Wednesday, December 24, 2008

Selamat Tahun Baru Hijrah 1430 H dan Tahun Baru 2009 M



Happy new year! May tomorrow always be better than today. May God always cover the earth with His mercy. May peace take over the anger. May love take over the greed.

In the midst of sparkling electric lights. In the midst of new year’s parties. In the midst of the noises of trumpets. Let us pull away and bow for a moment, to deeply look at ourselves: why we live and what we live for.….. A very essential question but often forgotten.

Selamat tahun baru! Semoga hari esok senantiasa lebih baik dari hari ini. Semoga Tuhan selalu menyelimuti bumi dengan rakhmat-Nya. Semoga damai mengalahkan angkara. Semoga kasih-sayang mengalahkan nafsu serakah.

Di tengah kemilau cahaya lampu. Di tengah hingar-bingar pesta tahun baru. Di tengah riuhnya tiupan terompet. Mari sejenak kita menunduk, memandang diri sendiri: mengapa kita hidup, dan untuk apa kita hidup.... Sebuah pertanyaan sangat mendasar namun sering terlupakan.
Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, December 18, 2008

Fatwa Haram untuk Golput (…???)


Dalam seminggu terakhir cukup gencar diberitakan, terutama dalam media elektronik on-line, tentang adanya pemikiran agar MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan fatwa “haram” bagi orang-orang yang pada Pemilu 2009 mendatang tidak mau menggunakan hak pilihnya, alias “golput” atau “golongan putih”. Wacana tersebut pertama kali digulirkan oleh Pak Hidayat Nurwahid, Ketua MPR kita. Beliau salah seorang tokoh yang saya kagumi karena selama ini konsisten dalam memberi tauladan kebersahajaan seorang pemimpin. Kalau sedang dalam perjalanan dinas, konon beliau tidak mau menginap di hotel mewah berbintang. Saya juga pernah melihat beliau menggunakan kendaraan dinas jenis sedan 1600 cc dengan pengawalan yang sangat minim (hanya satu orang ajudan yang saya lihat) ketika beliau berkesempatan memberi ceramah dalam suatu majelis taklim. Bandingkan dengan banyak pejabat tinggi lain yang menggunakan kendaraan dinas dengan mesin berkapasitas lebih dari 3000 cc, bahkan ada yang menggunakan kendaraan jenis SUV 4x4 bermesin 4000-an cc seakan mau menjelajah medan off-road penuh lumpur.

Pada kesempatan ini saya tidak ingin membahas alasan Pak Hidayat Nurwahid menggelontorkan wacana fatwa haram ini. Media massa sudah banyak membahasnya, berikut pro-kontra (lebih banyak yang kontra) terhadap ide fatwa tersebut. Saya hanya ingin memberikan pendapat pribadi – dari sudut pandang seorang yang bukan politisi – mengapa fenomena golput akhir-akhir ini makin merebak.


Setelah Orde Baru runtuh, bangsa Indonesia mengalami euforia politik yang luar biasa. Semua tatanan yang sudah mapan di jaman Orde Baru cenderung dirombak semua. Yang terasa menonjol adalah hampir semua sektor sekarang ini mau diliberalkan. Termasuk pendidikan. Mengingat mayoritas rakyat Indonesia ini belum cukup memiliki ketahanan untuk menghadapi liberalisasi karena masih dihadapkan pada isu-isu fundamental sehari-hari, seperti misalnya bagaimana caranya agar bisa hidup cukup makan dan cukup minum, maka semakin cepat proses liberalisasi itu berjalan, semakin kita berpotensi untuk diombang-ambingkan oleh kepentingan para kapitalis. Kalau kita mau jujur, tidak semua produk Order Baru itu jelek.

Parlemen (DPR) saat ini memperoleh kekuasaan yang luar biasa sebagai pengawas jalannya pemerintahan eksekutif. Makanya banyak yang mengatakan bahwa negara kita ini adalah negara yang bukan-bukan: presidentil bukan, parlementer bukan. Dibilang presidentil tetapi parlemen begitu berkuasanya. Dibilang parlementer tetapi kepala pemerintahan kita bukan perdana menteri. Pendek kata, sekarang ini eranya partai politik (parpol). Dalam banyak hal merekalah penentu terakhir (final decision maker) kebijakan pemerintahan melalui kader-kader yang mereka dudukkan di legislatif maupun eksekutif.

Saat awal “reformasi” rakyat begitu menaruh harapan akan adanya perubahan cepat di segala bidang agar bangsa ini segera bangkit dari keterpurukan. Makanya nama era pasca Orde Baru diberi nama “orde reformasi”. Harapan besar itu antara lain disandarkan pada parpol. Tetapi apa lacur, semakin hari tingkah polah kader-kader parpol itu makin mengecewakan rakyat. Sistem rekrutmen di parpol – baik untuk duduk di jajaran pengurus partai maupun yang duduk sebagai wakil di legislatif – belum mumpuni untuk menjaring kader “terbaik”, dalam artian: profesional dan bermoral. Malah politisi busuk yang banyak naik pentas. Kita lihat saja kasus suap yang melibatkan anggota DPR dalam penggolan proyek, pengangkatan pejabat strategis di lingkungan pemerintahan dan BUMN, serta pengesahan undang-undang. Kader terbaik – walau dalam beberapa hal masih ‘kecolongan’ juga – baru bisa terjaring untuk instansi yang menerapkan mekanisme uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang ketat.

