Wednesday, November 25, 2009

Klasifikasi Sumber Energi



Ketika mendengar kata “energi”, apa yang terpikir oleh kita? Barangkali yang terbayangkan adalah sesuatu yang bergerak, sesuatu yang menggerakkan, atau sesuatu yang memiliki kemampuan untuk melakukan usaha. Secara harfiah “energi” artinya adalah “tenaga”. Kalau menurut definisi dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2007, energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika.

Energi panas (kalori) hasil pembakaran bahan bakar minyak (BBM) mampu menggerakkan poros mesin kendaraan. Selanjutnya lewat mekanisme tertentu energi putaran mesin ditransfer ke roda-roda kendaraan. Akhirnya kendaraan tersebut melaju di jalan-jalan. Contoh lain adalah energi yang terkandung pada air terjun. Karena menyimpan energi mekanik (potensial dan kinetik), air terjun mampu menggerakkan turbin. Selanjutnya energi mekanik hasil putaran pada turbin dikonversikan menjadi energi listrik. Tiba di rumah-rumah pemukiman atau perkantoran listrik tersebut bisa menyalakan lampu, menyalakan pendingin ruangan, memanaskan alat-alat listrik, dan mendinginkan lemari es.

Bicara tentang energi, mungkin di antara kita ada yang pernah mendengar istilah energi primer, energi sekunder, sumber daya energi, dan sumber energi. Lalu ada lagi istilah energi fosil, energi non fosil, energi terbarukan, dan energi tak terbarukan. Kita coba bahas secara singkat pengertian istilah-istilah tersebut.

Klasifikasi Sumber Energi

Di dunia ini tersedia berbagai sumber daya alam; antara lain angin, air, batu bara, minyak bumi, hutan, panas matahari, dan lain-lain. Di antara sumber daya alam tersebut ada yang bisa menjadi sumber energi, sehingga disebut sumber daya energi. Berdasarkan definisi dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2007 Bab I Pasal 1, sumber energi adalah sesuatu yang dapat menghasilkan energi – baik secara langsung maupun melalui proses konversi. Sedangkan sumber daya energi adalah sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan baik sebagai sumber energi maupun sebagai energi.

Berdasarkan ketersediaannya sumber daya alam ada yang sifatnya terbarukan (renewable resource) dan ada yang tidak terbarukan (non renewable resource). Demikian pula hanya dengan sumber energi, ada energi terbarukan (renewable energy) dan energi tak terbarukan (non renewable energy). Pengklasifikasian seperti ini sangat dipengaruhi oleh peran variabel waktu. Sumber daya alam yang dapat diperbarui merupakan sumber daya yang terus-menerus tersedia sebagai input produksi dengan batas waktu tak terhingga. Termasuk sumber daya alam yang dapat diperbarui adalah panas matahari, angin, panas bumi, dan air laut (ombak). Sedangkan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui adalah sumber daya yang yang persediannya sebagai input produksi terbatas dalam jangka waktu tertentu. Termasuk disini adalah minyak bumi, gas bumi, dan batubara.

Bicara mengenai rentang waktu, laju pemakaian (produksi), serta pembentukan kembali (generation), pada akhirnya sumber daya yang terbarukan bisa berubah menjadi sumber daya tak terbarukan. Air sungai, misalnya, jika laju pemakaiannya jauh lebih besar dari debit dan kualitas air dari arah hulu atau dari sumber mata airnya, maka lama-kelamaan sungai tersebut akan mengalami kekeringan sampai airnya habis. Begitu juga dengan hutan. Dibutuhkan waktu paling tidak 10-20 tahun untuk membesarkan pepohonan yang memiliki nilai ekonomi. Jika laju produksi hutan (penebangan kayu) lebih besar dari laju pertumbuhan kembali pepohonan, maka sumber daya hutan tersebut akan habis.

