun yang membuat dada ini cukup miris karena penyebab kematiannya adalah sebuah kecelakaan lalu lintas, hal yang kerap terjadi di tanah air ini. Ketika almarhum dengan rombongan motor besarnya melintasi jembatan Desa Planglor, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur pada hari Sabtu, 17 Mei 2008, jam 09.30 WIB, motor almarhum terperosok ke dalam lubang di tengah jalan yang lebarnya 15 cm dan panjang sekitar 3 m. Almarhum kehilangan kendali sehingga jatuh dan terseret sejauh 25 meter. Dalam perjalanan menuju RSUD Sragen dan masih di atas mobil ambulans almarhum menghembuskan nafas terakhirnya.

Segera setelah peristiwa naas yang menimpa almarhum Sophan, dengan serta merta pada malam harinya pihak Balai Besar V Surabaya Departemen Pekerjaan Umum langsung melakukan perbaikan. ”Kami langsung memperbaiki titik-titik jalan yang berbahaya supaya tidak ada kejadian lagi”, demikian kata Kepala Balai Besar V Surabaya DPU.

Saya ingin memberikan komentar tentang peristiwa kecelakaan yang menimpa almarhum ini dari sisi kualitas pelayanan publik di Indonesia. Kecelakaan yang menimpa almarhum adalah akibat buruknya prasarana transportasi. Tentunya penggalan jalan rusak (bahkan bak kubangan) di seantero Indonesia ini sudah merupakan pemandangan sehari-hari. Barangkali buruknya kondisi jalan ini memang sudah merupakan hal yang dianggap 'biasa saja' bagi institusi terkait. Sering terjadinya korban kecelakaan - baik yang memakan korban jiwa atau tidak - akibat buruknya jalan juga mungkin sudah dianggap hal yang biasa saja. Ini mencerminkan tidak adanya beban moral bagi mereka yang berwenang dalam menjalankan manajemen transportasi. Kalau tidak karena seorang pesohor seperti almarhum Sophan, saya yakin perbaikan penggalan jalan di desa Planglor tersebut tidak akan langsung diperbaiki malam itu juga, walaupun sebelumnya pasti sudah banyak pengaduan atau himbauan masyarakat agar jalan tersebut segera diperbaiki. Menunggu ada korban seorang pesohor dulu baru melakukan perbaikan, sungguh suatu kenyataan yang menyakitkan hati.

Di sisi lain, setiap tahun yang namanya pajak kendaraan bermotor terus mengalami kenaikan. Kalau tidak prosentasenya yang naik, nilai pokok kendaraan untuk perhitungan pajak yang dinaikkan. Belum lagi kenaikan retribusi, pungutan-pungutan, dan lain-lain yang pada akhirnya membebani masyarakat. Sementara sarana dan prasarana transportasi kondisinya tidak menjadi lebih baik. Kelihatannya kalau urusan membebani rakyat, para penguasa sangat tanggap. Tetapi kalau urusan meningkatkan kualitas pelayanan publik, ya nanti dulu.

Selamat jalan Bang Sophan. Bagaimanapun engkau adalah salah satu suri tauladan bagiku. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa almarhum. Terimalah amal ibadahnya. Berilah almarhum tempat yang layak di sisi-Mu. Lapangkanlah alam barzahnya. Tabahkanlah keluarga yang ditinggalkannya. Wariskanlah sifat kepemimpinannya kepada keturunannya. Amin.
Read more (Baca selengkapnya)...

Sunday, May 18, 2008

Seputar BLT

Sejalan dengan rencana menaikkan harga BBM sebesar 30% pada tanggal 23 Mei 2008 nanti, pemerintah juga akan mengucurkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebesar Rp 14,2 T (triliun) kepada 19,1 juta kepala keluarga yang masuk dalam kategori keluarga sangat miskin, miskin, dan hampir miskin. Hendaknya BLT ini hanya sebagai trigger jangka pendek dalam mengatasi kemiskinan akibat inflasi nanti. Apa yang dibutuhkan rakyat sebetulnya adalah keterjaminan untuk dapat memperoleh penghasilan rutin agar dapat memenuhi kebutuhan dasar rumah tangganya. Esensi penyebab kemiskinan adalah akibat tidak tersedianya lapangan kerja yang cukup. Maka untuk jangka panjang pemerintah mesti berusaha menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya, baik melalui proyek-proyek infrastruktur maupun perluasan industri. Adalah hal yang patut disesalkan jika beberapa pemerintah daerah justru asyik memainkan dana APBD-nya di pasar obligasi, bukan membelanjankannya dalam bentuk pembangunan proyek infrastruktur.

