Friday, February 25, 2011

Tantangan Fungsi Supply Chain Management (SCM) di Kegiatan Usaha Hulu Migas


Overview Supply Chain Management

Kegiatan pengadaan barang dan jasa, atau dikenal dengan istilah Supply Chain Management (SCM), merupakan salah satu titik yang paling ujung dalam proses pembelanjaan atau expenditure di berbagai kegiatan usaha. Sekitar dua per tiga biaya operasional kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) dibelanjakan melalui Fungsi SCM.

Walaupun istilah SCM ini sudah lama dikenal, namun pada prakteknya di kegiatan usaha hulu migas masih ada yang salah kaprah. Masih ada yang menginterpretasikan bahwa hanya dengan melakukan pembelian, transportasi, pergudangan, lalu mendistribusikan barang/jasa kepada pemakai di lapangan sudah merasa melakukan SCM. Padahal rangkaian kegiatan yang disebutkan ini hanya merupakan in-bound logistics, hanya bagian dari kegiatan SCM. Diagram sederhana di bawah menggambarkan perbedaan antara kegiatan yang sekedar in-bound logistics dengan SCM.


Karena mayoritas expenditure suatu kegiatan usaha dibelanjakan melalui Fungsi SCM, maka di jaman modern ini kegiatan SCM tidak lagi dipandang sebagai kegiatan administrasi (center of administration) semata tetapi juga dipandang strategis dan dijadikan center of benefit yang ikut menentukan untung-ruginya kegiatan usaha. Makanya di perusahaan-perusahaan yang berpandangan maju, mereka menempatkan orang-orang berkategori top notch (memiliki kualifikasi dan profesionalisme tingggi) untuk menjalankan fungsi SCM ini, agar selain dapat melakukan aktivitas pengadaan sehari-hari juga dapat melakukan berbagai perencanaan strategik dan think tank sehingga diharapkan fungsi SCM ini mampu melakukan berbagai terobosan yang pada akhirnya dapat menyumbangkan keuntungan yang optimal bagi perusahaan.

Sayangnya tidak semua organisasi atau kegiatan usaha berpandangan seperti itu. Ada yang masih berpola pikir lama dalam menempatkan orang-orangnya di fungsi SCM. Misalnya menempatkan orang-orang yang berkemampuan marjinal atau sekedar belas kasih bagi pegawai kontrak yang baru diangkat menjadi pegawai tetap tanpa menelaah lebih jauh kualifikasi orang tersebut; bahkan ada yang menjadikan organisasi SCM sebagai tempat “buangan” bagi karyawan yang tidak disukai pihak pimpinan. Tentu saja organisasi SCM seperti ini hanya sekedar menjalankan aktivitasnya secara business as usual, sangat minim inovasi.

Karena dipandang strategis pula maka kegiatan SCM ini di berbagai instansi atau perusahaan diatur secara khusus. Di pemerintahan misalnya ada Keppres 80/2003 yang sekarang disempurnakan menjadi Perpres 54/2010 mengatur tentang Pengadaan Barang dan Jasa di instansi pemerintah atau lembaga yang pendanaannya dari APBN/APBD. Untuk kegiatan pengadaan di kegiatan usaha hulu migas, diatur lebih lanjut oleh BPMIGAS dalam PTK-007 yang pertama kali diterbitkan tahun 2004 lalu direvisi pada Oktober 2009, dan konon tak lama lagi akan diluncurkan revisi keduanya. Cikal bakal dari PTK-007 adalah dulu apa yang dinamakan dengan BP (Buletin Prosedur) 077 ketika masih era Pertamina/BPPKA.

Tantangan Fungsi SCM Kegiatan Usaha Hulu Migas

Di berbagai media cetak dan elektronik edisi 9 Februari 2011 dimuat berita bahwa kegiatan pengadaan di kegiatan usaha hulu migas pada tahun 2010 membukukan penghematan sebesar US$ 96,5 juta atau setara Rp 870 miliar, lebih besar dari prestasi penghematan yang dicapai tahun 2009 sebesar US$ 61,9 juta.

