Thursday, December 6, 2012

BPMIGAS Bubar, Digantikan oleh SKMIGAS



Ini bukan berita baru. Selama lebih tiga minggu menjadi topik hangat dalam media massa. Sebetulnya sudah sejak  minggu dibubarkannya Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS),  saya sudah tergelitik untuk menulis oipini pribadi tentang ini. Namun selama beberapa bulan sejak saya posting artikel terakhir di blog ini pada Mei 2012, belum ada mood untuk menulis. Alhasil baru bisa menulis setelah hampir tiga minggu semenjak BPMIGAS dibubarkan. Menulis memang susah-susah gampang. Yang paling susah adalah bagaimana menciptakan “mood” itu sendiri.

Kembali ke topik. Seperti biasa, setiap hari di kala senggang saya sering membaca berita di portal-portal berita on line. 13 November 2012 saat sedang makan siang menyantap soto kudus, saya membaca berita yang sangat mengejutkan: Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan BPMIGAS karena dicap inkonstitusional. BPMIGAS yang sudah 10 tahun menjalankan amanah UU Migas No. 22/2001 tiba-tiba dianggap sebagai anak haram yang tidak syah kelahirannya. Sangat mengejutkan! Tidak hanya di kalangan pelaku kegiatan klaster industri hulu migas, tetapi juga di mata dunia internasional.

Beberapa saat setelah keputusan tersebut dikeluarkan MK, kegiatan proses bisnis hulu migas, terutama yang terkait aspek legalitas seperti lifting (penjualan) migas sempat terganggu. Jika katakanlah kegiatan hulu migas menyumbang pendapatan bersih Rp 350 triliun bagi negara, berarti terhentinya kegiatan operasional migas berpotensi menimbulkan kehilangan pendapatan Rp 1 triliun per hari. Belum lagi para investor akan ragu-ragu dalam mengucurkan dana investasinya karena, lagi-lagi, para investor mengkhawatirkan  adanya ketidakpastian berusaha di Indonesia. Ketidakpastian akan menyebabkan suatu risiko (risk premium) yang tinggi sehingga para investor akan mematok Minimum Attractive Rate of Return (MARR) yang lebih tinggi. Artinya mereka akan sangat hati-hati mengucurkan dananya dan karenanya realisasi investasi dapat tersendat.

Setelah BPMIGAS dibubarkan, untuk tetap menjaga keberlanjutan kegiatan usaha hulu migas yang sangat vital bagi negara, pemerintah pusat bertindak cepat dan segera meresponnya dengan menerbitkan Perpres No. 95/2012 tanggal 13 November 2012 malam serta Kepmen ESDM No. 3135 dan 3136/2012 tanggal 16 November 2012. Perpres dan Kepmen tersebut membidani terbentuknya unit organisasi sementara pengganti eks BPMIGAS yang bernama Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, disingkat “SKMIGAS”, yang sebelumnya sempat disingkat “SKSPMIGAS”.

Inti dari Perpres dan Kepmen tersebut adalah: (i) Pengalihan tugas, fungsi pengendalian dan pengawasan kegiatan hulu migas berada di bawah Kementerian ESDM; (ii) Semua tupoksi yang selama ini dijalankan oleh BPMIGAS dialihkan ke SKMIGAS. Unit ini langsung dikepalai oleh Menteri ESDM. Keputusan MK dan perubahan nama ini menimbulkan konsekuensi yang luar biasa dalam berbagai aspek yang tidak perlu saya ulas disini.

Sepanjang sejarah berdirinya Republik Indonesia konon baru ada dua lembaga yang dicap inkonstitusional. Pertama,  Partai Komunis Indonesia (PKI) karena jelas-jelas bertentangan dengan Sila Pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dalam Pancasila. Dan kedua, BPMIGAS, karena dianggap tidak mampu memberikan kemakmuran bagi rakyat Indonesia, alias bertentangan dengan Pasal 33 UUD 45.

Berbagai tudingan dan hujatan pun berhamburan di media massa dan berbagai kalangan. Nyaris tidak ada berita positif tentang keberadaaan dan sumbangsih BPMIGAS selama ini bagi negara, terutama dalam mengamankan tata kelola kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi – yaitu kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Hujatan yang paling sering mengemuka adalah bahwa BPMIGAS itu sarang korupsi, boros (tidak efisien), dan lebih memihak kepentingan asing ketimbang kepentingan nasional. Di sebuah food court saat makan malam secara tidak sengaja saya mendengar celotehan sekelompok orang yang mencemooh BPMIGAS, antara lain pola hidup foya-foya seperti main golf, sering mengadakan acara di hotel bintang lima, dan sebagainya.

Mengenal Tugas Pokok dan Fungsi BPMIGAS

BPMIGAS adalah Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang didirikan berdasarkan UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Peraturan Pemerintah No. 42/2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Sesuai amanah undang-undang, fungsi utama BPMIGAS adalah mengawasi dan mengendalikan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sesuai dengan Kontrak Kerja Sama (KKS), agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi Negara dan demi sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia.


Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, May 28, 2012

Pengembangan Gas Metana Batubara (Coalbed Methane) di Indonesia


Hidrokarbon Non Konvensional

Minyak dan gas bumi merupakan senyawa hidrokarbon yang asal-muasalnya dari zat-zat organik (makhluk hidup), sehingga disebut fossil energy (energi fosil). Kita berada dalam era dimana permintaan akan energi primer minyak dan gas bumi terus meningkat, sementara cadangan global makin menipis. Tumbuhnya negara-negara raksasa ekonomi baru seperti Brazil, Rusia, India, dan China (kelompok empat negara ini sering disebut “BRIC”) semakin mempercepat laju konsumsi minyak dan gas bumi. Kondisi ini memaksa manusia untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi berbagai sumber energi lain, baik energi baru maupun terbarukan.

Salah satu sumber energi baru tersebut adalah unconventional hydrocarbon (hidrokarbon non konvensional). Disebut non konvensional karena keberadaan resource-nya di alam dan beberapa sifat fisiknya berbeda dengan minyak dan gas konvensional yang ada. Perbedaaan tersebut antara lain:

• Secara geologis, pada umumnya hidrokarbon non konvensional terbentuk dan terjebak langsung di source rock (batuan asal). Sedangkan hidrokarbon konvensional (minyak dan gas yang kita kenal sekarang ini) setelah terbentuk di source rock bermigrasi dan terjebak di lapisan batuan sedimen.
• Lapisan batuan tempat hidrokarbon non konvensional memiliki permeabilitas sangat rendah (kurang dari 0,1 mili Darcy) dan porositas yang berkisar dari 0,1 sampai 10%.
• Letak sumber daya hidrokarbon non konvensioal di bawah permukaan bumi biasanya lebih dalam daripada hidrokarbon konvensional. Kecuali CBM yang pada umumnya lebih dangkal.
• Dari berbagai rujukan dikatakan bahwa secara kuantitas (volume), potensi hidrokarbon non konvensional jauh lebih tinggi dari hidrokarbon konvensional, namun diperlukan teknologi yang lebih maju dan biaya yang lebih tinggi untuk memproduksinya secara ekonomis. Sehingga tantangan kedepan dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi hidrokarbon non konvensional adalah tantangan teknologi, sumberdaya finansial, dan sumberdaya pendukung lainnya.

Seperti halnya hidrokarbon konvensional, hidrokarbon non konvensional di alam juga didapati dalam bentuk minyak dan gas. Termasuk dalam kelompok unconventional oil (minyak non konvensional) adalah Heavy oil, Shale Oil, dan Oil Sands. Sedangkan kelompok unconventional gas (gas non konvensional) antara lain Coal Bed Methane (CBM), Tight Gas Sands, Oil Shale, dan Gas Hydrates. Jadi CBM merupakan salah satu jenis unconventioanl hydrocarbon
 

CBM dapat didefinisikan sebagai gas alam dengan komposisi utama metana (CH4) yang terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan batubara (coalification), terjebak dan teradsorpsi pada “cleats” (macropores) dan matriks batubara (micropores). Cleats secara fisik serupa dengan retakan-retakan di lapisan batubara. Air menempati cleats sehingga memberikan tekanan yang cukup untuk menahan gas metana di tempat. 
 

Potensi serta Cadangan CBM Dunia dan Indonesia

Mayoritas cadangan (reserve) CBM yang telah teridentifikasi terdapat di Rusia, Amerika Serikat (termasuk Alaska), China, Australia, Kanada, Inggris (UK), India, Ukraina, dan Kazakhstan. Berdasarkan estimasi, secara worldwide terdapat lebih dari 6000 TCF (trillion cubic feet) gas CBM di tempat (Original Gas In Place – OGIP). Negara-negara yang telah memproduksikan CBM secara komersial adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, India, dan China. Produksi CBM di seluruh dunia saat ini berada di level 6 BCFD (Miliar kaki kubik per hari). Sekitar 5 BCFD produksi CBM berada di Amerika Serikat yang merupakan 10% dari total produksi gasnya.  
 

Sementara di Indonesia hingga Desember 2011 beberapa Wilayah Kerja (WK) CBM baru dalam proses sertifikasi cadangan, sehingga angka yang ada baru merupakan potensi sumberdaya CBM saja, yaitu sebesar 453,3 TCF yang terdapat dalam 11 cekungan (basin) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Potensi sumberdaya CBM ini lebih besar dibandingkan sumberdaya gas konvensional sebesar 384,7 TCF.
Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, April 26, 2012

Selamat Jalan, Mas Wid. Selamat Jalan, The Smiling Professor....




Sabtu sore, 21 April 2012, kira-kira 10 menit menjelang azan maghrib berkumandang di wilayah Jakarta, saya mendapat SMS dari teman lama yang memberitahukan bahwa Prof. Dr. Ir. Widjajono Partowidagdo, MA, MSc, Wakil Menteri ESDM, telah meninggal dunia dalam pendakiannya ke puncak Gunung Tambora. Seperti banyak orang, saya juga kaget mendapatkan berita itu, karena Mas Wid (demikian kami para mahasiswanya biasa memanggilnya) dikenal energik dan memiliki tubuh yang bugar. Saya segera membuka salah satu kanal TV swasta yang sering menayangkan berita, di banner-nya tertulis berita duka atas meninggalnya Mas Wid. Masih kurang puas, saya membuka detik.com, disitu juga saya menemukan berita yang mengkonfirmasi meninggalnya beliau. Tadinya saya berencana akan melayat Sabtu malam itu juga di tempat disemayamkan jenazahnya, yaitu di rumahnya di Jl. Ciragil II Kebayoran Baru. Namun karena waktu ketibaan jenazahnya tidak ada kepastian, saya putuskan melayat Minggu pagi sebelum jenazahnya dimakamkan.