Sumber daya alam seperti minyak bumi, gas bumi, dan batubara membtuhkan waktu jutaan tahun untuk proses pembentukannya. Dengan jumlah ketersediaan yang terbatas di alam – artinya bisa dikuantifisir – dan dengan laju produksi yang besar serta skala waktu produksinya harian (jauh lebih kecil dari skala waktu jutaan tahun), maka tentu saja sumber daya alam ini makin lama makin tipis persediaannya hingga akhirnya habis.

Pada akhirnya klasifikasi sumber daya alam terbarukan dan tak terbarukan akan sangat tergantung juga pada manajemen pemanfaatannya, yaitu sejauh mana besarnya laju produksi dibandingkan dengan laju pembentukan kembali. Sumber daya akan menjadi tak bebarukan apabila laju produksi (production rate) lebih besar dari laju pembentukan kembali (generation rate) di alam.

Berdasarkan asal-muasalnya sumber daya energi bisa diklasifikasikan sebagai fosil dan non fosil. Minyak bumi, gas bumi, dan batubara disebut sebagai sumber energi fosil karena, menurut teori yang berlaku hingga saat ini, berasal dari jasad-jasad organik (makhluk hidup) yang mengalami proses sedimentasi selama jutaan tahun. Sedangkan energi non fosil adalah sumber energi yang pembentukannya bukan berasal dari jasad organik. Termasuk sumber energi non fosil adalah sinar matahari, air, angin, dan panas bumi.

Dari segi pemakaian sumber energi terdiri atas energi primer dan energi sekunder. Energi yang langsung diberikan oleh alam dalam wujud aslinya dan belum mengalami perubahan (konversi) disebut sebagai energi primer. Sementara energi sekunder adalah energi primer yang telah mengalami proses lebih lanjut.

Minyak bumi jika baru digali (baru diproduksikan ke permukaan), gas bumi, batu bara, uranium (nuklir), tenaga air, biomassa, panas bumi, radiasi panas matahari (solar), tenaga angin, dan tenaga air laut dalam wujud aslinya disebut sebagai energi primer. Hasil olahan minyak bumi seperti bahan bakar minyak dan LPG disebut sebagai energi sekunder. Air terjun apabila belum diolah masuk klasifikasi energi primer. Apabila sudah dipasang pembangkit tenaga listrik maka hasil olahannya, yaitu energi listrik, disebut sebagai energi sekunder. Pada dasarnya energi sekunder berasal dari olahan energi primer.

Bila dilihat dari nilai komersial, sumber energi bisa diklasifikasikan sebagai komersial, non komersial, dan energi baru. Energi komersial adalah energi yang sudah dapat dipakai dan diperdagangkan dalam skala ekonomis. Energi non komersial adalah energi yang sudah dapat dipakai dan dapat diperdagangkan tetapi belum mencapai skala eknomis. Sedangkan energi baru adalah energi yang pemanfaatannya masih sangat terbatas dan sedang dalam tahap pengembangan (pilot project). Energi ini belum dapat diperdagangkan karena belum mencapai skala ekonomis. Klasifikasi berdasarkan nilai ekonomi ini bisa berbeda-beda berdasarkan waktu dan tempat. Energi non komersial atau energi baru bisa saja suatu saat menjadi energi komersial. Atau energi non komersial di suatu tempat bisa saja menjadi energi komersial di tempat lain. Secara ringkas klasifikasi sumber energi ditunjukkan pada Tabel di atas.
Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, November 19, 2009

Perilaku Para Pelaku Industri Terhadap Naik-Turunnya Nilai Mata Uang


Sejenak melarikan diri dari berita carut-marutnya tatanan hukum di Indonesia yang diekspos secara ekstensif di berbagai media massa; dan juga sejenak melarikan diri dari berita krisis listrik yang kini tengah melanda wilayah Jakarta akibat mismanagement yang akut di sektor energi. Lalu saya juga ikut bersimpati dengan Prita Mulyasari yang dikenakan dakwaan pasal “pencemaran nama baik” kasusnya masih terus berlanjut dan bahkan sekarang terancam hukuman penjara. Life is not fair. Untungnya kita masih punya Jakarta Fair.

