Friday, April 30, 2010

Manusia Sebagai Khalifah (Wakil) Tuhan di Muka Bumi dan Asal-usul Manusia


Dalam bukunya yang berjudul “Even Angels Ask” (bahkan Malaikat pun bertanya), Jeffrey Lang, seorang mualaf asli Amerika Serikat dan Dosen Matematika di University of Kansas (mungkin sekarang beliau sudah jadi Profesor) memberikan semacam pencerahan bagaimana caranya membangun sikap ber-Islam yang kritis dengan tetap berada dalam koridor keimanan dan kebenaran Alqur’an yang hak, tanpa mesti terjebak dengan pola pikir liberal. Karena membaca pandangan-pandangan beliau inilah saya terinspirasi untuk menulis artikel pendek ini.

Topik artikel ini melibatkan dua disiplin keilmuan sekaligus: agama dan biologi. Meskipun saya bukan ahli dari salah satu kedua disiplin ilmu tersebut, namun pertanyaan menyangkut asal-usul manusia sudah lama ‘mengganggu’ pemikiran saya. Saya yakin cukup banyak orang lain yang juga merasa ‘terganggu’ oleh pertanyaan tentang asal-usul manusia ini. Saya mengangkat isu ini – tentunya bukan hal baru – berangkat dari landasan pemikiran bahwa siapapun berhak mempertanyakan atau mendiskusikannya jika hal itu dapat menambah tingkat keimanan kepada Sang Khalik, Pencipta alam semesta beserta isinya.

Yang saya ketahui saat ini ada dua kubu teori tentang asal-muasal makhluk hidup: teori evolusi (evolution) dan teori penciptaan (creation). Teori evolusi digagas oleh Charles Robert Darwin (1809-1882) ketika tahun 1859 untuk yang pertama kalinya Darwin menerbitkan bukunya yang berjudul “On The Origin of Species by Means of Natural Selection”. Kalau saya terjemahkan dengan bahasa saya sendiri kira-kira artinya “asal-muasal spesies makhluk hidup sebagai hasil dari seleksi alam”. Buku ini mendokumentasikan hasil-hasil pemikiran sekaligus menjelaskan Teori Evolusi Darwin.

Saya sendiri hingga saat ini belum sempat membaca langsung buku Darwin tersebut meskipun sering terbit ulang; bahkan ada esisi terjemahan Bahasa Indonesianya. Beberapa pokok Teori Evolusi menurut yang saya baca dari beberapa referensi antara lain:
  • Beberapa spesies makhluk hidup, seperti misalnya antara manusia dan bangsa kera modern, berbagi nenek moyang yang sama dari ordo primata.

  • Darwin mempostulatkan apa yang dia sebut dengan “survival among the fittest”; artinya hanya yang terkuat yang bisa bertahan hidup, atau hanya yang terkuat yang bisa menang menghadapi seleksi alam.
Para ilmuwan evolusionis pasca Darwin lalu mengembangkannya lebih lanjut. Antara lain menyebutkan bahwa semua spesies makhluk hidup yang ada sekarang ini merupakan hasil proses evolusi spesies-spesies sebelumnya sehingga terbentuklah spesies baru yang bisa sama sekali berbeda dari spesies asalnya. Dengan demikian, menurut teori evolusi, bisa saja dikatakan bahwa semua makhluk hidup yang ada di bumi ini berasal dari makhluk bersel satu semacam protozoa.

Sebetulnya sampai sekarang teori evolusi ini masih menimbulkan pro-kontra. Tidak hanya di kalangan agamawan tetapi juga di kalangan ilmuwan, bahkan di kalangan agnostik (tidak mengakui keberadaan Tuhan) sekalipun. Kelompok yang kontra dengan teori evolusi ini disebut dengan “creationist” karena meyakini teori penciptaan (creation). Kelompok ini berpendapat bahwa spesies makhluk hidup tercipta oleh suatu proses yang mereka namakan dengan intelligent design (perancangan cerdas). Sangat mustahil, menurut mereka, sebuah spesies terbentuk hanya karena proses ‘kebetulan’ yang dapat memutasi gen.

