Monday, June 30, 2008

Catatan kecil dari Tangkuban Perahu


Sudah seminggu lebih saya tidak meng-update blog ini. Ceritanya, setelah anak-anak bagi rapor kenaikan kelas dan memasuki masa liburan, saya membawa rombongan (semuanya ada empat keluarga) menghabiskan waktu empat hari (23-27 Juni 2008) jalan-jalan di seputar Ciateur, Lembang, dan Bandung. Kami memilih rute ini sebagai tujuan semata-mata karena pertimbangan ekonomi: tidak jauh dari Jakarta, biaya terjangkau, tidak terlalu melelahkan, pemandangan alam mempesona, dan cuaca sejuk. Jadi kalau menurut hitung-hitungan Benefit to Cost Ratio, hasil kepuasan yang diperoleh sepadan dengan biaya yang dikeluarkan, begitu kira-kira analisa ekonomi sederhananya.

Rute perjalanan yang kami tempuh berada di jalur pegunungan wilayah selatan Jawa Barat. Cuaca sejuk cukup membantu dalam melakukan upaya hemat energi. AC kendaraan tidak mesti menyala terus, dan tempat menginap pun tidak memerlukan pendingin ruangan. Di Ciateur kami menginap di Sari Alam yang ada kolam renang air hangatnya. Tentunya kami menyempatkan diri untuk berendam. Anak-anak bermain air dengan riang. Mereka juga sempat mencicipi bagaimana rasanya menunggang kuda. Penyediaan air hangat alami di tempat-tempat wisata dan pemukiman adalah contoh pemanfaatan energi panas bumi secara langsung. Pemanfataan lain energi panas bumi banyak, mulai dari skala industri –untuk pembangkit tenaga listrik misalnya – sampai perikanan dan pertanian. Asalkan manusianya kreatif, akan banyak sekali keuntungan yang diperoleh dari berbagai macam pemanfaatan energi panas bumi ini.

Agenda tanggal 24 Juni 2008 adalah tamasya ke kawah Gunung Tangkuban Perahu. Lihat foto tiga orang turis lokal (baca: anak-anak saya) di atas. Walaupun sudah pernah meletus dan terbentuk kawah di puncaknya, namun Tangkuban Perahu merupakan salah satu gunung berapi di Indonesia yang masih ‘energik’ karena masih sering menyemburkan gas belerang berkadar tinggi dan masih sering menggelegakkan air panas pada kawahnya. Saya lalu teringat tanda-tanda peningkatan aktivitas vulkanik: peningkatan suhu dan kadar gas belerang di sekitar kawah. Memang pernah beberapa kali otoritas setempat menutup sementara kawasan wisata ini agar tidak menimbulkan korban manusia. Rupanya kantor kecil perwakilan Direktorat Vulkanologi yang berada di lereng gunung cukup rajin melakukan pemantauan dan mengumumkan peringatan dini jika terdeteksi tanda-tanda peningkatan aktivitas vulkanik.

Apakah Tangkuban Perahu ini hanya menarik karena dia merupakan objek wisata geologis saja? Bukan hanya itu, dia merupakan objek wisata geologis sekaligus wisata alam. Seingat saya, sejak tahun 1981 saya sudah sembilan kali mengunjungi tempat ini, dan tidak pernah merasa bosan dengan pemandangan alamnya. Saat berada di puncaknya lalu memandang ke arah Subang, maka akan terlihat topografi yang menurutku sangat memukau. Lukisan bentang alam yang membuat hati ini tidak hentinya memuji kebesaran Allah Sang Pencipta, glory be to You my God! Tidak heran seorang Bung Karno – sang pemuja keindahan – pernah mengatakan, “Tuhan menciptakan bumi Parahiyangan pada saat Dia sedang tersenyum.” Bagiku menikmati pemandangan alam yang indah juga merupakan wisata rohani.

Mengapa gunung ini dinamakan Tangkuban Perahu? Sebagaimana kita ketahui, Indonesia kaya akan cerita-cerita legenda. Rekan-rekan tentunya sudah banyak yang pernah membaca atau mendengar legenda Tangkuban Perahu ini. Singkat cerita, pada jaman dahulu kala seorang pemuda sakti bernama Sangkuriang jatuh cinta dengan seorang wanita cantik awet muda bernama Dayang Sumbi, ibu kandungnya sendiri yang tidak dikenalinya lagi karena mereka sempat terpisah belasan tahun sejak Sangkuriang masih kanak-kanak. Sementara Dayang Sumbi masih bisa mengenali anak kandungnya. Sangkuriang harus membuat sebuah perahu yang selesai dalam waktu satu malam sebagai syarat yang diajukan Dayang Sumbi agar Sangkuriang bisa mengawininya. Sangkuriang yang sakti mandraguna itu sebetulnya mampu mengerjakan persyaratan itu, namun akhirnya ’dicurangi’ oleh Dayang Sumbi. Dayang Sumbi berusaha dengan segala daya upaya agar ayam berkokok walaupun waktu belum menyingsing fajar. Alhasil, ayam-ayam berkokok, berarti Sangkuriang gagal. Sangkuriang frustrasi dan menendang kuat-kuat perahu yang belum selesai itu. Perahu tersebut melayang jauh dan jatuh dengan posisi tertelungkup (tangkuban). Maka jadilah dia Gunung Tangkuban Perahu. Memang jika dilihat dari kejauhan bentuknya seperti perahu besar yang tertelungkup.

Hal lain yang juga menarik di puncak Tangkuban Perahu adalah oleh-oleh dan makanan. Harganya tidaklah terlalu mahal jika dibandingkan dengan di Lembang, masih cukup reasonable asalkan pandai menawar. Oleh-oleh berupa pakaian (baju kaos dan sweater) serta kerajinan tangan menurutku cukup unik, baik bahan maupun desainnya khas Tangkuban Perahu. Cuaca yang dingin di puncaknya – ada sebuah patok yang menunjukkan ketinggian 1850 m di atas permukaan laut – membuatku mencari minuman dan makanan yang dapat menghangatkan badan. Aku memesan dua potong ketan bakar dan menyeruput segelas bandrek. Ketan bakar banyak dijajakan di Bandung dan Lembang, namun entah mengapa makan ketan bakar di puncak Tangkuban Perahu rasanya lebih sensasional. Barangkali karena cuacanya yang lebih dingin dan kabut yang senantiasa menyelimuti.

Nikmatnya perjalanan sempat ternodai oleh perilaku tidak jujur penjaga pintu masuk. Akses masuk menuju puncak Tangkuban Perahu ada dua: satu dari arah Lembang, satu lagi dari arah Ciateur. Karena kami dari makan siang di Lembang maka saya putuskan ambil jalan masuk yang dari arah Lembang, dengan pertimbangan semestinya kualitas dua jalan masuk tersebut sama saja. Penjaga pintu mengatakan cukup membayar Rp 150 ribu saja untuk 12 orang dan dua mobil. Karena agak terburu-buru, saya langsung bayar dan karcis saya ambil saja. Setelah beberapa ratus meter melewati pintu barulah saya hitung, ternyata yang diberikan penjaga hanya 8 karcis untuk orang dan 1 karcis untuk mobil. Wah, penjaga pintu memperoleh untung pribadi sebesar Rp 33 ribu jika dibandingkan Rp 150 ribu yang telah saya bayar. Saya tidak terlalu mempersoalkan itu. Yang membuat kami sangat sebal dan merasa tertipu adalah ternyata kualitas jalan masuk yang dari arah Lembang sangat tidak layak dilalui oleh kendaraan bermotor, baik roda empat maupun roda dua – apalagi kendaraan jenis sedan. Kendaraan kami terseok-seok menempuh perjalanan 5 km sebelum menemukan jalan yang layak.

Mengapa pihak pengelola tidak menutup saja jalan akses yang dari arah Lembang ini, cukup yang dari arah Ciateur saja yang dibuka, sehingga para pengunjung tidak merasa tertipu. Apakah ini disengaja oleh oknum setempat agar tetap dapat memperoleh seseran dengan memanfaatkan ketidaktahuan pengunjung? Kelihatannya ketidakjujuran sudah menjalar sampai ke tingkat pelaksana paling bawah, sampai ke tingkat akar rumput. Padahal yang namanya bisnis pariwisata itu adalah kemasan satu paket objek wisata plus kejujuran. Pemandangan alam indah tetapi jika dipenuhi dengan oknum yang tidak jujur, maka akan membuat orang kapok untuk datang, apalagi bagi turis mancanegara yang terkenal sangat sensitif dan selektif itu. Bagaimana Visit Indonesia Year 2008 akan sukses kalau begini. Tidak heran jika rapor pariwisata kita tertinggal jauh dengan negara tetangga, sebut saja Singapura dan Malaysia, yang keindahan alamnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan Indonesia tercinta ini.