Minggu pagi, 22 April 2012, jam 07.40 saya mengarah ke Jl. Wolter Monginsidi lalu siap membelokkan kendaraan ke Jl. Ciragil II. Begitu tiba di muka Jl. CIragil II, petugas pengamanan memandu saya untuk parkir di bahu Jl. Wolter Monginsidi saja karena Jl. Ciragil II sudah penuh diparkiri kendaraan dan pas ketika itu Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, sedang melayat juga. Setelah Presiden RI pulang, saya masuk ke tempat kediaman almarhum dan keluarganya. Rumah kediaman almarhum termasuk biasa-biasa saja untuk ukuran pejabat yang levelnya setengah tingkat di bawah menteri. Pertengahan 2009 saya pernah datang ke rumahnya untuk mengambil 4 eksemplar buku “Migas dan Energi” yang saat itu baru terbit. Jl. Ciragil I dan Ciragil II mengapit kali kecil. Kalau melihat lantai-lantai rumah yang ditinggikan dari permukaan jalan, sepertinya Jl. Ciragil I dan II ini kerap kebanjiran saat musim penghujan.

Terkesan penjagaannya tidak ketat seperti di tempat kediaman pejabat kebanyakan, karena di samping itu memang rumah pribadi keluarganya (bukan rumah dinas) beliau dikenal akrab dengan siapapun, tak terkecuali tetangganya. Makanya mulai dari level Presiden RI sampai ke orang-orang biasa, termasuk para tetangganya, menyempatkan diri melayat, memberikan doa dan penghormatan terakhir untuk beliau. Banyak sekali yang datang. Saya berkesempatan ikut menyolatkan jenazah beliau, dan melihat wajah terakhirnya ketika kain kafan penutup wajahnya dibuka. Saya lihat ada senyum di wajahnya, sebagaimana tampilannya sehari-hari yang selalu senyum. Tak lama setelah Wapres Budiono pulang melayat, Rektor ITB mewakili pihak keluarga besar menyerahkan jenazah kepada Mensesneg Sudi Silalahi selaku wakil Negara. Dengan upacara kehormatan jenazah beliau diusung ke mobil jenazah dan diberangkatkan ke pemakaman muslim di kompleks San Diego Hills di Karawang.

Read more (Baca selengkapnya)...

Tuesday, March 13, 2012

BBM: Naik... Tidak.... Naik?


Kebijakan subsidi energi sudah lama dijalankan. Paling tidak, seingat saya, sejak masa pemerintahan Orde Baru. Maksud Pemerintah ketika itu adalah agar pertumbuhan ekonomi cepat bergulir dengan biaya input yang murah dan terjangkau oleh masyarakat kebanyakan, dimana ketika itu pendapatan per kapita rata-rata Indonesia masih berada dalam kategori negara miskin. Sayangnya, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita, kebijakan subsidi energi terus dijalankan – tidak dicabut secara gradual – sehingga tidak lagi tepat sasaran. Seyogyanya yang disubsidi itu adalah langsung orangnya, bukan bendanya, atau bisa juga subsidi dalam bentuk pembangunan berbagai infrastruktur untuk membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Sekarang terlanjur kebijakan subsidi ini sudah menjadi komoditas politik dan memiliki efek domino yang sangat luas. Dan karenanya mengurangi atau mencabut subsidi dipandang sebagai kebijakan yang non populis, bahkan dapat menumbangkan rejim pemerintahan.

Ketergantungan Indonesia terhadap energi berbasis minyak bumi masih sangat tinggi. Menurut Indonesia Energy Outlook 2010 (IEO 2010) yang dirilis Pusat Data dan Informasi Kementerian ESDM, minyak bumi memakan porsi 39% dari total bauran energi primer (primary energy mix) di Indonesia, dan, bersama-sama dengan gas, masih akan terus dominan sampai 20 tahun mendatang. Sementara sejak tahun 2004 Indonesia sudah menjadi negara pengimpor netto minyak bumi.


Diversifikasi energi teramati jalan di tempat – tidak fokus dan tidak serius. Terutama pemanfaatan EBT (Energi Baru dan Terbarukan) dan substitusi BBM menjadi BBG atau BBN. Saat ini diperkirakan hanya tersisa 3 SPBU di Jakarta yang menyediakan BBG. Salah satu penyebab tidak berjalannya diversifikasi energi ini adalah karena pasca Orde Baru prioritas para elit lebih tercurah ke permasalahan politik, sehingga pembangunan sektor energi termasuk yang kehilangan momentum. Hal lain yang teramati menghambat pemanfaatan EBT adalah euforia otonomi daerah yang berlebihan, sehingga banyak program/agenda pembangunan dari pusat yang tidak berjalan di level daerah.

