Saturday, February 19, 2011

Berakhirnya Era Harga Minyak Rendah {?}



Tahun 2011 sudah sebulan lebih berlalu. Baru kali ini saya punya kesempatan nulis dan mem-posting artikel pertama di tahun ini. Maklum kalau di awal tahun biasanya sering disibukkan dengan berbagai pembuatan laporan dan berbagai workshop. Ngeles, hehehe…, padahal memang lagi tidak punya ide untuk nulis.

Yang menjadi topik utama berita internasional saaat ini adalah suasana haru-biru yang terjadi di negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah. Angin perubahan sedang berhembus kencang di negara-negara Arab yang notabene berpenduduk mayoritas muslim ini. Dimulai dari Tunisia lalu menjalar ke Mesir, Yaman, Iran, Libya, Bahrain, Jordania, dan Suriah. Di Tunisia dan Mesir kekuatan rakyatnya (people power) berhasil menjungkalkan kepala pemerintahannya dari tampuk kekuasaan. Rakyat di negara-negara Arab tersebut rupanya sudah bosan dengan pemerintahan bergaya otokratik yang represif serta jauh dari nilai-nilai keadilan.

Saya tidak ingin membahas lebih lanjut tentang angin perubahan yang sedang berhembus tersebut karena sudah dibahas secara luas dan intensif di berbagai media massa cetak dan elektronik. Saya akan coba mengaitkan apakah angin perubahan yang tengah terjadi di negara-negara Arab ini akan berpengaruh terhadap harga minyak dunia.

Kita kilas balik sedikit:
  • Melambungnya harga energi di pertengahan tahun 2008 (harga minyak sempat menyentuh level USD 147 per barel), lalu tak lama kemudian diikuti dengan kolapsnya ekonomi dunia, terutama di negara-negara maju yang sangat mengandalkan gerak ekonominya dari sektor pasar modal.

  • Harga minyak kemudian terus turun sampai sempat berada di bawah USD 40 per barel di semester pertama 2009.

  • Setelah semester pertama 2009 mulai terlihat tanda-tanda awal kepulihan ekonomi dunia. Bursa-bursa pasar modal di pusat-pusat keuangan dunia mulai bergairah. Ketika itu harga minyak dunia berada di kisaran USD 60-70 per barel. Di negara-negara yang lebih mengandalkan sektor riil dalam transaksi ekonominya tanda-tanda ke arah pemulihan ekonomi malah sudah tampak lebih dini.

  • China dan India – didahului oleh China – terus tumbuh menjadi dua raksasa baru kekuatan ekonomi dunia, disusul beberapa negara besar lain seperti Rusia dan Brazilia. Raksasa-raksasa baru ekonomi ini akan “haus” energi untuk mengimbangi pertumbuhan ekonomi, menggerakkan industri, dan membangun berbagai infrastruktur dalam negerinya.
Bagaimana memaknai empat fenomena di atas? Pertama, setelah turunnya harga minyak yang secara bersamaan diikuti pula dengan kriris finansial global menyebabkan turunnya investasi di sektor perminyakan. Turunnya investasi berarti turun pula kegiatan eksplorasi dan minimnya inovasi teknologi untuk mencari sumber-sumber cadangan baru.

Kedua, pada saat ekonomi dunia pulih sepenuhnya maka permintaan energi dunia kembali akan meningkat. Akan tetapi, akibat lesunya investasi di sektor migas pasca krisis 2008, peningkatan kembali permintaan terhadap minyak tidak mampu segera diimbangi oleh peningkatan pasokan (supply) − setidaknya dalam waktu dekat. Berarti secara teoretis menurut hukum supply-demand dunia akan dihadapkan pada situasi harga minyak kembali merangkak naik.

Hal tersebut teramati dengan harga minyak yang walaupun fluktuatif tetapi trennya naik terus. Mulai dari kisaran US$ 60-70, US$ 70-80, lalu ke US$ 80-90 per barel. Ini sampai tahun 2010. Bagaimana tren di tahun 2011 sampai beberapa tahun mendatang?

