Sunday, December 4, 2011

Mengapa Instansi dan Kegiatan Usaha di Sektor Energi Tidak Mempelopori Pemakaian Mobil Hybrid untuk Kendaraan Dinas dan Operasional?

(Masukan untuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral)

Oleh: Gamil Abdullah

{Kamis siang, 1 Desember 2011, saya berkesempatan bertemu langsung dengan Prof. Widjajono Partowidagdo (Wakil Menteri ESDM) di kantornya untuk menyampaikan masukan ini kepada beliau. Saya posting di blog ini untuk sharing kepada rekan-rekan sesama pembelajar energi. Isi masukan ini sebetulnya sama dengan atikel yang saya posting tanggal 7 Oktober 2011, hanya penulisannya dibuat dengan bahasa yang lebih teknis.}

When we heal the earth, we heal ourselves. - David Orr

Latar Belakang

Berdasarkan neraca energi dari Handbook of Energy and Economics Statistics of Indonesia 2010 yang diterbitkan Pusat Data dan Informasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Pusdatin ESDM), total konsumsi energi final Indonesia di tahun 2009 sebesar 893,76 Juta Setara Barel Minyak (SBM). Sebanyak 317,67 Juta SBM, atau 35,6% dari total konsumsi energi final, merupakan jenis bahan bakar berbasis minyak bumi (BBM). Sektor transportasi mengkonsumsi BBM sebanyak 210,16 Juta SBM, atau 66,2% dari total konsumsi BBM.

Sejak tahun 2004 Indonesia sudah menjadi importir netto minyak bumi dan telah lama menerapkan kebijakan subsidi energi untuk BBM jenis premium dan solar. Sehingga dari sisi neraca keuangan negara cukup serba salah. Jika harga minyak naik, pendapatan negara dari sektor Migas naik, namun APBN akan tertekan dari sisi pembelanjaan karena belanja subsidi akan membengkak. Sebaliknya, jika harga minyak turun, belanja subsidi akan turun, namun sisi pendapatan negara dari sektor Migas juga akan turun. Himbauan yang tertulis di berbagai SPBU agar mengkonsumsi BBM non subsidi untuk kalangan mampu teramati tidak efektif, apalagi mayoritas kendaraan bermotor yang dibuat di dalam negeri memiliki spesifikasi mesin yang masih dapat mengkonsumsi BBM bersubsidi.

Kondisi dimana Indonesia sudah menjadi importir netto minyak bumi, ketergantungan yang masih sangat tinggi terhadap pasokan energi primer jenis minyak bumi (sekitar 39% dari bauran energi primer menurut versi Indonesia Energy Outlook 2010, Pusdatin ESDM), menerapkan kebijakan subsidi energi sejak lama, ditambah dengan implementasi efisiensi energi dan diversifikasi energi yang dinilai banyak kalangan jalan di tempat, menyebabkan Indonesia rentan gejolak karena sering dibayang-bayangi krisis energi, bahkan kekurangan pasokan energi (scarcity of energy).

Banyak kalangan menilai pemakaian energi di Indonesia tidak efisien. Salah satu penyebab inefisiensi tersebut adalah minimnya keteladanan (leads by examples) dari pihak-pihak terkait, terutama para elit baik di pusat maupun di daerah, untuk bersungguh-sungguh memperlihatkan langkah nyata kepada masyarakat sebagai upaya menghemat energi. Kita sering melihat mobil-mobil dinas jenis SUV 4x4 delapan silinder dan sedan mewah ber-cc besar yang sangat boros BBM berseliweran di jalan raya. Dana untuk pengadaan dan penyediaan BBM kendaraan dinas instansi pemerintah biasanya diambil dari anggaran APBN/APBD. Taruhlah mobil tersebut tidak mengkonsumsi BBM bersubsidi. Namun esensi masalahnya bukan mampu atau tidak mampu membeli BBM non subsidi, tetapi minyak bumi sebagai bahan dasar BBM merupakan sumber daya energi tak terbarukan yang harus dihemat.