Minyak dan gas bumi masih sebagai sektor penyumbang terbesar pendapatan negara dibandingkan sektor-sektor lain. Kisarannya 20-30%, tergantung fluktuasi nilai Indonesia Crude Price (ICP – indeks harga minyak mentah Indonesia). Di satu sisi merupakan hal positif dan membanggakan, karena migas masih menjadi sektor andalan. Namun di sisi lain dapat dipandang negatif. Sebab jika sebuah negara terus menerus bergantung pada Sumber Daya Alam (SDA) untuk memacu pertumbuhan ekonominya, berarti sektor-sektor non SDA, terutama industrialisasi, kurang berkembang.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, dari sisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memang serba salah dan rentan gejolak. Kalau harga minyak naik, pendapatan negara dari sektor hulu migas akan meningkat, dan investasi untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasipun meningkat, namun APBN dari sisi pengeluaran akan tertekan karena terjadi peningkatan belanja subsidi. Sebaliknya, jika harga minyak mentah turun, beban pengeluaran APBN menjadi lebih ringan karena belanja subsidi akan menurun, namun intensitas kegiatan eksplorasi dan produksipun akan menurun pula, sehingga dapat mengakibatkan menurunnya produksi dan minimnya penemuan cadangan baru; akibatnya APBN akan tertekan dari sisi pendapatan. Jika subsidi BBM dicabut, akan terjadi penolakan yang luar biasa dari masyarakat, apalagi hingga saat ini Pemerintah belum dapat menyediakan energi alternatif pengganti BBM secara massal yang harganya sama atau lebih rendah dari harga BBM bersubsidi.

Asumsi makro APBN yang hanya menempatkan “minyak” sebagai target lifting makin memperparah adanya semacam asimetri informasi, dimana sebagian besar masyarakat Indonesia (termasuk para elit dan pengamat yang tidak pernah terlibat langsung dalam tata kelola usaha hulu migas) masih beranggapan bahwa Indonesia sangat kaya minyak. Padahal di akhir tahun 2009 cadangan terbukti minyak Indonesia yang tinggal 3,96 miliar barel (dengan rasio cadangan terbukti terhadap produksi 10,5 tahun) hanya 0,29% dari total cadangan minyak dunia. Sedangkan produksi minyak Indonesia yang sekarang di level 920-an ribu barel per hari hanya 1,13% dari total produksi minyak dunia (BP Statistical Review of World Energy 2011). Semestinya asumsi makro APBN menyebutkan “minyak dan gas bumi” secara bersamaan dalam satuan Barrel of Oil Equivalent per Day (BOEPD). Kegiatan usaha hulu migas kini dan akan datang secara volumetrik (BOE) akan lebih didominasi oleh gas. Kita telah memasuki era gas. Era minyak diramalkan akan menjadi “masa lalu” jika tidak ada lagi temuan cadangan minyak yang volumenya signifikan. Memang pasca ditemukannya cadangan minyak di Lapangan Banyu Urip, Cepu, dapat dikatakan tidak ada lagi temuan cadangan yang berarti, paling-paling sekedar tambahan transformasi dari probable reserve dan possible reserve menjadi cadangan pasti (proven reserve).

Target produksi dan pendapatan sektor hulu migas dalam APBN yang selama ini teramati ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah menyebabkan eksploitasi migas sebagai SDA tak terbarukan (non renewable and depleted natural resources) cenderung mengarah ke “asal kuras habis”, tidak lagi sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan – dimana harus ada konservasi SDA yang disisakan untuk generasi mendatang jika memang cadangannya makin menipis.

Indonesia Sangat Boros Energi?

Para pengemat menilai dengan elastisitas energi (ε) sebesar 1,84 Indonesia dikatakan sangat boros energi (jika menurut versi IEO 2010 angka elastisitas energi Indonesia sekitar 1,4). Elastisitas energi didefinisikan sebagai persentase peningkatan kebutuhan energi terhadao persentase pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto. Artinya berapa persen diperlukan tambahan pasokan energi dalam setiap persen pertumbuhan GDP. Namun boros-tidaknya konsumsi energi tidak dapat dilihat dari perspektif elastisitas energi semata. Tingkat efisiensi konsumsi energi dapat dilihat juga dari (i) seberapa besar output ekonomi untuk setiap unit energi yang dikonsumsi – atau singkatnya Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi, dan (ii) kurva “S” pertumbuhan konsumsi energi.

Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi

Di bawah ini diagram sederhana linier antara input dan output aktivitas ekonomi:


Dua tahun lalu saya melakukan exercise terhadap 13 negara: Amerika Serikat, Inggeris (UK), Switzerland, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, China, India, Singapura, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Malaysia. Data GDP nominal diambil dari www.en.wikipedia.org. Sedangkan data konsumsi energi primer diambil dari BP Statistical Review of World Energy 2009. Data GDP dan konsumsi energi primer tahun 2008 untuk ketiga belas negara ditampilkan dalam bentuk tabel.

Lalu rasio GDP terhadap konsumsi energi diurutkan dari besar ke kecil dan ditampilkan dalam bar chart. Satuan Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi adalah US Dollar per TOE. Artinya berapa dollar Amerika Serikat yang dapat dihasilkan (sebagai output aktivitas ekonomi) untuk setiap TOE energi yang dikonsumsi sebuah negara.


Dari tiga belas negara, ternyata Switzerland yang paling efisien konsumsi energinya; katakanlah demikian jika Rasio GDP terhadap Konsumsi Energi ini bisa dijadikan sebagai tolak ukur tingkat efisiensi energi. Switzerland, negara yang hidup dari industri jasa, dalam setiap TOE energi yang dikonsumsinya bisa menghasilkan pendapatan US$ 17 ribu lebih. Amerika Serikat, negara adidaya yang sering jadi rujukan negara-negara lain, hanya menghasilkan US$ 6281 per TOE, lebih rendah dari Filipina yang menghasilkan US$ 6676 per TOE. Indonesia menghasilkan US$ 4114 dalam setiap TOE energi yang dikonsumsi.