Bagaimanapun kekecewaan kami cukup terobati setelah menikmati pesona bentang alam dari puncak Tangkuban Perahu. Ketika turun kami mengambil jalan keluar yang ke arah Ciateur, jauh lebih layak dibandingkan dengan jalan keluar yang ke arah Lembang. Sambil menikmati sejuknya desiran angin, saya menyiulkan lagu ’menanti kejujuran’, lagu yang pernah dipopulerkan oleh Achmad Albar dengan Gong 2000-nya di pertengahan tahun 90-an. Ya, menanti kejujuran, sebuah penantian yang entah kapan berakhir jika tidak ada transformasi dan penataan ulang nilai-nilai moral budaya bangsa. Praktek ketidakjujuranlah yang membuat bangsa ini carut marut.
Read more (Baca selengkapnya)...

Sunday, June 22, 2008

Tentang pembalakan liar, praktek kekerasan, dan pabrik ekstasi terbesar di dunia

Saat sedang dalam perjalanan pada hari Sabtu, 21 Juni 2008, seperti biasa saya menyetel radio. Dalam acara diskusi interaktifnya, salah satu radio swasta membahas pembalakan liar pada 600 hektar (mudah-mudahan saya tidak salah mengingat angka ini) lahan hutan jati di daerah Ciamis, Jawa Barat. Saya hitung dengan kalkulator, area 600 hektar ini luasnya 6 juta meter persegi atau 6 km persegi, atau kalau area itu berbentuk persegi panjang berarti sama dengan 2 km dikalikan 3 km. Sebuah area yang menurut ukuran saya sangat luas dan - semestinya - dapat dilihat dengan terang benderang oleh mata manusia tanpa perlu menggunakan teropong. Untuk merambah area hutan seluas 6 km persegi tersebut mestilah memerlukan waktu yang lama - mungkin tahunan. Tentunya dalam proses pembalakan itu ada alat-alat berat, polusi suara, polusi udara, dan orang-orang anggota gerombolan pembalak. Alat-alat berat bisa berupa bulldozer, loader, dump truck, dan trailer pengangkut. Jenis kendaraan berat ini sangat lambat jalannya, kecepatan bergeraknya tidak lebih cepat dari sepeda yang biasa saya kayuh. Mestinya sangat gampang sekali terlihat oleh mata, kecuali 'mata buta'. Polusi suara tentunya akibat suara yang ditimbulkan oleh alat berat, alat pemotong, dan mesin gergaji yang giat bekerja. Frekuensi suara yang ditimbulkan sangat jauh di bawah ultra sonic. Gampang sekali didengar oleh telinga, kecuali 'telinga tuli'. Polusi udara tentunya akibat emisi gas buang yang dihembuskan oleh knalpot alat-alat berat dan penggergajian. Kalau urusan bau knalpot dari mesin yang belum standar euro, hidung saya yang sinusitis inipun masih tajam penciumannya. Setelah terekspos ke media masa, seperi biasa para 'jubir' (jubir = juru bibir, sebab kalau bicara pakai bibir) dalam diskusi interaktif tersebut mengaku merasa kaget dan betul-betul baru saja mengetahui jika selama ini ada pembalakan liar.

Hari sebelumnya, di radio dengan gelombang yang sama, saya mendengar diskusi interaktif tentang praktikum kekerasan di kampus STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran) ala STPDN yang memakan korban seorang taruna tingkat pertama bernama Agung Bastian Gultom meninggal dunia (saya sebut 'praktikum' karena mungkin memang ada laboratoriumnya). Setelah terekspos ke media masa, seperti kasus-kasus kekerasan sebelumnya, pejabat berwenang merasa kaget dan terkesan seakan-akan praktek kekerasan tersebut baru terjadi kemarin sorenya. Pejabat yang bersangkutan langsung membeberkan action plan secara rinci tentang langkah-langkah yang akan diambilnya untuk menghilangkan praktek kekerasan itu. Saya turut berduka cita atas meninggalnya Agung. Semoga saja ini adalah korban terakhir di institusi pendidikan pelayaran itu. Sebetulnya kalau mau menegakkan disiplin, ya jangan main pukul begitulah. Banyak cara-cara lain yang lebih elegan dan manusiawi. Jika tujuannya untuk membentuk postur badan supaya berotot, ya ikuti saja latihan bina raga ala Ade Rai.

Dua tahun lalu media masa mengekspos adanya pabrik pil ekstasi di Tangerang. Konon pabrik ekstasi tersebut terbesar di dunia. Sebelum terekspos tentunya pabrik tersebut telah beroperasi sekian lama, sebut saja sudah tahunan. Pabrik adalah bentuk aset tetap (fix asset) yang sangat gampang dilihat mata karena tidak bisa lari kemana-mana. Para jubir juga ketika itu menyatakan kekagetannya, mengaku betul-betul baru mengetahui keberadaan pabrik ekstasi tersebut.

Tiga kasus di atas hanya sekedar contoh bahwa orang-orang yang diberi amanah hanya mengatakan terkaget-kaget setelah terekspos ke media masa. Kasus-kasus lain yang menyangkut rendahnya kualitas pelayanan publik masih banyak. Celakanya lagi bangsa ini begitu pelupa dan bahkan permisif dalam banyak hal. Media masa pun hanya mengeksposnya saat sedang menjadi pembicaraan hangat. Setelah tidak lagi menjadi perbincangan atau berganti dengan isu lain, maka isu lama langsung dicampakkan dari berita. Padahal media masa, dengan kondisi bangsa yang pelupa ini, mempunyai peran yang sangat strategis sebagai pengingat jika ada permasalahan kotor yang belum selesai. Namun yang saya rasakan justru media masa malah berperan dalam membentuk budaya 'pelupa' itu. Saya mendambakan ada media masa yang isinya khusus memberitakan perkembangan kasus-kasus yang terungkap sampai betul-betul tuntas, sampai ada penyelesaian hukum bagi orang-orang yang tidak becus memegang amanah itu, sehingga publik mengetahui dan dapat memberikan penilaian sejauh mana tanggung jawab moral para pejabatnya. Dulu jaman tahun 90-an ada tabloid Detik yang cukup telaten memberikan semacam progress report ke pembacanya tentang kasus-kasus yang terungkap, tetapi tabloid ini dibredel oleh pemerintah jaman itu.

Kelihatannya perlu dibuat peraturan yang mewajibkan orang-orang yang diberi amanah di negeri ini agar menjalani pemeriksaan kesehatan secara detail ke dokter spesialis mata, THT, dan syaraf untuk mengetahui apakah mata, telinga, dan hidung mereka betul-betul normal, dan apakah syaraf penghubung ketiga indera tersebut ke hati nurani mereka berfungsi dengan baik. Kalau saya memang kebetulan bulan depan memperoleh giliran pemeriksaan kesehatan berkala.
Read more (Baca selengkapnya)...

Tuesday, June 17, 2008

Agama dan tingkat kemajuan sebuah bangsa


Suatu ketika, saat sedang tea break (karena saya tidak minum kopi) dengan beberapa teman sekantor, seperti biasa waktu singkat tersebut kami isi dengan perbincangan ringan. Akhirnya perbincangan kami jatuh pada bahasan yang kira-kira bunyinya apakah agama itu menstimulasi suatu bangsa untuk maju atau sebaliknya. Sebuah topik yang menurut saya cukup berat karena paling tidak diperlukan ahli agama dan budayawan untuk membahasnya. Maka opini saya dalam artikel mini ini menggunakan sudut pandang dengan latar belakang engineer, bukan ahli agama atau budayawan.

Salah seorang teman mengatakan bahwa Jepang, Taiwan, dan Korea tidak mengenal apa itu agama – dalam konteks agama samawi (agama yang bersumberkan wahyu ilahi), tetapi kok mereka bisa maju pesat meninggalkan Indonesia yang nota bene tempat hidup agama-agama besar. Lalu saya mengatakan bahwa pada intinya agama itu berisikan tuntunan agar manusia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Jadi agama merupakan tuntunan, bukan jaminan suatu bangsa pasti akan maju jika beragama, seperti yang sering dikatakakan oleh Dr. Zakir Naik, “Al-Quran is the book of signs, not the book of science.”

Dalam tradisi Islam dikenal ada 99 nama Allah yang mencirikan sifat universal-Nya yang disebut dengan asma’ul husna. Mulai dari sifat Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Adil, Maha Lembut, Maha Bijaksana, Maha Suci, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Pengampun, Maha Menghakimi, dst. Menurut yang pernah saya pelajari, pada saat manusia berada di alam ruh (sebelum terlahir ke dunia), Tuhan sudah meniupkan ‘tetesan’ sifat-sifatnya itu ke dalam ruh manusia, sehingga diharapkan setelah terlahir ke dunia manusia tersebut dapat menjalankan tugasnya dengan baik sebagai wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi. Karena Tuhan meniupkan ‘tetesan’ sifat-sifatnya itu kepada semua ruh manusia, maka semua orang semestinya memiliki tetesan sifat-sifat tersebut dalam bentuk ‘suara hati’. Namun mengapa kesadaran munculnya suara hati itu tingkatannya berbeda-beda pada setiap orang? Hal ini tentunya tergantung pada persepsi dan pola pikir pada diri seseorang yang selanjutnya sangat dipengaruhi pula oleh lingkungannya. Jika pola pikir tersebut dianut oleh sekelompok orang maka jadilah dia sebuah nilai moral dalam tatanan budaya – budaya kelompok, budaya suku, atau budaya bangsa.

