Saturday, February 28, 2009

Budaya: Modal Sosial yang Sering Terabaikan



Kehidupan ekonomi dan budaya, keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Francis Fukuyama mengatakan, “We cannot divorce economic life from cultural life in an era where social capital may be as important as physical capital....” Kita tidak dapat memisahkan kehidupan ekonomi dari kehidupan budaya dalam era dimana modal sosial sama pentingnya dengan modal fisik.

Beragam definisi tentang budaya. Salah satunya saya ambilkan definisi dari Saswinadi Sasmojo (Guru Besar Teknik Kimia ITB): budaya suatu masyarakat merupakan himpunan informasi yang menjadi milik semua anggota masyarakat yang menganut budaya tersebut, dan menjadi rujukan di dalam segala tindakan dan pola laku anggota masyarakatnya, dan karenanya merupakan himpunan informasi yang keterjangkauannya merata bagi semua anggota masyarakat tersebut.

Dalam suatu negara atau daerah, yang namanya pergantian pimpinan merupakan suatu keniscayaan. Pada tatanan pemerintah pusat, hingga saat ini Indonesia sudah mengalami pemerintahan yang dipimpin oleh enam orang presiden - mulai dari Bung Karno. Pada tatanan pemerintah provinsi, di sebagian besar wilayah Indonesia sudah mengalami pergantian gubernur berkali-kali. Pada tatanan pemerintah kabupaten, pemerintah kota, kecamatan, kelurahan tentunya juga entah sudah berapa kali mengalami pergantian pimpinan. Apa yang tidak berubah setiap kali terjadi pergantian pimpinan? Masyarakatnya! Pimpinan boleh berganti-ganti, tetapi masyarakatnya tetap disitu, menjalani kehidupan mereka sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai budaya yang mereka anut.

Apakah di antara kita ada yang merasakan proses pembangunan terasa lamban? Mengapa bangsa lain bisa melesat lebih cepat maju ketimbang bangsa kita, padahal beberapa puluh tahun lalu tingkat kemajuannya sama dengan kita? Ada satu hal yang sering diabaikan oleh para pimpinan: revitalisasi budaya. Budaya - sebagai modal sosial - sangat krusial peranannya dalam proses pembangunan.

Budaya yang bagaimanakah yang menggerakkan masyarakatnya untuk maju? Jawabannya: budaya unggul. Yang dimaksud budaya unggul dalam era globalisasi ini adalah budaya produktif; dicirikan dengan perilaku masyarakatnya sehari-hari, antara lain efisien, inovatif, berorientasi pada hasil, dan “dewasa” dalam bersikap. Moral sebetulnya juga termasuk bagian dari tatanan budaya manakala nilai-nilai moral tersebut dianut dan dilaksanakan oleh kelompok masyarakatnya. Masyarakat yang memiliki budaya unggul akan memiliki standar moral tinggi. Satu sama lain bisa saling dipercaya, atau trust (amanah). Masyarakat yang amanah akan mudah bersinergi untuk fokus pada kemajuan bersama.

Jika katalisator dalam ilmu kimia berfungsi sebagai pemercepat proses reaksi kimia, maka budaya unggul dalam tatanan kemasyarakatan merupakan “katalisator” yang dapat mempercepat terjadinya proses pembangunan. Sebaliknya, budaya yang kontra-produktif akan menghambat proses pembangunan itu sendiri. Karena pentingnya peranan budaya dalam proses pembangunan itulah maka para pakar menjuluki budaya sebagai “modal sosial” (social capital). Sedangkan hasil pembangunan fisik berupa benda/materi seperti infrastruktur, pabrik-pabrik, dan gedung-gedung bertingkat disebut sebagai “modal fisik” (physical capital).

Bagamana cara membentuk budaya unggul? Tidak lain dengan cara membangun karakter manusia (character building). Disinilah sebetulnya esensi pendidikan: membangun karakter manusia agar menjadi manusia berkwalitas. Pendidikan semestinya mampu mentransformasikan masyarakatnya dari perilaku kontra-produktif menjadi masyarakat berbudaya unggul. Saya mengartikan “pendidikan” disini dalam artian luas. Tidak hanya pendidikan yang dilaksanakan di institusi sekolah formal, tetapi juga non formal, termasuk pencerahan yang sering dikumandangkan oleh para penceramah keagamaan.

Singkat cerita, tanpa pembangunan karakter manusia, maka tidak akan terbentuk masyarakat yang berbudaya unggul. Tanpa budaya unggul (yang merupakan modal sosial), maka pembangunan fisik (ekonomi) akan berjalan lamban. Modal sosiallah yang akan memberikan “energi positif” terhadap proses pembangunan itu.

Berbagai “penyakit hati” seperti yang pernah saya ulas dalam postingan berjudul ‘Pentingnya Membangun Karakter Manusia’ adalah contoh-contoh perilaku yang kontra-produktif. Pertikaian yang sering terjadi, seperti konflik antara rakyat dan pemimpin, konflik antar kelompok masyarakat, serta konflik antar elit juga merupakan contoh perilaku kontra-produktif. Karena rendahnya tingkat amanah dalam tatanan kemasyarakatan kita, maka sinergi antar institusi menjadi begitu sulit. Ego sektoral dan kepentingan pribadi/kelompok begitu kuatnya, menyingkirkan kepentingan bersama.

