Thursday, May 28, 2009

Happy First Anniversary, My Blog


Large groups of people are inherently smarter than en elite few.

May 2008 was the first time I posted an article in this blog. It has been one year behind. I remember that time I was a little bit doubtful to develop a blog – whether I could consistently update it or not, or whether it was going to be a burden instead of “leisure”.

Since the beginning of 2008 I’ve been quite involved in several discussions. Through meetings, emails, mailing lists, or others’ blogs. My comments in the discussions were often long and thorough – this was what my colleagues told me. Some fellows then encouraged me to generate my own blog to accommodate my sole opinions in writing. One of them even gave me a book about blogging. I started thinking “why not”. Beside those fellows, I was also inspired by my teenage kids. The teenagers in this era are much more familiar with the “cyber space” than parents of my generation. It's interesting to see the kids exploring the cyber space.

First thing to determine was the topics of my blog. I have educational backgrounds in petroleum engineering and development studies. I currently work in an oil company. So that’s why major issues I raise in this blog are pertaining to energy, governance, industries, and sometimes social. Honestly I don’t have expertise in either one of those. I am just a learner. But in my point of view, any discipline of knowledge is not someone’s monopoly. Not expert’s monopoly, not scholar’s monopoly, not intellectual’s monopoly, not even the monopoly of an elite few. Everyone has the right to learn, to understand, to broaden his/her knowledge, to be involved in, and then to provide comments or suggestions. Nowadays there are millions of references that can be accessed through internet. They are all valuable sources of information for those who want to learn.

The very fundamental questions are, why and what I write for. So why I write? I write because I want to write. I never judge myself as someone who has a writing talent and so on and so on, but simply just because I want to write. Certainly, to be able to write I have to allocate my time for it. I don’t play golf or other long duration sports during weekend. After some physical exercises and before I do something (normally hanging out) for my children, I use part of my weekend morning time to open my laptop computer and start knocking my fingers on keyboard. Sometimes if there is an idea in week days, I write after dinner time at home until getting sleepy. If not finished in one day, will be continued on the other days – whenever convenient. If no idea or not in a good mood, I don’t force myself to produce an article. I just put things easy, relax, no burden, no pressure. Like a management jargon: KISS – keep it simple and smile.

What I write for? First, to express my own perspective. Someone’s perspective is often unique, different between one and another. Second, as a “pressure relief”. After busy week days in the office, after coping with terrible Jakarta traffic, after often feeling frustrated with the systems, after often getting bored with routines, then I need a relief. Writing is an effective way to get rid of those things whilst still performing positive attitude.

Third, according to a psychologist (I forget when and where I read this thing), writing can keep your mind “sharpened” and therefore it can slow down the mental aging process. Remember Stephen R. Covey’s seven habits of highly effective people, habit number 7 is “sharpen the saw”. Fourth, to share. I want to share with people regarding what I am learning. Probably there is some sort of benefit that can be extracted from my words.

Fifth, to keep in touch with my friends and people, as well as to get more friends. I am very happy when my hit counter tells me a number of people visiting my blog. From the hit counter’s statistics, around 85% of my visitors are those who directed by search engines into my blog. Meaning, more and more new friends everyday, eventhough we only meet in virtual world.

Blog is a grass root journalism. Everyone can write and discuss anything in blog – with still uphold code of ethics of course – without barrier and without bureaucracy.

In general, based on my one year of experience, writing in blog is sharpening, entertaining, and relieving. So why don’t you develop one of your own — if not yet.

After all…. this is just another blog...

Let me have a freedom to fly without a shadow,
and to sing without an echo.

Last but not least, I thank all those who have visited my blog, either periodically or directed by search engines. Keep blogging, keep learning. Happy anniversary, my blog. Cheers…
Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, May 21, 2009

Bahasa Daerah Lampung Terancam Punah [?]


When a language dies, the world loses valuable cultural heritage - a great deal of the legends, poems and the knowledge gathered by generations is simply lost.
(UNESCO)

Bahasa adalah penciri utama sekaligus “ruh” suatu budaya yang membedakan budaya itu dengan budaya lainnya. Cara orang makan, berpakaian, dan lain-lain tradisi yang diekspresikan dengan tindakan nyata (perbuatan fisik) boleh saja sama atau serupa antara satu bangsa/etnik dengan bangsa/etnik lainnya, tetapi manakala kita mendengar “bahasa” yang terucap, maka akan segera tampak ciri perbedaan itu. “Bahasa menunjukkan bangsa”, demikian kata sebuah pepatah.

Dalam situs BBC edisi 9 Mei 2009, Lembaga kebudayaan PBB, UNESCO, mengatakan, lebih dari sepertiga dari 6.000 bahasa di dunia terancam punah. Dari sekitar 2.000 bahasa tersebut, menurut UNESCO, sekitar 200 dipakai oleh sekelompok kecil penutur. Nenek Marie Smith Jones adalah penutur terakhir Bahasa Eyak, salah satu sub etnik Indian di Alaska. Meninggal pada bulan Januari 2008 dalam usia 89 tahun. Bahasanya ikut terkubur bersamanya. Lalu Ivan Skoblin, satu dari 25 penutur terakhir Bahasa Os, Siberia Tengah, yang masih hidup.

