Thursday, April 26, 2012

Selamat Jalan, Mas Wid. Selamat Jalan, The Smiling Professor....




Sabtu sore, 21 April 2012, kira-kira 10 menit menjelang azan maghrib berkumandang di wilayah Jakarta, saya mendapat SMS dari teman lama yang memberitahukan bahwa Prof. Dr. Ir. Widjajono Partowidagdo, MA, MSc, Wakil Menteri ESDM, telah meninggal dunia dalam pendakiannya ke puncak Gunung Tambora. Seperti banyak orang, saya juga kaget mendapatkan berita itu, karena Mas Wid (demikian kami para mahasiswanya biasa memanggilnya) dikenal energik dan memiliki tubuh yang bugar. Saya segera membuka salah satu kanal TV swasta yang sering menayangkan berita, di banner-nya tertulis berita duka atas meninggalnya Mas Wid. Masih kurang puas, saya membuka detik.com, disitu juga saya menemukan berita yang mengkonfirmasi meninggalnya beliau. Tadinya saya berencana akan melayat Sabtu malam itu juga di tempat disemayamkan jenazahnya, yaitu di rumahnya di Jl. Ciragil II Kebayoran Baru. Namun karena waktu ketibaan jenazahnya tidak ada kepastian, saya putuskan melayat Minggu pagi sebelum jenazahnya dimakamkan.

Minggu pagi, 22 April 2012, jam 07.40 saya mengarah ke Jl. Wolter Monginsidi lalu siap membelokkan kendaraan ke Jl. Ciragil II. Begitu tiba di muka Jl. CIragil II, petugas pengamanan memandu saya untuk parkir di bahu Jl. Wolter Monginsidi saja karena Jl. Ciragil II sudah penuh diparkiri kendaraan dan pas ketika itu Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, sedang melayat juga. Setelah Presiden RI pulang, saya masuk ke tempat kediaman almarhum dan keluarganya. Rumah kediaman almarhum termasuk biasa-biasa saja untuk ukuran pejabat yang levelnya setengah tingkat di bawah menteri. Pertengahan 2009 saya pernah datang ke rumahnya untuk mengambil 4 eksemplar buku “Migas dan Energi” yang saat itu baru terbit. Jl. Ciragil I dan Ciragil II mengapit kali kecil. Kalau melihat lantai-lantai rumah yang ditinggikan dari permukaan jalan, sepertinya Jl. Ciragil I dan II ini kerap kebanjiran saat musim penghujan.

Terkesan penjagaannya tidak ketat seperti di tempat kediaman pejabat kebanyakan, karena di samping itu memang rumah pribadi keluarganya (bukan rumah dinas) beliau dikenal akrab dengan siapapun, tak terkecuali tetangganya. Makanya mulai dari level Presiden RI sampai ke orang-orang biasa, termasuk para tetangganya, menyempatkan diri melayat, memberikan doa dan penghormatan terakhir untuk beliau. Banyak sekali yang datang. Saya berkesempatan ikut menyolatkan jenazah beliau, dan melihat wajah terakhirnya ketika kain kafan penutup wajahnya dibuka. Saya lihat ada senyum di wajahnya, sebagaimana tampilannya sehari-hari yang selalu senyum. Tak lama setelah Wapres Budiono pulang melayat, Rektor ITB mewakili pihak keluarga besar menyerahkan jenazah kepada Mensesneg Sudi Silalahi selaku wakil Negara. Dengan upacara kehormatan jenazah beliau diusung ke mobil jenazah dan diberangkatkan ke pemakaman muslim di kompleks San Diego Hills di Karawang.

Penampilan Mas Wid yang “tidak biasa” dan bagi kebanyakan orang terkesan nyentrik untuk pejabat tinggi selevel Wakil Menteri itu memang “sesuatu banget”. He is really something! Rambut gondrong cenderung kusut, sepatu kusam, sering pakai celana dan baju jeans belel bila tidak ada acara resmi kabinet, dan hobi naik gunung. Ketika almarhum baru dilantik jadi Wamen, saya membaca komentar pembaca di salah satu website yang mengatakan seakan-akan kenyentrikannya itu dibuat-buat dan berlagak miskin. Saya tertawa dalam hati membaca komentar tersebut karena yang berkomentar kelihatannya memang tidak mengenal Mas Wid. Penampilan dan hobi mencintai alam, menurut info dari teman-teman kuliah seangkatannya, memang sudah seperti itu sejak di bangku kuliah dan tidak berubah hingga ajal menjemputnya. Hobi mendaki gunungnya tidak dia tinggalkan meskipun sudah menginjak usia lebih 60 tahun dan sudah menjadi pejabat tinggi negara. Bahkan dia berpulang ke rahmatullah saat menjalankan hobinya sambil membawa misi sosial untuk para penderita lupus. Beliau memang menjalani pola hidup bersahaja sejak dulunya. Beliau bepergian sering naik kendaraan umum seperti busway, bis Kopaja atau paling maksimum naik taxi. Pulang-pergi Jakarta-Bandung beliau naik bis travel. Bahkan konon sampai menjabat Wamen pun beliau masih suka naik kendaraan umum. Beliau tetap konsisten. Bagi orang yang tidak mengenalnya, mungkin akan lebih menyangka beliau sebagai seniman ketimbang sebagai seorang guru besar, teknokrat, atau ilmuwan. Bagi saya, Mas Wid adalah seorang ilmuwan dan teknokrat yang menjiwai seni. Seni merupakan penyeimbang nurani. Seni membuat orang lebih peka.