Kita ingat ketika dunia mulai dilanda krisis finansial global di paruh kedua tahun lalu, nilai IHSG di Bursa Efek Indonesia terjun bebas bertengger sedikit di atas 1000 (saya tidak ingat persis angkanya). Sementara nilai mata uang dollar AS nyaris menyentuh level Rp 13.000, walau hanya beberapa hari, kemudian cukup lama berada di kisaran Rp 11.000-12.000. Sebelum mengalami kenaikan, nilai mata uang dollar AS stabil di kisaran Rp 9.000. Apa konsekuensi pelemahan nilai Rupiah tersebut terhadap industri manufaktur?

Industri manufaktur di Indonesia pada umumnya masih sangat tergantung pada sumber daya impor; baik teknologi, finansial, maupun SDM-nya. Sebagian besar industri manufaktur kita hanya bergerak atau memiliki fasilitas proses produksi hilir. Hanya dengan fasilitas proses produksi hilir ini saja produknya sudah layak disebut sebagai produk “made in Indonesia” dengan perolehan local content (tingkat komponen dalam negeri) tertentu. Contoh yang gamblang adalah industri otomotif yang sudah berusia 40 tahun sampai sekarang hanya berpuas diri dengan kemampuan merakit (assembly).

Dengan adanya komponen-komponen impor yang dibayar dengan valuta asing, otomatis biaya produksinya dalam nilai mata uang Rupiah akan meningkat. Peningkatan biaya produksi secara otomatis pula akan mengakibatkan naiknya harga jual per unit produk.

Saya ambil contoh salah satu produk mobil tipe tertentu. Mobil tersebut diklaim memiliki local content sebesar 74%. Artinya 74% dari biaya produksi merupakan komponen-komponen buatan dalam negeri. Di tahun 2008 harganya Rp 220 juta per unit. Setelah kurs mata uang dollar AS mengalamai kenaikan ke level Rp 11.000-12.000, harga mobil tersebut melambung menjadi Rp 270 juta per unit.

Katakanlah nilai dollar AS, walau berfluktuasi, mengalami kenaikan rata-rata 25% dari nilai semula. Nilai komponen impor dari mobil tersebut adalah 26%, yaitu 100%-74%. Semestinya yang terpengaruh dengan kenaikan nilai mata uang dollar AS hanya 26% saja. Jadi tambahan kenaikan harga yang wajar sebesar 26% X 220 juta X 125% = Rp 71.500.000. Harusnya harganya – dengan adanya kenaikan rata-rata kurs dollas AS sebesar 25% – adalah Rp 234.300.000, bukan menjadi Rp 270 juta.

Sekarang kurs mata uang dollar AS berada di kisaran Rp 9.200 – 9.500. Artinya sudah kembali berada di level awal sebelum nilai dollar AS naik tajam. Tapi apa kenyataannya? Harga mobil tersebut tidak turun. Tetap bertengger di level Rp 270 juta per unit.

Ada dua hal yang menarik perhatian saya disini. Pertama, menyangkut local content (tingkat komponen dalam negeri). Saya meragukan apakah angka local content yang diklaim pihak pabrikan selama ini valid. Atau, katakanlah jika memang benar komponen-komponen tersebut buatan dalam negeri, berarti kita bisa berhipotesis bahwa yang diklaim komponen dalam negeri tersebut hanya berdasarkan pasokan lapis pertama saja (first tier supplier). Sementara kalau dilacak ke second tier supplier-nya komponen tersebut mungkin saja asli impor.

Kedua, jangan-jangan para pelaku industri manufaktur yang berkolaborasi dengan prinsipalnya di luar negeri memanfaatkan keuntungan berlipat dari adanya kenaikan kurs tersebut. Sebab, logikanya, kalau kurs mata uang asing nilainya sudah turun, semestinya harga produknya juga ikut turun. Kalu tidak turun berarti pelaku industrinya mengeruk keuntungan lebih.