Kita sering hanya fokus pada pembangunan fisik, sehingga mengabaikan pembangunan karakter manusia. Akhirnya disana-sini kita sering jumpai “energi negatif” yang menghambat jalannya proses pembangunan.

(Nusa Dua, Bali, 26 Februari 2009).
Read more (Baca selengkapnya)...

Monday, February 16, 2009

Tentang Pemekaran (Sekaligus Penyempitan) Wilayah


Fifty thousand men were sent to do the will of one
His claim was phrased quite simply, though he never voiced it loud
I am he, the chosen one.

In his name they could slaughter, for his name they could die
Though many there were believed in him, still more were sure he lied,
But they'll fight the battle on.

Dua bait di atas saya kutip dari lagu Genesis yang berjudul One for The Vine. Di awal tahun 1970-an, ketika Peter Gabriel masih bergabung, Genesis banyak membawakan lagu-lagu bertemakan balada dan cerita sastra jaman dahulu kala. Lirik lagunya bergaya prosa-puisi. Penafsiran bait-bait lagu di atas kira-kira menceritakan sekelompok orang yang memiliki loyalitas ‘buta’ kepada seorang tokoh, sehingga mau berbuat apa saja. Bahkan bersedia membunuh dan rela mati demi sang tokoh, meskipun di antara mereka banyak yang tahu kalau si tokoh tersebut menyembunyikan banyak kebohongan.

Selasa sore, 3 Februari 2009, saya menyaksikan liputan berita di televisi yang menayangkan peristiwa demonstrasi anarkis di Gedung DPRD Sumatera Utara, Medan, yang dilakukan oleh sekelompok massa yang menuntut pembentukan Provinsi Tapanuli pisah dari Propinsi Sumatera Utara. Peristiwa anarkis tersebut menyebabkan meninggalnya Bapak Abdul Azis Angkat, Ketua DPRD Sumut. Walaupun diberitakan beliau meninggal karena serangan jantung, namun ditengarai pemicunya akibat tindakan kekerasan. Dalam beberapa snapshot yang dirilis media, terlihat beliau memang beberapa kali dipukul dan didorong para pendemo.

Saya tidak pada posisi mempersoalkan pemekaran wilayah. Yang sangat memprihatinkan ialah betapa masyarakat bangsa kita begitu beringas jika berada dalam kerumunannya. Nyaris tidak ada aksi unjuk rasa yang tidak diakhiri dengan tindakan anarkis. Berbuat kerusakan saat unjuk rasa begitu ringannya, tanpa beban. Kita seakan sudah menjadi bangsa barbar. Tidak heran jika para sosiolog menjuluki masyarakat bangsa kita sebagai the sick society – masyarakat yang sakit.

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yang namanya pemekaran wilayah memang sangat marak. Walaupun di tingkatan provinsi tidak seberapa karena hanya ada 6 provinsi baru (Kepulauan Riau, Bangka-Belitung, Banten, Gorontalo, Maluku Utara, dan Papua Barat), namun mulai dari tingkatan kabupaten, kecamatan, kelurahan, sampai RT/RW semuanya terjangkit euforia pemekaran wilayah. Era otonomi daerah direspon dengan pemekaran wilayah.

Apa kira-kira hal pokok yang tertuang dalam studi kelayakan (feasibility study) pemekaran wilayah? Saya belum pernah melihat studinya. Namun dapat saya pastikan paling tidak memuat dua hal pokok: (1) memaksimumkan pemanfaatan berbagai potensi sumberdaya, dan (2) untuk lebih meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Jadi output yang menjadi tujuan pemekaran wilayah sejatinya memang untuk lebih meningkatkan kesejahteraan.

Tetapi, apakah motivasi para elit/tokoh setempat betul-betul untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya? Wallahu ’alam. Dalam beberapa hal, pemekaran wilayah itu kelihatannya lebih karena faktor perbedaan kultur (bahasa, adat-istiadat) ketimbang pemetaan potensi sumberdaya. Karena ‘merasa beda’, maka lebih baik memisahkan diri, begitu kira-kira. Maka yang terjadi adalah munculnya apa yang dikatakan orang ‘raja-raja kecil’. Sementara kesejahteraan penduduk dalam wilayah yang memisahkan diri tersebut tidak pernah lebih baik dari wilayah induknya.

Saya ambil contoh di Provinsi Lampung. Wilayah kabupaten yang pertama kali memisahkan diri dari induknya adalah Kabupatan Lampung Barat (ibukotanya di Liwa), pisah dari Kabupaten Lampung Utara pada tahun 1991. Kebetulan waktu itu saya mendapat selentingan berita mengapa ibukota kabupaten ini di Liwa, bukan Krui yang sejak jaman Belanda sudah menjadi sentra ekonomi dan budaya masyarakat pesisir Barat. Menurut banyak pihak, Krui ketika itu memang lebih layak menjadi ibukota. Namun, berhubung tokoh/elit yang mendominasi proposal pemekaran tersebut berasal dari kota Liwa, maka jadilah akhirnya ibukota Kabupaten Lampung Barat itu di Liwa. Kota Liwa termasuk yang paling luluh lantak terkena gempa tektonik pada tahun 1994. Baru kemudian orang menyadari, ternyata orang-orang Belanda dulu tidak sembarangan dalam menetapkan tempat peristirahatan dan kantor perwakilan pemerintahannya. Kemungkinan besar mereka sudah tahu kalau secara geologis wilayah kota Liwa itu termasuk dalam jalur patahan tektonik.

Setelah Lampung Barat, pasca Orde Baru beberapa wilayah di Provinsi Lampung memisahkan diri lagi dari kabupaten induknya menjadi kabupaten-kabupaten baru. Kabupaten Way Kanan (1999) memisahkan diri dari Kabupaten Lampung Utara. Kabupaten Tanggamus (1997) memisahkan diri dari Kabupaten Lampung Selatan. Kabupaten Tulang Bawang (1997) dan Kabupaten Lampung Timur (1999) memisahkan diri dari Kabupaten Lampung Tengah. Masih ada lagi kabupaten-kabupaten yang baru saja memisahkan diri; yaitu Kabupaten Pesawaran (Nopember 2007) pisah dari Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Mesuji (Oktober 2008) dan Kabupaten Tulang Bawang Barat (Oktober 2008) pisah dari Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Pringsewu (Oktober 2008) pisah dari Kabupaten Tanggamus. Sebagai tambahan lagi, menurut berita, dalam waktu dekat akan menyusul pembentukan Kabupaten Sungkai, memisahkan diri dari Kabupaten Lampung Utara.

Apakah kabupaten-kabupaten yang memisahkan diri tersebut lebih sejahtera dari kabupaten induknya? Untuk pembandingan cepat, saya ambil dua parameter utama sebagai ukuran sejahtera, yaitu PDRB (pendapatan domestik regional bruto) per kapita dan indeks pembangunan manusia (IPM). PDRB per kapita Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Way Kanan dalam kurun waktu 2003-2007 selalu berada jauh di bawah Kabupaten Lampung Utara. PDRB per kapita Kabupaten Tanggamus juga selalu berada di bawah Kabupaten Lampung Selatan. Kabupaten Lampung Timur kadang-kadang berada di bawah dan kadang-kadang berada di atas Kabupaten Lampung Tengah. Hanya Kabupaten Tulang Bawang yang PDRB per kapitanya selalu berada di atas Kabupaten Lampung Tengah, induknya. Itupun, kalau saya tidak salah, karena Kabupaten Lampung Timur dan Tulang Bawang mendapat kucuran DBH (dana bagi hasil) migas dari pemerintah pusat, berhubung di perairan laut pantai timurnya terdapat beberapa sumur produksi minyak yang dikelola oleh CNOOC S.E.S. Ltd.

Lalu dari tabel indeks pembangunan manusia di bawah, hanya Kabupaten Tanggamus yang pada tahun 2007 memiliki indeks lebih tinggi dari kabupaten induknya, Kabupaten Lampung Selatan. Dengan pembandingan cepat ini, dapat saya katakan bahwa kabupaten-kabupaten hasil pemekaran di Provinsi Lampung hanya 20%-nya saja yang terbilang sukses karena mampu menyaingi kabupaten induknya.


Siapa yang paling diuntungkan dari sebuah pemekaran wilayah? Yang pasti para tokoh/elit setempat yang memiliki kepentingan politik-ekonomi. Makanya timbul tren raja-raja kecil. Rakyatnya makan dua kali sehari saja susah, tetapi pimpinan daerahnya memakai beberapa kendaraan dinas mewah. Bahkan ada yang pakai kendaraan tipe SUV 4000 cc berpenggerak 4 roda. Menurut cerita seorang teman, ada satu kabupaten yang PAD (pendapatan asli daerah) –nya hanya Rp 30 miliar setahun. Kabupaten seperti ini kalau tidak mendapat kucuran dana dari pusat, baik berupa DAU (dana alokasi umum), DAK (danau alokasi khusus), dan DBH (dana bagi hasil), maka dapat dipastikan akan menjadi sebuah kabupaten yang bangkrut. Tetapi menurut yang saya baca di salah satu media on-line, persyaratan finansial untuk membentuk kabupaten baru itu memang terbilang ringan: hanya dengan PAD sebesar Rp 17 miliar saja sudah boleh mengajukan diri.

Memang yang namanya pemekaran wilayah itu sah-sah saja dan hak masyarakat setempat, tetapi hendaknya ditempuh dengan cara-cara yang elegan dan itikad baik. Jangan pakai demo anarkis. Studi kelayakan yang dibuat juga harus akurat dan komprehensif, bukan hasil ngarang-ngarang ala financial engineering. Niatnya mesti betul-betul untuk lebih menyejahterakan penduduknya, bukan semata untuk memenuhi kepentingan politik-ekonomi para elitnya. Kalau PAD-nya minim, wilayah baru tersebut hanya akan membebani keuangan pemerintah pusat.

Dari sisi pemerintah juga semestinya pembahasan setiap proposal pemekaran wilayah dilakukan dengan seksama. Alangkah baiknya jika diterapkan semacam reward and punishment terhadap suatu pemekaran wilayah. Dalam artian, jika selama kurun waktu tertentu tujuan pemekaran wilayah tidak tercapai, maka para pendirinya harus bertanggung jawab secara hukum.