China ternyata paling tidak efisien konsumsi energinya dari 13 negara yang di-exercise. China hanya menghasilkan US$ 2447 dari setiap TOE energi yang dikonsumsinya. Filipina paling tinggi di antara sesama negara ASEAN. Memang biasanya terbatasnya ketersediaan sumber daya energi domestik (banyak melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan energi) dapat menstimulasi sebuah negara menjadi lebih efisien dalam mengkonsumsi energi. Apalagi di Filipina tidak ada kebijakan subsidi energi seperti di Indonesia.

Akan halnya Indonesia sendiri, jika dibandingkan sesama negara ASEAN selain Filipina, posisi Indonesia masih lebih baik dari Malaysia, Thailand, dan Singapura. Bahkan lebih baik dari Korea Selatan, India, dan China. Memang rasio GDP terhadap konsumsi energi belum tentu secara langsung mencerminkan tingkat kemakmuran sebuah negara. Malaysia, Korea Selatan, Singapura, Thailand, dan China memiliki GDP per kapita lebih tinggi dari Indonesia, walau rasio GDP terhadap konsumsi energi mereka lebih rendah. Namun, paling tidak, seberapa efisien konsumsi energi sebuah negara bisa dilihat dari perspektif lain, tidak semata berdasarkan parameter elastisitas energi.

Kurva “S” Pertumbuhan Konsumsi Energi


Kurva “S” merupakan salah satu cara yang sering digunakan untuk memonitor progres sebuah proyek. Cara yang sama dapat diterapkan untuk menganalisa evolusi pertumbuhan kebutuhan energi sebuah negara. Kurva “S” pertumbuhan energi dibagai menjadi empat fase, yaitu fase pra-industrialisasi, fase pembangunan (industrialisasi), fase ekuilibrium, dan fase lanjutan.

Fase pra-industrialisasi adalah periode ketika sebuah negara belum mengalami industrialisasi atau belum begitu intensif melakukan pembangunan fisik. Pada fase ini tentunya kebutuhan akan energi relatif kecil. Untuk Indonesia dapat dikatakan fase ini terjadi antara tahun 1945 sampai 1970. Fase pembangunan (industrialisasi) adalah periode dimana industrialisasi sangat intensif sehingga memacu pertumbuhan ekonomi dan selanjutnya menyebabkan kebutuhan energi meningkat pesat. Indonesia saat ini berada di fase kedua ini.

Fase ekuilibrium adalah periode dimana supply-demand energi sebuah negara sudah mencapai titik keseimbangan, yaitu ketika negara tersebut sudah mapan dan mampu menyeimbangkan berbagai kebutuhan nasionalnya, sehingga pertambahan kebutuhan energinya sangat rendah. Untuk fase selanjutnya tergantung lagi pada kondisi sebuah negara. Apakah ada industrialisasi lanjutan atau tidak. Di fase lanjutan ini permintaan energi bisa naik, stagnan, atau turun tergantung keberhasilan manajemen energi negara tersebut dalam melakukan konservasi, efisiensi, dan diversifikasi energi.

Bahwa bangsa kita masih berbudaya tidak efisien, sehingga memicu terjadinya pemborosan energi, dengan sportif kita mesti mengakui. Tetapi sebetulnya besarnya angka elastisitas energi bukanlah karena budaya tidak efisien semata, melainkan lebih karena didorong oleh beberapa faktor berikut:
  • Supply-demand energi di Indonesia belum mencapai titik ekuilibrium. Contohnya saja di sub sektor energi listrik, akhir tahun 2009 rasio elektrifikasi nasional baru mencapai sekitar 65% - masih jauh di bawah 100%; artinya rata-rata di seluruh wilayah Indonesia masih ada 35 dari 100 rumah tangga yang belum dialiri listrik.

  • Pertumbuhan industri dan pemukiman yang pesat memerlukan tambahan pasokan energi yang besar untuk mengimbanginya.

  • Jika dilihat dari pemetaan konsumsi energi per kapita yang dirilis oleh International Energy Agency dalam World Energy Outlook 2008, Indonesia termasuk dalam range terendah, bahkan lebih rendah dari beberapa negara ASEAN. Rendahnya konsumsi energi per kapita ini disebabkan karena ketersediaan dan kemudahan akses energi di wilayah Indonesia yang tidak merata dan belum berkeadilan. Kawasan JAMBAL (Jawa-Madura-Bali) dan kota-kota besar lainnya cenderung berlimpah energi, sedangkan di kawasan terpencil (bahkan ada yang berdekatan langsung dengan sumber energi) tidak tersedia insfrastruktur dan akses terhadap energi.