Mobil dalam ilustrasi di atas hanya merupakan salah satu contoh kasus saja. Masih banyak jenis-jenis produk industri lain berbasis impor menerapkan hal serupa. Ambil contoh lain adalah produk ban kendaraan. Tahun lalu harganya naik bukan alang-kepalang dengan alasan harga minyak naik, karena ada komponen pembuatan ban yang menggunakan minyak bumi. Sekarang harga minyak di kisaran 70-80 dollar AS per barel dan nilai mata uang dollar AS sudah turun tetapi harga ban tetap saja segitu-segitunya.

Siapa yang mesti menanggung beban? Konsumen. Apa untungnya bagi bangsa Indonesia? Tidak ada nilai tambah. Fenomena ini menunjukkan ketidakberdaulatan kita dalam berindustri dan betapa Indonesia hanya dijadikan basis bagi para kapitalis global untuk mengeruk keuntungan semaksimum mungkin. Ya begitulah nasib sebuah bangsa yang basis iptek-nya lemah dan industrinya masih sangat bergantung pada sumber daya impor.
Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, November 9, 2009

Pengaruh Uang dalam Penegakan Hukum


{Menyikapi kasus “cicak-buaya” yang akhirnya melibatkan “pertarungan segi empat” antara KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan publik, maka di bawah ini saya sarikan bahan kuliah dari Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar UI yang juga salah seorang anggota Tim 8 kasus Bibit-Chandra. Bahan kuliah saya peroleh ketika berkesempatan mengikuti mata kuliah “Hukum dan Pembangunan” di Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB pada tahun 2003. Saya pikir topiknya masih sangat relevan dengan kondisi hukum di Indonesia sekarang ini}.

Salah satu faktor tidak berjalannya penegakan hukum di Indonesia adalah karena penegakan hukum terlalu didominasi oleh uang. Penegakan hukum sangat diwarnai dengan pejabat yang rentan untuk disuap. Di setiap lini aparat penegak hukum, termasuk para pendukung penegak hukum, sangat rentan terhadap praktrek korupsi dan suap.

Mereka yang tidak mempunyai uang bisa-bisa tidak mendapat keadilan. “Adil” dalam perspektif hukum bisa tidak berarti apa-apa apabila tidak didukung dengan uang. Dalam konteks demikian keberadaan keadilan secara hakiki tidak pernah ditentukan oleh hukum itu sendiri.

Di dalam masyarakat dan negara manapun fenomena yang menunjukkan uang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan proses hukum bukanlah hal yang baru. Perbedaannya terletak pada gradasi dari penyelewengan jabatan penegakan hukumnya. Di negara berkembang umumnya gradasi penyelewengan di masyarakat sangat meluas dan melebar. Hampir setiap sendi kehidupan uang berpengaruh terhadap wewenang yang dipegang oleh pejabat publik. Sementara di negara maju gradasinya tidak terlalu meluas.

Di bidang penegakan hukum, uang sangat berpengaruh terhadap wewenang yang dimiliki oleh aparat hukum. Di Indonesia kita bisa melihat betapa uang mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap penegakan hukum. Penegakan hukum akan berpihak pada mereka yang mempunyai uang, seolah sang “Dewi Keadilan” bisa mengintip dari penutup matanya terhadap siapa yang memiliki uang.