Provinsi Lampung secara geografis terletak di ujung selatan Pulau Sumatera. Walaupun merupakan tempat transit dan relatif dekat dengan pusat pemerintahan Indonesia, namun hingga saat ini (paling tidak sepengetahuan saya yang bukan ahli budaya ini) sangat sedikit literatur yang secara komprehensif membahas budaya Lampung. Memang agak paradoks kedengarannya. Di satu sisi secara geografis termasuk dekat dengan pusat pemerintahan (dan karenanya dekat pula dengan berbagai institusi kebudayaan), namun di sisi lain seakan termarjinalkan dari kancah literatur budaya – sering luput dari mata para akademisi.

Lampung memiliki “bahasa daerah” tersendiri yang khas dan membedakannya dari bahasa-bahasa daerah lain. Sastra tutur maupun tulisan sebetulnya sudah lama menjadi bagian inti budaya masyarakat Lampung. Bahkan Bahasa Lampung memiliki aksara (huruf) sendiri. Namun kelihatannya masih minim eksplorasi dan dokumentasi.


Seperti halnya provinsi-provinsi lain yang terletak di Sumatera bagian selatan, Lampung merupakan provinsi yang kaya “bahasa-bahasa asli”. Sebetulnya penutur bahasa asli Lampung tidak hanya berada di Provinsi Lampung saja, tetapi juga ada di Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Banten. Sebut saja ada 10 sub dialek Lampung yang masing-masing cukup mempunyai ciri khas dan berbeda antara satu dengan yang lain. Di Provinsi Lampung ada sub dialek Way Kanan, Menggala, Abung, Sungkai, Pubian, Melinting, Pesisir Barat, dan Pesisir Selatan. Di Provinsi Sumatera Selatan ada sub dialek Komering (Kayu Agung dan Martapura). Di Cikuning, Provinsi Banten, ada sub dialek Lampung Cikuning. Di samping itu, di dalam Provinsi Lampung sendiri ada kelompok masyarakat di Lampung Utara (Kasuy dan Bukit Kemuning) sebagai penutur sub dialek Bahasa Semendo yang sudah turun temurun. Keragaman bahasa ini tentunya menunjukkan keragaman budaya (cultural diversity) yang merupakan modal sosial (social capital) masyarakat Lampung.

Di tengah derasnya arus globalisasi dan juga desakan Bahasa Indonesia, beberapa kalangan mengkhawatirkan bahwa dalam 100 tahun mendatang Bahasa Lampung akan mengalami kepunahan. Hal ini berangkat dari kenyataan sehari-hari bahwa makin lama penutur Bahasa Lampung makin mengecil persentasinya – bahkan di kalangan masyarakat Lampung asli sendiri.

Ada beberapa hal yang menurut saya bisa menjadi penyebab berkurangnya penutur bahasa asli Lampung:
  • Bahasa asli Lampung termasuk heterogen, antara penutur sub dialek yang satu dengan yang lain terkadang tidak saling mengerti, sehingga komunikasi sering dirasa tidak lancar. Akhirnya agar tidak menimbulkan salah pengertian, mereka menggunakan Bahasa Indonesia.
  • Di wilayah urban, masyarakat keturunan asli Lampung sendiri cenderung tidak lagi menggunakan Bahasa Lampung sebagai bahasa ibu. Begitu anaknya lahir, langsung diajarkan berbahasa Indonesia. Walaupun masih memerlukan observasi lebih lanjut, saya tengarai gejala ini sudah merambat ke wilayah pedesaaan juga.


  • Seingat saya dulu (saya generasi SMA awal 80-an), teman-teman sekolah saya di Lampung paling-paling hanya separuh yang penutur Bahasa Lampung walaupun mereka dari garis keturunan asli Lampung. Teman-teman yang lidahnya kental dengan logat Lampung cenderung menjadi bahan tertawaan oleh teman yang lain, karena memang pengucapan fonetik “el” dan “er” sangat spesifik bagi lidah Lampung.

  • Ada semacam fenomena “malu berbahasa Lampung” di kalangan masyarakat asli Lampung sendiri. Merasa lebih prestisius dan modern jika berbahasa Indonesia. Anak-anak asli Lampung dari pedesaaan yang bersekolah di kota banyak yang tidak lagi mau menggunakan Bahasa Lampung ketika pulang ke desanya.


  • Dari sekitar 7,5 juta penduduk Provinsi Lampung, yang dari garis keturunan asli Lampung paling-paling hanya 30% saja. Maka barangkali untuk tujuan praktis dan agar dapat lancar berkomunikasi dengan kelompok masyarakat pendatang, akhirnya banyak penutur Bahasa Lampung yang menggunakan Bahasa Indonesia.