Satu per satu bintang korupsi bertebaran. Janji yang mereka lontarkan saat kampanye hanya tinggal janji, kenyataannya mereka tidak amanah. Makin lama makin kelihatan bahwa banyak di antara mereka yang hanya memperbesar pundi-pundinya. Para elit parpol dan kadernya yang duduk di legislatif dan pemerintahan dinilai banyak kalangan tidak betul-betul bersungguh-sungguh untuk membebaskan rakyat dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Dalam beberapa hal malah terjadi proses pemiskinan secara sistematik; seperti misalnya pendirian mall tepat di jantung pasar tradisional, penggusuran kampung nelayan yang sudah turun temurun, serta penggusuran pedagang kaki lima yang tidak dicarikan solusi penempatannya. Beban hidup dirasakan rakyat makin lama makin menghimpit. Banyak orang frustrasi, sampai-sampai ada yang bunuh diri bersama anak-anaknya karena himpitan ekonomi. Selain itu, dalam tatanan ekonomi makro, ketika menghadapi krisis finansial global pemerintah dengan sigap mengeluarkan berbagai paket kebijakan yang terkesan hanya memproteksi pengusaha kelas kakap. Sementara pengusaha kecil berbasis usaha rumah tangga – yang berdasarkan pengalaman 10 tahun lalu terbukti tahan menghadapi badai krisis – masih dianaktirikan. Mungkin karena “kue”-nya dianggap kecil.

Berangkat dari kenyataan sehari-hari, beberapa hal yang menurut saya menyebabkan masyarakat menjadi golput – baik dalam pemilu nasional maupun pilkada – adalah:

(1) Penyebab fenomena golput yang paling utama adalah karena masyarakat tidak percaya lagi pada parpol. Parpol mengalami krisis kepercayaan.

(2) Masyarakat menilai kader-kader yang terpilih (baik di legislatif maupun pemerintahan) tidak amanah – tidak memenuhi janji-jani yang dilontarkan saat kampanye. Kampanye hanya dijadikan ajang agar dirinya terpilih saja, setelah terpilih janjinya terlupakan. Malah banyak politisi terpilih yang terlibat dalam kasus suap-menyuap dan korupsi. Sesuatu yang sangat dibenci oleh rakyat.

(3) Masyarakat – terutama di lapisan bawah yang menjadi mayoritas rakyat Indonesia – merasa bergantinya pemerintahan dan bergantinya para wakil rakyat tidak membawa perubahan ekonomi yang berarti. Akibatnya masyarakat jadi apatis. Makanya dalam beberapa pilkada persentase golput sampai mencapai lebih dari 40%. Kalau sudah seperti ini tingginya persentase golput, berarti kepala daerah yang terpilih tidak memperoleh legitimasi dari rakyatnya.

Bagaimana mengeliminir golput? Saya tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan harus ada semacam gerakan kultural untuk mengembalikan semangat memilih, kampanye besar-besaran melibatkan semua kelompok dalam masyarakat untuk melawan golput, atau pendidikan dan sosialisasi politik kepada pemilih pemula untuk tidak menjadi golput. Menurut saya, kalau mau mengeliminir golput, ya hilangkan dulu akar penyebabnya, bukan symptom-nya. Ibarat symptom sakit kepala, penyebabnya banyak: bisa hipertensi, bisa sinusitis, bisa migrain, bisa syaraf leher kejepit, bisa kurang tidur, bisa stress, bisa kanker – alias kantong kering. Kalau hanya sekedar mau menghilangkan symptom sakit kepala, minum saja paracetamol.

Lalu apakah orang-orang golput yang pada dasarnya bukan karena ‘kesalahan’ mereka ini – layak diberi fatwa haram? Praktek kehidupan bernegara kita sudah kadung sekuler. Maka tidak perlu mencampur-adukkan politik dengan agama. Jangan sampai agama ternodai gara-gara urusan politik. Banyak partai berbasis agama ditinggalkan konstituennya karena kehilangan orientasi. Yang paling penting untuk dilakukan adalah – sekali lagi – menghilangkan akar penyebab timbulnya golput itu. Kalau parpol mampu mengangkat orang-orang terbaik dan mengemban amanah (bersungguh-sungguh untuk melakukan perubahan ke arah perbaikan; bersungguh-sungguh untuk membebaskan rakyat dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan) maka golput dengan sendirinya akan berkurang. Gairah memilih akan timbul kembali. Semua itu berpulang pada parpol itu sendiri.
Read more (Baca selengkapnya)...

Saturday, December 13, 2008

Mengapa Indonesia Boros Energi?



Pada artikel berjudul “Elastisitas dan Intensitas Energi: Indonesia Boros Energi (?)” yang saya posting pada tanggal 27 Nopember 2008, ada seorang pengunjung blog bernama Pak Arifin (saya panggil “pak” saja ya, soalnya saya tidak tahu usianya berapa) memberikan komentarnya. Pak Arifin mempertanyakan, dengan adanya fakta bahwa bangsa Indonesia boros energi, mengapa tidak ada langkah kongkrit yang dilakukan oleh pemerintah dan segenap komponen bangsa ini untuk segera melakukan penghematan energi. Yang ada hanya sebatas wacana dan wacana. Demikian antara lain yang menjadi keprihatinan Pak Arifin.