Jepang, Korea, dan Taiwan dikenal sebagai bangsa-bangsa yang cerdas, bersih, disiplin, dan bersih dari KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme). Apa sesungguhnya esensi yang mereka laksanakan dalam kehidupan sehari-hari? Ketika mereka berusaha untuk menjadi bangsa yang cerdas, maka sesungguhnya mereka sedang menjalankan bisikan suara hati hasil tiupan Yang Maha Mengetahui. Ketika mereka hidup bersih dan sehat, maka sesungguhnya mereka sedang menjalankan bisikan suara hati hasil tiupan Yang Maha Suci. Ketika mereka disipin, maka sesungguhnya mereka sedang menjalankan bisikan suara hati hasil tiupan Yang Maha Memelihara alam semesta ini dengan segala keteraturannya. Ketika mereka tidak KKN, maka sesungguhnya mereka sedang menjalankan bisikan suara hati hasil tiupan Yang Maha Adil dan Yang Maha Menghakimi. Ketika mereka kerja keras tak kenal waktu, maka sesungguhnya mereka sedang menjalankan bisikan suara hati hasil tiupan Yang Tidak Pernah Lelah Dan Tidak Pernah Tidur.

Bagi rekan-rekan yang sempat nonton film ‘The Last Samurai’ (pemeran utamanya Tom Cruise, tahun 2004 kalau tidak salah), coba lihat kehidupan para samurai Jepang dalam film itu yang selama 24 jam taat dengan kedisiplinan, keteraturan, dan kesempurnaan. Cara mereka membuat teh, menghidangkan, meminum, dan meletakkan cangkir serta teko terlihat sempurna sekali – zero error (nol kesalahan). Disiplin dan nol kesalahan adalah tetesan sifat Yang Maha Sempurna. Bangsa Jepang memang tidak memiliki tradisi agama samawi, tetapi tetesan sifat-sifat universal Tuhan yang diajarkan dalam agama samawi itu telah tertanam dalam tatanan budaya mereka selama ratusan tahun sehingga memacu mereka menjadi bangsa yang maju dan sejajar dengan – bahkan dalam beberapa hal mengungguli – bangsa-bangsa Barat yang telah lebih dahulu mengalami revolusi industri.

Kemudian apa kira-kira bedanya antara orang beragama samawi yang melaksananakan tetesan sifat-sifat universal Tuhan tersebut dengan orang yang tidak beragama tetapi menjalankannya? Kalau menurut saya, orang yang beragama akan lebih sustainable dalam menjalankan bisikan suara hatinya tenimbang orang yang tidak beragama, karena dalam agama diajarkan bahwa apapun yang dikerjakan, walaupun tidak terlihat oleh orang lain, senantiasa tetap ada yang melihat dan mencatat amal perbuatannya. Sedangkan pada orang yang tak beragama hanya didorong oleh nilai moral budaya atau peraturan hukum yang berlaku; mereka tidak mengenal konsep surga-neraka. Oleh karenanya orang yang tidak beragama tetap rentan menyimpang dari bisikan suara hatinya manakala dia memasuki lingkungan lain yang tidak kondusif. Misalnya saja orang Jepang, Korea, atau Singapura yang dikenal dengan negara-negara bersih KKN, bisa saja ikut-ikutan KKN di negara yang berbudaya KKN. Di tempat-tempat pelabuhan masuk barang impor di Indonesia mereka justru memanfaatkan budaya suap-menyuap setempat agar barang mereka dapat masuk ke Indonesia dengan ongkos bea masuk yang murah.

Dalam Alquran, ayat pertama yang diwahyukan dimulai dengan kata ‘bacalah’. Ini adalah perintah universal bagi manusia agar belajar dan belajar supaya menjadi orang yang cerdas. Ayat pertama dalam Surat 103 berbunyi ‘demi waktu’. Ini adalah perintah universal agar manusia memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien mungkin, jangan mengisi waktu dengan hal-hal yang membuat kerugian. Sudahkah bangsa ini menjalankan perintah universal tersebut? Sudahkah bangsa ini membuka penutup suara hatinya yang ketika dulu di alam ruh Sang Khalik telah meniupkan tetesan sifat-sifat-Nya?

Saya berkesimpulan bahwa bangsa-bangsa yang tidak memiliki tradisi agama samawi bisa lebih maju karena tetesan sifat-sifat universal Tuhan telah tertanam dalam tatanan nilai budaya mereka. Tetesan sifat-sifat universal yang mereka praktekkan itulah yang membuat mereka memiliki keunggulan kompetitif. Agama memang tidak dapat menjamin sebuah bangsa untuk maju, tetapi paling tidak agama merupakan katalisator pembuka jalan bagi kemajuan itu sendiri. Kemajuan sebuah bangsa beragama seperti Indonesia akan sangat tergantung pada kecerdasan spiritual pengikutnya untuk dapat secara konsisten mentransformasikan tetesan sifat-sifat universal keilahian ke dalam kehidupan sehari-hari. Kalau tetesan sifat-sifat tersebut dijalankan dengan sungguh-sungguh, tentunya orang Indonesia akan lebih hebat dari Jepang; sebab selain makmur di dunia, insya Allah di akhirat akan masuk surga (betul tidak?). Sayangnya suara hati bangsa ini masih tertutupi oleh perilaku duniawi manusianya sendiri, sehingga tetesan sifat-sifat universal Tuhan itu tidak mengejawantah dalam tatanan budaya bangsa. Berbagai kerusuhan dan krisis sudah menjadi santapan kita sehari-hari. Mulai dari rusuh Pilkada (sering diplesetkan menjadi 'Pilkadal', pemilihan kadal-kadal), krisis energi, krisis pangan, krisis moral, krisis harga diri, sampai krisis rasa malu.

Di akhir tea break, saya nyeletuk ke teman saya, “Indonesia yang masyarakatnya beragama saja carut marut seperti ini. Apalagi kalau tidak beragama.” Only God knows everything.
Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, June 16, 2008

Logistik: business process yang sering dianaktirikan


Sebagian besar orang masih menganggap bahwa logistik itu pekerjaan yang sederhana karena yang terbayangkan adalah hanya merupakan kegiatan memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain dan bersifat administratif semata, tidak perlu melibatkan profesional ataupun pengetahuan yang canggih-canggih. Akibatnya secara umum di Indonesia SDM yang ditugaskan menangani logistik adalah orang-orang yang berkompetensi rendah. Padahal ada beberapa negara yang pendapatannya tinggi karena kepiawaian mereka mengelola industri jasa logistik ini, sebut saja Singapura misalnya.

Sejalan dengan kemajuan jaman, peranan logistik semakin dominan dalam memfasilitasi terjadinya transaksi ekonomi. Mata rantai aktivitas logistikpun melibatkan beberapa teknologi dan pengetahuan terapan lainnya. Maka dalam artikel mini ini saya akan memberikan sedikit paparan untuk menjawab pertanyaan:
1. Bagaimana logistik memegang peranan penting terhadap pertumbuhan sektor ekonomi.
2. Mengapa logistik di jaman modern sekarang memerlukan SDM yang berkompetensi tinggi.

Pengertian logistik

Logistik pada dasarnya merupakan jasa pelayanan (services). Dapat dikatakan sebagai industri karena walaupun produk akhirnya bukan berupa barang namun memiliki perangkat-perangkat dan fasilitas serupa dengan yang dimiliki oleh industri berbasis produksi barang, yaitu:
· Berdiri sebagai suatu institusi (perusahaan).
· Mempunyai SDM yang mengelola pelayanan.
· Mempunyai fasilitas pendukung untuk menunjang kegiatannya; berupa perkantoran, pergudangan, alat transportasi, modal finansial, dan peralatan komunikasi (sistem informasi).

Dalam beberapa buku rujukan, logistik sering juga disebut dengan distibusi barang, penghantaran barang, manajemen material, dan manajemen mata rantai pasokan (supply chain management); namun semua istilah tersebut mengandung pengertian pengelolaan lalu lintas barang dari tempat asal (point of origin) ke tempat pemakaian (point of consumption) atau bahkan ke tempat pembuangan (disposal). Barulah kemudian sebuah organisasi yang bernama The Council of Logistics Management (CLM) yang merupakan wadah para profesional logistik pada tahun 1993 mendefinisikan manajemen logistik sebagai berikut:

Manajemen logistik merupakan proses perencanaan, pelaksanaan dan pengontrolan lalu lintas barang serta penyimpanan barang, jasa, serta informasi yang terkait dengannya secara efektif dan efisien mulai dari tempat asal penerimaan sampai dengan tempat pemakaian sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan yang diminta oleh pemakainya.