Sementara itu, untuk menunjukkan partisipasinya di kancah pergaulan dunia dalam menekan laju pertumbuhan pemanasan global (global warming), Pemerintah Indonesia melalui Presiden RI ketika menghadiri Konferensi Perubahan Iklim COP-15 di Copenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009 telah berkomitmen untuk menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca di Indonesia sebesar 26% di tahun 2020. Artinya level gas rumah kaca di Indonesia pada tahun 2020 turun menjadi 74% dibanding level sekarang ini. Di tengah berbagai praktek kejahatan dan pencemaran lingkungan yang masih terus berlangsung; seperti pembalakan liar, pembakaran hutan, serta polusi asap pabrik dan kendaraan; apakah komitmen ini realistis? Waktu yang akan menjawabnya.

Teknologi Kendaraan Masa Depan

Di bidang industri otomotif, salah satu solusi untuk menjawab isu global tersebut adalah membuat kendaraan yang mampu menghemat konsumsi BBM sekaligus mampu menghasilkan emisi gas buang yang sangat kecil – bahkan nol emisi. Ada tiga macam teknologi yang berkembang saat ini, yang dikatakan sebagai teknologi mobil masa depan, yaitu (i) kendaraan tipe hybrid (hybrid drive vehicle), (ii) bertenaga listrik penuh (electric vehicle), dan (iii) bertenaga hidrogen (hydrogen fuel cell vehicle).

Secara sederhana sistem penggerak mobil hybrid menggunakan sinergi antara motor bakar konvensional (berbahan bakar BBM), motor listrik, dan baterai penyimpan tenaga. Beberapa pabrikan mengklaim konsumsi BBM mobil hybrid di kisaran 20-25 km per liter dengan emisi yang sangat rendah (super low emission), bahkan beremisi nol (partly zero emission) ketika hanya motor listrik yang bekerja.


Babak selanjutnya dalam perjalanan menuju solusi berkendara ramah lingkungan adalah bagaimana menyajikan dapur pacu yang benar-benar bebas emisi. Salah satu solusinya adalah menghadirkan kendaraan berkonsep Battery Electric Vehicle, alias mobil listrik (EV). Mengandalkan sistem penggerak yang terdiri atas motor listrik yang mendapatkan energi dari baterai, EV praktis tidak menghasilkan emisi gas buang sedikitpun. Masalahnya, teknologi baterai yang ada saat ini masih butuh waktu 10-15 tahun sebelum mampu membuat EV memiliki jarak tempuh setara mobil biasa. Sebagai tahap awal, konsep EV-pun hanya dipakai untuk kendaraan perkotaan (komuter) yang rata-rata penggunanya hanya menempuh jarak 20-30 km sehari.


Selain memanfaatkan energi listrik, perhatian para insinyur mengarah ke udara. Pilihan jatuh pada hidrogen. Gas yang berada di nomor satu dalam susunan berkala ini memiliki karakter mudah terbakar. Lebih mudah dibandingkan bensin. Namun butuh proses khusus untuk memisahkan hidrogen dari elemen udara lainnya. Harus disimpan dalam tangki bertekanan sehingga aman digunakan.

Pemanfaatan hidrogen untuk kendaraan dilakukan dengan dua cara. Pertama sebagai pengganti bensin untuk motor pembakaran dalam. Kedua digunakan sebagai bahan fuel cell dalam menghasilkan listrik. Masih butuh biaya yang sangat tinggi dalam pengembangan dan penelitian. Belum lagi infrastrukturnya yang belum tersedia. Itulah mengapa, paling tidak baru sekitar 5-10 tahun lagi mobil berbahan bakar hidrogen tersedia secara massal.


Dari tiga macam teknologi kendaraan masa depan tersebut di atas, opsi yang paling realistis saat ini adalah menggunakan kendaraan bermesin hybrid, karena teknologi ini sudah digunakan secara meluas oleh berbagai pabrikan otomotif kenamaan dunia dengan riset yang sangat intensif, sehingga terus ada penyempurnaan dari waktu ke waktu. Penggunaannya di negara-negara majupun sudah meluas. Beberapa instansi pemerintah di negara maju, seperti jajaran Kementerian Inggris, menggunakan kendaraan tipe ini sebagai kendaraan dinas.