Saya mencoba menelaah, kenapa sih kok bangsa kita ini boros energi. Terlebih dahulu saya ingin sedikit cerita tentang background saya. Sehari-hari saya bekerja di instansi swasta. Jadi saya sama sekali tidak berada pada posisi sebagai perancang atau pengambil kebijakan. Bahkan saya juga - sebagaimana mayoritas rakyat Indonesia - sering menjadi korban dari kebijakan itu sendiri. Dalam bidang energi, saya hanyalah seorang pembelajar - bukan pakar; dan, karena itu, jangan samakan kualitas analisa saya dengan para ahli seperti Pak Kurtubi, misalnya. Saya tertarik dengan isu energi karena saya berpendapat bahwa energi sangat berkaitan erat dengan ketahanan bangsa. Masalah energi adalah masalah kita semua, bukan hanya monopoli para ahli atau pengambil kebijakan. Energi menyangkut kepentingan strategis. Saking strategisnya, para futurolog mengatakan, andai terjadi perang dunia lagi, maka peperangan tersebut terjadi karena rebutan sumber energi. Tentu saja kita berharap apa yang diramalkan oleh para futurolog ini tidak terjadi, karena sangat mengerikan. Semoga semua ras manusia di dunia ini makin dapat berpikir bijak, makin dapat menyingkirkan ego dan keserakahannya. Seperti pernah dikatakan Mahatma Ghandi, “Dunia ini pada dasarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan seseorang.” The world is enough for everyone’s needs, but not for someone’s greed. Saya sering mengutip ucapan Gandhi ini karena maknanya sangat dalam. Dalam al-Quran sendiri dikatakan bahwa bencana, kerusakan di daratan, dan kerusakan di lautan adalah akibat keserakahan manusia. Keserakahan untuk menguasai sumber daya bagi dirinya atau kelompoknya sendiri, tanpa mau berbagi dengan kelompok lain yang sama-sama membutuhkan.

Ada beberapa faktor yang menurut perspektif saya menjadi penyebab bangsa ini boros energi:

(1) Budaya tidak efisien. Marilah kita menerima kenyataan dengan kepala dingin dan lapang dada bahwa bangsa kita belum memiliki budaya efisien, dan karenanya sering boros - termasuk boros energi. Efisien disini artinya dengan memanfaatkan sumber daya dan faktor produksi seminimum mungkin, biaya serendah mungkin, serta dengan waktu sesingkat mungkin, dapat memperoleh hasil semaksimal mungkin. Kita belum bisa mentransformasikan nilai budaya universal ini ke dalam budaya kita. Ditambah dengan budaya ceroboh dan sembrono, maka tingkat keborosan itu makin menjadi. Lihat saja, setiap menjelang akhir tahun, yang namanya anggaran belanja itu (baik yang bersumber dari APBN maupun APBD) langsung habis, tanpa saldo. Lalu kita lihat para elit kita yang gandrung bepergian ke luar negeri dengan dalih studi banding. Entah apa gerangan kemaslahatan bagi rakyat yang mereka hasilkan dari jalan-jalan ke luar negeri itu. Budaya tidak efisien ini pulalah yang memicu praktek-praktek korupsi di negeri tercinta ini.

(2) Harga energi yang murah. Tingkat konsumsi energi mengikuti hukum supply-demand. Kalau harga murah, orang akan banyak membeli. Ditambah dengan ketersediannya yang banyak (gampang diperoleh), orang cenderung tidak perduli dengan penghematan energi. Konsumsinya bahkan sering berlebihan. Ini acapkali terjadi di sektor transportasi. Selama harga murah itu memang terjadi karena mekanisme pasar, atau memang harga keekonomian, tidak begitu jadi masalah. Akan tetapi, jika harga murah itu karena subsidi (seperti BBM), maka tentu saja masalah akan timbul. APBN akan tertekan. Anggaran subsidi yang mungkin pada mulanya untuk pendidikan, kesehatan, raskin, dan pengentasan kemiskinan lainnya akan tersedot untuk menambah anggaran belanja subsidi energi. Orang kaya sangat menikmati subsidi ini. Makanya banyak orang pintar berpendapat bahwa kebijakan subsidi yang menyubsidi komoditas itu tidak tepat sasaran, lebih baik orangnya langsung yang diberi subsidi.

(3) Diversifikasi energi jalan di tempat. Multatuli (nama samaran Douwes Dekker) mengatakan Indonesia adalah zamrud di khatulistiwa. Indonesia is an emerald in the equator. Beberapa orang mengatakan Indonesia ini ibarat sekeping tanah surga yang terlempar ke dunia fana. Apa maksud kata-kata itu? Karena Indonesia, di samping alamnya indah, juga dianugerahi Tuhan sumber daya alam yang sangat beragam. Hanya saja bangsa kita ini belum pandai mencerna ayat-ayat Tuhan itu, sehingga banyak energi alternatif yang berlimpah itu belum termanfaatkan secara maksimal. Selain energi fosil yang bisa habis (minyak, gas, dan batubara), kita dikaruniai berbagai sumber energi terbarukan, seperti panas bumi, bio massa, tenaga air, energi panas matahari, tenaga angin, dan tenaga samudera.

Untuk panas bumi, Indonesia memiliki 40% dari total potensi dunia, tetapi pemanfaatannya baru sekitar 4%. Di Pulau Nusa Penida, Bali, delapan dari sembilan unit pembangkit listrik tenaga angin berkapasitas total 735 kW tidak berfungsi. Di Jakarta pada awal tahun 1990-an ada sekitar 10 pom bensin yang menyediakan pengisian BBG untuk kendaraan pribadi maupun taxi. Sekarang pom bensin yang menyediakan BBG mungkin hanya tinggal dua saja. Sektor transportasi masih sembilan puluh sekian persen - kalau tidak dapat dikatakan nyaris seratus persen - tergantung pada BBM. Ini beberapa contoh yang saya maksudkan dengan diversifikasi energi masih jalan di tempat. Pemborosan itu akan terasa manakala kita hanya tergantung pada satu macam jenis energi yang cadangannya makin lama makin menipis - seperti minyak bumi. Padahal energi terbarukan memiliki sumber yang tidak pernah habis, asalkan pengelolaannya dilakukan dengan benar.