Nah, banyak pengamat (termasuk seorang pembelajar seperti saya yang sok tau ini, hehehe) berpendapat bahwa gangguan stabilitas di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara yang menyimpan mayoritas cadangan minyak dunia niscaya akan berpengaruh pada harga minyak dunia, artinya akan memberikan kontribusi pada kembali melambungnya harga minyak.

Kalau dilihat di www.wtrg.com edisi 17 Februari 2011 harga minyak jenis Light Sweet di NYMEX (New York Mercantile Exchange) sembut menembus angka di atas US$ 90 per barel, sedangkan minyak jenis ICE Brent sudah bertengger di atas US$ 100 per barel. Harga minyak mentah Indonesia yang dikenal dengan sebutan ICP (Indonesia Crude Oil Price), jika dilihat di website Kementerian ESDM www.esdm.go.id berada di level US$ 97,09 per barel untuk ICP rata-rata (dari semua lapangan minyak di Indonesia) di Januari 2011, naik dari US$ 91,37 di Desember 2010. OPEC Daily Basket pada tanggal 18 Februari 2011 berada di US$ 98,92 per barel.

Bagaimana kira-kira mekanisme gangguan stabilitas polkam di negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah tersebut dapat mempengaruhi fluktuasi harga minyak dunia? Negara-negara maju baik yang tergabung dalam kelompok OECD maupun Uni Eropa sangat mengandalkan negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara untuk mencukupi kebutuhan minyak dalam negerinya. Minyak hingga saat ini masih mendominasi bauran enrgi dunia dan masih menjadi primadona energi yang belum tertandingi oleh jenis sumber energi lain. Karena itu seringkali harga minyak tidak mengikuti hukum supply-demand dalam ilmu ekonomi, tetapi lebih ditentukan oleh euforia pasar – yaitu sangat sensitif terhadap hal-hal yang bersifat psikologis ketimbang teknis.

Makanya gangguan stabilitas di Timur Tengah dan Afrika Utara ini ditengarai akan menyebabkan haga minyak terus bertengger di level tinggi. Sampai kapan dan seberapa tinggi? Tergantung hasil angin perubahan yang akan terjadi di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Apakah pemerintahan atau sistem pemerintahan baru nantinya akan menguntungkan kepentingan Barat atau tidak. Jika nantinya pasokan minyak ke negara-negara barat akan terkendala, maka harga minyak akan terus bertengger di level tinggi.

Bagaimana pengaruh harga minyak bagi Indonesia? Indonesia yang sejak 2004 sudah menjadi net importer minyak bumi dan menjalankan kebijakan subsidi energi sejak lama memang dalam posisi yang lumayan serba salah. Ada yang bilang, harga minyak turun – nangis, harga minya naik – sedih. Kalau harga minyak turun, tentunya pendapatan negara dari migas akan turun, diikuti oleh berbagai penurunan investasi lainnya di kegiatan usaha hulu migas. Kalau harga minyak naik, maka belanja subsidi (terutama subsidi BBM) akan membengkak, APBN tertekan. Bagaimana jika subsidi dicabut? Wah, saya tidak mau komentar tentang ini – very sensitive issue. Lebih baik serahkan pada para ahli.

Satu hal yang menjadi catatan adalah, bahwa teramati selama ini di Indonesia penggarapan sumber energi selain energi fosil terasa jalan di tempat. Semestinya energi lain seperti EBT (Energi Baru dan Terbarukan) jangan lagi disebut “energi alternatif”, tetapi “energi wajib”. Artinya wajib dikembangkan dan segera direalisasikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi.

Satu hal lagi yang menjadi pelajaran pula dari angin perubahan yang sedang berhembus di Timur Tengah dan Afrika Utara: jika people power sudah bergerak, maka sulit untuk membendungnya. Maka, bagi para elit dan pimpinan, berhentilah membohongi dan menzolimi rakyat.

No comments: