Friday, June 19, 2009

Konsumsi Energi Dunia


“Current global trends in energy supply and consumption are patently unsustainable – environmentally, economically, socially. But that can – and must – be altered; there’s still time to change the road we’re on.”
— International Energy Agency


Energi primer adalah energi yang langsung tersedia/diberikan oleh alam dan belum mengalami proses lebih lanjut. Jika sudah mengalami proses perubahan (konversi) maka sudah masuk dalam kategori energi sekunder. Termasuk energi primer adalah minyak bumi (dalam wujud aslinya dari dalam bumi), gas bumi, batu bara, nuklir, biomassa, tenaga air (hidro), panas bumi, tenaga matahari (solar), tenaga bayu, dan tenaga ombak.

Salah satu satuan yang sering dipakai dalam menyatakan konsumsi energi primer adalah TOE (tonne of oil equivalent = setara ton minyak). Satu TOE didefinisikan sebagai berat/massa suatu jenis energi yang bisa menghasilkan energi setara dengan hasil pembakaran satu ton crude (minyak mentah) – yaitu 42 GJ (giga joule).

Menurut International Energy Agency (IEA), yaitu sebuah badan di bawah naungan kelompok negara OECD, dalam laporan tahunannya yang bertajuk World Energy Outlook 2008 (WEO 2008), konsumsi tahunan energi primer dunia pada tahun 2008 berada di level 12.000 MTOE (juta TOE); meliputi minyak, batu bara, gas, biomassa, nuklir, hidro, dan energi terbarukan lainnya. Bila diproyeksikan ke depan, konsumsi tahunan energi di tahun 2030 diprediksi berada di level 17.000 MTOE. Angka prediksi ini sudah mengakomodir skenario berbagai kebijakan/policy yang sudah dibuat dan diimplementasikan berbagai negara di dunia sampai tahun 2008. Dalam pengertian, jika setelah tahun 2008 tidak ada lagi kebijakan baru yang bisa men-trigger upaya lanjut peghematan dan diversifikasi energi, maka itulah angka ramalan konsumsi energi dunia di tahun 2030.

Rujukan lain yang juga cukup reliable dalam hal merekapitulasi kebutuhan energi dunia antara lain International Energy Outlook 2009 dari EIA (Energy Information Adminstration – sebuah badan di bawah naungan U.S. Department of Energy) dan Energy [R]evolution dari organisasi pegiat lingkungan Green Peace. Walau satuan yang digunakan di kedua laporan ini bukan MTOE, namun setelah satuannya saya konversi angka-angkanya tidak jauh berbeda dengan WEO 2008.

Berapa konsumsi energi tahunan di Indonesia? Menurut tabulasi dalam BP Statistical Review of World Energy 2008, konsumsi energi primer tahunan Indonesia di tahun 2007 sebesar 114,6 MTOE. Hingga sekarang saya belum menemui publikasi resmi berapa angka konsumsi energi Indonesia tahun lalu. Namun itu bisa dikira-kira. Dengan elastisitas energi sebesar 1,84 dan katakanlah pertumbuhan ekonomi tahun lalu sebesar 6%, maka diperkirakan konsumsi energi tahunan Indonesia di tahun 2008 sebesar 127 MTOE – sekitar 1% dari total konsumsi energi dunia. Walau angka ini mungkin agak kebesaran, namun mengingat BP tidak memasukkan panas bumi, tenaga matahari, dan biomassa dalam tabulasinya, maka angka konsumsi tahunan 2008 tersebut cukup masuk akal. Memang aneh juga, banyak informasi yang menyangkut tentang energi di Indonesia justru dikompilasi dan dipublikasikan oleh “orang-orang luar”.

Pertumbuhan konsumsi energi dunia dalam 20 tahun ke depan didominasi oleh negara-negara berkembang dan negara-negara yang bakalan menjadi raksasa ekonomi dunia. Kelihatannya isu lingkungan akan terus marak dan bisa jadi terus berkepanjangan karena konsumsi energi kelompok negara ini akan didominasi oleh energi fosil (minyak, batu bara, dan gas). Kelompok negara yang terus mendominasi pemakaian energi fosil adalah China, Timur Tengah, India, Afrika, Eropa Timur (Eurasia), Amerika Latin, dan negara-negara Asia lainnya. Sedangkan kelompok negara industri maju yang tergabung dalam OECD justru merefleksikan pengurangan (pertumbuhan negatif) terhadap pemakain energi fosil.

Negara-negara industri maju berpotensi besar mampu mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil karena beberapa faktor:
  • memiliki kekuatan finansial serta komitmen untuk melakukan diversifikasi dan penghematan energi,
  • memiliki kemampuan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi),
  • kurva supply-demand energi dapat dikatakan sudah mencapai titik ekuilibrium sehingga angka elastisitas energinya kecil – bahkan beberapa negara di Eropa Barat ada yang elastisitasnya negatif,
  • kesadaran dan komitmen yang tinggi terhadap isu-isu lingkungan, dan
  • budaya efisien.
Separuh dari pertambahan permintaan energi dunia akan dipakai untuk memenuhi pertumbuhan konsumsi energi di China dan India. Energi fosil mendominasi konsumsi energi dunia hingga 80% dari energy mix (bauran energi) di tahun 2030. Pemanfaatan batubara meningkat paling tajam di antara ketiga jenis energi fosil tersebut.

Minyak masih merupakan bahan bakar dominan, terutama di sektor transportasi. Permintaan minyak bumi meningkat dari level 85 juta barel per hari pada tahun 2008 menjadi 106 juta barel per hari di tahun 2030 dengan porsi 30% dari total bauran energi primer. Penambahan produksi minyak untuk memenuhi kebutuhan dunia dalam 20 tahun mendatang diharapkan datang dari negara-negara OPEC yang memiliki jumlah cadangan besar dan biaya produksi relatif rendah.

Menurut skenario dalam WEO 2008, cadangan minyak dunia yang ada saat ini masih bisa memenuhi kebutuhan sampai 20 tahun mendatang asalkan ada penambahan investasi untuk kegiatan eksplorasi dan peningkatan teknologi – termasuk teknologi laut dalam dan teknologi EOR (Enhanced Oil Recovery) bagi lapangan-lapangan minyak yang akan mengalami penurunan produksi (declining).

Yang menjadi kekhawatiran adalah, jika investasi gagal dilakukan dan ternyata produksi tidak mencukupi maka dunia akan terancam kekurangan pasokan minyak bumi. Situasi politik global bisa memanas. Adanya fluktuasi harga minyak di rentang 35 – 147 dollar AS per barel dalam satu tahun terakhir sudah membuat berbagai gejolak. Bukan tidak mungkin untuk mengamankan pasokan energi di negaranya masing-masing satu sama lain saling “rebutan”. Kalau sudah begini bisa bakalan seperti hukum rimba. Yang kuat yang menang. Makanya IEA mengatakan model supply–demand energi dunia yang ada saat ini sangat unsustainable; baik dari segi lingkungan, ekonomi, politik, maupun sosial. Skenario kebutuhan energi yang ada sekarang (existing) adalah skenario yang harus dirubah. Diperlukan berbagai terobosan dan komitmen lagi dari dunia internasional untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, khususnya minyak bumi.

Kemampuan masing-masing negara untuk mengamankan pasokan energinya di masa depan ditentukan oleh beberapa faktor:
  • kekuatan ekonomi,
  • ketercukupan cadangan dan produksi energi di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan sendiri (indigenous),
  • tingkat penguasaan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi),
  • kemampuan lobi di tingkat internasional, dan
  • kekuatan militersuatu hal yang sangat tidak mengenakkan!
Nah, dari kelima faktor tersebut bisa kita nilai posisi Indonesia ada dimana: kuat, sedang, atau lemah?
Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, June 11, 2009

Potensi Minyak dan Gas Bumi di Perairan Ambalat


Saya mencoba menulis liputan ala infotainment pada dua artikel terdahulu, ternyata ‘riweuh’ juga. Sekarang back to basic lagi: tentang energi.


Ambalat
, yaitu wilayah perairan yang lokasinya terletak di sebelah timur Provinsi Kalimantan Timur, kembali menjadi topik berita hangat dalam beberapa minggu terakhir karena ada bagian yang diklaim Malaysia sebagai bagian dari wilayah teritorialnya setelah Malaysia menerbitkan peta batas wilayah secara sepihak pada tahun 1979. Tanpa bermaksud ingin membahas “perselisihan” yang terjadi antara kedua negara (Indonesia dan Malaysia) karena bukan ranah saya dan lagipula sudah diekspos secara ekstensif oleh media massa, saya jadi tertarik dengan “angka-angka” minyak dan gas yang diduga terkandung di bawah dasar laut Ambalat ini.

Kalau kita melihat peta di atas, yang saya ambil dari tempointeraktif edisi 15 Maret 2005, bagian yang juga diklaim oleh Malaysia itu terdiri dari tiga blok (wilayah kerja pertambangan) migas, yaitu Bukat, Ambalat, dan East Ambalat. Blok Bukat dan Ambalat dikelola oleh ENI, perusahaan migas multinasional dari Italia, sedangkan Blok East Ambalat dikelola oleh perusahaan migas Chevron. Terlihat di peta bahwa, akibat Malaysia menarik garis batas secara sepihak ke arah selatan, bagian utara dari ketiga blok tersebut “dimasukkan” Malaysia sebagai bagian dari wilayah teritorialnya.

Tadinya sebelum menulis artikel ini saya ingin mencari-cari informasi dari instansi terkait – katakanlah BP Migas – tentang potensi migas yang ada di blok-blok Ambalat ini. Namun karena statusnya sebagai “hot spot” akhirnya saya urungkan. Saya hanya merekap berbagai informasi yang berserakan di beberapa media yang menurut saya cukup layak untuk dijadikan rujukan. Masalah Ambalat adalah masalah bangsa, jadi saya pikir teman-teman juga banyak yang ingin dan berhak mengetahui apa yang terkandung di bawah perairan Ambalat ini.

Sepanjang yang saya ketahui ketiga blok tersebut masih dalam fase eksplorasi. Urut-urutan pekerjaan eksplorasi kira-kira sebagai berikut: (1) mencari ada atau tidaknya kandungan migas, (2) evaluasi kandungan migas serta sifat-sifat fisik fluida dan batuan, dan (3) evaluasi ekonomis – apakah cukup memiliki nilai ekonomis (komersial) untuk diproduksikan (dieksploitasi).

Karena masih dalam fase eksplorasi maka belum ada angka-angka “certified” tentang berapa cadangan dan berapa produksi yang bisa dihasilkan blok-blok di Ambalat ini. Dari ketiga blok, baru di blok Bukat saja yang sudah dilakukan pemboran eksplorasi. Sedangkan blok Ambalat dan East Ambalat sedang dalam tahapan seismik – tahapan paling awal fase eksplorasi (belum ada pemboran). Sebelum dibor, kita tidak bisa memastikan apakah ada kandungan migas di dalamnya. Setelah dipastikan ada kandungan migas, baru selanjutnya bisa dihitung cadangannya. Jadi kalau masih dalam tahapan eksplorasi angka cadangan belum muncul, yang ada baru sekedar “potensi”.

April 2009 lalu ketika ENI melakukan pemboran eksplorasi di Bukat, yaitu di lapangan Aster, ditemukan adanya kandungan minyak yang “diperkirakan” memiliki potensi produksi antara 30 ribu sampai 40 ribu barel per hari (tempointeraktif, Antara News, dan Media Indonesia online; 17 April 2009). Angka ini cukup memiliki arti di tengah produksi minyak Indonesia yang terus menurun hingga hanya mencapai level 960 ribu barel per hari. Ini baru dari satu lapangan di blok Bukat saja. Satu blok bisa terdiri dari beberapa lapangan. Yang dipersengketakan itu ada tiga blok. Saya tidak memiliki informasi ada berapa lapangan di dalam ketiga blok tersebut. Secara matematis, hasil kali potensi produksi dengan jumlah keseluruhan lapangan akan besar sekali.

