Sunday, November 13, 2011

Seputar Dilematika Cost Recovery Limit dan Kontrak PSC Yang Tidak Luwes


Berbagai pemangku kepentingan dalam tata kelola usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) terus menghendaki bagian yang lebih banyak untuk pemerintah. Wacana untuk membatasi penggantian biaya operasional (cost recovery) terus bergulir sejak tiga tahun yang lalu, meskipun saat ini baru berujung pada cost recovery capping, belum betul-betul menjadi cost recovery limit seperti yang pernah diterapkan di Production Sharing Contract (PSC) Generasi Pertama di Indonesia dalam periode 1966-1976 – setelah yang pertama kalinya PSC ditandatangani antara pemerintah (Permina ketika itu) dengan perusahaan migas IIAPCO yang berbasis di Amerika Serikat.

Cost recovery atau migas secara umum, di tengah-tengah biaya cost recovery yang cenderung meningkat dan produksi minyak yang masih tertekan, sering jadi kambing hitam dalam berbagai ranah perdebatan, penyebabnya antara lain:

1. Minyak memberikan tremendous wealth – kemakmuran luar biasa, baik di sisi tata niaga minyak itu sendiri maupun di sisi industri penunjangnya. Sehingga banyak pihak yang memiliki berbagai kepentingan politik-ekonomi. Hingga saat ini, dengan berbagai keunggulannya dibandingkan jenis energi lain, dominasi minyak dalam bauran energi dunia masih tak tergantikan. Minyak masih tetap menjadi primadona energi. Pertanyaannya, mengapa mayoritas masyarakat di negara-negara berkembang kaya minyak masih miskin? Ada baiknya kita berkaca pada pernyataan Peter Drucker, “Pada dasarnya tidak ada negara terkebelakang, yang ada hanyalah negara yang salah kelola”.

2. Adanya semacam asimetri informasi, dimana sebagian besar masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa Indonesia sangat kaya minyak. Padahal di akhir tahun 2009 cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal 3,96 miliar barel, atau 0,29% dari total cadangan minyak dunia, dengan rasio cadangan terbukti terhadap produksi sekitar 10,5 tahun. Sedangkan produksi minyak Indonesia yang sekarang di level 920-an ribu barel per hari hanya 1,13% dari total produksi minyak dunia (BP Statistical Review of World Energy 2011).

3. Hingga saat ini kegiatan hulu migas masih sebagai penyumbang terbesar anggaran pendapatan negara dibandingkan sektor-sektor lain. Kisarannya 20-30%, tergantung fluktuasi harga minyak dunia.

4. Hingga saat ini Indonesia belum mampu mandiri dalam mengelola sektor migasnya. Andaikan ladang-ladang migas di Indonesia ini 100% digarap oleh orang-orang Indonesia sendiri, sebut saja oleh BUMN seperti Pertamina atau perusahaan swasta nasional lainnya, maka kemungkinan kegiatan usaha migas tidak terlalu sering diributkan. Saat ini baru sekitar 30% dari porsi migas nasional yang diproduksikan sendiri oleh Pertamina dan perusahaan swasta nasional lain yang bergerak di sektor hulu migas. Sisanya yang 70% merupakan porsi perusahaan-perusahaan migas asing yang beroperasi di Indonesia di bawah kontrak kerja sama. Ini berarti Indonesia masih sangat bergantung pada investasi, teknologi, dan sumber daya asing.

Fakta bahwa industri migas modern di Indonesia telah dimulai sejak satu seperempat abad lalu di jaman pemerintahan Hindia Belanda (ketika Aeilko Jans Zijlker pada tahun 1884 melakukan pengeboran sumur Telaga Tiga-1 di lapangan minyak Telaga Said di wilayah Deli, Sumatera Utara) bahkan merupakan tempat lahirnya cikal-bakal perusahaan migas raksasa SHELL, dan fakta bahwa Indonesia merupakan pelopor kontrak model PSC belum mampu juga membuat Indonesia mandiri dalam mengelola sektor migasnya. Padahal tujuan luhur konsep PSC menurut tokoh pencetusnya, Ibnu Sutowo, agar bangsa Indonesia lebih cepat mampu mandiri dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri karena manajemen berada di tangan pemerintah (PERTAMINA ketika itu).

5. Sejak 2004 Indonesia sudah menjadi net importer minyak bumi. Saat ini rata-rata konsumsi minyak bumi Indonesia diperkirakan berada pada level 1,3 juta barel per hari. Sedangkan produksi rata-rata di level 920-an ribu barel per hari. Berarti secara netto Indonesia mesti mengimpor rata-rata 380 ribu barel per hari dalam bentuk minyak mentah dan produk berbasis minyak bumi lain yang sudah jadi (BBM, pelumas, dan lain-lain). Sementara kapasitas kilang Pertamina yang ada di seluruh Indonesia hanya sekitar 1 juta barel per hari.