Konon proses pengesahan undang-undang pemekaran wilayah ini termasuk pekerjaan yang ‘basah’. Tidak heran jika gampang digolkan. Lagi-lagi masalah moral dan komitmen. Saya sependapat dengan pemerintah pusat yang menyarankan agar yang namanya pemekaran wilayah itu direm dulu. Apalagi pemekaran tersebut tidak betul-betul membebaskan rakyatnya dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Memang perlu dibuat aturan main yang ketat serta kriteria yang jelas dan terukur. Kalau tidak, bakal ada ratusan kabupaten di Indonesia yang dibentuk hanya berdasarkan pertimbangan sub-kultur dan sub-sukuisme semata.
Read more (Baca selengkapnya)...

Sunday, February 8, 2009

Quo Vadis PERTAMINA? [2]


In an era when social capital may be as important as physical capital, only those societies with high degree of social trust will be able to create flexible, large-scale business organizations that are needed to compete in the new global economy. Di era ketika modal sosial sama pentingnya dengan modal fisik (materi), hanya masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan sosial (amanah) tinggi yang mampu menciptakan organisasi-organisasi bisnis berskala besar dan fleksibel yang diperlukan untuk berkompetisi dalam percaturan ekonomi global.
{Francis Fukuyama}


Untuk yang pertama kalinya Pertamina memiliki direktur utama wanita sejak didirikan tahun 1957 (waktu itu namanya masih Permina). Teka-teki tentang siapa yang akan duduk di pimpinan tertinggi Pertamina terjawab sudah ketika Kamis sore, 5 Februari 2009, Menneg BUMN Sofyan Djalil melantik Karen Agustiawan dan Omar S. Sanusi masing-masing sebagai Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama menggantikan Ari H. Sumarno dan Iin Arifin Takhyan. Karen dan Omar, dua nama yang sama sekali tidak ‘terdeteksi’ media massa saat fit and proper test dilaksanakan dari hari Sabtu sampai Minggu dinihari (31 Januari – 1 Februari 2009). Makanya nama keduanya tidak muncul di media massa sampai pagi hari menjelang pelantikan.

Karen Agustiawan mengatakan, prioritas utamanya setelah menjabat Dirut tetap pada pengamanan pasokan (security of supply) dan distribusi BBM maupun elpiji. Kedua adalah memajukan bisnis hulu. Wadirut Pertamina yang baru Omar S. Anwar mengatakan, sebelum Pertamina menjadi World Class Company, BUMN migas ini harus menguasai pasar domestik dan regional terlebih dulu. Omar juga mengatakan Pertamina bisa seperti Petronas – BUMN migas milik Malaysia yang dulu justru ‘murid’-nya Pertamina.

Beragam komentar dan harapan terlontar setelah pelantikan Dirut dan Wakil Dirut Pertamina yang baru ini. Menneg BUMN sendiri mengatakan Pemerintah memasangkan Karen Agustiawan dengan Omar S. Anwar sebagai Dirut dan Wadirut Pertamina yang baru karena mereka berdua adalah kombinasi yang pas: Karen berlatar belakang teknis, Omar berlatar belakang bisnis. Pihak pemerintah sendiri menjamin bahwa pengangkatan Dirut dan Wadirut tidak ada drop-dropan atau tidak ada intervensi dari pihak manapun. Murni hasil penilaian akhir dari fit and proper test.

Seperti yang saya baca di Kompas.com edisi 30 Januari 2009, pengamat perminyakan Pri Agung Rakhmanto (Direktur Reforminer Institute) mengatakan, Pertamina tidak pernah lepas dari kepentingan politik ekonomi penguasa. Merunut dari beberapa kali pergantian direksi Pertamina, seolah-olah kalau pemerintah sudah tidak bisa memegang direksinya atau kepentingan pemerintah sudah dilaksanakan, pergantian bisa dilakukan kapan saja. Misalnya, Dirut Pertamina Martiono Hadianto diganti pada saat pembahasan undang-undang migas (UU No. 22 Tahun 2001) mengalami kebuntuan karena penolakan dari Pertamina. Baihaki Hakim diganti karena menolak penjualan kapal tanker VLCC (Very Large Crude Carrier). Padahal maksud Baihaki agar Pertamina tidak lagi tergantung pada armada kapal tanker asing. Widya Purnama diganti di tengah-tengah negosiasi Blok Cepu yang melibatkan perusahaan minyak raksasa ExxonMobil, Pertamina, dan pemerintah sendiri.

Lebih lanjut Pri mengatakan, penunjukan pimpinan Pertamina yang baru ini adalah hasil kompromi banyak pihak (detikfinance.com, 5 Februari 2009). Penunjukan Karen dilakukan karena pemerintah tidak mau ada resistensi dari internal Pertamina sendiri. Sedangkan penempatan Omar S. Anwar sebagai wakil dirut juga dinilai untuk pembenahan manajerial di BUMN minyak itu. Sementara penunjukkan tiga komisaris yakni Gita Wirjawan (mantan Presdir JP Morgan Indonesia), Humayun Boscha (mantan Presdir Caltex) dan Sonny Sumarsono (Direkur Pertamina) sebagai perwakilan beberapa kelompok di pemerintahan yang memakai orang-orang profesional.