Di sisi lain, implementasi kebijakan pemerintah juga harus berpihak pada sektor usaha kecil dan menengah. Sektor UKM inilah yang dapat menjamin masyarakat kecil memperoleh penghasilan rutin sehingga tidak lagi tergantung pada belas kasihan orang lain. Pemberdayaan masyarakat antara lain dapat dilakukan dengan membentuk jiwa wira usaha. Oleh karena itu, para penguasa perlu meninjau ulang (bila perlu menghentikan) kebijakan mereka yang selama ini cenderung berpihak kepada pengusaha-pengusaha mall atau super market besar. Justru sentra-sentra interaksi ekonomi seperti pasar tradisional dan pasar hasil pertanian itulah yang perlu digalakkan sekaligus ditata ulang kenyamanannya.

Last but not least, keseriusan untuk menjalankan diversifikasi energi yang seluas-luasnya merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar lagi agar bangsa ini dapat mengurangi ketergantungan terhadap energi primer berbasis minyak bumi - yang pada tanggal 17 Mei 2008 harganya berada pada tingkatan USD 127 per barel.
Read more (Baca selengkapnya)...

Wednesday, May 14, 2008

Lagi-lagi krisis energi





Harga minyak mentah masih merangkak terus. Per tanggal 15 Mei 2008 sudah mencapai USD 125 per barel (NYMEX: 125.80, IPE Brent: 124.10; lihat http://www.wtrg.com/). Menurut para 'juru ramal' bakal mencapai level psikologis USD 150 atau bahkan bisa ke USD 200 per barel di musim dingin mendatang. Mengapa kenaikan harga ini justru sangat meresahkan bagi Indonesia, padahal Indonesia dikenal sebagai negara penghasil minyak dan bahkan salah satu anggota OPEC? Jawabannya sebetulnya sederhana saja: sejak tahun 2004 Indonesia sudah menjadi net-importer minyak bumi karena konsumsi (sekarang sudah melebihi 1 juta bph/barel per hari) lebih banyak dari produksi (sudah turun ke level 920 ribu bph). Kalau produksi vs konsumsi tahunan Indonesia diplot, gambarnya seperti grafik terlampir. Masa 'bulan madu' yang penuh 'kemakmuran' dari hasil produksi minyak sempat terjadi di era 70-an sampai 80-an, bahkan sampai paruh pertama era 90-an. Tetapi sekarang telah berlalu.

Peningkatan konsumsi bbm ini terjadi karena dua hal. Pertama, akibat pertumbuhan industri yg masih berbasis energi primer bbm, 40% dari total daya output pembangkit listrik masih memakai bbm, dan tentunya pertambahan jumlah kendaraan bermotor – terutama roda dua – yg luar biasa. Menurut beberapa referensi yang saya baca, konsumsi bbm untuk kendaraan bermotor mencapai 48% dari total konsumsi minyak dalam negeri.

Kedua, konsumsi minyak meningkat terus akibat kebijakan energi yang menurut saya tidak konsisten atau kurang commit untuk dijalankan, terutama keseriusan dalam diversifikasi energi. Biasalah, kalau bicara mengenai konsep atau membuat 'blue print' biasanya Indonesia ini canggih karena orang-orang ‘pintar’ memang banyak. Tetapi implementasinya? Wah, ya nanti dulu. Mestinya diversifikasi energi sudah dijalankan secara sungguh-sungguh sejak thn 1993 ketika produksi minyak Indonesia sempat mencapai 1,65 jt bph. Jenis energi alternatif - bahkan ada yang sifatnya terbarukan - yang ada di perut bumi kita cukup berlimpah. Energi primer seperti panas bumi menurut beberapa nara sumber mencapai 70% cadangan dunia; bersih, terbarukan, dan sudah ada di perut bumi Indonesia sebagai karunia Tuhan. Namun pemanfaatannya untuk pembangkit listrik baru mencapai 3% dari total pembangkit listrik di Indonesia. Untuk gas, Indonesia sempat jadi eksportir gas terbesar dunia. Sampai-sampai PLTG kita sempat beberapa kali kekurangan pasokan gara-gara produksi gas diutamakan untuk ekspor. Ekspor gas yang harganya jauh lebih murah kok bangga ya. Minyak yang harganya mahal malah habis dipakai sendiri. Mestinya kan kita pakai yang murah lalu yang mahal itu yang dijual. Sebab yang pentingkan nilai kalori atau enthalpy yang terkandung dalam bahan bakar tersebut. Saya ingat dulu pertengahan tahun 90-an ada beberapa pom bensin yang menjual bbg (bahan bakar gas). Juga ada beberapa sentra penjualan converter kit untuk mobil yang mau memakai bbg. Tapi sekarang saya melihat bbg di SPBU malah menghilang. Mestinya pemerintah mengeluarkan peraturan untuk para pabrikan kendaraan supaya kendaraan yang dirakitnya (maklum baru bisa ‘merakit’) dilengkapi dengan converter kit bbg sebagai standar pabrik, sekaligus mengekstensifkan kembali pom bensin yang menjual bbg.

Mari kita hitung-hitungan sedikit. 1 barel itu sama dengan 159 liter. Misalkan nilai kurs Rp 9200 per USD, maka harga minyak mentah yang USD 125 per barel itu sama dengan Rp 7237 per liter. Itu masih harga minyak mentah! Bbm itu kan hasil proses pengilangan. Kalau ditambahkan komponen biaya proses pengilangan, maka cost of goods sold bbm akan jauh melampaui harga bbm bersubsidi sekarang yang hanya Rp 4500 per liter (untuk jenis premium). Akibatnya terjadi tekanan yang luar biasa terhadap APBN karena bbm yang dikonsumsi kendaraan bermotor adalah harga subsidi (jenis premium dan solar). Akhirnya, jalan pintas yang diambil pemerintah ya menaikkan harga bbm, atau menurut istilah eufemisme-nya mengurangi subsidi.


Menurut data BPS (http://www.bps.go.id/), angka inflasi nasional kumulatif Jan-Apr 2008 mencapai 4.01%. Kalau diekstrapolasi linier ke Des 2008, angka inflasi tahunan bisa mencapai 12% lebih. Ini kalau tidak ada kenaikan harga bbm. Plus kenaikan bbm nanti yang katanya maksimum 30% (bahkan tidak ada jaminan kalau tidak ada kenaikan lagi), angka inflasi tahunan bisa melebihi inflasi tahun 2005 yang sebesar 17.11%. Bisa dibayangkan seperti apa nanti harga-harga bakal meroket. Apalagi kenaikan harga bbm itu selalu mempunyai efek domino yg merembet kemana-mana. Tentunya nanti jumlah orang-orang miskin di Indonesia akan bertambah banyak. Kalau dulu sebelum krismon kebutuhan sekunder (misalnya barang-barang electronic home appliances) yg terasa berat, maka sekarang justru kebutuhan primer (energi, sandang, pangan, dan papan) yg terasa sangat berat.


Sekarang baru ketahuan bahwa Indonesia bukan hanya tidak punya ketahanan energi, tapi juga malah tidak punya ketahanan pangan. Suata hal yang sangat aneh untuk sebuah wilayah yang kaya sumber daya alam dan kaya biodiversity. Sampai-sampai para pujangga dulu melukiskannya dengan kata-kata ‘Tuhan menciptakan bumi Indonesia pada saat Dia sedang tersenyum’. Tetapi kenyatannya begitulah. Para pelaku kelihatannya tidak mampu mengelola sumber daya tersebut secara arif, efektif, dan efisien untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Benarlah apa yang dikatakan oleh Peter Drucker: sebetulnya tidak ada negara yang terkebelakang, yang ada itu adalah negara yang mismanaged. Memang diakui bahwa permasalahan di Indonesia sangat kompleks. Tapi mestinya jangan dijadikan excuses. Seharusnyalah kompleksitas tersebut dijadikan sebagai tonikum pemacu untuk lebih serius. So, ujung-ujungnya bukan masalah pintar atau tidak pintar, tetapi kembali ke masalah moral dan komitmen. Kasihan sekali rakyat ini yang selalu menanggung beban akibat mismanagement.
Read more (Baca selengkapnya)...