Saya sendiri tidak terlalu sering jumpa langsung (tatap muka) dengan beliau. Pertama kali jumpa Mas Wid ketika dia baru pulang dari Amerika Serikat menyelesaikan program doktornya di tahun 1987. Waktu itu saya masih menempuh jenjang pendidikan sarjana di Teknik Perminyakan ITB, dan Mas Wid mengajar mata kuliah Pengelolaan Lapangan Migas. Beliau bercerita bahwa di Amerika gampang memperoleh nilai A, ujian pada umumnya open book atau take home test. Beliau mempraktekkan hal itu di Teknik Perminyakan ITB. Para mahasiswa kebanjiran nilai A dan B. Semua yang mengambil mata kuliahnya lulus. Tetapi beliau wanti-wanti bahwa bagi yang mendapatkan nilai C sebetulnya bagi beliau tidak lulus. Padahal ketika itu mendapatkan nilai A sangat sulit, sampai-sampai ada kelakar kalau mau dapat nilai A harus belajar sampai mencret dulu.

Setelah lulus sarjana, saya tidak pernah jumpa dengan Mas Wid. Hanya dengar-dengar berita tentang kiprah beliau. Baru di tahun 2002 ketika ingin mengambil program magister saya jumpa beliau lagi. Kebetulan beliau saat itu menjabat Ketua Program Magister Studi Pembangunan ITB. Saya mengambil kelas Jakarta yang kuliahnya tiga kali seminggu di sore hari dari pukul 16.30 sampai 21.00. Ketika ingin menyusun tesis magister, saya mengajukan kepada beliau agar menjadi pembimbing tunggal saya (tidak ada Pembimbing II dan III). Dan topik yang saya ambil adalah studi kasus di salah satu industri penunjang migas. Beliau setuju dan menyarankan agar saya segera saja mulai menulis. Dalam bimbingan tesispun beliau tidak cerewat, tanpa mengorbankan mutu tentunya. Hanya sayanya ketika itu yang berlamban-lamban. Maklum penyakit orang kuliah sambil kerja biasanya kalau mata kuliah sudah selesai semua, menyelesaikan tesis rasanya malas sekali.

Kira-kira di bulan Mei 2004 saya menelpon beliau menanyakan apakah beliau memiliki bahan yang bisa saya gunakan untuk referensi tambahan penulisan tesis. Beliau mengatakan ada dan menyuruh saya ke tempat kediamannya usai jam kantor. Ketika saya datang dan masuk ke tempat kediamannya, ruangan terkesan tidak begitu terorganisir, dimana-mana buku berserakan. Kebetulan malamnya ada acara pelantikan pengurus Ikatan Alumni ITB Komisariat Jakarta di Gedung Diklat Pertamina di kawasan Simprug. Beliau mengajak saya. Setelah siap-siap mau berangkat, dia mencari-cari sepatunya tidak ketemu. Lalu dia pakai kaos kaki hitam dan pakai sandal hitam model slip-on. Dia berkata, “Ah, biar ajalah pakai sandal. Toh malam tidak kelihatan”. Saya tertawa. Kemudian kamipun menuju Simprug.

Juni 2005 saya ujian tesis di Kampus ITB Bandung. Saya diuji  3 orang dosen termasuk beliau salah satunya. Alhasil dinyatakan lulus. Usai ujian tesis, beliau ada agenda kunjungan ke suatu tempat (saya lupa nama kotanya). Saya menawarkan tumpangan ke Jakarta karena beliau akan berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta. Sepanjang perjalanan di tol Cipularang kami ngobrol ngalor-ngidul sambil sesekali diselingi tawa. Di antara cerita yang kami obrolkan adalah perjuangan Hamzah r.a., paman Nabi Muhammad s.a.w. yang mati syahid dalam Perang Uhud,  dan Omar Mukhtar (1862-Sept 1931), pejuang nasional Libia yang menentang pendudukan Italia. Kedua tokoh ini sama-sama dijuluki “Singa Padang Pasir”. Produser film   Moustapha Akkad (1930-2005) menampilkan kedua tokoh ini dalam film The Message, untuk Hamzah, dan Lion of The Desert, untuk Omar Mukhtar. Keduanya diperankan oleh Anthony Quinn. Setiba di Jakarta Mas Wid minta didrop di Blok M saja agar bisa naik bis Damri menuju bandara. Sebelum beliau turun di Blok M dia sempat memberi saya 1 eksemplar buku tulisannya “Memahami Pembangunan dan Analisis Kebijakan” yang baru saja terbit edisi pertamanya. Sejak lulus program magister saya kerap mengontak beliau lewat handphone sekedar menanyakan sesuatu terkait permasalahan energi. Beliau tidak sungkan-sungkan memberikan penjelasan.