  • Pasca diterpa krisis moneter 1998 beberapa sektor pembangunan di Indonesia sempat kehilangan momentum, antara lain karena para elit lebih berkonsentarasi ke permasalahan politik, euforia demokratisasi, dan otonomi daerah. Tentunya banyak langkah pemerintah yang sifatnya “tancap gas” untuk mengejar berbagai proses pembangunan yang pernah tertunda. Energi adalah salah satu sektor yang sempat kehilangan momentum pembangunan.
Butir-butir di atas mengindikasikan bahwa Indonesia memang masih membutuhkan banyak tambahan pasokan energi dari tahun ke tahun sebelum mencapai titik ekuilibrium, sehingga tidak heran jika elastisitas energinya masih tinggi (di atas angka “1”). Sedangkan negara-negara maju yang rasio elektrifikasinya sudah 100% dan supply-demand energinya sudah mencapai titik ekuilibrium, ditambah dengan budaya efisien, angka elastisitas energinya sangat rendah, bahkan ada yang negatif. Dari analisa singkat Kurva “S” ini juga dapat dikatakan bahwa tidak fair jika menentukan boros atau tidaknya konsumsi energi hanya berdasarkan angka elastisitas energi semata. Mesti dilihat kondisi sebuah negara dikaikan dengan tingkat kemajuannya. Ketika industri dan ekonominya sedang tumbuh pesat, maka kebutuhan energinya akan meningkat secara signifikan. Ketika negara tersebut sudah mapan dan mampu menyeimbangkan berbagai kebutuhan nasionalnya, angka elastisitas energinya akan rendah.

Penutup
  1. Adanya kenyataan bahwa (i) ketergantungan yang sangat tinggi terhadap energi berbasis minyak bumi (BBM), (ii) Indonesia yang sudah menjadi importir netto minyak bumi sejak tahun 2004, (iii) diterapkannya subsidi energi sejak lama, (iv) peran hulu migas dalam pendapatan negara masih sangat dominan, dan (v) diversifikasi energi yang terasa jalan di tempat menyebabkan Indonesia pada posisi serba salah dari sisi neraca APBN. Jika harga minyak mentah naik, pendapatan negara akan naik namum APBN akan tertekan dari sisi pembelanjaan karena membengkaknya belanja subsidi. Sebaliknya, jika harga minyak turun, APBN akan tertekan dari sisi pendapatan, namun aman dari sisi pembelanjaan.

  2. Selama diversifikasi energi belum berjalan baik dan ketergantungan terhadap minyak masih tinggi, maka diperkirakan Pemerintah akan terus menuntut sektor hulu migas menggenjot level produksinya seperti kecenderungan yang telah terjadi selama ini. Sehingga eksploitasi migas akan mengarah ke praktek “asal kuras habis” ketimbang pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, Pemerintah harus melakukan efisiensi, konservasi, dan diversifikasi energi secara sungguh-sungguh. Masyarakat akan lebih “legowo” menerima kenyataan BBM dengan harga keekonomian apabila sudah ada alternatif energi pengganti BBM yang sama atau lebih murah harganya dibanding BBM bersubsidi. Kenyataan yang sering terjadi terbalik: Pemerintah mengurangi/mencabut subsidi terlebih dahulu baru berjanji mengembangkan energi alternatif yang lebih murah, namun kenyataannya janji tersebut sering tidak ditepati.

  3. Salah satu penyebab sulitnya pengembangan energi alternatif pengganti BBM karena harganya “dipaksa” bersaing dengan harga energi yang disubsidi, sehingga kurang menarik minat investor. Oleh karena itu, pencabutan subsidi secara gradual diharapkan dapat memicu upaya diversifikasi energi.

  4. Boros-tidaknya konsumsi energi sebuah negara tidak dapat hanya dilihat dari angka elastisitas energinya semata, namun juga harus dilihat berapa output ekonomi (GDP) yang dihasilkan dari setiap unit energi yang dikonsumsi serta kondisi pembangunan atau tingkat kemajuan di negara tersebut.

  5. Semua pemangku kepentingan di sektor energi, terutama Pemerintah, BUMN dan BUMD yang bergerak di usaha energi, kontraktor asing dan perusahaan nasional yang begerak di sektor energi sepatutnya memberikan contoh/teladan dalam diversifikasi dan penghematan energi. Misalnya mempelopori penggunaan mobil bermesin hybrid untuk kendaraan dinas/operasional dan penggunaan BBG. Jangan mentang-mentang kendaraan dinas yang disediakan oleh instansi/perusahaannya lantas menggunakan kendaraan roda empat ber-cc besar yang boros BBM. Ini artinya sangat minim keteladanan dan minim rasa empati di tengah-tengah galaunya perasaan rakyat dalam menyongsong kenaikan BBM yang nampaknya sudah di depan mata karena “gong”-nya sudah ditabuh oleh Pemerintah.

  6. Asimetri informasi yang terjadi selama ini, bahwa masyarakat Indonesia masih beranggapan Indonesia negara kaya minyak, harus diluruskan:
    • Insan-insan migas melalui kegiatan kehumasan harus aktif mengkampanyekan bahwa Indonesia bukan negara kaya minyak, sekaligus merubah persepsi dari “Barrel of Oil” menjadi “Barrel of Oil Equivalent” karena kita sudah memasuki era gas.
    • Asumsi makro APBN seyogyanya menampilkan target lifting “minyak dan gas” dalam Barrel of Oil Equivalent per Day (BOEPD), ketimbang hanya target lifting minyak dalam Barrel Oil per Day (BOPD). Selain itu target lifting mesti dilihat dari kemampuan maksimal (deliverability) lapangan-lapangan migas yang ada, bukan ditentukan secara sepihak oleh Pemerintah pada saat penyusunan RAPBN.

  7. Jika Pemerintah mengharapkan porsi tambahan keuntungan dari windfall profit disebabkan lonjakan harga minyak (indeks ICP rata-rata di bulan Februari 2012 sebesar US$ 122,17 per barel), tidak ada salahnya mencoba menegosiasi Kontratktor KKS, meskipun termin fiskal kontrak PSC kita menganut fix rate dan kontrak pada dasarnya menganut asas “pacta sunt servanda”, seperti yang sempat diwacanakan dengan “sharing the pain” di tahun 2008 ketika harga minyak dunia sempat hampir menyentuh level US$ 150 per barel.