Konon harga bensin bersubsidi di Tehran, Iran, tidak sampai separuh dari harga bensin bersubsidi di Indonesia. Tetapi Pemerintah Iran telah berhasil mengkonversi BBM menjadi BBG untuk konsumsi kendaraan bermotor di Iran. Bensin bersubsidi tetap dijual, tetapi harus mengantri sepanjang lebih 1 km kalau ingin beli bensin bersubsidi. Akibatnya orang ‘terpaksa’ beli BBG yang walaupun dijual dengan harga keekonomian tetapi tetap masih terjangkau oleh warga Iran. Sementara di Indonesia, konversi dari minyak tanah ke elpiji getol dilakukan. Akan tetapi, setelah banyak orang beralih ke elpiji, pasokan elpiji sering raib di pasaran. Mau masak sulit, minyak tanah sudah tidak ada lagi. Dan, jangan lupa, elpiji itu sendiri bahan mentahnya adalah minyak bumi (LPG = Liquefied Petroleum Gas). Jadi memakai elpiji bukan berarti menghemat konsumsi minyak bumi.

(4) Kemacetan akibat lonjakan jumlah kendaraan bermotor. Sejak tahun 2000 terjadi lonjakan jumlah kendaraan bermotor. Menurut sumber dari Pertamina, di tahun 2005 saja ada sekitar 47 juta kendaraan bermotor di seluruh Indonesia dengan komposisi 33,5 juta kendaraan roda dua dan 13,5 juta kendaraan roda empat. Para produsen dan dealer kendaraan bermotor berlomba-lomba meningkatkan volume penjualannya, bahkan dengan skema pembelian yang sangat ringan - menyicil tanpa uang muka. Hal ini menambah kemacetan yang luar biasa di kota-kota besar. Sering kita dengar di radio pemantau lalu lintas, untuk menempuh jarak beberapa ratus meter saja diperlukan waktu satu jam. Betapa borosnya energi yang dikonsumsi kendaraan.

(5) Sarana dan prasarana transportasi publik belum memadai. Sarana transportasi publik yang cepat, sehat, aman, dan nyaman belum menjadi fokus kebijakan dalam sektor transportasi. Kebijakan selama ini (seperti penambahan jalan tol, jalan layang, dan under pass) justru makin memanjakan pengguna kendaraan pribadi. Akibatnya orang yang mampu membeli kendaraan enggan memanfaatkan kendaraan umum. Satu kendaraan pribadi sering hanya berisikan satu orang. Sungguh boros energi! Jakarta baru memulainya dengan busway, walau belum dapat dikatakan optimal karena belum menjangkau jauh sampai ke kota-kota satelit DKI dimana sekitar empat juta orang yang berkantor di wilayah DKI melakukan mobilisasi pulang-pergi setiap hari kerja. Pembangunan jalur busway ‘menyerobot’ lajur yang sudah ada, terjadi pengurangan lajur bagi pengguna kendaraan pribadi. Kendaraan pribadi makin menumpuk, memperparah kemacetan.

(6) Kebijakan yang justru menambah pemborosan energi. Ada beberapa kebijakan yang justru makin menambah pemborosan energi, khususnya terjadi di Jakarta:

a. Kebijakan mobil berpenumpang minimal 3 orang pada jam-jam sibuk di hari kerja (jam 07.00 s.d. 10.00 dan jam 16.30 s.d. 19.00) untuk mobil yang melewati jalan-jalan protokol di Jakarta. Kebijakan ini bukan mengurangi kemacetan, tetapi hanya memindahkan kemacetan dari jalan protokol ke jalan kelas 2 atau jalan lain yang kelasnya lebih kecil. Karena banyak mobil beralih ke jalan-jalan yang kebih kecil, maka tentu saja tingkat kemacetan makin parah. Semakin macet berarti semakin boros energi. Siapa yang diuntungkan dari kebijakan ini? Paling-paling hanya VIP atau VVIP yang ingin leluasa melewati jalan protokol.

b. Mulai Januari 2009 Pemerintah DKI menerapkan jam masuk sekolah pada jam 06.30 pagi, dengan justifikasi agar arus orang terbagi: pertama anak sekolah dulu yang berangkat, baru kemudian disusul oleh pegawai atau karyawan yang bekerja di wilayah DKI. Belum ketahuan apakah ini bakal efektif. Secara umum yang terjadi selama ini adalah bahwa orang tua dan anaknya - bila menggunakan kendaraan pribadi - berangkat bersamaan. Ini juga tujuannya untuk menghemat pengeluaran, termasuk menghemat biaya energi. Bagi orang kaya yang memiliki banyak kendaraan, kemungkinan dia akan menggunakan mobil lebih dari satu jika kebijakan ini diimpelementasikan. Mobil pertama untuk mengantar anaknya dulu (pakai supir), mobil kedua untuk dirinya berangkat ke kantor, mobil ketiga untuk istrinya, mobil keempat untuk anaknya yang lain lagi, dst. Makin banyak kendaraan yang dipakai makin boros energi. Kasihan sekali anak-anak sekolah yang dikorbankan oleh kebijakan ini, dipaksa bangun lebih pagi lagi.