Pri pesimistis direksi baru sekarang akan lebih baik dari direksi sebelumnya. Karena masalahnya bukan hanya di Pertamina, melainkan kuatnya intervensi pemerintah yang membuat perusahaan minyak ini serba nanggung untuk bergerak di percaturan internasional. Jabatan Dirut Pertamina memang panas, dalam 10 tahun saja sudah ganti 6 direksi karena banyak sekali kepentingan dari kelompok tertentu.

Dirut Pertamina dalam satu dasawarsa terakhir adalah:
1. Soegijanto (1996-1998)
2. Martiono Hadianto (1998-2000),
3. Baihaki Hakim (2000-2003),
4. Ariffi Nawawi (2003-2004),
5. Widya Purnama (2004-2006), dan
6. Arie H. Soemarno (2006-2009).

Mengapa posisi Dirut Pertamina selalu panas dan selalu diintervensi banyak pihak? Ya karena selain minyak merupakan komoditi strategis, bisnis perminyakan juga memberikan tremendous wealth (kemakmuran materi yang luar biasa). Tentu saja berlaku pepatah lama ‘ada gula ada semut’. Tetapi kan pemerintah dan direksi baru sendiri sudah menjamin dan melontarkan pernyataan bahwa pemilihan dirut dan wadirut baru ini sama sekali tidak ada intervensi dari pihak manapun? Yang namanya lobi-lobi politik ekonomi itu (lobi politik tidak lepas dari kepentingan ekonomi) tentu saja dilakukan secara super rahasia, sehingga tidak terdeteksi oleh siapapun. Orang hanya bisa melihat symptom-nya saja. Manakala begitu gampangnya menggonta-ganti pimpinan tertinggi Pertamina setiap ada masalah, meski belum tentu kesalahan Pertamina, maka orang akan segera mencium gelagat bahwa yang namanya intervensi itu memang ada. Dan, jangan lupa, April 2009 nanti Pemilu legislatif, disusul kemudian pilpres di bulan Juli 2009. Nuansa politik memang kental.

Adanya intervensi ini diamini oleh Baihaki Hakim selaku mantan Dirut Pertamina (Kompas.com, 5 Februari 2009). Pak Baihaki mengatakan, hambatan Pertamina untuk maju justru ada di pemerintah sendiri. Banyak kebijakan yang akhirnya membonsai Pertamina karena ibaratnya Pertamina tetap dipegang ekornya. Ia mencontohkan, kebijakan pengelolaan wilayah kerja yang tidak memprioritaskan Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN). Akibatnya, Pertamina tidak mendapat kesempatan untuk mengelola wilayah kerja migas yang potensial di dalam negeri. Pertamina juga terus-terusan menjadi sumber dana nonbudgeter. Misalnya, dalam program konversi minyak tanah ke elpiji. Pertamina diminta menalangi pengadaan kompor dan tabung. Sebagian besar keuntungan Pertamina dari bisnis hulu dan hilir juga diambil negara. Padahal, Pertamina butuh investasi besar untuk mengembangkan bisnis di hulu, maupun menambah infrastruktur di hilir.

Pertamina versus Petronas

Karena Omar S. Anwar menyebut-nyebut Petronas, maka saya akan membandingkan sedikit antara Pertamina dengan Petronas. Bukan karena rumput tetangga lebih hijau dari rumput di halaman sendiri, tetapi bukankah kalau mau melangkah maju itu dibutuhkan semacam benchmark, sebagai acuan untuk mengidentifikasi dimana posisi kita sekarang (where we are at) dan kemana arah yang akan dituju (where we are going to).

Periode 1971-2001 undang-undang migas yang berlaku di Indonesia adalah UU No. 8/1971 tentang pemberian hak kuasa penuh kepada Pertamina untuk mengelola sumber daya migas di Indonesia. Pertamina, selain operator, juga merangkap sebagai regulator. Di awal tahun 1970-an Malaysia banyak belajar dari Petamina. Malaysia kemudian mendirikan Petronas (singkatan dari Petroliam Nasional Berhad) pada tanggal 17 Agustus 1974. Malaysia juga membuat peraturan serupa dengan UU No. 8/1971 yang mereka namakan Petroleum Development Act 1974.

Pertamina di tahun 2008 membukukan laba bersih Rp 30 triliun (detikfinance.com, 31 Desember 2008). Kalau diambil kurs Rp 10 ribu per dolar AS berarti laba bersih Pertamina ini setara dengan USD 3 miliar. Petronas dalam laporan keuangannya untuk tahun fiskal April 2007-Maret 2008 membukukan laba bersih RM 61 miliar (Ringgit Malaysia) atau setara dengan USD 18,1 miliar. Sedangkan laba bersih 6 bulanan untuk periode Maret-September 2008, Petronas membukukan RM 38,6 miliar atau setara dengan USD 11,46 miliar. Berati laba bersih Petronas selama 6 bulan di tahun 2008 hampir mencapai empat kalinya laba bersih Pertamina dalam setahun. Berhubung Petronas merangkap sebagai ‘mandor’ kontraktor migas asing di Malaysia, maka porsi hak (entitlement) Petronas dari bagi hasil produksi juga dimasukkan dalam neraca pembukuan Petronas. Seperti halnya dulu ketika UU Migas No. 22/2001 belum berlaku, Pertamina juga bertindak sebagai ‘mandor’ kontraktor migas asing di Indonesia.