Dari definisi di atas, terlihat bahwa ada tiga unsur yang dikelola oleh logistik, yaitu barang, jasa, dan informasi. Lalu dikatakan bahwa pengelolaan haruslah bersifat efektif dan efisien karena kegiatan logistik berada dalam suatu domain jarak (ruang), waktu, dan komponen-komponen biaya yang menyertai mata rantai kegiatannya.

Peranan logistik dalam tatanan makro

Logistik memegang peranan strategik dalam ekonomi suatu negara karena dua hal. Pertama, kegiatan logistik merupakan salah satu aktivitas yang membutuhkan biaya besar (major expenditure) terhadap suatu kegiatan bisnis, dan karenanya dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kegiatan sektor ekonomi lainnya. Di Amerika Serikat, misalnya, pada tahun 1996 kontribusi logistik terhadap GDP mereka sekitar 10,5 persen. Industri di Amerika Serikat pada saat itu menghabiskan sekitar 451 milyar dollar untuk jasa transportasi dan pengiriman serta 311 milyar dollar untuk pergudangan, penyimpanan, dan inventori. Pada tahun 1980, pengeluaran biaya logistik di Amerika Serikat mencapai 17,2 persen dari GDP meraka. Pengeluaran biaya logistik yang besar akan mengakibatkan tingginya harga produk akhir yang dikonsumsi oleh konsumen dan/atau kecilnya keuntungan bersih yang diperoleh oleh sektor industri. Dengan demikian, jika dilakukan efisiensi biaya operasional, maka logistik dapat memberikan tambahan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Kedua, logistik merupakan soko guru terhadap kelancaran transaksi ekonomi karena berperan sebagai fasilitator terhadap jual-beli barang dan jasa. Jika barang tidak sampai di tempat tujuan dengan tepat waktu, konsumen tidak dapat membelinya. Jika barang tiba di tempat yang salah atau dalam kondisi yang sudah rusak, maka transaksi jual-beli juga tidak dapat terjadi. Dengan demikian, logistik memegang peranan penting terhadap terjadinya transaksi ekonomi agar seluruh mata rantai aktivitas ekonomi tidak terganggu.

Peranan logistik dalam tatanan mikro serta “trickle-down effect”-nya

Untuk melihat bagaimana logistik berpengaruh terhadap sektor industri/jasa lainnya, kita lihat tipikal mata rantai kegiatan logistik pada perusahaan minyak dan gas bumi (migas). Misalnya perusahaan migas tersebut membeli beberapa barang dari para pemasoknya. Maka si pemasok akan menggunakan jasa transportasi untuk menghantarkan barang tersebut ke tempat penyimpanan sementara. Lalu logistik perusahaan migas tersebut akan menditribusikan barang tersebut ke tempat penerimaan di lapangan. Selanjutnya logistik lapangan akan mendistribusikan barang tersebut lebih lanjut kepada pemakainya.

Dari mata rantai aktivitas logistik tersebut logistik memerlukan faktor-faktor pendukung berikut:
· Pemasok barang.
· Jasa dan teknologi transportasi (alat angkut dan pemindah barang).
· Jasa perbankan dan keuangan.
· Jasa asuransi.
· Jasa kesehatan.
· Jasa pelabuhan.
· Jasa pergudangan.
· Jasa dan teknologi IT, karena kegiatan logistik di jaman modern menuntut informasi yang akurat dan cepat.
· Tenaga kerja (SDM) yang terlibat dalam setiap lini mata rantai kegiatan logistik.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terjadi saling keterkaitan antara logistik dengan faktor-faktor pendukungnya. Logistik yang maju dapat mengangkat pertumbuhan ekonomi para stake holder-nya. Sebaliknya, bila industri pendukung dan SDM-nya lemah atau situasi ekonomi secara makro tidak kondusif, maka logistik akan termarjinalkan peranannya.

Keterkaitan logistik dengan politik

Seperti telah saya kemukakan di atas, logistik merupakan fasilitator terhadap transaksi ekonomi. Bila situasi politik tidak tidak stabil, maka transaksi ekonomi akan sedikit. Jika transaksi ekonomi sangat minimal atau tidak ada, maka kegiatan logistik pun tidak akan berkembang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa industri jasa logistik akan berkembang dan tumbuh dalam situasi politik yang kondusif. Sebaliknya, kelancaran komunikasi politik juga akan ditentukan oleh kualitas logistik yang handal.

Keterkaitan logistik dengan teknologi dan pengetahuan lainnya

Untuk menjalankan tugas-tugas pokok logistik, teknologi yang memegang peranan dan harus dikuasai oleh pelaku logistik ialah:
· Teknologi transportasi.
· Teknologi pengepakan barang.
· Teknologi alat berat.
· Teknologi IT.

Sedangkan pengetahuan lain yang diperlukan terhadap kelancaran aktivitas logistik ialah:
· Manajemen transportasi.
· Pengetahuan barang.
· Kemampuan berkomunikasi dengan orang lain secara efektif dan efisien.
· Manajemen biaya (cost control) terhadap mata rantai kegiatan logistik.
· Pengetahuan yang memadai terhadap penerapan suatu teknologi yang tepat guna.
· Manajemen mutu, misalnya standar ISO 9000.
· Pengelolaan lingkungan, misalnya standar ISO 14000.
· Pengetahuan tentang isu-isu logistik global, misalnya AFTA, NAFTA, dan WTO.
· Pemahaman terhadap peraturan-peraturan yang terkait dengan kegiatan logistik.

Tanpa penguasaan yang memadai terhadap teknologi dan beberapa pengetahuan terapan di atas, maka seorang pelaku logistik tidak akan dapat menjalankan fungsinya secara optimal.

Beberapa poin penting

1. Logistik sebagai industri jasa mempunyai keterkaitan dengan aspek ekonomi, politik, teknologi, SDM, dan lingkungan.
2. Logistik mempunyai peranan penting terhadap pertumbuhan ekonomi karena merupakan fasilitator terjadinya transaksi ekonomi.
3. Industri jasa logistik yang tumbuh dan berkembang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, situasi ekonomi yang kondusif juga dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan industri jasa logistik.
4. Karena kegiatan di bidang industri jasa logistik melibatkan beberapa teknologi dan pengetahuan terapan, maka logistik memerlukan SDM yang handal.

Referensi

1. Lambert, D.M. and Stock, J.R.: Strategic Logistics Management, 3rd ed., McGraw-Hill, Singapore, 1998.
2. Gamil Abdullah: “Year 2003 Material Logistics Focus”, Personal presentation, unpublished
.
Read more (Baca selengkapnya)...

Friday, June 13, 2008

Potensi energi primer di Indonesia


Kalau artikel bertajuk ‘Renewable energy’ yang saya posting pada tanggal 10 Juni 2008 memperkenalkan jenis-jenis renewable energy (energi terbarukan), maka pada artikel ini saya akan sharing dengan rekan-rekan, terutama yang sehari-harinya tidak bergerak di sektor energi, tentang seberapa besar potensi energi yang ada di Indonesia, baik energi fosil (minyak, gas, dan batubara) maupun non fosil. Energi non fosil ini adalah energi terbarukan karena baik sumber maupun materi pembawa energinya tidak akan habis atau paling tidak dapat dibuat kembali dengan proses daur ulang (recycling). Energi terbarukan inilah yang diharapkan nanti dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh bangsa ini agar dapat mengurangi ketergantungan dari energi primer berbasis minyak bumi. Tabel di atas menunjukkan potensi energi primer di Indonesia yang saya ambil dari berbagai sumber.

Yang dimaksud cadangan terbukti ialah kuantitas energi tersisa yang berdasarkan data geologis dan kemampuan teknologi yang ada saat ini dapat diambil (diproduksi) ke permukaan. Rasio cadangan terbukti terhadap produksi menunjukkan kapan kira-kira energi tersebut akan habis. Kita lihat pada tabel di atas bahwa minyak, gas, dan batubara masing-masing akan habis dalam waktu 12.3, 35.5, dan 26.5 tahun. Tentunya rasio ini dapat bertambah apabila ditemukan lagi cadangan-cadangan terbukti baru. Di samping cadangan terbukti, ada juga cadangan terkira dan cadangan terduga. Ketiga cadangan ini apabila dijumlahkan bersama disebut sumber daya (resources). Resources ini kuantitasnya bisa mencapai puluhan kali lipat cadangan terbukti. Namun demikian, sebagai ukuran keekonomian untuk memperkirakan usia energi adalah rasio cadangan terbukti terhadap produksi tahunan terakhir. Oleh karena itu, kuantitas resources tidak saya munculkan angkanya disini.

Pengertian energi primer ialah energi yang ‘disediakan’ langsung oleh alam (tentu saja Tuhan yang menciptakan); kemudian manusia memanfaatkannya secara langsung atau mengkonversikannya ke dalam bentuk energi lain untuk berbagai keperluan. Apa yang diambil manusia dari energi primer adalah kalori (entalpi) dan/atau energi mekanik (kinetik dan potensial) yang terkandung di dalamnya.