Namun, sekali lagi, karena masih dalam fase eksplorasi, angka perkiraan potensi produksi tersebut masih sangat awal. Masih perlu tahapan lain seperti uji DST (drill stem test), uji produksi, evaluasi menyeluruh terhadap sifat-sifat fisik batuan dan fluida yang terkandung di dalamnya, serta pemboran sumur-sumur delineasi (delineation wells). Makanya yang namanya angka-angka potensi migas itu bisa berubah-ubah sesuai dengan progres tahapan eksplorasinya, bisa membesar bisa juga mengecil. Semakin banyak informasi yang diperoleh, tingkat akurasi angka-angka yang dihasilkan makin tinggi.

Selain angka perkiraan dari hasil pemboran eksplorasi di atas, ada lagi angka-angka dari ahli geologi. Seperti yang dirilis oleh tempointeraktif 2 Juni 2009, Andang Bachtiar, geolog independen yang mantan Ketua IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia), mengatakan kawasan perairan Ambalat menyimpan kandungan minyak dan gas bumi dalam jumlah besar. Satu titik tambang di Ambalat menyimpan cadangan potensial 764 juta barel minyak dan 1,4 triliun kaki kubik gas. Itu baru satu titik dari sembilan titik yang ada di Ambalat. Angka-angka yang menurut saya sangat “optimistis”. Satu hal yang saya sukai dari para geolog adalah selalu optimis. Makanya sering “argue” dengan para engineer. Angka-angka tersebut biasanya didapatkan para geolog dari statistik berbagai cekungan (basin) migas yang tersebar di Indonesia atau bisa juga berdasarkan analogi terhadap lapangan-lapangan migas di sekitarnya yang struktur geologinya serupa.

Apa yang saat ini dapat saya simpulkan tentang Ambalat adalah: (1) di Ambalat sudah terbukti adanya kandungan minyak, dan (2) diperkirakan potensi migas yang terkandung di dalamnya dalam jumlah yang besar – secara bisnis dan ekonomi menjanjikan. Maka Pemerintah harus secepat mungkin mengembangkannya. Hal ini tidak hanya berdasarkan pertimbangan ekonomi semata, tetapi – lebih dari itu – berdasarkan pertimbangan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya kegiatan eksploitasi sumber daya alam di wilayah frontier menunjukkan eksistensi kedaulatan RI. Belajar dari pengalaman, selama ini wilayah-wilayah frontier masih minim sentuhan pembangunan dan bahkan banyak yang terlantarkan.
Read more (Baca selengkapnya)...

Sunday, June 7, 2009

Dukungan Moril untuk Prita Mulyasari


Ketika melodrama di layar televisi mengepung pemirsa, kehidupan nyata kita sebenarnya sedang kehilangan pijakan.
―Budi Suwarna

Seminggu terakhir, di tengah hingar-bingar berita politik, ada dua headline yang diekspos media massa lokal: Prita Mulyasari dan Manohara. Kedua headline ini tidak ada hubungan antara satu dengan yang lain. Prita hanyalah seorang ibu muda bersahaja yang mempunyai dua orang anak balita, sedangkan Mano seorang selebriti. Setelah berbagai tayangan ala “melodrama”, simpati publik kelihatannya lebih berpihak kepada Prita.

Menjelang akhir pekan lalu saya dapat terusan email dari beberapa teman yang berisikan kutipan bunyi email Ibu Prita yang menyebabkan dirinya kena tuntut pasal “pencemaran nama baik” dalam KUHP dan salah satu pasal dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sehingga terancam hukuman penjara lebih dari lima tahun. Setelah saya baca isi email itu tidak ada yang berlebihan. Hanya sekedar menyatakan ketidakpuasan dan pengalaman buruknya selama dirawat di RS Omni International Serpong serta menghimbau teman-temannya agar “hati-hati” jika ingin memeriksakan kesehatannya di rumah sakit tersebut. Gara-gara tuntutan hukuman yang melebihi lima tahun ini ibu dua anak balita ini sempat mendekam di sel tahanan selama tiga minggu.