Kebijakan Yang Tidak Berpihak

Harga mobil hybrid di Indonesia lebih mahal sekitar 50% dibanding mobil konvensional yang setara, dan hampir tiga kali lipat dibandingkan harga mobil hybrid di Amerika Serikat. Salah satu penyebabnya karena tidak ada keringanan tarif bea masuk dan pajak. Padahal semestinya kendaraan hemat energi dan emisi rendah mendapatkan keringanan sebagaimana yang telah diterapkan untuk mobil berkapasitas mesin di bawah 1500 cc atau yang diimpor dalam bentuk terurai.

Menurut majalah AutoExpert edisi khusus Agustus 2010, mobil hybrid Toyota Prius Gen3 resmi masuk Indonesia tahun 2009 yang dijual melalui Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) PT Toyota Astra Motor. Harga jual Prius saat ini mencapai Rp 600 juta. Bandingkan dengan kendaraan konvensional yang setara yaitu Toyota Corolla Altis 2000 cc yang berharga sekitar Rp 390 juta. Atau bandingkan dengan harga Prius di Amerika Serikat yang hanya di kisaran US$ 23 ribu (sekitar Rp 200 juta bila dikurskan). Karena kebijakan pajak di negeri ini belum berpihak pada kendaraan ramah lingkungan dan hemat energi, akibatnya Prius tidak mendapatkan keringanan sedikitpun. Makanya penjualannya hanya berkisar belasan unit dalam setahun dan hanya sesekali saja terlihat melaju di jalan raya kota Jakarta. Di beberapa negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Thailand, Filipina, dan Singapura pemerintahnya memberikan insentif, baik berupa keringanan bea masuk maupun tax credit kepada para pembeli.

Memang untuk saat ini kendaraan hybrid belum populer pemakaiannya di Indonesia, antara lain disebabkan:
  • Terutama karena harga jualnya yang mahal, masih jauh di bawah kemampuan daya beli rata-rata masyarakat kelas menengah di Indonesia.

  • Ketersediaan layanan purna jual masih terbatas.

  • Penjualan didominasi importir umum, sehingga masih diragukan layanan purna jualnya, walaupun sudah ada brand tertentu yang dijual melalui ATPM.

  • Mindset yang berkembang di benak konsumen adalah kendaraan tipe hybrid ini tidak seandal kendaraan bermesin konvensional. Padahal anggapan ini tidak benar, teknologi hybrid berkembang pesat.
Mengapa Instansi dan Kegiatan Usaha Energi Tidak Mempelopori Pemakaian Mobil Hybrid?

Instansi dan lembaga pemerintah yang menangani tata kelola energi serta kegiatan usaha energi (termasuk BUMN yang bergerak di bidang energi) merupakan pemangku kepentingan utama dalam tata kelola dan tata niaga energi di Indonesia, yang tentunya dalam tataran implementasinya mesti sejalan dengan cetak biru kebijakan energi nasional dan kebijakan lingkungan. Sudah selayaknya instansi dan kegiatan usaha energi mempelopori langkah nyata dalam kehidupan sehari-hari yang dapat memberikan dua solusi sekaligus: menghemat energi dan mengurangi kadar emisi gas buang. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah menggunakan mobil hybrid untuk kendaraan dinas dan operasional di lingkungan kegiatan usaha energi.

Meskipun kami tidak memiliki data jumlah kendaraan dinas dan operasional di lingkungan instansi dan kegiatan usaha energi, namun diperkirakan jumlahnya mencapai puluhan ribu unit. Belum lagi kendaraan operasional yang berada di lapangan. Umumnya kendaraan dinas dan operasional diadakan dengan cara sewa (rental). Risiko dan liability lebih banyak berada di pihak penyedia jasa sewa. Pihak pemakai cukup memiliki keleluasaan menentukan jenis dan spesifikasi kendaraan yang dikehendaki.