  8. Belajar dari penerapan kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract – PSC) negara lain, ditambah dengan fluktuasi harga minyak yang sukar diprediksi batas atas-bawahnya, maka memang sudah waktunya mengkaji dan menerapkan formula sliding scale terhadap beberapa parameter PSC, baik yang front end loaded, seperti bonus-bonus, maupun yang neutral (back end loaded), seperti besaran first tranche petroleum (FTP), profit split, dan tax rate. Kriteria sliding scale-nya bisa berdasarkan tingkat produksi, harga minyak, Revenue-to-Cost ratio, dsb. Dengan demikian, jika ada windfall profit, Pemerintah secara otomatis dapat ikut menikmati tambahan porsi keuntungan tanpa perlu repot-repot menegosiasi kontraktor. Seperti misalnya ribut-ribut Freeport yang terus timbul-tenggelam tanpa solusi final.

  9. Sehubungan dengan kondisi dan dinamika kegiatan usaha migas baik di tataran nasional, regional, maupun internasional, tidak ada salahnya mengkaji bentuk-bentuk kontrak lain yang mungkin saja lebih menguntungkan bagi negara, seperti misalnya Royalty/Tax System, Service Agreement, PSC yang di-split langsung dari gross revenue (Peruvian type PSC), dan PSC dengan cost recovery limit. Dalam UU No. 22/2001 tentang Migas, PSC hanyalah salah satu bentuk kontrak kerja sama, jadi tidak menutup peluang terhadap bentuk-bentuk kontrak selain PSC. Ada istilah “no model fits for all conditions”.

  10. Sebagai non-renewable and depleted resources, sudah saatnya ada dana abadi yang disisihkan dari pendapatan kegiatan hulu migas (semacam depletion premium) yang dapat digunakan untuk melakukan assessment cekungan/sumber hidrokarbon secara lebih detail dan lebih representatif, sehingga ketika sebuah wilayah kerja baru ditenderkan, kontraktor mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan dengan tingkat keberhasilan (success ratio) eksplorasi lebih tinggi. Selain itu, dana depletion premium dapat digunakan untuk keperluan riset-riset dan inovasi untuk menjawab tantangan kegiatan hulu migas di masa mendatang yang akan didominasi oleh teknologi lepas pantai (offshore), Enhanced Oil Recovery (EOR), pengolahan gas, dan pengembangan hidrokarbon non konvensional. Selama ini teramati ada ketidakseimbangan dalam tingkat penguasaan teknologi, dimana para ekspatriat dari kontraktor migas asing jauh lebih menguasai, sehingga yang namanya “best engineering practices” di kegiatan usaha hulu migas terkesan lebih “didikte” oleh kontraktor migas asing.

  11. Keandalan data sumber daya (resources) energi primer banyak dipertanyakan tingkat akurasinya. Misalnya di berbagai publikasi disebutkan sumber daya tenaga air (hydro) sebesar 76,7 MWe. Konon data ini dibuat di pertengahan tahun 1980-an dimana kondisi sungai-sungai di Indonesia ketika itu jauh lebih tinggi kualitas fisik dan debitnya dibandingkan kondisi sekarang. Ini yang dikatakan harus transparan dan jujur dalam memberikan data.
Begitu strategisnya migas bagi kepentingan nasional, begitu banyaknya pemangku kepentingan, begitu banyaknya faktor internal dan eksternal yang memengaruhi, begitu banyaknya tantangan dan kendala, serta – tak kalah penting – begitu banyaknya yang memiliki kepentingan politik-ekonomi, maka usaha untuk memperbaiki tata kelola migas – baik di kegiatan usaha hulu maupun hilir – memerlukan kajian yang mendalam, komprehensif, dan pendekatan yang holistik. Yang paling utama adalah bahwa para pemangku kepentingan harus mengedepankan itikad baik (good faith) dan kepentingan bangsa. Jangan menjadikan Indonesia sebagai benalu bagi dirinya sendiri. Berdosa kita kepada para founding fathers negara ini yang rata-rata sangat visioner – memiliki pemikiran dan pandangan jauh kedepan.
Read more (Baca selengkapnya)...

Thursday, February 23, 2012

Kebijakan Energi dan Kebutuhan Energi Nasional


Kebijakan Energi Nasional

Kebijakan energi nasional Indonesia dijabarkan dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Bab II Pasal 2 dari Perpres tersebut memuat tujuan dan sasaran kebijkan energi nasional:

(1) Kebijakan Energi Nasional bertujuan untuk mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri.

(2) Sasaran Kebijakan Energi Nasional adalah:
a. Tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1 (satu) pada tahun 2025.
b. Terwujudnya bauran energi (primer) yang optimal pada tahun 2025, yaitu peranan masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional:
i. Minyak bumi menjadi kurang dari 20% (dua puluh persen).
ii. Gas bumi menjadi lebih dari 30% (tiga puluh persen).
iii. Batubara menjadi lebih dari 33% (tiga puluh tiga persen).
iv. Bahan bakar nabati (biofuel) menjadi lebih dari 5% (lima persen).
v. Panas bumi menjadi lebih dari 5% (lima persen).
vi. Energi baru dan energi terbarukan (EBT) lainnya, khususnya biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin menjadi lebih dari 5% (lima persen).
vii. Batubara yang dicairkan (liquefied coal) menjadi lebih dari 2% (dua persen).