Para evolusionis juga mengagas bahwa makhluk yang hidup di darat merupakan evolusi dari makhluk yang hidup di laut. Konon jutaan tahun lalu ada sekelompok ikan yang “gagah berani” ingin hidup di darat sehingga perlahan-lahan, melalui proses evolusi yang panjang, sirip-sirip dan ekor ikan berubah menjadi tangan dan kaki. Sesuatu yang sangat ditentang oleh para penganut teori penciptaan karena hingga kini tidak pernah ditemukan fosil ikan bertangan atau ikan berkaki (kecuali mitos puteri duyung, hehehe...).

Menurut penganut teori penciptaan, andai ada perubahan fisik karena menyesuikan diri dengan alam, tidak berarti makhluk tersebut berubah menjadi spesies baru. Dalam buku pelajaran biologi dikatakan bahwa jerapah yang semula berleher pendek berubah menjadi berleher panjang karena selalu berusaha menggapai daun pepohonan. Namun, andaikan memang betul leher jerapah berubah dari pendek ke panjang, tetapi dia tetap lah jerapah. Tidak berubah menjadi makhluk lain.

Dari kubu muslim, salah seorang yang getol melontarkan kontra terhadap teori evolusi adalah Harun Yahya (nama pena Adnan Oktar – penulis Turki yang produktif). Buku-buku dan video karya Harun Yahya yang menceritakan kegagalan teori evolusi dalam menjelaskan asal-muasal spesies makhluk hidup beredar dalam berbagai bahasa di seluruh dunia. Harun Yahya bahkan mengatakan bahwa penganut teori evolusi hanya berilusi semata tentang adanya setengah manusia setengah kera yang diklaim sebagai nenek moyang manusia. Lebih lanjut, Harun Yahya mengatakan bahwa gambar-gambar manusia semi kera tersebut hanyalah hasil imajinasi para seniman, karena fosil-fosil yang ditemukan para paleontolog tidak pernah lengkap; misalnya ada yang hanya ditemukan gigi dan tulang gusi saja, ada yang hanya tulang dahi saja, ada yang tulang kaki saja.

Ketika saya membaca salah satu surat kabar (saya lupa persis tanggalnya) sekitar dua minggu lalu dalam rubrik science-nya diberitakan bahwa ada sekelompok tim peneliti (kelompok evolusionis tentunya) menemukan fosil yang cukup lengkap sehingga setelah ditautkan membentuk manusia-kera yang tingginya sekitar 1,4 meter. Lagi-lagi pertanyaan tentang asal-usul manusia ‘mengganggu’ saya.

Sebagai penganut agama, bagaimana mesti menyikapi pertanyaan tentang asal-usul manusia ini? Dalam tradisi Islam, awal mula penciptaan manusia diceritakan dalam Alqur’anul Karim ketika terjadi dialog agung antara Malaikat dan Allah seperti diabadikan dalam Surat Albaqarah ayat 30 yang terjemahannya:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Malaikat menjawab, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (2:30)

Saya lalu melakukan kilas-balik terhadap referensi yang yang pernah saya baca, diskusi, atau pun dari berbagai khutbah. Beberapa poin dari kilas-balik saya adalah:
  • Malaikat tidak memiliki pengetahuan tentang masa depan, terkecuali jika diajarkan ilmunya oleh Allah SWT. Maka bagaimana Malaikat dapat mengetahui bahwa manusia yang akan diciptakan (Bani Adam) akan berbuat kerusakan dan saling menumpahkan darah. Apakah pertanyaan kritis Malaikat tersebut karena belajar dari pengalaman sebelumnya, yaitu adanya ‘khalifah’ lain yang pernah diutus oleh Allah di muka bumi?

  • Menurut beberapa ulama, sebelum Allah menciptakan manusia, Allah pernah mengutus bangsa jin (yang disebut “JAN”) sebagai khalifah di muka bumi, tetapi gagal membawa amanah karena berbuat kerusakan dan saling menumpahkan darah. Dari sinilah Malaikat mengambil pelajaran sehingga melontarkan pertanyaan kritis terhadap Allah SWT.