Melihat tayangan demi tayangan dan membaca berita demi berita tentang Prita, hati ini jadi miris. Seorang ibu yang tampak berperilaku “lurus-lurus saja” – sebuah perilaku yang “langka” dijumpai di jaman kini – ditambah lagi dengan statusnya sebagai ibu muda dari dua anak balita mesti harus mendekam di dalam sel tahanan hanya gara-gara mengungkapkan rasa ketidakpuasan yang sebetulnya merupakan bagian dari haknya, hak seorang konsumen yang mendapat pelayanan tidak memuaskan dari sebuah institusi. Sungguh sangat exaggerated – sangat berlebihan!

Berkat liputan media massa yang intens, Prita mendapat simpati dan dukungan moril dari banyak kalangan, bahkan dunia internasional. Para Capres dan Cawapres ikut menyesalkan kejadian tersebut. Jaksa Agung Hendarman Supandji sampai turun tangan dan mengatakan pihak kejaksaan yang menangani kasus ini telah melakukan semacam tindakan prosedural yang tidak profesional. Masyarakat cyber, yang paling terusik dengan adanya pengenaan pasal UU ITE ini, menggalang dukungan moril bagi Prita lewat milist (mailing list) dan situs jejaring sosial seperti Facebook. Sampai Sabtu 6 Juni 2009 paling tidak sudah ada 200 ribu orang yang bergabung.

Saya tidak ingin bercerita ulang tentang apa yang telah diliput oleh media massa. Saya hanya ingin menyampaikan sebuah perspektif lain dari sisi tata kelola pemerintahan (governance). Entah kenapa pasal “pencemaran nama baik” dalam KUHP yang merupakan produk jaman kolonial itu masih dipertahankan. Pasal ini merupakan salah satu dari banyak pasal yang disebut para ahli hukum sebagai “pasal karet”. Yang namanya karet bisa dipanjangkan dan bisa dipendekkan, sangat multi interpretatif. Konsekuensi yang paling utama adalah tidak adanya kebenaran yang hakiki dari pengenaan pasal ini. Tergantung interpretasi dan “interest” pihak yang berkepentingan.

Pasal karet seperti inilah yang rentan terhadap praktek jual-beli hukum. Siapa yang memiliki kekuasan dan siapa yang memiliki uang dapat diuntungkan oleh pasal karet ini. Jika dia yang menuntut pihak lain dengan pasal karet ini, maka pihak yang dituntut bisa dijerat dengan hukuman maksimal. Namun jika dia (pemilik kekuasaan atau pemilik modal) sebagai pihak yang dituntut, maka dia bisa mendapatkan hukuman seringan mungkin atau bahkan bebas dari tuntutan. Kalau Charles Darwin dalam teori evolusinya mempostulatkan “survival among the fittest”, maka pasal karet ini bisa meyebabkan “survival among the richest” – yang memiliki uang yang jadi pemenangnya.

Hal lain yang rentan terhadap praktek jual-beli hukum adalah banyaknya kontradiksi antar produk hukum itu sendiri. UUD ’45 Pasal 28 sudah jelas menjamin kebebasan mengemukakan pendapat, namun sering dijumpai berbagai pasal produk hukum lain (yang levelnya berada di bawah UUD) yang jika diinterpretasikan justru mengebiri hak kebebasan berpendapat itu sendiri.

Dari berbagai penilaian dunia internasional terhadap indikator tata kelola pemerintahan (governance indicators) Indonesia, misalnya seperti yang setiap tahun disurvei oleh Bank Dunia (World Bank) dan Transparency International, skor tata kelola pemerintahan Indonesia – terutama indeks persepsi korupsi – hingga saat ini masih berada di level kuartil pertama atau paling banter di bagian bawah kuartil kedua. Menurut pendapat saya, karena pasal-pasal karet tersebut rentan terhadap praktek jual-beli hukum, maka pasal-pasal tersebut juga memiliki andil dalam buruknya skor tata kelola pemerintahan kita.

Lalu kenapa pasal-pasal karet tersebut masih dipertahankan? Jawabannya saya tidak tahu. Mungkin karena masih cukup banyak pihak yang merasa bisa diuntungkan dengan adanya pasal karet seperti ini. Sangat paradoks dengan kemajuan pencapaian demokratisasi di Indonesia yang kini dipandang sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat.