Gaya bahasa pada buku dan tulisannya lebih membumi dan gampang dipahami oleh orang yang tidak berlatar belakang pengetahuan energi sekalipun. Alur bahasanya seperti mengalir dengan gaya bahasa pop, jarang didapati istilah-istilah ilmiah atau bahasa latin yang tidak dimengerti orang awam. Hampir setiap tulisannya selalu diselipkan kata-kata bijak; baik dari terjemahan Alqur’an, hadis-hadis, mutiara hikmah, kata-kata orang besar, bahkan kata-kata bijak dari film. Dari film Harry Potter beliau mengutip: ketika Harry selamat dari Voldemore (musuhnya), Dumbledore (kepala sekolahnya) mengatakan, “Someday you will have to choose between what is right and what is easy.” Suatu ketika anda harus memilih antara mengerjakan sesuatu yang benar atau yang mudah. Mau “benar” tetapi sulit, namun berhasil di jangka panjang; atau mau “gampang” tetapi kita tidak kemana-mana, diam di tempat. Beliau juga mengutip kata-kata Yasadipura (kakek Ranggawarsita), “Waniya ing gampang, wediya ing pakewuh, sabarang nora tumeka.” Artinya: sukailah kemudahan, takutilah kesulitan, maka tidak ada yang diperoleh.

Gaya tulisannya menginsipirasikan bahwa setiap orang sebetulnya bisa menulis, tidak perlu yang jelimet-jelimet, yang penting ada kemauan menulis. Maka di bulan Mei 2008 mulailah saya membuat blogspot sendiri. Setahun kemudian hingga sekarang ada beberapa tulisan yang dimuat di berbagai jurnal. Mas Wid juga menginspirasi saya bahwa kalau kerja itu jangan terjebak dengan rutinitas disiplin tempat kita kerja saja, tetapi juga harus mempelajari dan berfikir secara lebih makro. Kalau misalnya bekerja di perusahaan migas, ya harus memahami tata kelola migas; dan, lebih makro lagi, harus memahami tata kelola energi nasional kita.

Mei 2010 secara tidak sengaja kami berjumpa di salah satu hotel di Yogyakarta ketika sedang sarapan pagi. Dia dalam rangka mengajar dan saya dalam rangka mengikuti workshop. Beliau mengutarakan rencananya ingin membuat buku yang berisikan kumpulan tulisan dari teman-teman. Beliau mengajak saya menjadi salah satu kontributornya. Saya mengiyakan, dan sudah sempat mengirimkan soft file beberapa artikel pendek ke beliau. Namun karena kesibukannya, rencana beliau menerbitkan buku kumpulan tulisan ini belum sempat terealisasi.

1 Desember 2011 saya datang ke kantor Mas Wid di Kementerian ESDM. Saya ingin menyampaikan masukan tertulis kepada beliau tentang pemakaian mobil hybrid. Tadinya saya tidak berharap jumpa langsung dengan beliau karena saya maklum akan kesibukannya. Lagian, saya pikir, dia sudah jadi pejabat tinggi. Jadi saya ingin menitipkan masukan tersebut ke sekretarisnya saja. Saat saya sedang berbincang dengan sekretarisnya, beliau tiba-tiba membuka pintu ruangannya dan langsung menyapa saya, “Ada apa dik?”. Sambil menyalaminya saya menjawab, “Mau kasih masukan ke ESDM tentang mobil hybrid, Mas.” Dia mempersilakan saya masuk ke ruangannya yang kebetulan sedang tidak ada tamu. Kami lalu berbincang-bincang seperti biasanya jika bertemu, tidak ada kesan berjarak.