  • Terjadi perkawinan campur sari antara sub etnik Lampung yang satu dengan yang lain, atau antara suku Lampung dengan suku non Lampung, sehingga - lagi-lagi untuk tujuan praktis - anak-anak mereka diajarkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu.

  • Masyarakat asli Lampung tidak memiliki semacam bahasa persatuan daerah yang bisa mengkonservasi masing-masing sub dialek, atau bahasa pemersatu daerah yang bisa menjadi perekat antar penutur sub dialek tetapi sekaligus tetap menjaga kelestarian sub dialek penuturnya. Berbeda dengan di Provinsi Sumatera Selatan, misalnya, yang memiliki Bahasa Melayu Palembang sebagai bahasa pemersatu daerah.


  • Hegemoni Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Saya kira ini tidak hanya dialami oleh Bahasa Lampung saja, tetapi juga bahasa-bahasa daerah lain, dimana banyak bahasa daerah semakin terdesak oleh pemakaian Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi.


  • Di era globalisasi ini banyak orang bersikap pragmatis, alias cari yang praktis-praktis saja. Dengan dalih agar sasaran komunikasi yang efektif dan efisien bisa tercapai, orang cenderung berkiblat pada nilai-nilai budaya kompromistis yang bisa diterima masyarakat yang lebih luas ketimbang budaya aslinya sendiri.

Bagaimana mesti menyikapi bahasa daerah Lampung jika memang terancam punah? Tentu saja jawabannya tergantung sejauh mana pentingnya bahasa daerah ini bagi stakeholders-nya. Bagi pihak yang tidak menganggap penting barangkali akan menganggap kepunahan bahasa itu merupakan sebuah proses alamiah biasa saja. Toh banyak bahasa besar jaman dahulu juga mengalami kepunahan. Bahasa Latin adalah bahasa imperium Romawi yang dipakai di tiga benua (paling tidak Eropa Selatan dan Tengah, Afrika Utara, dan wilayah Asia Barat). Siapa nyana bahasa ini sekarang hanya digunakan dalam sebatas penulisan ilmiah – seperti dalam ilmu Biologi beserta cabangnya. Lalu Bahasa Sanskerta sempat mendominasi wilayah Asia Selatan, Timur, dan Asia Tenggara. Bahasa besar ini juga punah, tinggal aksaranya saja yang tersisa.

Bagi pihak yang menganggap penting dan menganggap bahasa daerah merupakan elemen budaya yang strategis, ya tentunya Bahasa Lampung ini harus dijaga jangan sampai menuju kepunahan. Menghidupkan Bahasa Lampung tentunya tidak hanya sekedar membuat kurikulum mata pelajaran di sekolah atau menuliskan padanan aksara Lampung di papan nama jalan raya, tetapi menjadikannya sebagai bahasa tutur aktif.

Pilihan ada pada pihak-pihak yang merasa berkepentingan, terutama para ahli waris Bahasa Lampung. Di dalam setiap bahasa daerah tersimpan petatah-petitih yang digali dari kearifan lokal – yang bila direvitalisasi dapat memberikan energi positif untuk membangun karakter manusia. Menghidupkan bahasa daerah tidak berarti etnosentris, bukan? Keragaman bahasa ibarat mozaik indah yang berwarna-warni.

UNESCO mengatakan, When a language dies, the world loses valuable cultural heritage - a great deal of the legends, poems and the knowledge gathered by generations is simply lost. Ketika sebuah bahasa punah, dunia kehilangan warisan yang sangat berharga – sejumlah besar legenda, puisi, dan pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi akan ikut punah.

Read more (Baca selengkapnya)...

Sunday, May 10, 2009

Catatan Kecil dari 33rd Annual IPA Convention and Exhibition; Minyak dan Gas Bumi Indonesia dalam Beberapa Angka



IPA (Indonesian Petroleum Association) adalah asosiasi yang mewadahi masyarakat perminyakan di Indonesia. Anggotanya tidak hanya perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, tetapi juga industri pendukung migas, para akademisi, institusi pendidikan, lembaga pemerintahan, para pengamat, para ahli, dan lain-lain pihak yang mempunyai kepentingan terhadap perkembangan industri hulu migas di Indonesia.

Pada tanggal 5-7 Mei 2009 lalu untuk yang ke-33 kalinya IPA mengadakan Annual Convention and Exhibition (konvensi dan eksibisi tahunan) di Jakarta Convention Center (JCC). Tema konvensi IPA tahun ini adalah “Managing Resources and Delivering Energy in A Challenging Environment”. Artinya lebih kurang “mengelola sumber daya dan menyediakan energi dalam situasi yang penuh tantangan”. Begitulah gaya bahasa orang bule. Situasi saat ini yang sebetulnya cukup sulit (difficult) dikatakan penuh tantangan (challenging) agar orang-orang tetap optimis dan berpikir positif.