Meskipun jika dibandingkan nilai Cost Recovery di tahun 2010 – yang menurut perhitungan sementara sebesar US$ 11,95 miliar (Petrominer, Januari 2011) – nilai penghematan tersebut masih kurang dari satu persen, namun kita patut memberikan apresiasi kepada jajaran Fungsi SCM yang aktif dalam berbagai kegiatan kelompok-kelompok kerja, mengingat pada dasarnya kegiatan SCM memang tidak pada posisi yang dapat melakukan penghematan dalam porsi besar seperti misalnya Fungsi Engineering dan Manajemen Proyek.

Ada beberapa tantangan besar di kegiatan usaha hulu migas saat ini yang terkait langsung dengan Fungsi SCM:

Pertama, biaya satuan Cost Recovery (US$ per BOE) yang berkecenderungan meningkat dalam beberapa tahun terakhir sering menjadi sorotan dan kritikan pihak luar (bahkan tak jarang kritikan tersebut sangat sarkastik), walaupun sebetulnya dapat dijelaskan dari aspek teknis, geologis, dan keekonomian. Untuk itu, insan-insan SCM juga dituntut agar dapat melakukan penghematan biaya operasional melalui strategi pengadaan dan manajemen material yang efektif dan efisien. Diperlukan berbagai terobosan dan sinergi antar Fungsi SCM untuk meningkatkan added value kegiatan pengadaan barang/jasa serta harus dicari berbagai celah dan peluang agar dapat melakukan penghematan lebih ekstensif lagi. Penghematan kegiatan pengadaan per tahun yang tercatat saat ini belum mencapai satu persen investasi tahunan kegiatan usaha hulu migas.


Kedua, mengingat lapangan-lapangan migas yang saat ini sebagian besar lapangan tua yang terletak di kawasan barat Indonesia semakin menipis cadangannya dan sudah memasuki fase penurunan produksi secara alamiah, maka diperkirakan tren kegiatan usaha hulu Migas mendatang akan didominasi oleh kegiatan lepas pantai (offshore) dan semakin ke arah kawasan timur Indonesia, bahkan ke kawasan-kawasan frontier.

Adanya tren masa depan kegiatan usaha hulu migas ke arah lepas pantai dan makin ke arah timur – yang perairan lautnya lebih dalam – akan menyebabkan kegiatan usaha hulu migas lebih padat modal, lebih padat teknologi, dan lebih padat resiko (higher risk). Ini akan menimbulkan tantangan yang lebih besar bagi kemampuan dan pemberdayaan kapasitas nasional. Jika Fungsi SCM tidak berpikir strategik, maka bisa jadi capaian TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) di tahun-tahun mendatang mengalami penurunan, alih-alih mencapai target blue print TKDN sebesar 70% di tahun 2014 dan 91% di tahun 2025.

Ketiga, peranan migas dalam bauran energi primer sekaligus sebagai penyumbang devisa negara masih sangat dominan, sehingga para pemangku kepentingan – terutama pelaku aktif – di kegiatan usaha hulu migas dituntut semaksimum mungkin mempertahankan sekaligus meningkatkan produksinya dari tingkatan yang sekarang ini. Di tahun 2011 Pemerintah mematok target lifting minyak 970 ribu barel per hari (naik dari target tahun 2010 sebesar 965 ribu barel per hari) dan gas 7,77 miliar kaki kubik per hari.


Tentunya insan-insan SCM di kegiatan usaha hulu migas juga harus berupaya memberikan dukungan semaksimum mungkin agar target-target penyelesaian proyek dapat tepat waktu sehingga Fungsi SCM memiliki peran aktif dalam pencapaian target produksi dan pendapatan migas nasional.

Keempat dan last but not least, perlu diingatkan lagi bahwa Fungsi SCM harus mengubah paradigma business process dari sekedar “tukang pos” atau center of administration menjadi center of competitive advantage dan center of excellence, mengingat sekitar dua per tiga anggaran dibelanjakan melalui Fungsi SCM. Fungsi SCM perlu secara konsisten melakukan upaya continuous improvement agar terus dapat memberi nilai tambah bagi kegiatan usaha hulu migas khususnya, dan bagi bangsa Indonesia pada umumnya.