Uang dapat berpengaruh pada saat polisi melakukan pemberkasan perkara. Dengan uang pasal yang digunakan oleh polisi dapat diubah-ubah sesuai jumlah uang yang ditawarkan. Seorang yang melakukan pembunuhan, dengan catatan ada bukti-bukti, dapat dikenakan pasal yang sangat berat hingga yang paling ringan. Bisa saja pelaku pembunuhan disangka dengan pasal pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP), pembunuhan yang disengaja tetapi tidak direncanakan (pasal 338 KUHP), pembunuhan yang tidak dilakukan dengan sengaja (pasal 351 KUHP), bahkan matinya orang yang disebabkan karena penganiayaan (pasal 359 KUHP). Di tingkat ini pasal mana yang akan dikenakan seolah tergantung pada uang yang disediakan kepada polisi yang mempunyai wewenang menyidik. Disini penggunaan pasal seolah menjadi bahan negosiasi antara polisi dengan tersangka. Bahkan di tingkat ini uang dapat berpengaruh pada perlu tidaknya pelaku ditahan selama penyidikan dilakukan.

Pada tingkat penuntutan oleh jaksa uang bisa berpengaruh terhadap diteruskan tidaknya penuntutan. Dengan uang bisa digunakan alasan sakit, tidak cukup bukti, tidak dianggap sebagai tindakan kejahatan, bahkan dideponir kasusnya. Apabila penuntutan diteruskan, uang dapat berpengaruh pada sanksi yang akan dikenakan. Apakah sanksi-sanksi berupa hukuman denda atau hukuman badan. Apabila hukuman badan yang hendak dijatuhkan, uang akan berpengaruh pada berapa lama hukuman penjara akan dikenakan.

Selanjutnya pada tingkat pengadilan dari yang terendah dingga tertinggi, uang berpengaruh pada putusan yang akan dikeluarkan oleh hakim. Uang dapat melepaskan atau membebaskan seorang terdakwa. Kalau terdakwa dinyatakan bersalah, dengan uang hukuman bisa diatur serendah dan seringan mungkin.

Bahkan di tingkat eksekusi putusan, uang juga berpengaruh di lembaga pemasyarakatan. Bagi mereka yang mempunyai uang, maka akan mendapat perlakuan lebih baik dan manusiawi daripada mereka yang tidak mempunyai uang. Perlakuan istimewa ini dapat berupa ruang tahanan yang lebih baik, perlakukan sopan dari petugas, hingga masalah kebebasan mendapatkan berita dan berkomunikasi dengan pihak luar.

Pengacara yang membela pun tidak luput dari uang. Uang sangat berpengaruh pada pengacara yang melakukan pembelaan di siding pengadilan. Uang sangat menentukan kualitas pengacara yang dapat disewa. Semakin besar uang yang disediakan semakin handal pengacara yang diperoleh. Terdakwa yang tidak memiliki uang, apalagi kasusnya tidak menyedot perhatian masyarakat dan media massa, harus puas dengan pengacara kacangan. Belum lagi dengan uang seorang terdakwa dapat menyewa pengacara yang mempunyai lobi bagus dengan para aparat penegak hukum. Disini tidak dipentingkan otak pengacara tetapi lebih dipentingkan koneksi si pengcara dengan polisi, jaksa, dan hakim.

Gambaran di atas menunjukan sudut-sudut dimana uang bisa berpengaruh pada proses penegakan hukum. Bahkan penegakan hukum disini tidak terbatas pada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim, melainkan juga pada aparat penegak hukum lainnya. Aparat imigrasi, bea cukai, pajak dan lain sebagainya bisa masuk dalam kategori ini.

Tidak heran bila Indonesia sedang mengalami akibat yang luar biasa dari pengaruh uang. Keadilan, berita, undang-undang dan banyak lagi lainnya hanya berpihak pada mereka yang memiliki uang. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa pengaruh uang terhadap wewenang telah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Berbagai upaya dilakukan untuk memberantas penyalahgunaan ini. Upaya hukum dilakukan dengan cara membentuk aturan seperti UU Tindak Pidana Korupsi dan mendirikan lembaga yang khusus menangani masalah korupsi dan kekayaan pejabat. Namun semua itu seolah tidak mempunyai makna.
Read more (Baca selengkapnya)...