Bagi Indonesia situasi perminyakan tahun ini memang penuh tantangan; baik tantangan berskala global, regional, maupun lokal. Tantangan berskala global antara lain terjadinya terpaan krisis finansial global yang asal muasalnya disebabkan ulah para spekulan pasar modal di Amerika Serikat. Krisis finansial tentu saja mengakibatkan terganggunya aliran modal. Tidak sedikit korporat kelas kakap dunia yang pailit. Para investor yang masih memegang cadangan dana juga cenderung cari aman, hanya wait and see. Krisis finansial global ini kemudian diikuti dengan menurunnya permintaan energi (terutama energi berbasis minyak bumi) di negara-negara maju sehingga secara tak terduga harga minyak turun sampai sempat berada di bawah level 40 dollar AS per barel setelah sempat bertengger di angka 147 dollar AS per barel pada bulan Juli 2008. Turunnya harga minyak mengakibatkan melemahnya gairah investasi di sektor migas. Para investor migas akan cenderung menunda proyek-proyek eksplorasi dan pengembangan lapangan.

Tantangan regional antara lain Indonesia mesti bersaing dengan negara-negara kawasan sekitar (Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Australia) dalam menarik investasi guna menjaga kesinambungan pertumbuhan industri migas kita. Termin finansial, tata niaga migas, dan stabilitas polkam (politik dan keamanan) di beberapa negara lain di mata para investor lebih menarik dan lebih memberi jaminan kepastian berusaha. Memang dalam beberapa hal para investor tidak hanya mencari keuntungan semata, tetapi juga jaminan berusaha. Jaminan berusaha inilah yang akan menumbuhkan kepercayaan (trust) di kalangan investor.

Tantangan dalam negeri Indonesia sendiri cukup banyak, baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Tantangan teknis antara lain:

  • Sebagian besar produksi minyak Indonesia (sekitar 88% menurut sumber dari Ditjen Migas) berasal dari lapangan-lapangan tua yang sudah berproduksi sejak tahun 1970-an, dan karena itu sudah melewati masa produksi puncak (peak production) dalam kurun waktu 1977-1995. Setelah itu hingga sekarang mengalami proses penurunan produksi (declining).


  • Cadangan minyak bumi semakin menipis karena rendahnya rasio penggantian cadangan yang terpakai (reserve replacement ratio). Ini berarti minimnya penemuan cadangan baru, yang berarti pula kegiatan eksplorasi masih belum menunjukkan hasil yang memadai untuk mengganti cadangan yang telah terpakai.


  • Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap energi berbasis minyak bumi. Menurut data bauran energi (energy mix), minyak bumi memakan porsi 52% dari total pemakaian energi primer di Indonesia. Inipun karena PLN sudah cukup berhasil dalam melakukan diversifikasi energi. Sementara sektor transportasi nyaris 100% menggunakan BBM.


  • Produksi minyak yang terus menurun serta konsumsi minyak bumi yang naik terus mengakibatkan Indonesia sejak tahun 2004 sudah menjadi importir netto (net importer) minyak bumi. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan Indonesia keluar dari keanggotaan OPEC pada bulan Mei 2008.


  • Hingga saat ini industri migas Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya impor, terutama sumber daya finansial dan teknologi. Fakta bahwa industri migas modern di Indonesia sudah berusia seabad lebih dan Indonesia merupakan negara pelopor model kontrak bagi hasil (production sharing contract) yang menjadi role model bagi negara-negara berkembang lain belum juga membuat Indonesia mampu mandiri dalam mengelola sumber daya migasnya.


  • Industri migas modern di Indonesia dimulai ketika di jaman Hindia Belanda seorang Belanda bernama Aeilko Jans Zijlker (1830-1890) pada tahun 1884 melakukan pengeboran sumur Telaga Tiga-1 di lapangan minyak Telaga Said di wilayah Deli, Sumatera Utara. Zijlker lalu mempelopori pembentukan perusahaan minyak The Royal Dutch Company yang menjadi cikal bakal perusahaan raksasa Shell sekarang ini. Jadi Shell sebetulnya pada awalnya didirikan di Indonesia.


    Kontrak bagi hasil minyak di Indonesia sudah diimplementasikan sejak tahun 1966. Salah satu tujuan luhur dari konsep model bagi hasil ini adalah agar proses menuju kemandirian di sektor migas bisa dipercepat, karena manajemen dipegang oleh pemerintah. Sayangnya momentum “menjadi mandor” perusahaan minyak asing ini tidak berhasil dimanfaatkan dengan baik untuk alih penguasaan teknologi serta memperkuat sumber daya finansial sendiri.
Tantangan non teknis yang paling utama menurut saya adalah tata kelola pemerintahan Indonesia sendiri:
  • Adanya kesimpangsiuran aturan main dan sering tidak sinkronnya peraturan yang dibuat oleh berbagai instansi pemerintah (pusat dan daerah) menimbulkan hambatan dalam business process, sehingga timbul kesan tidak adanya kepastian hukum dalam berbisnis di Indonesia.