Dari berbagai tantangan di atas, dapat dikatakan disini bahwa semangat kerja Fungsi SCM paling tidak berpijak pada lima isu pokok:

1) Mendukung pencapaian target produksi migas nasional.
2) Menghasilkan penghematan.
3) Meningkatkan pemberdayaan kapasitas nasional.
4) Mengurangi nilai inventory.
5) Melakukan efisiensi tata kelola SCM (debottlenecking proses SCM) dengan tetap mengacu pada koridor peraturan yang berlaku.

{eof}
Read more (Baca selengkapnya)...

Saturday, February 19, 2011

Berakhirnya Era Harga Minyak Rendah {?}



Tahun 2011 sudah sebulan lebih berlalu. Baru kali ini saya punya kesempatan nulis dan mem-posting artikel pertama di tahun ini. Maklum kalau di awal tahun biasanya sering disibukkan dengan berbagai pembuatan laporan dan berbagai workshop. Ngeles, hehehe…, padahal memang lagi tidak punya ide untuk nulis.

Yang menjadi topik utama berita internasional saaat ini adalah suasana haru-biru yang terjadi di negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah. Angin perubahan sedang berhembus kencang di negara-negara Arab yang notabene berpenduduk mayoritas muslim ini. Dimulai dari Tunisia lalu menjalar ke Mesir, Yaman, Iran, Libya, Bahrain, Jordania, dan Suriah. Di Tunisia dan Mesir kekuatan rakyatnya (people power) berhasil menjungkalkan kepala pemerintahannya dari tampuk kekuasaan. Rakyat di negara-negara Arab tersebut rupanya sudah bosan dengan pemerintahan bergaya otokratik yang represif serta jauh dari nilai-nilai keadilan.

Saya tidak ingin membahas lebih lanjut tentang angin perubahan yang sedang berhembus tersebut karena sudah dibahas secara luas dan intensif di berbagai media massa cetak dan elektronik. Saya akan coba mengaitkan apakah angin perubahan yang tengah terjadi di negara-negara Arab ini akan berpengaruh terhadap harga minyak dunia.

Kita kilas balik sedikit:
  • Melambungnya harga energi di pertengahan tahun 2008 (harga minyak sempat menyentuh level USD 147 per barel), lalu tak lama kemudian diikuti dengan kolapsnya ekonomi dunia, terutama di negara-negara maju yang sangat mengandalkan gerak ekonominya dari sektor pasar modal.

  • Harga minyak kemudian terus turun sampai sempat berada di bawah USD 40 per barel di semester pertama 2009.

  • Setelah semester pertama 2009 mulai terlihat tanda-tanda awal kepulihan ekonomi dunia. Bursa-bursa pasar modal di pusat-pusat keuangan dunia mulai bergairah. Ketika itu harga minyak dunia berada di kisaran USD 60-70 per barel. Di negara-negara yang lebih mengandalkan sektor riil dalam transaksi ekonominya tanda-tanda ke arah pemulihan ekonomi malah sudah tampak lebih dini.

  • China dan India – didahului oleh China – terus tumbuh menjadi dua raksasa baru kekuatan ekonomi dunia, disusul beberapa negara besar lain seperti Rusia dan Brazilia. Raksasa-raksasa baru ekonomi ini akan “haus” energi untuk mengimbangi pertumbuhan ekonomi, menggerakkan industri, dan membangun berbagai infrastruktur dalam negerinya.
Bagaimana memaknai empat fenomena di atas? Pertama, setelah turunnya harga minyak yang secara bersamaan diikuti pula dengan kriris finansial global menyebabkan turunnya investasi di sektor perminyakan. Turunnya investasi berarti turun pula kegiatan eksplorasi dan minimnya inovasi teknologi untuk mencari sumber-sumber cadangan baru.

Kedua, pada saat ekonomi dunia pulih sepenuhnya maka permintaan energi dunia kembali akan meningkat. Akan tetapi, akibat lesunya investasi di sektor migas pasca krisis 2008, peningkatan kembali permintaan terhadap minyak tidak mampu segera diimbangi oleh peningkatan pasokan (supply) − setidaknya dalam waktu dekat. Berarti secara teoretis menurut hukum supply-demand dunia akan dihadapkan pada situasi harga minyak kembali merangkak naik.