6. Kondisi net importer minyak bumi di satu sisi ditambah dengan kebijakan subsidi BBM di sisi lain menempatkan Indonesia dalam posisi serba salah dan rentan gejolak. Kalau harga minyak naik, pendapatan negara dari sektor hulu migas akan meningkat, dan investasi untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasipun meningkat, namun APBN dari sisi pengeluaran akan tertekan karena terjadi peningkatan belanja subsidi. Sebaliknya, jika harga minyak mentah turun, beban pengeluaran APBN menjadi lebih ringan karena belanja subsidi akan menurun, namun intensitas kegiatan eksplorasi dan produksipun akan menurun pula, sehingga dapat mengakibatkan makin menurunnya produksi dan minimnya penemuan cadangan baru; akibatnya APBN akan tertekan dari sisi pendapatan. Jika subsidi BBM dicabut, akan terjadi penolakan yang luar biasa dari masyarakat, apalagi hingga saat ini Pemerintah belum dapat menyediakan energi alternatif pengganti BBM yang harganya sama murah dengan harga BBM bersubsidi.

7. Ketergantungan Indonesia terhadap energi berbasis minyak bumi masih sangat tinggi. Menurut versi Pusat Data dan Informasi Kementerian ESDM, minyak bumi memakan porsi 39% dari total bauran energi primer (primary energy mix) di Indonesia, dan, bersama-sama dengan gas, masih akan terus dominan sampai 20 tahun mendatang. Hal ini, ditambah dengan kondisi Indonesia sebagai importer netto minyak bumi dan adanya kebijakan subsidi energi, menyebabkan fluktuasi harga minyak sangat sensitif terhadap neraca dan kondisi perekonomian kita.


8. Meskipun daerah penghasil migas mendapatkan kucuran DBH (dana bagi hasil) migas dari pemerintah pusat, namun teramati kucuran dana tersebut tidak betul-betul dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di daerah, atau tidak berpengaruh dalam menyejahterakan kehidupan rakyat di daerah.

9. Iklim politik yang terbuka pasca Orde Baru turut berkontribusi dalam menjadikan sektor migas sebagai ranah perdebatan.

Kontribusi Migas Di APBN Cenderung Menurun

Menurunnya persentase kontribusi migas terhadap APBN di tengah-tengah produksi minyak yang belum mampu mencapai target APBN-P 2011 menjadi sorotan, kritikan, sekaligus kekhawatiran dalam tata kelola usaha hulu migas. Besar-kecilnya penerimaan negara dari migas memang akan sangat tergantung pada (i) level produksi migas, (ii) harga energi dunia – terutama harga minyak, (iii) indeks Indonesia Crude Price (ICP), dan (iv) nilai kurs Rupiah terhadap US Dollar.

Sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia, memulai pembangunannya dengan eksploitasi sumber daya alam. Pendapatan dari sumber daya alam ini kemudian dijadikan modal untuk industrialisasi dan membangun berbagai infrastruktur. Ketika pembangunan di Indonesia masih menganut mazhab REPELITA, jelas sekali tahapan-tahapannya. Dalam jangka panjang, peran/porsi sumber daya alam (SDA) seperti migas dalam pendapatan negara akan semakin menurun apabila industrialisasai dan pembangunan sektor lain di sebuah negara berhasil. JIka peran SDA sebagai penyumbang pendapatan negara terus-menerus dominan, berarti proses pembangunan dapat dikatakan tidak berhasil, karena terus-menerus mengandalkan eksploitasi sumber daya alam yang sebagian besar merupakan sumber daya non-renewable.

Yang penting adalah terus berupaya meningkatkan dan mempercepat produksi dengan tetap berorientasi pada konsep pembangunan berkelanjutan (tidak mengeksploitasi migas dengan cara “kuras habis”). RRR (Reserve Replenishment Ratio) juga harus ditingkatkan dengan temuan cadangan baru.

Peningkatan Biaya Cost Recovery

Naiknya biaya Cost Recovery dan belanja pengadaan barang/jasa bisa dilihat dari dua sisi: sebagai pertanda meningkatnya investasi atau sebagai pemborosan. Perlu dikaji oleh fungsi-fungsi terkait apakah peningkatan biaya tersebut karena (i) harga/biaya satuan komoditas barang/jasa penunjang operasional kegiatan hulu migas meningkat dari tahun ke tahun (karena pengaruh inflasi dunia dan kenaikan harga energi misalnya), (ii) diperlukan biaya yang lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya untuk meningkatkan atau mempertahankan produksi (cost per BOE), (iii) diperlukan biaya yang lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya untuk menemukan cadangan baru (finding cost per BOE), (iv) banyaknya lapangan migas yang baru berproduksi komersial, sehingga pendapatan (revenue) dari lapangan tersebut setelah dipotong FTP habis untuk mengganti biaya sunk cost kontraktor ketika masih dalam fase eksplorasi, atau (v) memang terindikasi ada pemborosan dan praktek-praktek curang; sebab banyak Kontraktor KKS yang membawa misi negara asalnya, yaitu mendapatkan pasokan energi sekaligus memasarkan produk negara asalnya.