  • Perbedaan persepsi antara pemerintah (instansi/lembaga yang langsung menangani tata niaga migas) dengan parlemen. Pemerintah berusaha menarik minat para investor dengan memberikan termin yang kompetitif untuk menyaingi negara-negara tetangga, tetapi di sisi lain pihak parlemen selalu beranggapan bahwa pemerintah terlalu memberi banyak keuntungan bagi para investor migas.


  • Tata aturan dan para pejabat (yang berkaitan dengan tata niaga migas) yang terlalu sering digonta-ganti sehingga menimbulkan rasa ketidaknyamanan dalam berbisnis.


  • Bergentayangannya para rent seekers yang memiliki kekuasaan atau memiliki akses ke pusat-pusat kekuasaan, sehingga mampu memaksakan kehendak guna memenuhi kepentingan ekonomi mereka, makin memperkeruh suasana karena menimbulkan grey area yang rentan terhadap praktek-praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).


  • Skor indeks tata kelola pemerintahan di Indonesia yang rata-rata masih berada di kwartil pertama atau paling banter di bagian bawah kwartil kedua menimbulkan persepsi negatif berkepanjangan di kalangan investor.
Dengan kondisi yang masih dianggap volatile ini tidak heran jika para pengamat berpendapat bahwa Indonesia termasuk negara beresiko tinggi untuk melakukan investasi. Karena dipandang beresiko tinggi, maka para investor mematok minimum attractive rate of return (MARR) yang tinggi dalam studi kelayakan proyek mereka. Artinya, dengan memperhitungkan berbagai resiko, mereka maunya untung sebanyak mungkin dalam waktu secepat mungkin.

Kembali ke masalah IPA. Ceritanya, tanggal 6 Mei 2009 siang saya berkesempatan ke JCC untuk melihat exhibition booths (stand pameran) yang digelar IPA. Tujuan saya mengunjungi eksibisi adalah (1) untuk memperoleh angka-angka terkini tentang industri hulu migas kita, dan (2) berburu suvenir. Tiga booth yang menjadi sasaran utama saya adalah BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas), Ditjen Migas, dan Pertamina. Dari BP Migas dan Ditjen Migas saya berharap memperoleh informasi yang update tentang angka-angka migas dan berbagai kebijakan yang mengatur kegiatan sektor hulu migas. Dari Pertamina saya berharap memperoleh angka-angka tentang aktivitas hulunya.

Kenapa Pertamina juga mesti mendapat perhatian khusus? Karena, sebagai BUMN migas, Pertamina memegang peranan yang sangat strategis dalam rangka mengamankan pasokan energi kita. Setiap ada gejolak di sisi pasokan BBM dan LPG, Pertamina selalu jadi bulan-bulanan media massa melebihi gosip-gosip hangat di infotainment. Di samping strategis, Pertamina sejak tahun 2000 tengah bergiat melakukan transformasi untuk menjadi perusahaan kelas dunia. Makanya cukup menarik untuk mengikuti progres demi progres yang telah dicapai oleh BUMN ini. Baihaki Hakim (Dirut Pertamina periode 2000-2003 − salah seorang profesional yang sangat saya kagumi) baru saja menulis buku berjudul “The Lone Ranger; Lekak-liku Transformasi Pertamina”. Dari buku Baihaki tersebut bisa dimengerti mengapa transformasi di tubuh Pertamina sangat penuh dengan tantangan, baik yang sifatnya internal (budaya internal korporat) maupun eksternal (banyaknya kepentingan pusat-pusat kekuasaan yang mencampuri urusan Pertamina).

Saya keliling-keliling di ruang eksibisi IPA selama dua jam. Setelah itu bersantap siang gratis (dapat kupon dari teman). Meskipun waktu saya berkunjung adalah waktu istirahat, dimana orang biasanya banyak berkeliaran, tetapi eksibisi IPA kali ini terkesan sepi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin saja karena pengaruh krisis finansial global, karena memang banyak sudut ruangan yang kelihatan melompong. Atau mungkin orang-orang dari masyarakat migas lebih suka mengikuti info-info tentang kasus Antasari dan berita seputar hasil Pemilu. Atau mungkin banyak perusahaan migas yang ragu-ragu lalu tidak ikut karena adanya isu no cost recovery (tidak ada penggantian biaya) untuk event eksibisi seperti ini. Atau mungkin juga banyak orang yang takut terjangkit virus flu babi sehingga tidak berani berkeliaran di ruang publik, he-he-he... Yang jelas, harapan saya, semoga sepinya eksibisi kali ini bukan pertanda meredupnya aktivitas migas di Indonesia.