(7) Tidak ada tauladan dari pimpinan. Para pimpinan, baik di pemerintahan maupun swasta, menggunakan kendaraan dinas ber-cc besar (2000 cc ke atas). Semakin tinggi jabatan, semakin tinggi cc-nya. Makin tinggi cc kendaraan makin boros konsumsi energinya. Pejabat eselon satu kendaraannya 3000 cc. Beberapa pejabat tinggi, baik pusat maupun daerah, dengan santainya menggunakan kendaraan jenis SUV 4x4 dengan mesin berkapasitas 4000-an cc yang sebetulnya lebih cocok untuk medan off-road berlumpur itu. Semuanya pakai BBM. Inilah contoh tidak adanya tauladan dari pimpinan untuk secara serius melakukan penghematan energi. Makin mewah dan makin besar cc kendaraannya makin menaikkan gengsi, toh? Belum lagi beberapa unit mobil dan motor besar ikut mengawal.

(8) Rumah tangga belum berpola pikir hemat energi. Mayoritas rumah tangga mengkonsumsi listrik bertarif subsidi (harga energi murah). Ditambah dengan belum memasyarakatnya budaya efisien, pemakaian energi di rumah tanggapun cenderung boros. Belum semua menyadari untuk segera mematikan lampu dan peralatan listrik yang tidak diperlukan.

(9) Bangunan berarsitektur post-modern yang tidak ramah energi. Akhir-akhir ini bangunan perkantoran dan rumah di Indonesia banyak mengadopsi - bahkan meng-copy paste - arsitektur post-modern dari negara-negara Barat yang beriklim dingin itu. Arsitektur bangunan tersebut - menurut pendapat saya - tidak ‘ramah energi’ untuk ukuran daerah beriklim tropis seperti Indonesia. Sebut saja gedung yang 100% dindingnya berlapis kaca. Efek radiasi matahari berlebihan yang menembus kaca mengakibatkan penyejuk ruangan (AC) bekerja lebih berat. Akibatnya mengkonsumsi energi listrik lebih banyak. Lalu rumah-rumah model minimalis. Modelnya banyak bermain dengan beton, minim kanopi, minim ventilasi, dan banyak bermain dengan kaca. Bukaan cahaya memang banyak, tetapi hawa panas berlebihan di dalam rumah. Akibatnya penghuninya terpaksa mesti sering menyalakan penyejuk ruangan. Boros listrik. Romo Mangunwijaya (alm.) pada tahun 1980-an mengarang buku berjudul “Fisika Bangunan”. Dalam buku tersebut Romo menjelaskan secara filosofis betapa idealnya arsitektur bangunan tradisional Indonesia untuk iklim tropis.

Nah, itulah beberapa faktor yang menyebabkan mengapa bangsa kita boros energi. Tentunya masih banyak faktor penyebab lain. Di antara beberapa faktor tersebut ada yang sifatnya dominan dan ada yang tidak begitu signifikan dalam menyebabkan terjadinya pemborosan energi. Ada yang skalanya hanya sebatas kota-kota besar saja, ada yang skalanya bersifat nasional. Menurut pendapat saya, faktor yang paling dominan sebagai penyebab terjadinya pemborosan energi adalah faktor budaya: budaya tidak efisien. Jika nilai budaya efisien dapat ditanamkan dalam hati insan manusia Indonesia, maka hal-hal yang sifatnya operasional akan mengikuti falsafah nilai budaya ini.

Bagaimana cara mengatasi pemborosan energi? Saya tidak ingin memaparkannya dalam artikel ini karena, di samping nanti artikel ini jadi terlalu panjang, sudah banyak sekali tulisan serta rumusan kebijakan dari para ahli dan institusi pemerintah tentang penghematan energi. Artikel yang saya posting pada tanggal 10 Desember 2008 sedikit banyak mengurai langkah-langkah yang sedang dan akan ditempuh pemerintah dalam melakukan penghematan energi.

Lantas bagaimana jika kita merasa bahwa implementasi kebijakan hemat energi yang dilakukan pemerintah itu jalan di tempat, hanya sebatas wacana dan berakhir di kepala para intelektualitas saja? Tak usah gundah! Seperti yang saya katakan di muka bahwa masalah energi adalah masalah kita bersama. Maka marilah kita mulai langkah penghematan energi itu dari diri dan keluarga kita sendiri demi generasi mendatang. Lakukan apa yang bisa segera dilakukan. Tanamkan budaya “hidup efisien” pada diri anak-anak kita. Perubahan yang paling efektif adalah perubahan yang dimulai dari diri sendiri.
Read more (Baca selengkapnya)...

Wednesday, December 10, 2008

Konsep Pemanfaatan Energi Terbarukan (Renewable Energy) Menurut Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi



Di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ada tiga direktorat jenderal (ditjen) teknis yang diberi amanah membuat regulasi kebijakan dalam pemanfaatan dan pengelolaan energi: Ditjen Minyak dan Gas Bumi; Ditjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi; serta Dijten Listrik dan Pemanfaatan Energi (Ditjen LPE). Dari namanya cukup jelas terlihat jenis energi mana yang berada di bawah wewenang masing-masing ditjen. Untuk jenis energi terbarukan (renewable energy) selain panas bumi berada di bawah wewenang Ditjen LPE.

Satu hal yang perlu kita sadari bahwa masalah energi adalah masalah kita bersama sebagai bangsa. Manakala kita berbicara tentang energi maka kita masuk pada ranah multi disiplin, artinya bukan hanya monopoli kelompok tertentu atau disiplin ilmu tertentu saja. Setiap orang berhak berperan – sekecil apapun peranannya – sekaligus mengetahui apa yang sudah dilakukan pemerintah (pusat maupun daerah) dalam rangka mewujudkan ketahanan energi. Tentunya kita tidak ingin setiap ada lonjakan harga energi di pasar global, bangsa ini selalu dihadapkan pada krisis energi. Menurut hukum supply-demand, krisis energi terjadi manakala volume pasokan yang ada tidak dapat mencukupi volume permintaan. Sehingga terjadi kelangkaan BBM, kelangkaan gas, kelangkaan batubara. Dimana-mana panik, dimana-mana terjadi antrian, listrik sering padam.