Mengikuti kasus Prita, seorang ibu yang nampak sangat bersahaja dengan dua anak balitanya, hati ini ikut menangis. Prita merupakan salah satu dari sekian banyak orang di negeri ini yang menjadi korban kezoliman “sistem”.

Melalui blog ini saya juga ingin mengutarakan rasa simpati dan dukungan moril bagi Ibu Prita dan keluarganya. Semoga Allah Swt senantiasa memberikan kesehatan, kekuatan, dan kesabaran bagi Ibu sekeluarga. Kami semua yang telah menggalang solidaritas simpati kepada Ibu Prita lewat media elektronik mendoakan semoga Ibu bisa bebas dari segala tuntutan. Ya Allah, tunjukkanlan yang haq itu haq, yang bathil itu bathil.

Sebagai orang yang pernah belajar tentang marketing, saya memandang tindakan yang dilakukan oleh pihak RS Omni bisa menjadi bumerang yang merusak bisnisnya sendiri alias “self destructive”. Apalagi bisnis rumah sakit merupakan bisnis pelayanan jasa yang kelangsungannya sangat sensitif terhadap tingkat kualitas pelayanan dan tingkat kepuasan pelanggan.

Read more (Baca selengkapnya)...

Wednesday, June 3, 2009

Sisi Lain di Balik Cerita Kaburnya Sang “Cinderella”


Seperti biasanya, media massa kita kalau ada headline baru, langsung saja mengeksposnya secara ekstensif. Berita tentang Manohara Odelia Pinot, si “Cinderella” yang kabur dari suaminya Pangeran Kerajaan Kelantan Tengku Muhammad Fakhry nyaris memarjinalkan hingar-bingar berita politik menyongsong pemilihan presiden.


Kisah Manohara mulai menggegerkan setelah ibunya, Daisy Fajarina, mengungkapkan model cantik tersebut mendapat kekerasan dari sang suami. Bahkan dada Manohara disebut-sebut disilet-silet. Di salah satu media ada berita Manohara dipaksa sang suami melakukan hubungan intim ketika sedang haid dan berbagai kekerasan rumah tangga lainnya. Daisy pun menyebut Manohara diculik dan dipisahkan dari dirinya setelah melakukan umroh. Perempuan cantik itu dibawa paksa pulang ke Kerajaan Kelantan.

Kebenaran cerita penyiksaan Manohara ini sempat meragukan banyak pihak (bahkan hingga kini masih ada yang meragukan sampai adanya bukti-bukti hukum yang sahih, antara lain melalui visum) karena berbagai foto mesranya dengan sang suami dan fotonya yang tampak bahagia di depan publik Kerajaan Kelantan. Tak urung Ratna Sarumpaet, pegiat wanita yang pernah bersedia memberikan jasa advokasi untuk Manohara, mengundurkan diri karena tidak dijumpai bukti-bukti kekerasan itu.

Uniknya saat Manohara kabur ke Indonesia pada hari Minggu 30 Mei 2009 ketika berkesempatan sedang berada di Singapura dan – menurut pengakuannya – dibantu oleh orang-orang dari Kedubes RI di Singapura, Kepolisian Singapura, dan FBI (Biro Investigasi Amerika Serikat). Sementara Kedubes RI di Malaysia menurut Manohara tidak memberikan pertolongan apapun.

Sebetulnya dunia selebriti bukanlah ranah saya. Namun manakala di tayangan televisi saya melihat Manohara mendarat di Bandara Soekarno-Hatta disambut oleh beberapa orang berseragam loreng kemerahan sambil memekikkan “MERDEKA!”, maka saya tersentak. Apakah bangsa kita memang belum merdeka? Apakah secara de jure memang sudah merdeka tetapi secara de facto belum memiliki kedaulatan? Dua pertanyaan ini bergema dalam benak saya, apalagi keduanya sering jadi bahan diskusi dan perdebatan di kalangan para intelektual.