Produksi minyak dan gas Malaysia untuk tahun fiskal April 2007-Maret 2008 rata-rata sebesar 1,67 juta boepd (barrel of oil equivalent per day = setara barel minyak per hari). 743 ribu boepd di antaranya merupakan porsi hak Petronas setelah dipotong recoverable cost dan bagi hasil produksi lapangan migas yang dioperasikan perusahaan migas asing di Malaysia di bawah skema kontrak bagi hasil (production sharing contract atau PSC). Sedangkan lapangan migas di Malaysia yang dioperasikan sendiri (own operate) oleh Petronas Carigali menghasilkan produksi 412 ribu boepd. Sebagai perusahaan kelas dunia, Petronas telah melakukan investasi di 23 negara lain. Total produksi lapangan migas yang dikelola Petronas di luar Malaysia sebesar 615 ribu boepd. Sehingga total produksi migas yang dioperasikan sendiri oleh Petronas (nasional plus internasional) di tahun 2008 sebesar 1,03 juta boepd. Jika hak Petronas dari bagi hasil PSC di Malaysia juga dimasukkan, maka total keseluruhan produksi Petronas (nasional plus internasional) sebesar 1,77 juta boepd.

Pertamina sendiri, meskipun mengklaim memproduksi minyak rata-rata sebesar 150 ribu barel per hari (bph) di tahun 2008, namun itu adalah total hasil produksi Pertamina EP (Pertamina Eksplorasi dan Produksi) ditambah JOB (Joint Operation Body), BOB (Badan Operasi Bersama), dan TAC (Technical Assistance Contract). Kalau produksi minyak dari lapangan yang dioperasikan langsung oleh Pertamina EP berada di kisaran 75 ribu bph. Produksi gas dari lapangan yang dioperasikan sendiri oleh Pertamina EP berada di level 1 MMMSCFD (miliar kaki kubik per hari) atau setara dengan 167 ribu boepd. Sehingga total produksi migas dari lapangan yang dioperasikan sendiri oleh Pertamina sebesar 247 ribu boepd. Untuk lapangan-lapangan yang dikelola Pertamina di luar negeri hingga tahun lalu belum ada yang berproduksi. Data saya ambil dari berbagai sumber, di antaranya dari berita yang dirilis di website Pertamina EP dan laporan tahunan Pertamina.

Petronas sejak berdirinya walau menyandang status BUMN namun diperlakukan sebagai full business entity (entitas bisnis penuh) oleh Pemerintah Malaysia. Petronas mendapat keleluasaan penuh untuk berbisnis sebagaimana layaknya sebuah perusahaan besar swasta. Petronas hanya menyetorkan pajak saja ke Pemerintah Malaysia. Pemerintah Malaysia mungkin baru ‘menjewer kuping’ Petronas hanya jika nilai rapor tahunannya merah. Sementara Pertamina, selain setor pajak, juga mesti menyetorkan separuh devidennya ke pemerintah. Selain itu, menurut keterangan yang saya peroleh dari Prof. Widjajono Partowidagdo (anggota Dewan Energi Nasional), Pertamina tidak boleh meminjam uang. Menagih piutangnyapun Pertamina kewalahan. Ari Sumarno mengatakan, hingga saat ini Pertamina memiliki total piutang senilai Rp 40 triliun yang tersangkut di berbagai BUMN, swasta, instansi pemerintah, dan militer (mediaindonesia.com, 8 Februari 2009).

Secara nasional produksi minyak Indonesia menunjukkan tren yang menurun terus dari level 1,55 juta bph pada tahun 1997 menjadi hanya sekitar 970 ribu bph pada tahun 2008. Malaysia, walau tidak menunjukkan tren kenaikan yang berarti, namun produksinya relatif konstan di level 750 ribu bph dari tahun 1997 sampai tahun 2008. Meskipun penurunan produksi minyak Indonesia dapat dijelaskan secara teknis dan geologis, tetapi banyak hal lain yang menyebabkan Indonesia seakan kehilangan momentum untuk terus menumbuhkembangkan industri hulu migasnya dalam satu dekade terakhir. Pasca runtuhnya Orde Baru para elit kita lebih disibukkan oleh politik, merombak berbagai peraturan perundang-undangan (termasuk UUD 45 sendiri), dan menciptakan berbagai lembaga serta aturan main baru yang justru menambah panjang rantai proses bisnis. Sementara esensi tujuan peraturan itu sendiri, yaitu untuk meningkatkan efisiensi dan auditabilitas, terabaikan.

Pertamina, Sedang Menuju Kemana?

Memang senantiasa ada dua sasaran pokok yang menjadi agenda kerja manajemen Pertamina: meningkatkan laba dan mengamankan pasokan bahan bakar (BBM dan elpiji). Karena 80% dari laba yang diperoleh Pertamina di tahun 2008 berasal dari sektor hulu, maka seyogyanyalah sektor hulu digarap Pertamina lebih serius lagi. Sektor hulu memang bisa menangguk untung banyak karena menurut BPMIGAS biaya produksi rata-rata migas di Indonesia hanya sekitar USD 6,5 per boe, masih lebih rendah dari rata-rata dunia. Sektor hilir, yaitu pengamanan pasokan BBM dan elpji, lebih pada misi sosial yang diemban Pertamina. Tetapi justru berbagai problema dan karut-marut yang terjadi di sektor hilir inilah yang sering ‘melengserkan’ pimpinan tertinggi Pertamina.