  • Ada lagi referensi yang mengatakan bahwa sebelum alam semesta seperti yang sekarang ini pernah ada beberapa alam semesta lain yang telah mengalami peristiwa kiamat. Alam semesta yang telah kiamat tersebut juga pernah dihuni oleh manusia. Dari sinilah Malaikat mengambil pelajaran tentang watak manusia yang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah sesama.
Kemudian timbul pertanyaan spekulatif lainnya. Apakah tidak mungkin makhluk yang dimaksudkan Malaikat tersebut adalah jenis-jenis manusia sebelum adanya Adam a.s., yaitu manusia pra Homo sapiens yang belum sempurna seperti Adam? Bukankah keberadaan manusia pra Homo sapiens ini sepertinya memang didukung oleh kajian ilmiah dengan adanya berbagai penemuan fosil oleh para ilmuwan kelompok evolusionis? Andai kita mau berspekulasi, tidak tertutup kemungkinan lain bahwa manusia pra Homo sapiens ini pernah diutus oleh Allah sebagai khalifah tetapi gagal mengemban amanah karena berbuat kerusakan dan menumpahkan darah sesama.

Namun, andai pula spekulasi khalifah manusia pra Homo sapiens ini bisa diajukan sebagai alternatif kemungkinan, tidak berarti Adam a.s. merupakan evolusi dari manusia-kera. Adam tetap diciptakan langsung oleh Allah dari tanah (atau zat tanah) sebagai bagian dari rencana tata ruang dan waktu alam semesta Allah SWT, bukan hasil mutasi gen dari jenis manusia sebelumnya. Sesuai dengan rencana kosmik Allah SWT pula, ada spesies yang punah ada spesies yang baru muncul diciptakan belakangan.

Akhir kata, hanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang terlihat maupun yang tak terlihat.
Read more (Baca selengkapnya)...

Saturday, April 10, 2010

Sebuah Bangsa Yang Terombang-ambing dalam Penantian Panjang


Dulu saat runtuhnya Orde Lama ada ungkapan tekenal para jurnalis manca negara untuk melukiskan kondisi di Indonesia: the days of living dangerously – hari-hari yang penuh bahaya. Kemudian 12 tahun lalu, setelah rezim Orde Baru runtuh, ungkapan para jurnalis internasional terhadap Indonesia: a nation in waiting – sebuah bangsa dalam penantian. Tentu maksudnya adalah bahwa Bangsa Indonesia sedang menunggu sekaligus melakukan perubahan dari pemerintahan yang nyaris totaliter menuju alam demokrasi. Dari pemerintahan yang tata kelolanya amburadul menjadi pemerintahan yang menjalankan “good governance”. Dari pemerintahan yang korup menjadi pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dari rakyat yang tertindas menjadi rakyat merdeka dalam artian sebenarnya: bebas dari kebodohan, kemiskinan, dan rasa takut.

Ketika bangsa Indonesia begitu gegap gempita merayakan jatuhnya (baca: mundurnya) rezim Orde Baru, bangsa Indonesia memiliki sejuta harapan agar bangsa ini jauh lebih baik dari masa Orde baru dalam segala hal, terutama yang menyangkut tata kelola pemerintahan dan kesejahteraan. Ribuan peraturan baru dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan daerah, dan lain-lain dibuat untuk menambah, menggantikan, atau merevisi aturan-aturan lama. Berbagai komisi atau dewanpun dibentuk yang tujuannya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, persaingan usaha yang sehat, dan mempercepat proses kesejahteraan rakyat.

Namun apa lacur? Kejadian demi kejadian, kasus demi kasus yang terungkap, makin hari makin menunjukkan bahwa betapa negara ini diperintah dan diatur oleh para kleptokrat (tidak semua tentunya) dan dikendalikan oleh para kapitalis (pemilik modal) – baik kapitalis lokal maupun global.