Untuk keperluan penjelasan, kita sebut saja yang dimaksud dengan energi alternatif adalah energi pengganti minyak bumi, yaitu gas, batubara, dan semua jenis energi non fosil. Jika menyangkut pemanfaatan langsung, misalnya saja untuk pembangkit tenaga listrik, semua jenis energi alternatif pengganti minyak bumi dapat dikatakan tidak ada kendala karena memang teknologi yang ada saat ini sudah mampu melakukannya. Paling-paling kendalanya terletak pada sisi keekonomiannya. Yang banyak kendalanya adalah jika energi alternatif tersebut akan digunakan untuk sarana transportasi. Padahal 50% produk BBM Indonesia untuk konsumsi transportasi. Hingga saat ini di Indonesia baru gas (dalam bentuk LPG) yang sejak awal tahun 1990-an sudah dimanfaatkan untuk bahan bakar kendaraan, walaupun masih dalam skala kecil (hanya di seputar Jakarta saja). Seingat saya pada pertengahan tahun 1990-an ada sekitar 8 pom bensin di Jakarta yang menjual BBG (Bahan Bakar Gas), namun sekarang yang masih aktif tinggal dua lagi. Sentra layanan yang menjual converter kit BBG pun sudah tidak terlihat lagi. Ini menunjukkan salah satu contoh ketidakseriusan selama ini dalam mengurangi ketergantungan terhadap BBM.

Selain BBG, energi alternatif lain yang dapat dipakai untuk kendaraan adalah biofuel (biodiesel dan biopremium) yang bersumber dari biomasa tanaman (minyak sawit dan getah jarak). Ini juga belum mencapai skala masal. Baru beberapa pom bensin saja yang menjual biofuel. Selain itu, kendala lainnya terletak pada spesifikasi mesin kendaraan bermotor. Mesin kendaraan yang dirakit di Indonesia pada umumnya tidak didesain untuk biofuel, sehingga mesin harus dimodifikasi dulu. Walaupun demikian, untuk kondisi Indonesia saat ini, yang paling mungkin dapat segera dimanfaatkan untuk mengganti BBM kendaraan dalam skala besar adalah BBG dan biofuel. Tinggal bagaimana pemerintah membuat tata aturan agar pelaku industri kendaraan bermotor membuat spesifikasi mesin yang dapat mengakomodir BBG dan biofuel tersebut.

Di luar negeri riset mobil ramah lingkungan dengan memakai bahan bakar hibrida (kombinasi BBG/BBM dengan listrik), energi surya, dan hidrogen sudah mulai diujicobakan. Karena teknologinya masih mahal serta kecepatan dan jarak jelajahnya belum memadai untuk memenuhi keperluan aktifitas manusia modern, mobil-mobil berteknologi canggih tersebut belum diproduksi secara massal. Semoga saja bangsa Indonesia dapat pula menekuni riset ini di tanah air.
Read more (Baca selengkapnya)...

Tuesday, June 10, 2008

Renewable energy


Setelah krisis energi kembali melanda Indonesia yang dipicu oleh (1) harga minyak mentah dunia yang melambung – light sweet crude di pasar NYMEX ditutup pada posisi USD 138.54 per barel pada tanggal 6 Juni 2008 , jauh di atas asumsi APBN 2008 revisi pertama yang hanya USD 95 per barel; (2) 50% porsi BBM yang diproduksi di Indonesia dikonsumsi oleh sektor transportasi dengan harga subsidi; (3) Indonesia sudah menjadi net-impoter minyak bumi sejak tahun 2004 karena konsumsi dalam negeri lebih banyak dari produksinya (lihat artikel yang saya posting pada tanggal 14 Mei 2008 dalam tajuk ‘Lagi-lagi krisis energi’); dan (4) diversifikasi energi yang selama ini jalan di tempat; maka barulah timbul niatan serius dari pemerintah, dalam hal ini Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk betul-betul menggarap energi alternatif guna mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi. Demikian menurut salah satu sesi diskusi di stasiun radio swasta yang saya dengar pada hari Sabtu pagi, tanggal 24 Mei 2008.

Energi primer menurut ketersediannya di alam dapat dikelompokkan dalam dua bagian: tak terbarukan (non renewable) dan terbarukan (renewable). Energi tak terbarukan ialah jenis energi yang bila dipakai terus menerus maka sumber atau materi pembawa energinya akan habis. Energi konvensional yang sudah lama kita kenal selama ini yaitu minyak, gas, dan batubara adalah jenis energi tak terbarukan. Ketiga macam energi konvensional ini disebut juga bahan bakar fosil (fossil fuel) karena pembentukannnya melalui sedimentasi dan metamorfosis zat organik masa lalu yang prosesnya memakan waktu jutaan tahun. Selain ketiga macam bahan bakar fosil tersebut, energi nuklir juga dimasukkan dalam kategori energi tak terbarukan karena bahan radioaktif uranium juga merupakan mineral galian tambang yang dapat habis.

Energi terbarukan (renewable energy) adalah energi yang baik sumber maupun materi pembawa energinya tidak akan habis atau senantiasa terisi kembali melalui proses daur ulang (recycling). Dari sisi emisi gas buang, energi terbarukan dikenal ramah lingkungan. Emisi gas buang, jika ada, kadarnya jauh lebih rendah daripada bahan bakar fosil. Namun untuk biomasa yang berbasiskan tanaman, kehati-hatian sangat diperlukan dalam pengembangannya karena membutuhkan lahan yang luas. Pembukaan lahan yang tidak dikelola dengan baik justru akan memperparah kerusakan lingkungan. Berikut adalah beberapa jenis energi terbarukan:

(1) Air (hydro). Energi potensial dan kinetik air dapat dimanfaatkan untuk memutar turbin pembangkit tenaga listrik.

(2) Panas bumi (geothermal). Energi ini sudah ada di dalam perut bumi, yaitu di dapur magma yang sedang mengalamai proses pendinginan yang sangat perlahan. Panas magma tersebut terserap oleh air yang terjebak pada lapisan batuan yang berada di atas dapur magma tersebut. Uap air panas dalam skala besar dimanfaatkan untuk memutar turbin pembangkit tenaga listrik. Selain itu, banyak pemanfaatan lainnya untuk keperluan industri dan pemukiman penduduk.

(3) Energi matahari (solar energy). Energi panas matahari ditangkap oleh sel-sel panel surya. Panas yang tersimpan dalam panel sel surya dapat langsung dimanfaatkan untuk pemanasan dan pencahayaan bangunan, pemanasan air, serta pembangkit tenaga listrik.

(4) Angin (wind energy). Energi kinetiknya biasanya dimanfaatkan untuk memutar kincir angin (windmill), lalu energi mekanik kincir angin ini dikonversikan ke bentuk energi lain untuk berbagai keperluan, misalnya saja untuk pembangkit tenaga listrik.

(5) Biomasa (biomass). Biomasa adalah zat organik yang dapat diolah menjadi bahan bakar (biofuel) ataupun jenis bioenergi lainnya; misalnya kotoran sapi dapat diolah menjadi biogas, singkong dan tebu dapat diolah menjadi bioetanol, getah jarak pagar dan minyak sawit dapat diolah menjadi biodiesel.

(6) Energi ombak (ocean energy). Energi mekanik yang terbawa oleh arus dan ombak dapat dikonversikan ke bentuk energi lain atau langsung dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.

(7) Hidrogen (hydrogen). Hidrogen terkandung dalam zat organik dan air. Secara alami hidrogen tidak didapatkan berdiri sendiri, tetapi bersenyawa dengan unsur lain – misalnya dengan oksigen membentuk air. Hidrogen yang bersenyawa dengan unsur lain ini harus dipisahkan terlebih dahulu agar dapat menjadi bahan bakar atau dikonversikan menjadi energi listrik.
Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, June 9, 2008

AFTA - ASEAN Free Trade Area


Sebagaimana telah saya kemukakan dalam artikel yang saya posting tanggal 4 Juni 2008, bahwa regionalisme merupakan salah satu respon terhadap globalisasi ekonomi; yaitu beberapa negara yang terletak pada kawasan tertentu bersekutu dan membentuk komunitas terpadu dalam bentuk blok-blok perdagangan secara bilateral, regional atau multilateral dengan menghapuskan hambatan bagi arus modal, barang, dan jasa. Beberapa di antaranya yang dikenal adalah Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN atau ASEAN Free Trade Area (AFTA), Uni Eropa atau European Union (EU), Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara atau North American Free Trade Agreement (NAFTA), Pasar Bersama Afrika Selatan dan Timur atau Common Market for Eastern and Southern Africa (COMESA), dan Kerja Sama Ekonomi Asia Pacific atau Asia Pacific Economic Cooperation (APEC).