Meskipun Gas Metana Batubara atau Coal Bed Methane (CBM) tidak disebut secara spesifik dalam sasaran bauran energi primer dalam Perpres 5/2006, namun menurut target Bauran Energi Nasional yang dirilis oleh Ditjen Migas dalam brosur berjudul Investment Opportunities in Indonesia Oil and Gas Sector and Biofuel Development, CBM termasuk dalam bagian EBT bersama-sama dengan jenis energi terbarukan lainnya.

Selanjutnya, pemerintah akan terus melakukan analisis sisi pasokan dan permintaan energi. Sehingga pada tahun 2025 mendatang minyak hanya mencapai 23 persen, gas 19 persen, batubara 30 persen, dan energi terbarukan sebanyak 25,9 persen. Energi terbarukan tersebut terdiri dari energi air (hidro), biomassa, energi surya, dan panas bumi (www.republika.co.id, 16 Desember 2011).

Potensi dan Kebutuhan Pasokan Energi Primer Indonesia

Energi primer adalah energi yang terkandung dalam sumber energi yang langsung disediakan oleh alam dan belum mengalami konversi (perubahan). Minyak bumi, gas bumi, batubara, panas bumi, tenaga air, tenaga angin, radiasi matahari, ombak laut, dan bahan radioaktif adalah contoh-contoh sumber daya energi primer. Indonesia dikarunia beragam energi, baik energi fosil, non fosil, energi baru, maupun energi terbarukan. Tabel 1 menunjukkan berbagai macam energi primer di Indonesia beserta potensi, cadangan, tingkat produksi, dan utilisasinya.


Teramati pertumbuhan kebutuhan pasokan energi primer di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir meningkat pesat karena didorong oleh faktor-faktor berikut:

• Kondisi supply-demand energi di Indonesia belum mencapai titik ekuilibrium. Contohnya saja di sub sektor energi listrik, saat ini rasio elektrifikasi nasional baru mencapai sekitar 67% - masih jauh di bawah 100%. Artinya rata-rata di seluruh wilayah Indonesia masih ada 33 dari 100 rumah tangga yang belum dialiri listrik.

• Pertumbuhan industri dan pemukiman yang pesat memerlukan tambahan pasokan energi yang besar untuk mengimbanginya.

• Jika dilihat dari mapping konsumsi energi per kapita yang dirilis oleh International Energy Agency dalam World Energy Outlook 2008, Indonesia termasuk dalam range terendah, bahkan lebih rendah dari beberapa negara ASEAN.

• Pasca diterpa krisis multidimensi tahun 1998 banyak sektor pembangunan di Indonesia sempat kehilangan momentum. Tentunya banyak langkah pemerintah yang sifatnya “tancap gas” untuk mengejar berbagai proses pembangunan yang sempat tertunda. Energi adalah salah satu sektor yang sempat kehilangan momentum pembangunan.

Butir-butir di atas mengindikasikan bahwa Indonesia memang masih membutuhkan banyak tambahan pasokan energi dari tahun ke tahun sebelum mencapai titik ekuilibrium; yaitu sampai proses industrialisasi, pertumbuhan pemukiman, dan pertambahan penduduk mencapai titik yang paling optimal. Makanya elastisitas energi di Indonesia termasuk tinggi dibanding banyak negara lain – yang secara salah kaprah langsung diklaim banyak pihak sebagai inefisiensi konsumsi energi.

Ketergantungan Indonesia terhadap energi berbasis minyak bumi masih sangat tinggi. Sementara sekitar 80% produksi minyak bumi Indonesia berasal dari cekungan-cekungan tua yang telah berproduksi sejak dan sebelum tahun 1970. Cadangan minyak Indonesia semakin menipis karena rendahnya Reserve Replenishment Ratio (RRR). Lapangan-lapangan tua telah memasuki fase penurunan produksi secara alamiah. Mau tidak mau Indonesia harus berupaya mencari dan mengembangkan sumber energi lain, baik energi baru maupun terbarukan (EBT). CBM adalah salah satunya.

Menurut Indonesia Energy Outlook 2010 (IEO 2010) yang diterbitkan Pusat Data dan Informasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, kebutuhan pasokan energi primer tahunan Indonesia saat ini berada di level 1,08 Miliar BOE – atau rata-rata 2,96 Juta BOEPD. Minyak dan gas masing-masing memakan porsi 39% dan 19% dari bauran energi primer nasional.


Dalam 20 tahun mendatang kebutuhan pasokan energi primer meningkat lebih dari tiga kali lipat. Menurut Skenario Mitigasi dalam IEO 2010, di tahun 2030 kebutuhan pasokan energi primer akan menjadi 3,45 Miliar BOE – atau rata-rata 9,45 Juta BOEPD. Porsi minyak dan gas konvensional di tahun 2010 masih dominan, yaitu sebesar 56%. Akan semakin banyak produksi energi primer Indonesia yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat di masa mendatang. Oleh karena itu, menurut skenario ini, kebutuhan pasokan CBM di tahun 2030 diintrodusir sebesar 103 Juta BOE (setara 1,6 Miliar SCFD), atau 10% dari total kebutuhan pasokan gas nasional.
Read more (Baca selengkapnya)...