Sewaktu Prof. Sumitro Djojohadikusomo, sang Begawan Ekonomi, masih hidup, beliau pernah mensinyalir sekitar 30% dari dana APBN “menguap”, maksud beliau dimakan oleh pihak-pihak tertentu. Dari sisi pendapatan, ada bagian yang tidak sampai ke kas negara. Dari sisi pembelanjaan negara, terutama dalam proyek-proyek infrastruktur, hanya sebagian saja yang betul-betul menjelma secara fisik dalam bentuk jalan, jembatan, kantor-kantor pemerintah, gedung-gedung sekolah, infrastruktur pasokan energi, dan lain-lain.

Kalau kita sejenak melihat neraca APBN, defisit antara anggaran belanja dan anggaran pendapatan besarnya rata-rata sekitar Rp 100 triliun per tahun dalam dua tahun terakhir. Artinya selisih ini ditutupi dengan “hutang” (melalui pendanaan dalam negeri dan luar negeri, baik melalui dana perbankan maupun non perbankan), privatisasi BUMN, penjualan aset negara, dan penjualan obligasi (surat-surat berharga).

Dengan begitu intennya media massa mengekspos makelar kasus perpajakan akhir-akhir ini, dimana saya berkeyakinan dikelola secara sistematis oleh sebuah jaringan “persekongkolan” – bukan hanya oleh seorang pegawai pajak tanpa eselon seorang, saya lalu melihat kilas balik berapa persen porsi pendapatan pajak terhadap total pendapatan negara dan terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia. Berdasarkan angka-angka APBN dalam kurun waktu 1994 sampai 2009, pendapatan sektor pajak menyumbang rata-rata sekitar 65% dari total pendapatan negara, atau rata-rata 12% dari total PDB Indonesia. Kalau dihitung berdasarkan APBN 2009 saja berarti sektor pajak menyumbang sekitar Rp 600-an triliun. Bayangkan kalau uang segini dibelikan kelanting semua, seluruh permukaan daratan dan lautan kepulauan Indonesia bakalan penuh terisi kelanting, hehehe...

Jika uang suap Rp 26 miliar yang terungkap itu baru merupakan salah satu kasus saja dan konon nilainya masih relatif kecil dibandingkan kasus-kasus lain yang belum terungkap, bisa jadi nilai penggelapan pajak itu mencapai angka puluhan, atau jangan-jangan, ratusan triliun rupiah. Ya, ini baru membayangkan kebocoran dari sektor pajak saja. Belum lagi kebocoran-kebocoran lain lewat tata kelola sumber daya alam, tata kelola energi, tata kelola BUMN/BUMD, dan sektor pelayanan publik lainnya.

Kebocoran dana dari sisi anggaran pendapatan, akan memperkecil pendapatan negara. Sebaliknya kebocoran dana dari sisi pembelanjaan, akan memperbesar pengeluaran negara. Dengan kata lain, praktek korupsi yang makin hari makin marak, tidak ada jeranya, akan makin menambah defisit keuangan negara. Ujung-ujungnya negara terpaksa menutupi defisit tersebut dengan cara berhutang, menjual aset, atau melalukan privatisasi perusahaan milik negara. Makanya jangan heran jika makin lama porsi kepemilikan pemerintah dalam perusahaan milik negara semakin berkurang; lama-lama dijual semua ke investor. Padahal kepentingan investor belum tentu berpihak pada kepentingan bangsa.

Selain itu, akibat praktek korupsi tersebut, rakyat jadi tidak mendapatkan hak yang semestinya. Rakyat menderita kerugian (opportunity cost) untuk menjadi lebih sejahtera karena proses pembangunan banyak yang tidak dikelola dengan baik dan benar. Untuk mengatasi defisit, yang salah satunya disebabkan praktek korupsi, pemerintah sering mengambil jalan pintas dengan cara mengurangi anggaran subsidi; seperti misalnya menaikkan tarif listrik, menaikkan harga BBM, dan menaikkan harga elpiji. Makanya dikatakan bahwa para koruptor itu menyengsarakan rakyat. Puncak dampak buruk dari korupsi adalah tergerusnya kedaulatan negara.