Di lingkup Asia Tenggara, era pasar bebas regional memang sudah berjalan. Dengan derajat kesiapan masing-masing, Indonesia bersama lima negara anggota ASEAN lainnya: Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Thailand telah mengimplementasikan AFTA yang diberlakukan semenjak 1 Januari 2002. Empat negara anggota lainnya: Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam – dengan mengingat tingkat pertumbuhan ekonomi masing-masing dan keikutsertaan mereka sebagai anggota ASEAN yang diresmikan belakangan – akan menyusul kemudian (Bambang Sugeng, 2003; The IOG Chronicle, Maret 2003:22-24).

Dalam konteks liberalisasi dan integrasi ekonomi, AFTA merupakan salah satu kebijakan regionalisme paling populer di antara beberapa skema kerja sama ekonomi regional lainnya, mengingat kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan dengan aktivitas transaksi ekonomi yang cukup tinggi. Kata free (bebas) dalam AFTA berkonotasi pada sistem perdagangan yang “membebaskan” para eksportir dan importir dari hambatan tarif dan nontarif atas barang-barang yang diekspor ke atau diimpor dari sesama negara anggota ASEAN. Tujuannya untuk memperlancar aktivitas perdagangan, menarik minat investor dari dalam dan luar kawasan, dan menumbuhkan produk negara peserta demi kesiapan menghadapi pasar bebas dunia. Arus lalu-lintas perdagangan yang berasal dari negara peserta “bebas” keluar-masuk hanya dengan hambatan tarif bea masuk maksimal 5% dan “terbebas” pula dari hambatan non tarif jika produk yang diperdagangkan memenuhi syarat kandungan ASEAN (ASEAN content) minimal 40% atau kandungan impor non-ASEAN tidak melebihi 60%. Pada tahun 2010, tarif produk-produk itu bakal dihapus menjadi 0%.

Semoga industri nasional kita mampu berkompetisi di kancah ASEAN, dan semoga pula kondisi ekonomi dalam negeri cukup kondusif bagi masuknya arus modal, terutama dalam bentuk direct investment, tidak hanya investasi dalam bentuk portofolio. Direct investment inilah yang dapat menciptakan lapangan kerja baru melalui pembangunan pabrik-pabrik dan industri berbasiskan produksi barang lainnya.
Read more (Baca selengkapnya)...

Friday, June 6, 2008

Dampak globalisasi pada perekonomian nasional


Globalisasi ekonomi menimbulkan masalah-masalah yang bersifat global pula. Masalah globalisasi dalam tatanan ekonomi nasional Indonesia dapat dilihat dari dua sudut pandang: dampak globalisasi terhadap kondisi internal dan dampak globalisasi terhadap kondisi eksternal. Bentuk dampak pada kedua sisi ini pun dapat berupa dampak positif dan dampak negatif.

Dampak pada kondisi internal

Dalam hal dampaknya pada kondisi internal, globalisasi dapat mengubah pola perilaku pelaku ekonomi dalam proses produksi di satu pihak dan perubahan struktural ekonomi serta kebijakan ekonomi pemerintah di lain pihak. Perubahan dalam proses produksi antara lain dapat meliputi efisiensi dan intensifikasi penggunaan faktor produksi, bertambahnya frekuensi perdagangan dan investasi pada sektor-sektor yang dapat diperdagangkan (tradeable), serta berkembangnya industri nasional yang kompetitif. Sedangkan perubahan struktural yang mungkin terjadi dapat meliputi perubahan dalam sektor ekonomi dan orientasi sektor tradisional kepada sektor ekonomi modern. Perkembangan ini membawa implikasi pada perubahan kebijakan ekonomi mikro perusahaan, makro ekonomi, kebijakan pasar, dan lain-lain.

Keuntungan dari perubahan struktural dengan adanya globalisasi bagi perusahaan ialah dalam mendorong perusahaan (pelaku ekonomi) untuk melakukan kerjasama antar perusahaan. Dengan adanya kerjasama ini, maka akan diperoleh hal-hal sebagai berikut:

(a) turunnya biaya untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D),
(b) memperpendek daur hidup produk (product life cycle),
(c) terjadinya lompatan teknologi: kemudahan perolehan teknologi serta kerjasama dalam pembiayaan pengembangan teknologi,
(d) efisiensi biaya produk (cost of goods sold),
(e) perolehan sumber daya manusia yang berkualifikasi tinggi,
(f) kualitas produk berstandar internasional (standar ISO 9000 misalnya),
(g) kemudahan memperoleh sumber-sumber dana, dan
(h) masuknya teknologi informasi.

Dampak pada kondisi eksternal

Perubahan pada kondisi eksternal dapat meliputi perubahan dalam kebijakan perdagangan dan investasi internasional, sistem moneter internasional, dan hubungan ekonomi internasional lainnya. Perubahan-perubahan yang terjadi ini selanjutnya tidak lagi dapat diidentifikasikan sebagai kegiatan nasional, melainkan sudah bersifat global. Selain dampak globalisasi pada aspek ekonomi, globalisasi dapat pula menimbulkan perubahan pada bidang non-ekonomi, seperti dalam sektor pendidikan, kesehatan, kependudukan, dan lingkungan hidup (Paul Kennedy dan Taniguchi et. al. dalam Carunia Firdausy, 2000:7).

Positif atau negatifnya dampak yang ditimbulkan dengan adanya perubahan-perubahan itu sangat tergantung pada kemampuan daya saing produk yang dihasilkan, kualitas sumber daya manusia, kemampuan adaptasi, dan kebijakan pemerintah. Apabila faktor-faktor ini dimiliki oleh suatu perekonomian, maka walaupun globalisasi dapat menghasilkan berbagai perubahan perekonomian suatu negara, globalisasi justru dapat memberikan keuntungan bagi perekonomian itu sendiri.

Dampak globalisasi ekonomi cenderung akan menghasilkan kondisi eksternal negatif jika perekonomian kita tidak dapat bersaing dan tetap inefisien. Adanya eksternalitas negatif ini merupakan akibat dari ketidakmampuan pelaku ekonomi nasional dalam memperebutkan peluang pasar dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber perekonomian nasional. Hal ini terutama karena kekuatan dan daya saing ekonomi nasional kita masih lemah. Kurangnya daya saing ini terutama disebabkan karena kelemahan implementasi kebijakan protektif pemerintah selama lebih dari tiga dekade. Seperti yang banyak kita ketahui, industri kita – terutama manufaktur – banyak yang memulai infant industry-nya di proses produksi hilir yang diproteksi oleh kebijakan pemerintah – seperti perakitan mobil dan penguliran pipa misalnya. Sayangnya implementasi kebijakan protektif tersebut tidak dibarengi dengan suatu kondisi yang dapat ‘memaksa’ pelaku industri untuk menginvestasikan hasil keuntungannya ke proses produksi hulu. Para pelaku industri justru banyak yang menginvestasikan hasil keuntungan dari kebijakan protektif tersebut ke jenis industri lain yang juga di proses produksi hilir. Akibatnya sampai sekarang industri kita masih bergantung pada import resources untuk input produksinya; baik itu humanware, technoware, infoware, orgaware, maupun pendanaan. Industri kita hanya mampu membuat barang “made in Indonesia” tetapi bukan “made by Indonesians” karena ‘ruh’ teknologinya belum dikuasai penuh.

Perlu ketahanan ekonomi

Krisis multi dimensi yang masih berlanjut hingga saat ini, walaupun intensitasnya berkurang, dapat memperparah kerentanan ekonomi nasional. Proses pemulihan ekonomi kita relatif lamban dibandingkan negara-negara Asia lain seperti Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan. Negara-negara ini secara umum telah pulih dari krisis yang dialaminya. Oleh karena itu, dalam keadaan ekonomi nasional yang semakin terintegrasikan dengan tatanan ekonomi dunia pada abad 21, kondisi yang diperlukan adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan setiap perkembangan yang terjadi, dalam pengertian dapat memanfaatkan dengan baik peluang yang muncul dan menangkal dampak negatifnya. Langkah penyesuaian ini harus dilakukan dalam bentuk kebijaksanaan makro, sektoral, serta mikro yang adil dan merata. Selain itu diperlukan juga penyusunan rumusan skenario kebijakan ekonomi nasional agar eksternalitas negatif dari globalisasi dapat diminimalkan, bahkan mengubahnya menjadi peluang-peluang (opportunities).

Ketahanan ekonomi nasional dalam mengatasi dampak negatif globalisasi ekonomi sangat tergantung dari berbagai faktor. Faktor-faktor yang sangat berpengaruh adalah:

(1) daya saing – baik kualitas produk maupun kualitas SDM,
(2) efisiensi,
(3) penguasaaan teknologi dan investasi di proses produksi hulu sebagai tambahan dari proses produksi hilir yang sudah ada,
(4) kemampuan penyesuaian (adjustment capability),
(5) struktur ekonomi, dan
(6) kebijakan ekonomi yang terintegrasi dengan sektor strategis lainnya, seperti sektor energi dan pangan, guna mewujudkan ketahanan ekonomi.