Untuk rekan-rekan yang mengakses blog ini, saya akan berbagi beberapa angka tentang aktivitas sektor hulu migas kita. Khususnya bagi rekan-rekan yang sehari-harinya tidak bergerak di industri migas, atau bergerak di industri migas tetapi tidak begitu ngeh karena disibukkan pekerjaan sehari-hari. Saya hanya bisa berbagi angka, tidak bisa berbagi suvenir, cuman dapat suvenir sedikit soalnya :-). Angka-angka dan grafik saya copy langsung dari Laporan Tahunan 2008 yang dikeluarkan oleh BP Migas.

Produksi Minyak Bumi

Rata-rata produksi harian minyak bumi dan kondensat di tahun 2008 sebesar 967.778 barel per hari (bph). Mencapai 99,96% dari target APBN-P 2008 sebesar 977 ribu bph.

Produksi Gas Bumi

Rata-rata produksi harian gas bumi di tahun 2008 sebesar 7.457 MMSCFD (juta kaki kubik). Produksi gas bumi di tahun 2009 berpotensi meningkat karena mulai dioperasikannya lapangan gas Tangguh di kwartal kedua tahun 2009.

Lifting Minyak dan Gas Bumi

Yang dimaksud dengan lifting adalah pengiriman atau penjualan. Realisasi lifting minyak Indonesia pada tahun 2008 mencapai 338,83 juta barel atau rata-rata 925.760 barel per hari. Sementara lifting gas bumi pada tahun 2008 sebesar 2.439,09 MMBTU (juta British thermal unit).

Cadangan Minyak Bumi

Cadangan terbukti minyak bumi Indonesia per Januari 2008 sebesar 3,75 miliar barel. Dengan tingkat produksi saat ini yang rata-rata 954 ribu barel per hari, maka reserve-to-production ratio (R/P ratio) tinggal 10,8 tahun. Apabila cadangan potensial yang diperhitungkan, yaitu sebesar 8,22 miliar barel, maka R/P ratio mencapai 23,6 tahun.

Cadangan Gas Bumi

Cadangan terbukti gas bumi per Januari 2008 sebesar 112,48 TCF (triliun kaki kubik), sedangkan cadangan potensial sebesar 170,08 TCF. Apabila produksi gas rata-rata saat ini sebesar 7,34 miliar kaki kubik per hari, maka R/P ratio cadangan terbukti mencapai 42 tahun.

Pemanfaatan Barang dan Jasa Dalam Negeri

Sesuai dengan amanat UU Migas, kompetensi dan produksi dalam negeri pendukung sektor hulu migas harus dimanfaatkan semaksimum mungkin. Ini adalah salah satu bentuk “proteksi” terhadap industri pendukung migas dalam negeri. Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) pada kontrak-kontrak pengadaan barang dan jasa untuk mendukung kegiatan hulu migas selama tahun 2008 mencapai US$ 2,3 miliar, setara dengan 58% dari total komitmen kontrak barang dan jasa.

Pertanyaannya adalah, apakah pencapaian TKDN sebesar 58% ini sudah menunjukkan ketahanan (sustainability) dari industri pendukung migas kita, mengingat sampai saat ini industri pendukung migas − terutama industri barang − masih bergantung juga pada sumber daya impor, karena fasilitas produksi mereka hanya bergerak di proses produksi hilir saja. Inilah yang dulu disindir oleh Baihaki Hakim dengan kata-kata “mensubsidi bayi berjanggut”, sebuah pengungkapan yang sampai saat ini masih sering diperbincangkan oleh masyarakat industri migas.

Pendapatan Negara dari Sektor Hulu Migas

Penerimaan bagian negara dari kegiatan usaha hulu migas pada tahun 2008 mencapai US$ 35,302 miliar, dari minyak dan kondensat sebesar US$ 23,01 miliar serta dari gas sebesar US$ 12,292 miliar. Peningkatan yang cukup tajam dibandingkan tahun 2007 karena harga minyak di tahun 2008 cukup lama bertengger di atas level US$ 100 per barel. Jika total anggaran pendapatan negara dalam APBN-P 2008 sebesar Rp 895 triliun, berarti sektor hulu migas menyumbang lebih dari 30% porsi anggaran. Sebuah angka yang sangat signifikan. Akan tetapi, di sisi lain, karena Indonesia sudah menjadi importir netto minyak bumi, beban anggaran belanja negara akan tertekan karena meningkatnya subsidi BBM.

Sekian saja dulu artikel ini. Bagi rekan-rekan yang berminat dengan Laporan Tahunan 2008 yang dirilis BP Migas, silakan langsung menghubungi BP Migas dan memintanya. Saya cuman punya satu eksemplar soalnya :-). Read more (Baca selengkapnya)...