Wednesday, November 4, 2009

Tantangan dan Harapan Bagi Menteri Baru ESDM


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Kamis 22 Oktober 2009, di Istana Negara Jakarta melantik 34 menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dan tiga pejabat setingkat menteri. Dengan demikian resmilah para menteri yang dilantik untuk mulai menjalankan tugasnya.

Darwin Zahedy Saleh dilantik sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang baru. Ada beberapa catatan kecil yang akan saya sampaikan sehubungan dengan adanya nakhoda baru di Kementerian ESDM ini – sebuah departemen yang dianggap sangat vital dan strategis dalam mewujudkan ketahanan nasional.

Pertama-tama saya tidak begitu mempersoalkan latar belakang Darwin Saleh sebagai ekonom dan politisi. Menurut saya, apapun latar belakang orang sepanjang dia mampu mengemban amanah dengan baik dan benar, berarti dia mampu. Bukankah sejarah membuktikan sudah beberapa kali Kementerian ESDM, yang dulu namanya Kementerian Pertambangan dan Energi, dipimpin oleh orang-orang yang berlatar belakang non teknis. Salah satunya adalah Subroto. Beliau adalah ekonom yang pernah menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi di era Orde Baru. Pak Broto, demikian beliau biasa dipanggil, ketika itu populer tidak hanya di kalangan negara-negara OPEC tetapi juga di seluruh dunia. Maka waktulah nantinya yang akan menunjukkan apakah seseorang mampu menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya.

Beberapa kondisi saat ini di sektor energi yang bisa menjadi highlights bagi Menteri ESDM baru dalam memulai tugasnya adalah:
  • Ketergantungan yang masih sangat tinggi terhadap energi primer berbasiskan fosil, terutama minyak bumi. Dari salah satu bahan presentasi yang bersumberkan dari Kementerian ESDM beberapa bulan lalu saya peroleh informasi bahwa bauran energi (energy mix) dari konsumsi energi primer Indonesia secara nasional di tahun 2008 terdiri dari 48.4% minyak bumi, 28.6% gas alam, 18.8% batubara, dan sisanya – hanya 4.2% – adalah energi terbarukan (panas bumi, hidro, energi surya, energi bayu, dan biomassa). Saat ini yang cukup berhasil melepaskan diri dari ketergantungan terhadap minyak bumi adalah sektor listrik. Sedangkan sektor transportasi dan rumah tangga boleh dikatakan nyaris seratus persen masih tergantung pada energi berbasis minyak bumi. Bahkan LPG yang sehari-hari dipakai memasak di dapur-dapur rumah tangga merupakan produk sekunder dari proes pengilangan minyak bumi, bukan dari pemipaan gas alam.


  • Sejak tahun 2004 Indonesia sudah menjadi negara net importer minyak bumi sebagai akibat dari konsumsi minyak bumi yang naik terus sementara produksinya terus menunjukkan penurunan dari level 1.52 juta bpd pada tahun 1998 menjadi 970 ribu bpd pada tahun 2008. Sementara konsumsi minyak pada tahun 2008, meskipun saya tidak memperoleh angka pasti, diperkirakan berada di level 1.25 juta bpd (atau 1.22 juta bpd jika menurut data dari BP Statistical Review of World Energy 2009).



  • Program diversifikasi energi dengan cara mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi dan beralih ke pemanfaatan energi baru dan terbarukan (new and renewable energy) menurut banyak kalangan, baik praktisi bisnis maupun pengamat, masih jalan di tempat. Padahal Indonesia dianugerahi berbagai potensi sumber energi terbarukan. Makanya di beberapa media massa, baik cetak maupun elektronik, karena ‘greget,’ ada pihak yang mengatakan bahwa kita perlu mempunyai “Menteri Energi Terbarukan”. Selama ini mayoritas sumber daya manajemen energi hanya tercurah untuk mengurusi energi fosil (migas dan batubara) saja.