Saya termasuk yang setuju dengan penerapan hukuman mati untuk para koruptor agar betul-betul menimbulkan efek jera. Juga termasuk yang sangat mendukung jika para pejabat pemerintah memberikan pembuktian terbalik tentang harta kekayaan yang dimilikinya. Banyak pejabat, pusat maupun daerah, yang jika dilihat dari penghasilan nettonya (termasuk tunjangan dan insentif) tidak mungkin memiliki harta kekayaan sedemikian rupa, apalagi jika tidak memiliki usaha sampingan sebagai pengusaha. Pernah dalam suatu kesempatan mendengarkan siaran radio, seorang pejabat yang kaya ditanyai darimana memperoleh harta kekayaan yang dimilikinya, termasuk rumah yang terletak di bilangan New York. Si pejabat menjelaskan sebagian besar kekayaannya berasal dari hibah. Wah, sungguh sangat sangat dermawan jika ada orang yang memberinya hibah bernilai miliaran rupiah. Jangan-jangan yang dimaksudkannya dengan hibah hanyalah kata plesetan dari uang sogok.

Di mata dunia internasional dan pihak asing, praktek-praktek korupsi menyebabkan Indonesia kehilangan kredibilitas dan wibawa. Pernah dalam sebuah kesempatan yang saya alami langsung, salah satu kontraktor asing yang mengelola sumber energi di Indonesia ketika membahas klausul arbitrase enggan menggunakan hukum Indonesia dan tidak bersedia jika arbitrase diadakan di Indonesia. Di satu sisi hal ini membuat tersinggung, namun di sisi lain, karena carut-marut tata kelola pemerintahan di Indonesia memang menimbulkan krisis kepercayaan, si kontraktor ini ada benarnya. Kita sering begitu semangatnya untuk membela merah-putih. Sementara bagi para elit (sekali lagi: tidak semua) semangat merah-putih ada di rekening-rekening bank mereka.

Bangsa Indonesia pada dasarnya merupakan bangsa yang religius. Dalam tatanan pemerintahannya saja ada kementerian yang khusus membidangi agama. Tidak semua negara memiliki Menteri Agama. Agama-agama besar, baik samawi maupun non samawi, tumbuh subur di Indonesia. Berdasarkan angka statistika, 80-an persen penduduk Indonesia beragama Islam - sebuah agama yang juga sangat sarat dengan pesan-pesan moral anti korupsi. Kuota haji Indonesia yang jumlahnya 200-an ribu orang adalah yang terbanyak dibandingkan negara-negara lain. Juru dakwah agama, baik da'i selebritis maupun da'i yang memang benar-benar memiliki ilmu pengetahuan, tak terbilang banyaknya. Namun rupanya dalam banyak hal yang namanya Tuhan itu seakan-akan hanya berada di rumah-rumah ibadah saja. Keluar dari rumah ibadah, sukma keburukan kembali mengendalikan jiwa orang-orangnya. Segenap potensi religi yang ada di Indonesia belum mampu mentransformasikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bermoral.

Lantas, dengan sudah banyaknya koruptor yang berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara, dan dengan begitu banyaknya instansi/lembaga anti korupsi, mengapa praktek korupsi di Indonesia malah makin marak, belum menunjukkan tanda-tanda mereda? Berbagai kajian telah banyak dibuat untuk membahas masalah ini. Sampai-sampai saya sendiri kehabisan kata-kata. Ya, mengapa korupsi di Indonesia sangat sukar diberantas? Jawabannya simple saja: abis enaksss sih...

Andai yang namanya “Ibu Pertiwi” ini betul-betul seorang manusia – seorang ibu – saya yakin dia akan sangat kecewa dan menangis berat karena anak-anaknya sendiri (baca: para elit bangsa) telah memporak-porandakan dirinya.

Benar bangsa ini sedang berada dalam penantian. Sebuah penantian yang amat panjang. Saat ini sedang terombang-ambing entah berada dimana. Kapan dan entah dimana pula akan berujung.
Read more (Baca selengkapnya)...