Saya bukanlah ahli bahasa dan bukan pula ahli tata negara. Namun secara harfiah menurut saya kedua kata “merdeka” dan “berdaulat” itu saling berhubungan. Ciri utama negara merdeka adalah memiliki kedaulatan (sovereignty). Maka kedaulatan sudah mencakup arti kebebasan (freedom), kemandirian (tidak tergantung pada sumberdaya asing), hak memiliki (property right), hak menentukan sendiri tanpa campur tangan pihak luar (the right to solely determine without interference from outside), dan bermartabat (dignity). Kedaulatan paling pertama yang harus dimiliki sebuah negara merdeka adalah kedaulatan wilayah. Harus jelas batas-batasnya dan tidak “diganggu” oleh kekuatan asing.

Kasus Manohara yang kabur dari Malaysia (via Singapura) ke Indonesia mengingatkan kembali pada kita dua hal yang menyangkut kedaulatan negara: (1) seberapa sering kedaulatan wilayah kita diprovokasi oleh kekuatan militer Diraja Malaysia, dan (2) betapa seringnya warga negara kita mendapat perlakuan semena-mena di Malaysia. Menurut informasi dari salah satu media massa, tahun ini saja (sampai saya menulis artikel ini) kapal angkatan laut Diraja Malaysia sudah sebelas kali memasuki perairan Indonesia di Teluk Ambalat – sebuah blok mengandung migas yang terletak di timur Pulau Kalimantan.

Kira-kira apa yang menyebabkan angkatan laut Malaysia berani memasuki perairan Indonesia? Gamblangnya karena mereka merasa angkatan laut mereka lebih kuat dan modern. Mereka memiliki armada berkecepatan tinggi, persenjataan lebih mutakhir, dan memiliki kapal selam. Sedangkan Indonesia dipandang hanya memiliki armada sisa-sisa kejayaan masa lalu, dimana sampai dekade 80-an militernya termasuk yang disegani di wilayah selatan Asia Pasifik. Selain itu, karena mereka merasa lebih mampu berdiplomasi di dunia internasional. Kita ingat jaman Presiden Megawati, Malaysia mampu memenangkan sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan (juga di timur Pulau Kalimantan) di Mahkamah Internasional Den Haag sehingga kedua pulau tersebut lepas dari pangkuan RI. Akibat dari jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke pangkuan Malaysia maka Malaysia secara sepihak mematok batas landas kontinen mereka lebih jauh ke arah selatan sehingga memasuki perairan Ambalat. Sesuatu yang kelihatannya kurang diantisipasi oleh para elit kita ketika itu.


Indonesia memang berhasil menggolkan Konvensi Hukum Laut di PBB (kalau tidak salah pada tahun 1982) sebagai dasar hukum laut internasional yang mengatur hak-hak negara kepulauan (archipelago). Namun langkah realisasi lebih lanjut dari konvensi tersebut terlantar. Pembangunan di wilayah-wilayah frontier, terutama di wilayah laut, sangat minim. Gugus pulau-pulau terluar nyaris tak tersentuh pembangunan dan (mungkin saja) banyak yang tidak berpenghuni. Makanya pada saat “rebutan” Sipadan dan Ligitan Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia berdasarkan “hak kelola”, yaitu siapa yang lebih dulu mengelola kedua pulau tersebut. Karena Malaysia sudah lebih dulu, akhirnya Malaysia yang dimenangkan. Bukan tidak mungkin jika masih melalaikan pengawasan dan pembangunan di kawasan frontier, satu persatu pulau yang “potensial untuk dipersengketakan” jatuh ke pangkuan negara-negara tetangga.

Mengenai kualitas Malaysia berdiplomasi di dunia internasional, saya ingat saat kasus sengketa Ambalat ini mencuat secara luas di media massa (lagi-lagi saya lupa kapan tepatnya, apakah di tahun 2004 atau 2005), Menteri Luar Negeri Malaysia Syed Hamid Albar datang ke Indonesia menjawab pertanyaan para wartawan dengan tangkas lalu makan di restoran Padang terkenal, tanpa rasa takut dan terlihat penuh percaya diri. Dari tampilannya saya bisa menilai kualitas diplomasi mereka di atas rata-rata elit Indonesia “produk jaman sekarang”. Saya memberi kutipan pada frase produk jaman sekarang karena para pemimpin Indonesia di masa lalu (katakanlah era 1980-an ke bawah) rata-rata jago berdiplomasi walau perawakannya kecil dan bersahaja – high thinking plain living. Berarti dari sini saja bisa dilihat bahwa bangsa kita selama ini tidak berhasil membangun karakter manusia. Indikator keberhasilan pembangunan hanya terfokus pada pembangunan fisik saja.