Sekitar tiga bulan lalu saya ‘menemukan’ electronic file setebal 14 halaman berjudul “Konsepsi Energi Hijau” yang dibuat oleh Ditjen LPE. Dokumen ini memuat pokok-pokok kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan energi terbarukan dalam rangka mewujudkan sistem ketahanan energi kita. Konsepsi energi hijau adalah sistem penyediaan dan pemanfaatan energi di tanah air; merupakan satu kesatuan konsep penyediaan energi untuk masa kini dan masa mendatang, untuk memenuhi kebutuhan energi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan energi generasi mendatang dalam upaya menciptakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sedangkan pembangunan berkelanjutan secara sederhana didefinisikan sebagai suatu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan nasional saat ini serta mampu mengkompromikan kebutuhan generasi mendatang dengan tetap menjaga stabilitas daya dukung lingkungan.

Satu hal yang perlu kita ingat bahwa ketahanan energi tidak cukup hanya dengan diversifikasi energi (pemanfaatan banyaknya energi alternatif), tetapi juga mulai sekarang harus diiringi dengan pola hidup yang hemat energi – mulai dari diri kita sendiri dan mulai dari rumah tangga sendiri. Satu hal lagi adalah bahwa biasanya kita hebat dalam membuat kebijakan, blue print, atau grand design, tetapi sangat lemah dalam implementasinya akibat lemahnya kordinasi antar sektor – ego sektoral. Sikap ego seperti ini merupakan hambatan serius bagi akselerasi proses pembangunan. Di sisi lain, pasca jatunya rezim Orde Baru, elit bangsa ini begitu sibuk berpolitik, menjadikan politik sebagai panglima, sehingga beberapa kebutuhan vital bangsa terabaikan. Tahu-tahu sudah ‘disodok’ oleh negara tetangga yang dulunya banyak belajar dari kita.

Semoga informasi yang terdapat dalam dokumen ini bermanfaat bagi rekan-rekan yang juga concern dengan masalah energi. Bagi yang berminat, silakan download file komplit disini:

http://www.divshare.com/download/6452663-7fb

Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, December 4, 2008

Pentingnya Membangun Karakter Manusia (Character Building)


Nenek moyangku: pemberani, percaya diri, dan punya harga diri.
[Mochtar Lubis].


Dunia makin tenggelam dalam resesi ekonomi akibat sistem kapitalisme global yang liar itu. Ternyata liberalisasi ekonomi yang tanpa kendali menyebabkan para kapitalis makin serakah, ingin mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin: get more by doing less and shorter. Spekulasi yang mereka lakukan di pasar modal mengakibatkan dunia terjerembab dalam krisis finansial. Mengapa dikatakan spekulasi? Karena transaksi yang dilakukan tidak riil. Hanya lewat kertas dan media elektronik saja. Saya ingat pelajaran agama jaman SMP dulu bahwa syarat sahnya transaksi jual-beli adalah: ada penjual, ada pembeli, ada benda yang ingin diperjual-belikan (benda tersebut riil – tampak di depan mata), ada alat tukar jual-beli (uang atau alat tukar lain), lalu ada akad jual-beli atau sale & purchase statement. Sementara dalam transaksi pasar modal tidak ada benda riil yang sedang diperjual-belikan. Gara-gara ketamakan para spekulan, seluruh dunia ikut menanggung akibatnya – termasuk sebagian besar rakyat Indonesia yang tidak tahu menahu. Saat ini sudah mulai terjadi gelombang PHK, harga barang berkomponen impor mulai membubung, industri mulai lesu. Sangat tidak fair!

Saya tidak ingin mengulas lebih lanjut tentang krisis finansial global ini karena jauh di luar kompetensi saya. Saya ingin sedikit melakukan semacam refleksi mengapa bangsa kita ini terasa lamban dalam mencapai kemajuan. Saya tidak bermaksud menjeneralisir opini saya. Mari kita renungkan, dengan kepala dingin tentunya. Anggap saja ini sekedar obrolan menyongsong akhir pekan.

63 tahun sudah kita merdeka. Tentunya sudah cukup banyak capaian kemajuan yang diperoleh melalui tahapan pembangunan dengan segala macam suka-dukanya. Namun ketika kita membandingkan negara kita ini dengan negara lain yang awalnya lebih kurang sama levelnya dengan negara kita atau bahkan dengan negara yang dulunya belajar dari kita, mungkin kita akan cukup terusik dan bertanya sendiri: kenapa sih kok bangsa kita ini lamban. Ini terlihat manakala kita membandingkan beberapa indikator pembangunan seperti indeks pembangunan manusia, tingkat kompetisi, pendapatan per kapita, tingkat penguasaan iptek, skor tata kelola pemerintahan, dan lain-lain.