Saya mengutarakan bahwa para pemangku kepentingan si sektor energi sudah waktunya memelopori pemakaian mobil bermesin hybrid (kombinasi mesin motor bakar dan motor listrik). Jajaran kementerian di negara-negara maju seperti di Inggris menggunakan mobil hybrid untuk kendaraan dinas. Pemerintah perlu memberikan insentif berupa keringanan bea masuk dan pajak-pajak agar harganya dapat bersaing dengan harga mobil bermesin konvensional ditambah layanan purna jual yang luas. Dengan demikian orang akan banyak membelinya. Mobil hybrid dapat menghemat BBM (24-30 km/liter) sekaligus mereduksi emisi gas buang. Pemakaian mobil hybrid merupakan salah satu solusi transportasi, di samping menggalakkan moda transportasi umum dan konversi BBM ke BBG. Penggunaan mobil hybrid secara massal merupakan langkah revolusioner. Demikian saya menjelaskan dan berdiskusi panjang lebar dengan beliau selama setengah jam. Karena saya tidak mau menyita waktu Mas Wid lebih lama, menjelang jam istirahat siang saya pamitan. Sebelum saya keluar ruangan dia mengajak foto-foto. Kalau pejabat lain mungkin mesti kita yang ngajak foto, dengan mas Wid malah dia yang ngajak foto pakai kamera sakunya. Sayang waktu itu saya tidak terpikir berfoto dengan menggunakan kamera handphone saya. Sehingga saya tidak menyimpan foto terakhir bersama Mas Wid. Lagipula tidak ada dugaan bahwa hari itu merupakan pertemuan terakhir dengannya.

Melalui Mas Wid saya tadinya ada harapan dapat menyampaikan masukan-masukan lainnya karena pribadinya yang terbuka. Lepas dari masalah apakah masukan tersebut akan ditindaklanjuti atau tidak. Yang penting saya sudah memberikan semacam pemikiran, walau kecil sekali artinya. Terkait mobil hybrid, pada tanggal 24 April 2012 pagi salah satu radio memberitakan bahwa GAIKINDO (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) mengatakan teknologi mobil hybrid mendesak untuk dikembangkan di Indonesia seiring meningkatnya harga keekonomian BBM dan terus berkurangnya cadangan minyak nasional.

Demikian tentang Mas Wid yang saya kenal serta kesan dari beberapa kesempatan berjumpa dengan almarhum. Sekarang beliau telah pergi ke alam lain untuk selamanya. Kepada keluarga yang ditingalkannya semoga diberi ketabahan dan ketegaran. Tentunya banyak yang merasa kehilangan. Bagi saya sendiri, Mas Wid adalah guru, mentor, sekaligus teman.

Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah
Irji'i ila robbiki rodiyatam mardiyyah

Wahai jiwa yang tenang
Kembalilah kepada Rabb-mu dalam keadaan diridoi

Menjelang kepergiannya ke Gunung Tambora, Sabtu, 21 April 2012 sore, Mas Wid masih sempat menulis di mailing list alumni ITB. Ini adalah kebiasaan Mas Wid sebelum berangkat tidur dan caranya memulai aktivitas hari itu. Berikut ini postingan terakhir Mas Wid:

Kalau kita menyayangi orang-orang yang kita pimpin, Insya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang akan menunjukkan cara untuk membuat mereka dan kita lebih baik. Tuhan itu Maha Pencipta, segala kehendak-Nya terjadi.

Saya biasa tidur jam 20 dan bangun jam 2 pagi lalu salat malam dan meditasi serta ceragem sekitar 30 menit lalu buka komputer buat tulisan atau nulis e-mail.

Dalam meditasi biasa menyebutkan:
"Tuhan Engkau Maha Pengasih dan Penyayang, aku sayang kepada-Mu dan sayangilah aku... Tuhan Engkau Maha Pencipta, segala kehendak-Mu terjadi..."

lalu saya memohon apa yang saya mau...

(dan diakhiri dgn mengucap)
"Terima kasih Tuhan atas karuniaMu."

Subuh saya salat di masjid sebelah rumah lalu jalan kaki dari Ciragil ke Taman Jenggala (pulang pergi sekitar 4 kilometer). Saya menyapa satpam, pembantu, dan orang jualan yang saya temui di jalan dan akibatnya saya juga disapa oleh yang punya rumah (banyak pejabat, pengusaha, dan diplomat), sehingga saya memulai setiap hari dengan kedamaian dan optimisme karena saya percaya bahwa apa yang Dia kehendaki terjadi dan saya selain sudah memohon dan bersyukur juga menyayangi ciptaan-Nya dan berusaha membuat keadaan lebih baik. Oh ya, Tuhan tidak pernah kehabisan akal, jadi kita tidak perlu kuatir. Percayalah...

Salam,
Widjajono

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Allahhummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu anhu. Selamat jalan, Mas Wid.... Selamat jalan, the smiling professor....

2 comments:

Steve said...

Rest in Peace. I saw Widjajono speak at a forum on fuel subsidies reform only a few days before he passed away. A great loss.

Kristal said...

Terima kasih atas tulisannya. Sangat senang menemukan dan membaca tulisan ini. Salam, putri dari Widjajono.