Wednesday, May 6, 2009

State Crime - Kejahatan Oleh Negara


Menurut wikipedia, state crime (kejahatan oleh negara) adalah tindakan kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh negara sendiri. Yang dimaksud dengan “negara” disini adalah para pejabat yang dipilih atau diangkat, birokrasi, insitusi-institusi, badan-badan, dan organisasi-organisasi yang membentuk sistem pemerintahan sekaligus menjalankan fungsi pemerintahan. State crime bisa terjadi manakala ada pejabat atau lembaga negara yang merasa bahwa kepentingan dirinya atau lembaganya berada dalam posisi ‘terancam’, sehingga diperlukan tindakan untuk ‘menghabisi’ sumber ancaman itu; menghabisi lawan politik misalnya. Perlu dicatat, yang namanya state crime tidak hanya terjadi di negara-negara penganut sistem pemerintahan otoriter, tetapi juga di negara-negara demokratis, bahkan di negara-negara yang sudah sangat maju sekalipun.

Salah satu ciri media massa di Indonesia dalam menyuguhkan berita adalah, bila suatu topik sedang menghangat maka hampir 100% media massa mem-blow up beritanya. Biasanya selama satu sampai dua pekan. Begitu tergantikan lagi oleh topik/temuan lain yang bisa dijadikan headline, maka segera saja berita baru itu mendominasi media massa, sementara topik sebelumnya yang juga sempat jadi headline sudah tidak disinggung lagi. Jadi disadari atau tidak, media massa kita juga ikut berperan dalam membentuk “budaya lupa” di negeri ini.

Simak saja peristiwa-peristiwa yang di-blow up media massa dalam satu setengah bulan terakhir. Ketika waduk Siti Gintung bobol pada 27 April 2009 dini hari, dengan serta merta media massa mengekspos beritanya secara terus menerus sampai menjelang Pemilu Legislatif pada tanggal 9 April 2009. Belum kering air mata duka keluarga dan simpatisan korban tragedi Situ Gintung, berita di media massa digantikan oleh liputan seputar Pemilu. Mulai dari banyaknya warga negara yang “dipaksa” golput, hitungan suara yang berjalan sangat lamban, dan akrobat politik yang ditampilkan para elit parpol. Seminggu terakhir, lambannya proses finalisasi penghitungan suara oleh KPU segera tertutupi oleh berita kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain – Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (sebuah BUMN), orang yang menurut saya cukup cepat (fast track) dalam menapak karirnya karena baru berusia 41 tahun sudah menduduki posisi Direktur – sebuah posisi yang sudah sangat mapan.

Berita kasus penembakan Nasrudin ini tidak hanya berita yang sekedar the most striking news for the week, tetapi juga berita yang membuat saya untuk yang kesekian kalinya merasa malu sebagai orang Indonesia. “Malu” disini bukan dalam pengertian merasa gengsi menjadi orang Indonesia, tetapi malu dengan dunia internasional. Dimana muka ini akan ditaruh dalam kancah pergaulan internasional jika seorang Antasari Azhar – ketua KPK– pimpinan lembaga yang selama ini dianggap “superman” dalam memberantas korupsi menjadi tersangka sebagai dalang atau aktor intelektual di balik pembunuhan Nasrudin Zulkarnain. Jika tuduhan ini kelak benar (terbukti), maka ini bisa dikategorikan sebagai state crime karena Antasari adalah seorang pejabat tinggi negara. Apalagi melibatkan anggota kepolisian segala.

Ada dua focal point yang mesti dibuktikan: (1) apakah betul Antasari sebagai aktor intelektualnya, dan (2) apa motif Antasari dalam melakukan pembunuhan. Ada tiga spekulasi atau dugaan yang berkembang terhadap motif pembunuhan ini. Ketiganya cukup menarik untuk ditelaah satu persatu. Sekali lagi, ini hanya spekulasi, sebab sampai hari ini (6 Mei 2009) Antasari belum berstatus sebagai terdakwa, masih sebagai tersangka.

Pertama, Antasari membunuh Nasrudin karena cinta segi tiga antara Nasrudin, Rani Juliani (wanita berusia 22 tahun yang berprofesi sebagai caddy di lapangan golf Modern Land sekaligus istri nikah sirinya Nasrudin), dan Antasari sendiri. Akibat perseteruan yang dibakar api cemburu, Antasari menghabisi nyawa Nasrudin.

Kedua, ini versi diskusi dalam forum.detik.com. Nasrudin dan Antasari sudah cukup lama menjalin pertemanan akrab. Kedua orang ini saling take and give, begitu kira-kira. Lalu dikatakan disitu bahwa Antasari bukanlah orang “bersih”, dan Nasrudin merupakan informan (pelapor) terjadinya kasus korupsi sekaligus bertindak sebagai fasilitator penyelesaian perkara di KPK. Maksudnya jika orang yang terlibat bersedia menyetorkan sejumlah uang maka perkaranya akan “dibekukan” KPK. Uang yang diterima melalui Nasrudin tersebut selanjutnya disetor ke Antasari. Terakhir-terakhir Nasrudin tidak menyampaikan setorannya sehingga banyak yang komplain karena perkara mereka terus diusut oleh KPK. Khawatir permasalahan uang yang terkait dengan perkara KPK di-blow up di media, maka dengan mantap perintah KPK kepada beberapa orang untuk menghabisi Nasrudin oleh karena Nasrudin terlalu banyak tahu kelemahan KPK. Selengkapnya tentang spekulasi ini bisa dibaca di http://forum.detik.com/showthread.php?t=100000.