Selain sengketa perbatasan, masalah yang menyangkut martabat bangsa adalah seringnya para TKI kita diperlakukan semena-mena oleh majikannya atau institusi pemerintahan asing di luar negeri. Berapa banyak yang mengalami siksaan fisik, gaji tidak dibayar, diperkosa, dikurung, dan lain-lain pelecehan. Tetapi tidak tampak keseriusan dari pemerintahan kita untuk betul-betul melindungi warganya di luar negeri. Rata-rata setiap kasus penganiayaan yang diangkat ke meja hukum di luar negeri menguap tanpa kejelasan. Kasus penyiksaan Manohara, jika memang terbukti dia mengalami berbagai tindak kekerasan, hanya merupakan satu contoh perbuatan semena-mena terhadap orang Indonesia di luar negeri.

Apa sebab kisah-kisah penganiayaan TKI ini terus berlanjut hingga sekarang? Karena tingkat keseganan negara luar terhadap Indonesia sangat rendah. Kita dianggap lemah dalam berbagai hal. Hal itu diperparah lagi dengan adanya kasus korupsi di jajaran kedutaan besar kita di luar negeri. Seperti misalnya kasus korupsi yang menimpa Rusdiharjo, mantan Dubes Indonesia untuk Malaysia, makin membuat kita kehilangan kehormatan dan makin membuat orang luar berani berbuat semaunya terhadap WNI kita di luar negeri. Juga praktek-praktek korupsi yang terjadi di dalam negeri membuat negara kita diombang-ambingkan oleh kepentingan asing dan para kapitalis (baik kapitalis luar negeri maupun dalam negeri sendiri). Menurut sebuah surat kabar nasional yang saya baca pada tahun 2007, majalah Time dalam salah satu edisinya mensinyalir bahwa tingkat pengaruh Indonesia di kancah pergaulan internasional bahkan sudah mulai tertandingi oleh Laos dan Kamboja.

Ada lagi yang juga menyesakkan dada. Banyak produk budaya kita yang diklaim Malaysia sebagai budaya asli mereka bahkan sudah mereka daftarkan sebagai hak paten milik mereka; seperti kesenian reog, lagu "rasa sayange", seni batik, dan beberapa macam jenis makanan khas Indonesia.

Siapa yang salah jika kedaulatan kita diremehkan negara lain? Siapa yang salah jika martabat bangsa kita sering diinjak-injak orang lain? Menurut saya, dalam banyak hal bangsa kita sendiri yang salah. Bangsa kita selama ini telah lalai menegakkan kedaulatan dan lalai menjaga martabatnya sendiri. Mari kita renungkan dengan kepala dingin dan berjiwa besar.

Lalu bagaimana caranya menegakkan kembali kedaulatan itu – kedaulatan di segala bidang? Tentunya ini bukan ranah saya. Saya tidak mempunyai kompetensi dan kapasitas yang memadai untuk menelurkan gagasan menegakkan kedaulatan. Mungkin saya perlu kursus dulu di Lemhannas. Kalau lem aibon atau lem epoxy di rumah saya ada, soalnya sering saya pakai untuk kegiatan prakarya di akhir pekan, he-he-he. Biarlah para elit dan cerdik-cendekia yang lebih tahu cara mengatasinya. Yang paling penting adalah kemauan dan komitmen yang sungguh-sungguh. Lewat artikel mini ini saya hanya mencoba mengungkapkan perspektif saya bahwa ada sisi lain di balik cerita kaburnya sang “Cinderella”the other side behind the escape of Cinderella.
Read more (Baca selengkapnya)...