Sebetulnya ada beberapa privileges (kemudahan dan kekhususan) yang diberikan kepada Pertamina dalam melakukan tata niaga hulu migas. Antara lain skema bagi hasil minyak 80:20 (80% untuk pemerintah dan 20% untuk Pertamina), sementara untuk kontraktor perusahaan minyak asing umumnya 85:15 (85% untuk pemerintah dan 15% untuk kontraktor). Lalu untuk semua lapangan migas yang dikelola langsung oleh Pertamina, tidak ada penerapan ring fencing, artinya semua wilayah kerja Pertamina di Indonesia diperlakukan sebagai satu blok. Dengan demikian biaya eksplorasi di suatu wilayah kerja bisa langsung dibebankan ke cost recovery (penggantian biaya). Namun tetap saja Pertamina dinilai banyak pihak kurang ‘gereget’ dalam menggarap sektor hulu ini.

Sehubungan dengan makin meningkatnya konsumsi energi primer berbasis minyak bumi (BBM dan elpiji), sementara diversifikasi energi di Indonesia masih jalan di tempat, maka mau tak mau, untuk menjamin ketersediaan pasokan BBM dan elpiji di masa mendatang, Pertamina mesti meningkatkan kapasitas kilang minyaknya. Konsumsi minyak bumi Indonesia saat ini berada di level 1,3 juta bph, sementara total kapasitas kilang Pertamina hanya 900 ribu bph. Berarti Pertamina mengimpor sampai 400 ribu bph BBM dan produk turunan berbasis minyak bumi lainnya dalam bentuk sudah jadi.

Sampai awal tahun 1990-an Petronas belumlah sebesar sekarang ini kiprahnya di pasar global. Saya ingat dulu tahun 1991 dalam suatu pelatihan di Jakarta ada beberapa peserta dari Petronas dan Shell Sarawak. Terlihat sekali beda antara orang Petronas dan Shell ketika itu. Teman yang dari Petronas mengikuti kursus tidak begitu serius, niatnya lebih cenderung untuk pelesiran di Jakarta. Sedangkan teman yang dari Shell, karena mungkin sudah menganut nilai budaya korporat global Shell, sangat rajin dan antusias mengikuti pelatihan. Beberapa teman dari Pertamina sendiri ketika itu ada yang mengisi absen langsung untuk 5 hari, tetapi hanya datang di hari pertama dan hari terakhir saja. Tentunya sekarang ini tidak ada lagilah orang Petronas dan Pertamina yang seperti itu.

Saya mengambil contoh pengalaman pelatihan di atas karena menurut saya ada dua hal yang sangat besar peranannya dalam memacu kemajuan Petronas: (1) dari sisi intern adalah budaya kerja, dan (2) dari sisi eksternal adalah kenyamanan serta keleluasaan berbisnis. Meskipun usia Pertamina 17 tahun lebih tua dari Petronas, namun kelihatannya Petronas jauh lebih cepat dan lebih berhasil daripada ‘guru’-nya dalam melakukan transformasi budaya kerja dari apa yang disebut orang ‘budaya Melayu’ berubah menjadi budaya korporat kelas dunia.

Nilai-nilai budaya korporat kelas dunia antara lain:
· Tepat waktu dan disiplin.
· Orientasi pada iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi).
· Efektif dan efisien.
· Inovatif.
· Produktif.
· Mobilitas tinggi.
· Membuka diri pada hal-hal baru.
· Melakukan segala sesuatu sesuai rencana.

Maka empat hal pokok (internal dan eksternal) yang menurut saya secara makro bisa mendorong Pertamina untuk maju adalah:

(1) Transformasi budaya korporat ke arah budaya yang secara universal sudah dianut oleh perusahaan migas kelas dunia. Hal ini tentunya sedang dilakukan oleh manajemen Pertamina. Ibu Karen mengatakan akan mempercepat proses transformasi ini. Pak Ari Sumarno sendiri dalam suatu kesempatan diskusi Agustus 2008 lalu mengungkapkan bahwa transformasi budaya ini pada kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Pertamina sudah terbiasa selama sekian puluh tahun menjadi ‘mandor’ perusahaan migas asing sebelum berlakunya UU migas No. 22/2001. Tidak mudah untuk merubah budaya mandor menjadi budaya kerja yang efisien sebagaimana layaknya sebuah business entity. Salah satu momentum yang tidak betul-betul dimanfaatkan Pertamina selama jadi mandor adalah penguasaan ruh teknologi perminyakan, yaitu GGE (geology, geophysics, and engineering). Beda dengan Petronas dan Statoil (BUMN migas milik Norwegia) misalnya, yang dalam tempo tidak sampai 20 tahun telah menguasai teknologi eksplorasi dan eksploitasi migas di laut dalam. Budaya adalah sesuatu yang sifatnya inheren dalam diri manusia. Makanya memang tidak mudah untuk merubah budaya. Ganti logo perusahaan atau pencabaran visi-misi belum tentu segera diikuti dengan perubahan budaya kerja.