Jika faktor-faktor ini tidak dimiliki, maka globalisasi pada akhirnya akan menggilas perekonomian nasional karena ketatnya persaingan dengan pelaku ekonomi dari luar di hampir seluruh kegiatan ekonomi. Tergilasnya ekonomi dapat menimbulkan krisis ekonomi babak kedua yang akan menyebabkan semakin besarnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masyarakat, tingginya tingkat pengangguran, kompetisi yang tidak sehat antar pelaku ekonomi, dan memperparah kerusakan lingkungan hidup.
Read more (Baca selengkapnya)...

Wednesday, June 4, 2008

Globalisasi: perangkap ekonomi negara maju (?)


Globalisasi dan perdagangan internasional

Globalisasi secara sederhana dapat diartikan sebagai dunia tanpa batas (borderless). Secara lebih lengkap the Group of Lisbon dalam Limits to Competition mendefinisikan globalisasi sebagai berikut (Carunia Firdausy, 2000:9):

“Globalization refers to the multiplicity of linkages and interconnections between the states and societies which make up the present world system. It describes the process by which events, decisions, and activities in one part of the world come to have significant consequences for individuals and communities in quite distant parts of the globe. Globalization has two distinct phenomena: scope (or stretching) and intensity (or deepening). On the one hand it defines a set of processes which embrace most of the globe or which operate world wide; the concept therefore has spatial connotation. On the other hand, it also implies on intensification in the levels of interactions, interconnectedness or interdependence between the states and societies which constitute the world communities. Accordingly, alongside the stretching goes a deepening of global processes.... Far from being abstract concept, globalization articulates one of the more familiar features of modern existence.... Of course, globalization does not mean that the world is homogeneous. Globalization is highly uneven in its scope and highly differentiated in its consequences.”

Definisi di atas menyimpulkan bahwa globalisasi merupakan sebuah proses keterlibatan dan ketergantungan yang intensif antara negara-negara dan masyarakatnya dalam berbagai kegiatan kehidupan tanpa batas dalam kegiatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Namun dengan adanya globalisasi tidak berarti suatu negara kehilangan kedaulatannya.

Menurut Faisal Basri (2002:193), globalisasi itu sendiri bukanlah suatu fenomena baru dalam sejarah peradaban dunia. Sebelum kemunculan negara-bangsa (nation-state), perdagangan dan migrasi lintas pulau dan benua telah sejak lama berlangsung. Jauh sebelumnya perdagangan regional telah membuat interaksi antar suku bangsa terjadi secara alamiah. Sejak masa sejarah modern, khususnya sebelum memasuki abad 20 ini, globalisasi dipandang sebagai gelombang masa depan. Dua dekade sebelum Perang Dunia I, arus uang internasional telah mengikatkan Eropa lebih erat dengan Amerika, Asia, Afrika, dan Timur Tengah.

Martin Khor (2002:9) juga mengatakan bahwa globalisasi bukanlah proses yang baru. Sejak lima abad yang lalu perusahaan-perusahaan di negara-negara yang perekonomiannya telah maju, telah meluaskan jangkauannya melalui aktivitas produksi dan perdagangan (yang semakin intensif di era kolonialisasi) ke berbagai belahan dunia. Namun, sejak dua hinga tiga dekade lalu, globalisasi ekonomi telah semakin mempercepat perluasan jangkauan tersebut sebagai akibat dari berbagai faktor, terutama perkembangan teknologi telematika, serta kebijakan-kebijakan liberalisasi yang telah menjalar ke seluruh dunia.

Gelombang globalisasi yang melanda seantero dunia sejak dekade 1980 jauh berbeda dari segi intensitas dan cakupannya dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Proses konvergensi akibat dari globalisasi dewasa ini praktis telah menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan, yang tidak saja di segala bidang (ekonomi, bisnis, politik, budaya, dan ideologi), melainkan juga telah menjamah ke tataran mikro sistem, proses, para pelaku (aktor), dan peristiwa-peristiwa penting (events). Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa prosesnya berlangsung dengan mulus. Kecenderungan globalisasi ternyata disertai dengan regionalisasi. Terbentuknya Uni Eropa atau European Union (EU), Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara atau North American Free Trade Agreement (NAFTA), Pasar Bersama Afrika Selatan dan Timur atau Common Market for Eastern and Southern Africa (COMESA), Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN atau ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan Kerja Sama Ekonomi Asia Pacific atau Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) merupakan contoh-contoh respon regional terhadap globalisasi.

Banyak kalangan memandang bahwa globalisasi merupakan keniscayaan sejarah dan oleh karena itu tidak dapat dihentikan. Pandangan ini muncul sebagai reaksi dari pendapat sementara kalangan yang prihatin terhadap perkembangan ekonomi dunia yang kian tidak menentu dan rentan gejolak, terutama sebagai akibat dari semakin derasnya arus finansial global. Padahal, tidak semua negara memiliki daya tahan tangguh untuk terlibat dalam kancah lalu lintas finansial global yang tidak lagi mengenal batas-batas negara dan semakin sulit dikontrol oleh pemerintah negara yang berdaulat – termasuk negara-negara maju, apalagi negara-negara berkembang. Yang dikhawatirkan adalah suatu bentuk eksploitasi baru, yaitu financially-driven economies (ekonomi berbasiskan keuntungan finansial semata) terhadap good-producing economies (ekonomi berbasiskan produksi barang). Kelompok pertama – dimotori oleh Amerika Serikat – memiliki keleluasaan yang sangat besar dalam merekayasa bentuk-bentuk transaksi keuangan yang sifatnya semu, dalam artian tidak memberikan kontribusi produktif bagi peningkatan kesejahteraan ril masyarakat. Hal ini terjadi karena uang dan aset-aset finansial lainnya yang seharusnya hanya menjadi alat berlangsungnya perdagangan, kian saling diperdagangkan sebagaimana komoditi biasa (barang dan jasa).

Globalisasi juga sering dihujat karena, ditinjau dari pendekatan struktur politik ekonomi internasional, yang terjadi sebenarnya tidaklah global. Kenyataannya, yang terjadi adalah ketidakseimbangan spasial sebagaimana ditunjukkan oleh fakta bahwa kegiatan ekonomi terkonsentrasi pada tiga kawasan (Amerika Utara, Eropa Barat, dan Asia Timur), sedangkan kawasan lainnya tetap saja terbelakang dan cenderung semakin termarjinalisasikan dari proses pencapaian kemakmuran. Konfigurasi tripolar ini telah berkembang sejak dekade 1960-an dan secara substansial mengalami penguatan sejak dekade 1980-an. Dewasa ini produksi, perdagangan, dan investasi global terpusat di dalam dan di antara tiga kawasan tersebut, sehingga beberapa kalangan menjulukinya sebagai “global triad”. Global triad ini pada tahun 1993 menguasai tiga perempat perdagangan dunia dan memberikan kontribusi sebesar 90 persen bagi arus investasi asing langsung di dunia. Sudah barang tentu global triad ini pulalah yang yang mendominasi arus keuangan global. Oleh karena itu, ditinjau dari struktur ekonomi politik internasional, yang terjadi bukanlah globalisasi melainkan “triadisasi” (Hanggi dalam Faisal Basri, 2002:195).

Perangkap ekonomi negara maju

Kedahsyatan arus finansial global dan triadisasi pada gilirannya menimbulkan pertanyaan: apakah globalisasi harus dipandang sebagai sesuatu yang harus diterima apa adanya, dan semua negara tanpa kecuali harus menyesuaikan diri dengan semua tuntutan globalisasi? Pelaku-pelaku utama – terutama dari negara industri maju – di alam globalisasi tidak semuanya bersih dari motif buruk. Globalisasi tidak bisa digeneralisasikan sebagai fenomena yang memiliki sisi baik bagi segala aspek kehidupan. Yang pasti, globalisasi selalu menyangkut ekspansi kekayaan, bukan membagi-bagikannya. Persoalan berat yang dihadapi negara-negara berkembang dalam menghadapai globalisasi dan tuntutan dunia internasional adalah timbulnya resiko atau biaya sosial-politik yang terjadi akibat meliberalisasi perekonomiannya. Oleh karena itu banyak pihak menentang globalisasi ini karena globalisasi dianggap ‘perangkap ekonomi’ negara maju untuk mengeksploitasi negara berkembang. Negara majulah yang paling siap menghadapai globalisasi: sumber daya manusia, finansial, dan teknologi.

Joseph E. Stiglitz, ekonom MIT (Massachussets Institute of Techology) peraih Nobel Ekonomi 2001, dikenal sebagai pengeritik lembaga-lembaga internasional IMF, Bank Dunia dan WTO sebagai kepanjangan tangan negara maju – terutama Amerika Serikat. Karena itu, Stiglitz menganjurkan kepada negara-negara berkembang bersikap lebih tegas terhadap IMF dan Bank Dunia. Juga harus tahu apa yang lebih diperlukan oleh sebagian terbesar masyarakatnya yang hidup dalam kemiskinan. Ia mengingatkan bahwa Amerika Serikat yang sangat mendukung globalisasi dan pasar bebas ternyata tetap menerapkan proteksi atas sejumlah sektor pertanian dan industrinya, sehingga melakukan double standards di kancah internasional. Maka, negara berkembang juga semestinya berhak memberlakukan proteksi atas beberapa produknya.