Hal tersebut teramati dengan harga minyak yang walaupun fluktuatif tetapi trennya naik terus. Mulai dari kisaran US$ 60-70, US$ 70-80, lalu ke US$ 80-90 per barel. Ini sampai tahun 2010. Bagaimana tren di tahun 2011 sampai beberapa tahun mendatang?

Nah, banyak pengamat (termasuk seorang pembelajar seperti saya yang sok tau ini, hehehe) berpendapat bahwa gangguan stabilitas di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara yang menyimpan mayoritas cadangan minyak dunia niscaya akan berpengaruh pada harga minyak dunia, artinya akan memberikan kontribusi pada kembali melambungnya harga minyak.

Kalau dilihat di www.wtrg.com edisi 17 Februari 2011 harga minyak jenis Light Sweet di NYMEX (New York Mercantile Exchange) sembut menembus angka di atas US$ 90 per barel, sedangkan minyak jenis ICE Brent sudah bertengger di atas US$ 100 per barel. Harga minyak mentah Indonesia yang dikenal dengan sebutan ICP (Indonesia Crude Oil Price), jika dilihat di website Kementerian ESDM www.esdm.go.id berada di level US$ 97,09 per barel untuk ICP rata-rata (dari semua lapangan minyak di Indonesia) di Januari 2011, naik dari US$ 91,37 di Desember 2010. OPEC Daily Basket pada tanggal 18 Februari 2011 berada di US$ 98,92 per barel.

Bagaimana kira-kira mekanisme gangguan stabilitas polkam di negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah tersebut dapat mempengaruhi fluktuasi harga minyak dunia? Negara-negara maju baik yang tergabung dalam kelompok OECD maupun Uni Eropa sangat mengandalkan negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara untuk mencukupi kebutuhan minyak dalam negerinya. Minyak hingga saat ini masih mendominasi bauran enrgi dunia dan masih menjadi primadona energi yang belum tertandingi oleh jenis sumber energi lain. Karena itu seringkali harga minyak tidak mengikuti hukum supply-demand dalam ilmu ekonomi, tetapi lebih ditentukan oleh euforia pasar – yaitu sangat sensitif terhadap hal-hal yang bersifat psikologis ketimbang teknis.

Makanya gangguan stabilitas di Timur Tengah dan Afrika Utara ini ditengarai akan menyebabkan haga minyak terus bertengger di level tinggi. Sampai kapan dan seberapa tinggi? Tergantung hasil angin perubahan yang akan terjadi di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Apakah pemerintahan atau sistem pemerintahan baru nantinya akan menguntungkan kepentingan Barat atau tidak. Jika nantinya pasokan minyak ke negara-negara barat akan terkendala, maka harga minyak akan terus bertengger di level tinggi.

Bagaimana pengaruh harga minyak bagi Indonesia? Indonesia yang sejak 2004 sudah menjadi net importer minyak bumi dan menjalankan kebijakan subsidi energi sejak lama memang dalam posisi yang lumayan serba salah. Ada yang bilang, harga minyak turun – nangis, harga minya naik – sedih. Kalau harga minyak turun, tentunya pendapatan negara dari migas akan turun, diikuti oleh berbagai penurunan investasi lainnya di kegiatan usaha hulu migas. Kalau harga minyak naik, maka belanja subsidi (terutama subsidi BBM) akan membengkak, APBN tertekan. Bagaimana jika subsidi dicabut? Wah, saya tidak mau komentar tentang ini – very sensitive issue. Lebih baik serahkan pada para ahli.

Satu hal yang menjadi catatan adalah, bahwa teramati selama ini di Indonesia penggarapan sumber energi selain energi fosil terasa jalan di tempat. Semestinya energi lain seperti EBT (Energi Baru dan Terbarukan) jangan lagi disebut “energi alternatif”, tetapi “energi wajib”. Artinya wajib dikembangkan dan segera direalisasikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi.

Satu hal lagi yang menjadi pelajaran pula dari angin perubahan yang sedang berhembus di Timur Tengah dan Afrika Utara: jika people power sudah bergerak, maka sulit untuk membendungnya. Maka, bagi para elit dan pimpinan, berhentilah membohongi dan menzolimi rakyat.
Read more (Baca selengkapnya)...