Ketiga, ini makin membuat penasaran, adanya konspirasi tingkat tinggi untuk menamatkan riwayat karir Antasari. Sebagaimana yang kita lihat, begitu Antasari menakhodai KPK dia langsung menabuh genderang perang terhadap korupsi. Satu persatu kasus korupsi di lembaga pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif) berhasil dikuaknya. Sebut saja skandal BLBI, skandal alih fungsi lahan hutan menjadi pelabuhan atau ibukota, skandal pengadaan kapal di Dirjen Perhubungan Laut. Tentunya kelompok yang pro dengan korupsi merasa gerah dan sangat terganggu dengan sepak terjang Antasari. Akhirnya kelompok ini merancang skenario ‘sekali tepuk dua lalat’. Nasrudin dan Antasari harus dihabisi sekaligus karena sama-sama berbahaya (Nasrudin sebagai informan juga dianggap berbahaya). Maka skenarionya dibuat seperti yang terjadi sekarang: Nasrudin dihabisi oleh Antasari gara-gara rebutan seorang wanita yang bernama Rani. Hasil akhirnya memang sekali tepuk dua lalat: Nasrudin tewas ditembak, Antasari masuk penjara. Dan kelompok pro-korupsi melenggang lega.

Menurut logika saya (jika sedikit bermatematika) sepertinya skenario pertama sangat kecil kemungkinan. Masakan hanya gara-gara seorang wanita Antasari rela menghabisi nyawa karibnya. Lagipula, tidak kalah dengan Nasrudin, Antasari pun sudah memiliki segalanya – baik materi maupun jabatan. Ditambah dengan raut wajah yang masih terlihat tampan (meski sudah berumur) seorang Antasari bisa memperoleh puluhan wanita yang lebih dari Rani – jika memang dia mau.

Spekulasi kedua dan ketiga lebih mungkin. Jika spekulasi kedua yang terbukti, berarti memang super sulit mencari pejabat yang bersih di negeri ini. Ibarat mau membersihkan lantai tetapi sapunya juga kotor. Jika spekulasi ketiga yang terjadi, maka Antasari adalah korban konspirasi kelompok yang merasa terganggu dengan kevokalannya dalam memberantas korupsi selama menjabat sebagai Ketua KPK. Memang agak terasa aneh, begitu cepatnya proses Antasari menjadi tertuduh. Andai spekulasi ketiga yang terjadi, maka kasusnya akan berlarut-larut seperti kasus pembunuhan Munir. Hingga saat ini aktor intelektual sebenarnya yang membunuh Munir belum terungkap. Padahal sudah berapa tahun Pollycarpus ditahan dan sudah berapa pejabat dan mantan pejabat yang sempat diadili dan ditahan. Dunia memang penuh konspirasi!

Bagaimanapun saya pribadi berharap agar spekulasi ketiga yang benar; bahwa Antasari sengaja diskenariokan seakan melakukan pembunuhan oleh kelompok tertentu yang sangat merasa terganggu oleh sepak terjangnya. Ini tentunya perlu dibuktikan oleh Antasari sendiri beserta tim pembelanya yang terdiri dari puluhan pengacara kondang itu. Bukan apa-apa, jika ternyata Antasari memang terbukti sengaja melakukan pembunuhan terencana, maka – lagi-lagi – track record (rekam jejak) bangsa Indonesia di mata dunia internasional akan mendapatkan cibiran. Masak banyak orang cacat hukum di negeri ini bisa diangkat menjadi pejabat tinggi negara.

Kita tunggu saja, semoga kejadian sebenarnya di balik kasus ini segera terungkap. Kalau dalam sebuah negara para pejabatnya terbiasa melakukan state crime, akan kemana lagi kita mesti mencari perlindungan? Rupanya betul apa yang diajarkan agama: hanya kepada Tuhan saja kita berlindung (Iyya kana' budu wa iyya kanas ta'in).

Untuk para ibu-ibu yang suaminya hobi main golf. Mulai sekarang mesti ‘mengawasi’ suaminya. Sebab jangan-jangan suaminya juga termasuk yang kepincut dengan caddy girl yang rata-rata berpenampilan aduhai itu, he-he-he....

Saya sudahi dulu artikel mini ini. Sebab kalau saya bahas terlalu panjang-lebar, lama-lama blog ini jadi blog riset investigasi. Saya tetap mendukung KPK selama lembaga ini menjalankan tugasnya sesuai dengan yang diamanatkan konstitusi. Teruslah memberantas korupsi. Kehilangan seorang jenderal tidak mesti kalah dalam peperangan.
Read more (Baca selengkapnya)...