Untuk kasus Indonesia, yang sedang berperang dengan korupsi, kemiskinan, dan pengangguran, Stiglitz mengingatkan bahwa "kekuatan pasar bebas" sering merugikan segmen-segmen besar masyarakat yang lemah (miskin), karena itu Pemerintah harus melakukan upaya-upaya nyata melindungi rakyatnya. Semakin kurang kecerdasan dan semakin lemah komitmen moral jajaran pimpinan pemerintahan negara berkembang, semakin negara tersebut akan diombang-ambingkan oleh kepentingan ekonomi negara maju.
Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, June 2, 2008

Rencana pembangunan water front city di Bandarlampung


Minggu lalu seorang teman lama dari Bandarlampung mengirim saya pesan singkat (SMS) yang mengatakan bahwa tidak lama lagi water front city akan dibangun di garis pantai kota Bandarlampung, meliputi wilayah dari Gunung Kunyit (Sukaraja) sampai Gudang Lelang. Saat ini sedang ditenderkan Detailed Engineering Design (DED) –nya. Nantinya akan memakai dana sebagian kecil APBD pemkot, sebagian kecil lagi APBD pemprov, dan sebagian besar APBN. Konon water front city tersebut sebagai bagian dari strategi pembangunan kota yang meliputi pengembangan pariwisata, penataan pasar, penataan transportasi, ruang terbuka hijau dan taman kota, serta pengendalian banjir. Kalau kita lihat view Bandarlampung di atas, akan terlihat lokasi garis pantai yang dijadikan target - sebuah kawasan pemukiman yang cukup padat.

Tentunya rencana ini sudah melewati fase-fase studi yang yang komprehensif oleh para ahli pembangunan, baik di tatanan daerah maupun pusat. Saya belum mendapatkan informasi bagaimana rencana detailnya. Saya hanya menulis semacam komentar pendahuluan di blog ini. Saya tidak ingin mengatakan setuju atau tidak setuju, dan tidak pula bersikap skeptis. Sebagai orang yang berasal dari Bandarlampung, saya justru akan bangga kalau kelak kota ini memiliki sebuah water front city yang indah, pembangunannya tidak 'memiskinkan' masyarakat, dan dapat dijadikan landmark bagi warga Lampung.

Fokus pembangunan

Apapun yang namanya pembangunan daerah itu, orientasinya mestilah berbasiskan pada tiga hal pokok berikut:

(1) mencerdaskan rakyat,
(2) menyejahterakan rakyat, dan
(3) lindung lingkungan atau “green environment”.

Mencerdaskan rakyat disini jelas fokus pada pendidikan sebagai sarana untuk membangun manusia seutuhnya. Lewat pendidikan inilah budaya ‘iptek’ dan ‘imtak’ dapat ditanamkan ke dalam jiwa manusia sebagai nilai-nilai yang inherent. Inti peradaban adalah kebudayaan, ini kebudayaan adalah iptek, dan inti iptek adalah pendidikan. Semua negara maju mempunyai catatan sejarah bahwa para pemimpin mereka sangat memprioritaskan pembangunan pendidikan untuk rakyatnya. Kita lihat saja negara tetangga kita Malaysia. Di awal tahun 70-an sampai pertengahan 80-an mereka banyak mengimpor guru-guru dari Indonesia. Nyatanya kemajuan mereka sekarang melesat jauh dibandingkan gurunya Indonesia. Berdasarkan data dari Laporan Bank Dunia 2007, Indeks Pembangunan Manusia negara Malaysia pada tahun 2006 adalah 0,805 (urutan 61), sedangkan Indonesia 0,711 (urutan 108). Apakah karena orang-orang Malaysia memang lebih cerdas dari Indonesia? Tidak. Mereka hanya mempunyai komitmen yang sungguh-sungguh dengan pendidikannya. Kalau tidak salah anggaran pendidikan mereka mencapai 30% dari anggaran negara.

Kesejahteraan disini meliputi antara lain akses pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat serta keterjaminan untuk memperoleh penghasilan yang rutin dan cukup untuk - paling tidak - memenuhi kebutuhan primer rumah tangganya. Sedangkan pelestarian lingkungan akan dapat tercapai dengan sendirinya apabila masyarakatnya cerdas dan sejahera. Masyarakat tidak akan semena-mena merusak lingkungan apabila mereka sudah cukup cerdas dan sejahtera.

Pertumbuhan GRDP (Gross Regional Domestic Product) merupakan indikator keberhasilan pembangunan daerah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan tahunan GRDP untuk Provinsi Lampung pada akhir 2005 sebesar 3,76%, menduduki urutan ke-9 dari 10 provinsi di Sumatera. Tertinggi di Sumatera adalah Provinsi Riau Kepulauan sebesar 6,57%. Sedangkan pertumbuhan GDP secara nasional pada tahun 2005 sebesar 5,25%. Ini berarti pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung dalam skala Pulau Sumatera saja masih belum menggembirakan.

Pertanyaannya, ketika Pemkot Bandarlampung memutuskan untuk membangun water front city tersebut, apakah pendidikan dan kesejahteraan sudah menjadi prioritas utama pembangunan di Bandarlampung? Seperti sudah umum terjadi di seantero Indonesia, para pimpinan atau mantan pimpinan daerah biasanya merasa bangga menonjolkan hasil pembangunan fisik belaka. Jarang sekali seorang pimpinan yang mengatakan “masyarakat di daerah saya cerdas karena pimpinan saya” atau “masyarakat di daerah saya sejahtera karena manajemen saya”.

Jangan ada penggusuran, tetapi peremajaan dan pemberdayaan

Dimana ada rencana penataan ruang, biasanya selalu ada kelompok pemilik modal (kapitalis) di belakangnya. Mereka mempunyai pengaruh yang kuat dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan kelompok masyarakat bawah yang tidak mempunyai informasi, tidak mempunyai akses ke pusat-pusat kekuasaaan, tidak mempunyai payung organisasi yang kuat akan termarjinalkan dan bahkan sering tereksploitasi oleh pengambil keputusan.

Harapan saya semoga tidak ada penggusuran bagi masyarakat yang telah lama bermukim di daerah yang akan dijadikan water front city. Sebagian besar mata pencaharian penduduk di garis pantai tersebut adalah nelayan. Mereka secara ekonomi telah mandiri turun temurun. Penggusuran termasuk proses pemiskinan masyarakat, walaupun mereka diiming-imingi memperoleh ganti rugi yang setimpal. Betapa beratnya beban psikologis orang-orang yang terusir. Betapa beratnya mereka harus memulai kehidupan dan penghidupan baru di suatu tempat yang masih asing bagi mereka. Apalagi mereka sudah berkali-kali selama puluhan tahun juga ikut menanggung beban mismanagement pemerintahan di negeri ini - antara lain mismanagement dalam sektor energi.

Jika nantinya proyek ini sudah berjalan, maka yang perlu dilakukan terhadap penduduk setempat adalah:

(1) Jangan ada ‘pengusiran’. Remajakan pemukiman mereka dengan menyediakan perumahan yang sehat dan layak bagi mereka. Lokasi perumahan tersebut harus berada di dalam area yang sekarang mereka sedang tempati. Bila nilai rumah tersebut lebih kecil dari nilai aset mereka, maka berikan selisihnya sebagai ganti rugi. Bila nilai aset mereka ternyata lebih kecil, ya tetap harus diberikan perumahan gratis karena yang berkehendak membangun proyek itu adalah pemerintah, bukan mereka. Jika proyek dikerjakan bertahap, maka anggaran awal harus digunakan untuk peremajaan pemukiman ini.

(2) Para nelayan tetap mempunyai akses bebas untuk melaut tanpa kendala apapun.

(3) Pasar pelelangan ikan harus tetap ada. Disinilah tempat masyarakat melakukan transaksi ekonomi.

(4) Sektor UKM harus diintensifkan kelak agar masyarakat dapat mandiri penuh dan memiliki jiwa wira usaha yang tangguh.

(5) Masyarakat diberi penyuluhan akan pentingnya pendidikan, hidup sehat, dan kebersihan ligkungan.

(6) Jangan dirikan supermarket besar yang membuat eknomi rakyat tersingkirkan. Pendirian supermarket besar di sentra ekonomi rakyat juga termasuk salah satu proses pemiskinan.

(7) Pendidikan dan pelayanan kesehatan murah harus disediakan untuk masyarakat setempat.

(8) Jika nanti water front city tersebut membuka lapangan kerja baru, maka sistem perekrutan harus mengutamakan tenaga kerja dari masyarakat setempat.

Sekian dulu komentar pendahuluan ini. Jika saya memperoleh update lagi, mudah-mudahan saya dapat memberikan komentar lebih lanjut atau syukur-syukur dapat berdiskusi dengan rekan-rekan yang berada di Bandarlampung.

Read more (Baca selengkapnya)...