Apakah intelegensi (kecerdasan) bangsa kita memang lebih inferior dari bangsa lain yang lebih cepat maju? Saya kira tidak demikian. Kembali mengingat pelajaran biologi jaman sekolah menengah – tanpa bermaksud mendukung teori evolusi Darwin – bahwa seluruh ras manusia di dunia dikelompokkan dalam satu spesies: Homo sapiens. Salah satu pertimbangannya adalah karena volume otak manusia dimana-mana sama. Tidak didapati varian yang berarti. Itu artinya secara given manusia sudah diberi Tuhan kesempatan yang sama untuk menjadi makhluk yang cerdas. Orang Indonesia yang sekolah di luar negeri rata-rata masuk peringkat top students. Orang Indonesia yang berkarir di luar negeri pun banyak yang mencapai posisi lini atas. Tetapi mengapa setelah mereka kembali ke Indonesia tidak bisa berbuat banyak? Adakah sesuatu yang salah dalam perilaku masyarakat kita?

Kebiasaan (habit) – menurut saya – beda dengan perilaku (attitude), walau perbedaannya terkadang sangat tipis. Kalau kebiasaan bisa dirubah. Misalnya seseorang yang biasa bangun tidur siang bisa berubah menjadi bangun tidur pagi manakala situasi memaksanya demikian. Perilaku susah dirubah karena dalam beberapa hal merupakan sesuatu yang sudah tertanam (inheren) dalam diri seseorang. Jadi perilaku sifatnya lebih mentalistik.

Saya mencoba mengetengahkan beberapa perilaku negatif yang menghambat kemajuan kita. Perilaku negatif ini ada yang mungkin sudah bawaan turun-temurun, ada yang timbul belakangan sebagai penyakit mental baru. Jika perilaku negatif tersebut sudah mewabah – sudah umum dan sudah menjadi bagian keseharian masyarakat kita – maka perilaku negatif tersebut dapat dikatakan sudah memasuki ranah budaya, sehingga dapat disebut sebagai nilai budaya. Nilai budaya negatif tentu saja.

AIDS. Yang dimaksud AIDS disini bukan penyakit yang disebabkan virus HIV, tetapi singkatan dari arogan, iri-dengki, dan serakah. Arogan artinya mau menang sendiri. Ini sering kita saksikan dalam berlalu lintas. Dia yang salah dan dia yang nyenggol, tapi dia yang merasa benar, malah pakai marah lagi.

Iri-dengki konon merupakan salah satu penyakit mental tertua pada diri manusia, sejak jaman Nabi Adam (ingat cerita Qabil membunuh Habil), walaupun banyak juga bangsa yang berhasil mengenyahkan penyakit ini. Dalam bahasa gaul diistilahkan dengan SMS – senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang.

Lalu serakah, inilah biang keladi yang menyebabkan praktek korupsi beserta semua turunannya. Manusia sering lebih serakah daripada sapi. Kalau sapi keserakahannya akan berhenti manakala perutnya sudah kenyang. Kalau manusia keserakahannya tidak berhenti sampai terpenuhinya kebutuhan tujuh turunan.

Kurang integritas. Integritas disini lebih pada kejujuran yang dapat diandalkan. Walaupun malaikat Raqib dan Atid senantiasa mencatat, namun berbuat kebohongan jalan terus. Mungkin ini yang mengilhami om Achmad Albar dengan Gong 2000-nya membuat lagu "menanti kejujuran" yang sempat populer di paruh pertama tahun 1990-an.

Egois. Pak Syamsi Ali – orang Indonesia yang menjadi imam besar masjid di New York – pernah mengatakan bahwa orang Amerika itu memang individualistis (bersandar pada kemampuan diri sendiri) tetapi tidak egois, terlihat ketika begitu derasnya donasi dan banyaknya relawan saat badai Katerina menyerang Amerika. Sementara masyarakat kita makin lama makin egois (terutama di perkotaan), walau tidak individualistis – karena sering ngerumpi tanpa tujuan yang jelas. Nilai gotong-royong perlahan tapi pasti sudah mulai ditinggalkan. Ego sektoral yang menjadi penghambat pembangunan akhir-akhir ini – apalagi setelah otonomi daerah dijalankan – merupakan akibat dari perilaku egois.

Tidak sportif. Termasuk dalam kategori ini adalah tidak mau mengaku salah, tidak mau mengaku kalah, tidak mau bertanggung jawab, tidak dapat diandalkan, dan tidak berjiwa besar. Kita lihat hampir tiap pilkada ada kerusuhan pakai acara pengerahan massa, bahkan ada yang pakai aksi teror bom segala. Yang kalah tidak mau menerima kenyataan. Bandingkan dengan pidato John McCain yang terdengar sangat legowo tatkala menerima kenyataan Barack Obama memenangi pilpres Amerika Serikat awal Nopember 2008 lalu.

Tidak berani mengambil resiko. Ini akibat perilaku pengecut (duh, maaf ya). Seseorang dikatakan pengecut apabila tidak berani mengambil resiko karena melihat resiko dianggap sebagai bahaya sehingga dihinggapi rasa takut untuk mengambil keputusan. Akhirnya dia tidak pernah berbuat sesuatu yang berarti walau dia memiliki jabatan tinggi - alias want to be something but do nothing. Bisa dibayangkan jika Indonesia dipenuhi dengan orang-orang seperti ini (baik di pemerintahan maupun swasta). Proses pembangunan berjalan lamban.

Tidak memiliki akuntabilitas. Ini sering terasa pada sektor pelayanan publik. Banyak pejabat publik yang tidak mau menyadari bahwa tugasnya memberikan pelayanan maksimal bagi kebutuhan publik. Infrastruktur dibiarkan tidak memadai. Jalanan dibiarkan rusak berkepanjangan. Setelah diekspos oleh media massa atau memakan korban seorong pesohor dulu (ingat kasus meninggalnya Sophan Sophian) baru jalanan cepat-cepat diperbaiki. Sementara pengaduan dari rakyat biasa tidak digubris.