Untuk itu, fungsi pengawasan (audit) harus diperkuat. Patut kita ingat bahwa para MNE (multi national enterprise) menikmati keuntungan di negara-negara berkembang yang kaya sumber daya alam namun buruk tata kelola pemerintahannya.

Dihapuskannya cost recovery limit pada PSC generasi kedua (1976) ketika itu menjadi kelebihan sistem PSC Indonesia dalam rangka menarik investor asing, sehingga sempat menghantarkan Indonesia mencapai puncak produksi minyak (peak production) 1,685 juta barel per hari di tahun 1977 (BP Statistical Review Of World Energy 2011). Lalu penerapan FTP (First Tranche Petroleum) sebesar 20% (split) di PSC Generasi ketiga (1988) pada hakikatnya sudah membatasi cost recovery.

Wacana Modifikasi PSC

PSC di Indonesia memang dinilai tidak luwes. Paramater-parameter ”front end loaded” seperti bonus-bonus di muka maupun yang ”back end loaded” seperti FTP (First Tranche Petroleum), porsi bagi hasil (profit split), dan tax rate berlaku dalam kondisi apapun alias fix rate. Di China, bagi hasil dan cost ceiling ditentukan berdasarkan produksi. Makin besar produksinya maka makin besar bagian pemerintah dan cost ceiling nya. Di Malaysia bagi hasil dan cost ceiling ditentukan berdasarkan R/C (Revenue-t0-Cost Ratio). Akibatnya, di Indonesia apabila ditemukan prospek yang kurang ekonomis maka kontraktor biasanya sibuk menegosiasikan insentif, dan kalau harga minyak tinggi dari sisi pemeintah sibuk memikirkan bagaimana caranya memperoleh tambahan bagian dari windfall profit. Di Malaysia apabila level produksi, harga, dan biaya berubah maka orang tidak usah pusing lagi memikirkan tambahan bagian dari windfall profit.

Meskipun banyak negara yang dulunya belajar PSC dari Indonesia, namun mereka melakukan modifikasi sehingga PSC mereka lebih luwes. Mereka menerapkan ”sliding scale” terhadap beberapa parameter PSC, tidak fix rate. Sliding scale parameter sudah saatnya dikaji untuk diterapkan.

PSC Indonesia Paling “Generous” terhadap Kontraktor?

Meskipun ”generous” secara fiskal, namun banyak faktor lain yang menjadi bahan pertimbangan investor. Ketidakpastian hukum, ketidakpastian berusaha dalam jangka panjang, masalah keamanan, skor tata kelola pemerintahan yang masih di kisaran kuartil pertama (menurut survei Bank Dunia dan Transparency International), gonta-ganti peraturan, tumpang-tindih peraturan, tumpang-tindih kepemilikan lahan, serta tarik-menarik kekuasaan antara pusat dan daerah merupakan faktor risiko yang sangat diperhitungkan dalam dunia investasi sehingga para investor mematok minimum attractive rate of return (MARR) yang tinggi sebelum memutuskan berinvestasi di Indonesia.

Penutup

Kita harus menerima kenyataan dilematis bahwa di satu sisi kita masih sangat tergantung pada sumber daya asing dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya migas, dan di sisi lain kita memang belum mampu mandiri dan menjadi ”tuan rumah” di negeri sendiri dalam kegiatan usaha hulu migas. Sehingga bagaimanapun kita harus tetap bersikap sebagai tuan rumah yang ”ramah” bagi investor asing. Apalagi kegiatan usaha hulu migas kita terus dikejar-kejar target APBN di tengah-tengah level produksi yang belum mampu mencapai target dan jumlah cadangan terbukti yang kian menipis. Untungnya, dari sisi finansial, kemungkinan target pendapatan dapat dicapai karena terbantu oleh indeks ICP yang dalam periode Januari-Oktober 2011 rata-rata US$ 111,49 per barel (www.esdm.go.id) – di atas asumsi ICP dalam APBN-P 2011 yang dipatok US$ 95 per barel.

Belajar dari penerapan PSC negara lain, ditambah dengan fluktuasi harga minyak yang sukar diprediksi batas atas-bawahnya, maka memang sudah waktunya mengkaji dan menerapkan formula sliding scale terhadap beberapa parameter PSC, baik yang front end loaded, seperti bonus-bonus, maupun yang neutral (back end loaded), seperti besaran FTP, profit split, dan tax rate. Kriteria sliding scale-nya bisa berdasarkan tingkat produksi, harga minyak, R/C ratio, dsb. Dengan demikian, negara bisa memperoleh tambahan porsi keuntungan jika ada windfall profit. Harus dicari formula terbaik yang lebih menguntungkan negara namun masih memberikan keuntungan yang memadai untuk memenuhi ROR kontraktor.