  • Sampai Semester II tahun 2009 pasokan listrik belum normal. Artinya tenaga listrik yang dihasilkan dari kapasitas pembangkit listrik (power plant) yang sudah terpasang sekarang belum mampu memenuhi kebutuhan listrik secara nasional. Proyek 10 ribu MW Tahap I banyak yang terlambat penyelesaiannya. Di beberapa daerah, seperti di Sumatera Bagian Selatan misalnya, masih sering terjadi pemadaman bergilir. Sebetulnya pemadaman tidak hanya terjadi di daerah-daerah, tetapi juga di kota-kota besar termasuk Jakarta. Tahun lalu Rasio Elektrifikasi Nasional baru mencapai sekitar 65%. Artinya rata-rata di seluruh Indonesia baru 65 dari 100 rumah yang dialiri listrik.


  • Program hemat energi melalui konservasi sumber energi dan efisiensi pemakaian energi juga baru hanya sebatas jargon-jargon. Pola hidup inefisien selama ini ikut memicu terjadinya pemborosan energi. Para pimpunan justru tidak memberikan contoh nyata tentang penghematan energi. Kita lihat di jalan-jalan raya para pejabat tinggi, baik pusat maupun daerah, banyak yang menggunakan kendaraan dinas ber-cc besar yang boros BBM.


  • Hingga saat ini Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya asing dalam membangun sektor energinya; baik sumber daya finansial, teknologi, maupun SDM. Meskipun industrialisasi energi seperti migas dan batubara sudah lama dimulai sejak jaman kolonial Belanda, tetapi Indonesia belum juga mampu mandiri dalam mengelola sumber-sumber energinya. Di sektor migas, hanya sekitar 30% dari produksi migas Indonesia yang diproduksi langsung oleh perusahaan-perusahaan migas nasional, sisanya diproduksi oleh perusahaan-perusahaan migas asing yang beroperasi di Indonesia dalam bentuk kontrak kerjasama.
Kondisi-kondisi di atas ditambah dengan fakta bahwa (1) cadangan minyak bumi yang semakin menipis karena rendahnya reserve replacement ratio, (2) dari sisi pendapatan per kapita Indonesia bukan termasuk negara kaya, (3) daya beli masyarakat masih rendah – sekitar 76 juta jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan, dan (4) energi yang dijual ke masyarakat (misalnya BBM, LPG, dan listrik) masih dijual dengan harga subsidi, maka sudah cukup menunjukkan bahwa model supply-demand energi di Indonesia sangat unsustainable – sangat rentan gejolak baik dari segi sosial, politik, ekonomi, maupun lingkungan. Ketika pasokan energi tidak mencukupi, atau ketika harga energi dinaikkan sampai melebihi kemampuan daya beli masyarakat, maka akan timbul fenomena krisis energi.

Tantangan jangka pendek dan menengah bagi Menteri ESDM yang baru menurut saya adalah:
  • Menjamin ketercukupan pasokan energi setiap saat sesuai dengan pertumbuhan kebutuhan energi. Peluang terbuka lebar karena Indonesia dianugerahi beragam sumber energi. Khusus untuk sektor listrik, dalam jangka pendek bisa dilakukan dengan mempercepat penyelesaian menyeluruh terhadap Proyek 10 ribu MW Tahap I dan mempercepat pemulaian Proyek 10 ribu MW Tahap II. Visi PLN yang disebut dengan “75/100”, yaitu mewujudkan Rasio Elektrifikasi Nasional mencapai 100% ketika Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-75, patut didukung.