Jika para pemangku kepentingan di sektor energi tergerak untuk menggunakan mobil hybrid secara massal, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah bersinergi untuk:
  • Melobi instansi pemerintah terkait (seperti Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan) agar dapat memberlakukan keringanan tarif bea masuk, keringanan pajak dalam rangka impor, dan keringanan pajak-pajak penjualan (termasuk pajak penjualan barang mewah); sehingga harga jual mobil hybrid lebih terjangkau.

  • Memberikan ‘penekanan’ kepada ATPM agar terhadap penjualan mobil hybrid ini marjin keuntungan mereka dapat ditekan seminimum mungkin.
Jika harga mobil hybrid terjangkau, maka:
  • Peminatnya akan semakin banyak, tidak terbatas pada instansi dan perusahaan sektor energi saja. Para pegawai dan masyarakat biasapun yang masih memilih kendaraan pribadi untuk moda transportasinya akan ikut tergerak untuk membelinya, mengingat (i) angkutan umum selama ini belum terjamin keamanan dan kenyamanannya, (ii) mayoritas masyarakat Indonesia sudah menyadari pentingnya hemat energi dan udara bersih, dan (iii) harga keekonomian BBM cenderung terus meningkat dalam dua tahun terakhir seiring meningkatnya harga minyak dunia.

  • ATPM akan tergerak untuk menyediakan jaringan penjualan sekaligus layanan purna jual, sehingga dapat menepis keraguan terhadap layanan purna jual. Bisa jadi, jika sudah dipandang mencapai level playing field yang memadai, para ATPM akan mendirikan pabrik perakitan di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai basis produksinya, sehingga dapat dijadikan momentum untuk mengakselerasi tingkat penguasaan IPTEK bangsa Indonesia terhadap teknologi kendaraan masa depan.
Di mata masyarakat, penggunaan mobil hybrid oleh instansi dan perusahaan yang bergerak di sektor energi memperlihatkan langkah nyata dalam memberikan keteladanan hemat energi dan mengurangi emisi. Kalau ada pejabat instansi atau perusahaan merasa mobil seperti Toyota Prius kurang mewah, sedan-sedan premiumpun banyak yang mengeluarkan versi hybrid-nya.

Andaikan harga mobil hybrid terjangkau, maka opsi menggunakan mobil hybrid sebagai sarana transportasi perorangan dan keluarga di Indonesia untuk saat ini bahkan lebih reasonable ketimbang menggunakan bahan bakar gas (BBG) untuk bahan bakar kendaraan, terutama dari segi keamanan (safety) dan mengingat belum tersedianya jaringan distribusi penjualan BBG secara memadai. Sudah berapa kali kita mendengar berita tangki BBG bus angkutan massal di Jakarta meledak. Pemakaian BBG dengan menggunakan converter kit pada kendaraan pribadipun tidak terjamin keamanannya, selain menuntut perawatan dan perhatian ekstra.

Penutup

Penggunaan mobil hybrid merupakan salah satu solusi (baik jangka pendek maupun jangka panjang) dalam upaya menghemat energi sekaligus mengurangi emisi, disamping solusi lain seperti mengalihkan pemakai mobil pribadi ke angkutan umum massal dan penggunaan BBG sebagai pengganti BBM. Jika kelak penggunaan mobil hybrid (atau jenis kendaraan masa depan lain seperti electric vehicle dan hydrogen fuel cell vehicle) dapat digunakan secara luas, baik sebagai kendaraan dinas maupun kendaraan pribadi, maka hal ini merupakan sebuah langkah revolusioner.

Sesungguhnya isu ancaman kekurangan pasokan energi dan pemanasan global merupakan isu bersama seluruh umat manusia di dunia karena kita semua ditakdirkan Tuhan berpijak di atas bumi yang sama dan bernafas dengan menghirup udara yang sama.

DISCLAIMER:
Masukan ini merupakan hasil kajian dan pendapat pribadi penulis. Tidak dimaksudkan untuk mencerminkan pendapat atau kebijakan instansi tempat penulis bekerja. Penyebutan nama merek (brand) dan tampilan gambar sama sekali tidak dimaksudkan untuk pengiklanan, melainkan hanya untuk lebih memperjelas konten penulisan
.
Read more (Baca selengkapnya)...