Dalam hal menambah bagian untuk pemerintah, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menambah Government Participating Interest melalui NOC (National Oil Company) seperti yang dilakukan negara-negara lain. Di blok-blok PSC lama biasanya ada participating interest Pertamina sebesar 10%.

Sehubungan dengan kondisi dan dinamika kegiatan usaha migas baik di tataran nasional, regional, maupun internasional, tidak ada salahnya mengkaji bentuk-bentuk kontrak lain yang mungkin saja lebih menguntungkan bagi negara, seperti misalnya Royalty/Tax System, Service Agreement, atau PSC yang di-split langsung dari gross revenue (Peruvian type PSC). Dalam UU No. 22/2001 tentang Migas, PSC hanyalah salah satu bentuk kontrak kerja sama, jadi tidak menutup peluang terhadap bentuk-bentuk kontrak selain PSC. No model fits for all conditions!

Untuk kepentingan nasional, sebaiknya kontrak yang sudah mau selesai diprioritaskan untuk dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan nasional (Pertamina, swasta nasional, perusahaan daerah) atau paling tidak saham nasionalnya lebih besar. Operatorship oleh perusahaan-perusahaan nasional akan mengakselerasi penguasaan IPTEK migas oleh bangsa Indonesia ketimbang hanya sekedar memiliki participating interest.

Sebagai upaya mempercepat kemandirian dalam mengelola sumber daya migas di negeri sendiri, diharapkan:

(a) Pertamina (sebagai satu-satunya BUMN migas Indonesia) dapat menjadi ujung tombak penguasaan teknologi ekplorasi dan eksploitasi migas yang tren kedepannya akan didominasi oleh kegiatan lepas pantai dan kegiatan EOR.

(b) Lembaga-lembaga Litbang yang ada (LEMIGAS, BPPT, LIPI, Perguruan Tinggi, dll) direvitalisasi lalu disinergikan dalam suatu wadah R&D task force yang tugasnya membuat kajian dan perumusan guna mempercepat penguasaan teknologi dan mempercepat kemandirian Indonesia dalam eksplorasi dan eksploitasi migas. Diharapkan suatu saat Indonesia menjadi net exporter tenaga-tenaga ahli perminyakan. Tidak seperti sekarang hanya mengekspor TKI non-profesi yang sering terbelit masalah di luar negeri.

Ketika saya berkesempatan berkunjung ke Petronas di Kuala Lumpur pada tahun 2006, menurut perbincangan dengan salah seorang Business Development-nya, Petronas memliki Research & Development yang salah satu tugasnya membuat berbagai forecast skenario kondisi migas dunia sampai puluhan tahun mendatang guna merumuskan langkah-langkah strategik-antisipatif bagi Petronas untuk tetap survive dan mampu mengamankan pasokan migas bagi Malaysia di masa mendatang. Bagaimana dengan kita.....??

Kondisi lapangan-lapangan migas yang sudah banyak memasuki fase declining serta kegiatan usaha hulu migas yang dikejar-kejar target APBN terus, dimana angka target APBN biasanya dipatok secara sepihak oleh pemerintah, menyebabkan eksploitasi migas terkesan asal ”kuras habis”. Karena migas adalah sumber daya tak terbarukan, maka pengembangan kegiatan hulu migas seyogyanya sejalan dengan konteks pembangunan berkelanjutan. RRR harus ditingkatkan dengan temuan-temuan cadangan baru melalui kegiatan eksplorasi.

Berbagai wacana perubahan termin PSC tersebut di atas tentunya sangat mungkin dapat diberlakukan terhadap kontrak-kontrak baru – baik terhadap wilayah kerja baru atau wilayah kerja yang sudah habis masa kontraknya. Terhadap kontrak yang sudah berjalan (existing) harus esktra hati-hati sebab menyangkut contract sanctity dan reputasi Indonesia di dunia internasional. Langkah radikal yang dilakukan negara-negara Amerlika Latin dalam menasionalisasi pengelolaan migasnya belum tentu cocok dan belum tentu benar jika dilakukan di Indonesia.

Begitu strategisnya migas bagi kepentingan nasional, begitu banyaknya pemangku kepentingan, begitu banyaknya faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi, begitu banyaknya tantangan dan kendala, serta – last but not least – begitu banyaknya yang memiliki kepentingan politik-ekonomi, maka usaha untuk memperbaiki tata kelola migas memerlukan kajian yang mendalam, komprehensif, dan pendekatan yang holistik. {eof}
Read more (Baca selengkapnya)...