Tidak amanah (no trust). Tidak dapat dipercaya, tidak menjalankan komitmen yang sudah terucap atau janji yang sudah diikat dengan pihak lain. Perilaku tidak amanah ini merupakan salah satu penyebab hilangnya kepercayaan dunia internasional terhadap bangsa kita, mengakibatkan iklim dunia usaha tidak kondusif.

Etos kerja rendah, cenderung malas. Ini memang kasuistis. Para petani di desa dan para penjual sayur-mayur di pasar pagi adalah contoh orang-orang yang luar biasa rajin, sama sekali bukan pemalas. Para petani seharian memeras keringat. Para ibu dan bapak penjual sayur-mayur mungkin hanya memiliki waktu tidur beberapa jam saja. Namun di kelompok elit justru banyak orang malas. Mau gelar tanpa sekolah, akhirnya beli ijazah 'aspal'. Mau cepat kaya tanpa usaha, akhirnya maling dan tipu-tipu. Ingin naik jabatan tanpa prestasi, akirnya sibuk menjilat dan sikut kanan-kiri.

Ceroboh atau sembrono. Kerja asal jadi, tidak memikirkan keselamatan diri dan orang lain. Sekitar tiga tahun lalu di dekat tempat saya tinggal ada seorang balita mati karena lehernya terlilit selendang yang nyangkut di jari-jari roda sepeda motor akibat kecerobohan orang tuanya. Perilaku ceroboh ini menyebabkan hasil kerja tidak berkualitas, asal jadi, penuh dengan permakluman (excuses). Ada beberapa falsafah yang mesti dihilangkan pada bangsa ini, misalnya: biar lambat asal selamat, makan tidak makan kumpul, dan lain-lain yang sifatnya kontra-produktif. Bandingkan misalnya dengan falsafah "nol kesalahan" yang tertanam dalam nilai budaya Jepang sejak jaman samurai dahulu kala.

Tidak disiplin. Sering melanggar peraturan atau tidak mau diatur dengan baik. Sering kita jumpai dalam berlalu lintas sehari-hari. Pengendara dengan cuek - bahkan terlihat bangga - menerobos lampu merah, melawan arus lalu-lintas, melanggar verboden, zig-zag, atau tidak pakai helm. Tingkat kedisiplinan masyarakat kita tercermin dalam tata cara berlalu lintas.

Pendendam. Perilaku ini adalah efek lanjut dari iri-dengki dan tidak berjiwa besar. Karena tidak mau menerima kekalahan atau kekurangan diri sendiri, akhirnya dia sering mencari celah untuk menjatuhkan orang lain, meski dengan cara licik.

Tidak percaya diri. Ini biasa terjadi pada orang yang merasa tidak memiliki kompetensi. Namun banyak terjadi juga pada orang-orang yang yang memiliki jabatan tetapi sebetulnya tidak memiliki kemampuan intrinsik. Maka supaya pe-de dan jabatannya langgeng, dia bersandar pada praktek-praktek perdukunan dan paranormal. Praktek klenis seperti ini – percaya atau tidak – hingga sekarang masih cukup banyak dilakukan secara diam-diam. Yang terang-terangan pun banyak. Lihat saja iklan ramalan nasib oleh para pesulap dan paranormal yang sering ditayangkan di televisi.

Irasional. Tidak bertumpu pada landasan logika (rasio). Konon di era Presiden Gus Dur ada seorang menteri yang memerintahkan para doktornya untuk membangun PLTJ (pembangkit listrik tenaga jin) dan PLTD (pembangkit listrik tenaga dalam). Di era Presiden Megawati ada seorang menteri yang merasa mendapat wangsit lalu menggali harta karun di bawah kaki prasasti batu tulis Bogor. Kemudian yang paling akhir adalah kasus blue energy.

Pengecut, beraninya bergerombol. Lihat saja kalau ada konvoi atau iring-iringan, orang-orangnya terlihat garang-garang. Giliran sendirian, tak ubahnya seperti ayam basah. Tentang bergerombol ini Eep Saefullah Fatah mengatakan 'suka membuat kerumunan, tetapi tidak mampu menggalang barisan'.

Pemarah (Pemberang). Ini adalah penyakit mental yang makin banyak menghinggapi masyarakat kita. Betapa mudahnya marah. Betapa mudahnya membunuh. Betapa mudahnya melakukan mutilasi. Betapa mudahnya berbuat kerusakan saat demo. Betapa pemberangnya masyarakat kita. Sopan santun yang dulu menjadi nilai luhur bangsa sudah makin tergerus. Bangsa ini seakan sudah menjadi bangsa barbar.

Nah, itulah beberapa perilaku yang menurut pendapat saya cukup besar peranannya sebagai penghambat kemajuan bangsa. Tentunya masih banyak perilaku negatif lainnya yang terlalu panjang kalau dibahas semua. Sampai-sampai para sosiolog menjuluki masyarakat bangsa kita sebagai the sick society – masyarakat yang sakit.

Bagaimana merubah semua itu? Ya, tentunya lewat pembangunan karakter manusia sekaligus transformasi nilai budaya dengan tetap mempertahankan dan merevitalisasi nilai-nilai luhur yang dapat menjadikan kita sebagai bangsa yang unggul. Pencapaian pembangunan fisik selama ini – yang hanya bertumpu pada indikator ekonomi – belum berhasil membangun karakter manusia Indonesia. Malah dalam beberapa hal terjadi degradasi moral dan nilai budaya.

Read more (Baca selengkapnya)...