  • Mengurangi ketergantungan terhadap energi berbasis minyak bumi dengan cara diversifikasi energi, yaitu memanfaatkan sumber-sumber energi lain, baik energi baru maupun terbarukan. Jika ada alternatif energi lain yang lebih murah dari BBM, maka masyarakat bisa beralih ke energi alternatif tersebut dengan membayar harga yang tetap terjangkau tanpa perlu subsidi. Karena separuh dari produk BBM di Indonesia dipakai oleh sektor transportasi, maka peluang terbuka dengan cara menjalin kordinasi intensif dengan instansi lain yang berwenang menangani industri otomotif dan manajemen transportasi agar mesin kendaraan dapat menggunakan bahan bakar selain BBM (BBG, biofuel, listrik, dll); sekaligus mencari upaya agar orang-orang yang semula menggunakan kendaraan pribadi dapat beralih ke sarana transportasi umum massal yang cepat, aman, sehat, dan murah. Saat ini kendaraan berbahan bakar non-BBM (seperti mesin hybrid dan mesin listrik) harganya jauh lebih mahal dari kendaraan bermesin konvensional yang menggunakan BBM. Kebijakan seperti ini justru tidak memacu sektor transportasi untuk segera beralih ke bahan bakar non-BBM. Semestinya kendaraan bermesin non-konvensional yang mendapatkan insentif dari Pemerintah agar harganya lebih terjangkau.



  • Penghematan energi (energy saving); baik konservasi sumber energi maupun efisiensi pemakaian energi. Sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), eksplorasi dan eksploitasi energi harus dijalankan secara arif agar tidak merusak lingkungan dan masih tersisa untuk generasi-generasi mendatang.


  • Karena Indonesia masih sangat tergantung pada sumber daya asing dalam mengelola energinya, maka iklim investasi harus dibuat kondusif, adil bagi seluruh stakeholders, dan berazaskan prinsip kesetaraan (kemitraan). Ini adalah isu non teknis yang juga harus jadi salah satu fokus perhatian Menteri baru. Mengapa demikian? Karena banyak peraturan saling tumpang-tindih (over lap) sehingga membingungkan investor. Selain itu, masih banyak para rent seekers yang bergentayangan yang mampu memaksakan kehendak dan kepentingan ekonominya sehingga memicu praktek-praktek KKN. KKN sangat merongrong kedaulatan negara karena menyebabkan Indonesia diombang-ambingkan kepentingan asing.


  • Peningkatan penguasaaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) agar kelak Indonesia memiliki kemampuan dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber-sumber energinya. Pemanfaatan energi terbarukan, meskipun bukan merupakan hal baru bagi negara-negara maju, namun merupakan hal yang cukup baru dalam skala global. Oleh karena itu terbuka peluang lebar bagi Bangsa Indonesia untuk bisa menguasai seluk-beluk teknologi eksplorasi dan eksploitasi energi terbarukan dengan cara ikut belajar dari awal.
Tentunya tantangan strategis jangka panjang sekaligus harapan bagi Menteri ESDM yang baru adalah bagaimana caranya mewujudkan kemandirian dan ketahanan nasional di sektor energi. Kemandirian disini artinya Indonesia memiliki kemampuan dan kedaulatan penuh untuk mengelola supply-demand energinya – meskipun dalam beberapa hal tetap memerlukan kemitraan dengan pihak asing. Ketahanan (sustainability) di sektor energi melalui pendekatan “4A”:
  • Availability: kemampuan untuk memberikan jaminan pasokan energi setiap saat (security of energy supply).


  • Accessibillity: kemampuan untuk mendapatkan akses terhadap energi; baik akses terhadap sumber daya energi maupun akses terhadap energi final yang siap pakai.


  • Affordability: kemampuan untuk mendapatkan akses yang adil terhadap energi, termasuk harga energi yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.


  • Acceptability: energi yang dapat diterima dan dapat digunakan sesuai dengan kondisi dan peruntukannya – fit for purpose and condition.
Saya ucapkan selamat bekerja untuk Pak Darwin Saleh. Semoga dapat menjalankan tugas dengan baik, cepat, dan benar. Banyak pengamat mengatakan kondisi supply-demand energi kita sudah berada di level siaga (stage alert). Harus bergerak cepat untuk melakukan remedial action. Bila perlu melakukan apa yang disebut Green Peace dengan energy revolution.
Read more (Baca selengkapnya)...