(2) Intervensi ‘politik ekonomi’ dari penguasa dan berbagai pihak yang memiliki akses ke pusat kekuasaan harus dihentikan. Berikan keleluasaan dan kenyamanan bagi Pertamina untuk menjalankan bisnisnya sambil tetap melaksanakan misi sosialnya. Kalau Pertamina dipegang terus ekornya, maka Pertamina akan selalu kehilangan momentum untuk menjadi perusahaan kelas dunia. Lagipula Pertamina itukan BUMN, Badan Usaha Milik Negara, bukan badan usaha milik pemerintah. Dalam pelajaran PKN di SMP, institusi yang namanya negara itu paling tidak memenuhi empat hal: ada wilayah, ada pemerintahan, ada rakyat, dan ada kedaulatan. Jadi pemerintah sebetulnya hanya merupakan salah satu saja dari sekian banyak stakeholder Pertamina. Kepentingan rakyat akan energi mesti dikedepankan. Berhentilah bermain politik atau bermain spekulasi terhadap komoditas strategis ini untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

(3) Meningkatkan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi di sektor hulu migas karena sektor inilah yang mencetak laba lebih besar bagi Pertamina. Tidak hanya sekedar investasi dalam bentuk kerja sama, tetapi juga menjadi operator langsung, agar bangsa Indonesia lebih cepat lagi menguasai teknologi perminyakan. Laba diperlukan bagi Pertamina untuk menumbuhkembangkan bisnisnya ke depan.

(4) Untuk menjamin ketercukupan pasokan bahan bakar (BBM, elpiji, biofuel), Pertamina mesti menambah kapasitas kilangnya sekaligus secara terus menerus membenahi manajemen distribusi bahan bakar. Transaksi elektronik di depo Pertamina yang telah dirintis oleh Pak Ari Sumarno sangat bagus dan ‘berkelas dunia’, meski akhirnya ‘mengorbankan’ posisi Pak Ari sendiri karena sempat terjadi kelangkaan BBM di musim liburan akhir tahun lalu. Stok/cadangan BBM nasional yang sekarang selama dua puluh sekian hari mungkin perlu ditinjau ulang lagi berdasarkan kondisi geografis dan keterjangkauan wilayah Indonesia. Indonesia terdiri atas gugusan belasan ribu pulau dengan tingkat kesulitan akses yang berbeda-beda. Mungkin saja ada wilayah yang memerlukan alokasi ketercukupan stok BBM yang lebih lama dibandingkan rata-rata stok BBM nasional.

Anyway, orang-orang yang bisa lulus fit and proper test untuk menduduki posisi puncak di Pertamina itu tentunya adalah orang-orang yang luar biasa – memiliki kecerdasan dan kemampuan paripurna. Mereka tentunya jauh lebih tahu tentang bagaimana caranya memajukan Pertamina. Kok saya jadi sok tau, he-he-he.

Meskipun beberapa pihak meragukan kepemimpinan Ibu Karen, tetapi menurut saya setelah lebih lima dasawarsa berlalu sudah tiba giliran seorang wanita memperoleh kesempatan memimpin BUMN super strategis seperti Pertamina ini. Dalam beberapa hal, wanita lebih andal. Margareth Thatcher saja sewaktu menjabat Perdana Menteri Inggeris dijuluki the iron woman – si wanita besi – karena keteguhan prinsipnya. Argentina dipaksa mundur ketika diserang Inggeris dalam perang Malvinas/Falklands di tahun 1982, yang berakhir dengan kembalinya Pulau Falklands ke pangkuan Inggeris. Padahal Argentina saat itu diperintah oleh seorang diktator militer – Jenderal Leopoldo Galtieri. “......perempuan dilahirkan multitasking, mengerjakan banyak hal.....”, demikian ungkap Karen Agustiawan yang kelahiran Bandung tanggal 19 Oktober 1958 itu dalam rubrik sosialita di harian Kompas 8 Februari 2009.

Selamat menjalankan amanah untuk Dirut dan Wakil Dirut Pertamina yang baru!
Read more (Baca selengkapnya)...

Sunday, February 1, 2009

Setelah Anak-anak Sekolah di Jakarta Masuk Jam 6.30 Pagi; Seputar Permasalahan dalam Membuat Kebijakan Publik



“Policy” dalam Bahasa Inggeris diterjemahkan menjadi “kebijakan”. Saya tidak tahu mengapa diterjemahkan demikian. Padahal yang namanya “kebijakan” itu belum tentu bijaksana. “Kebijakan” dalam Bahasa Indonesia sebetulnya lebih identik dengan “peraturan”. Maka undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan menteri, keputusan menteri, peraturan daerah, dan lain-lain bentuk peraturan yang dibuat oleh lembaga pemerintahan itu bisa disebut sebagai “kebijakan”.

Sebulan sudah Pemprov DKI menerapkan kebijakan tentang diwajibkannya anak-anak yang bersekolah di wilayah DKI (dari tingkat SD sampai SMA) masuk jam 6.30 pagi. Sasaran kebijakan ini adalah untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di Jakarta pada jam-jam sibuk. Sebelum peraturan ini diterapkan, mayoritas sekolahan di DKI masuk jam 7 pagi. Banyak komentar di berbagai media, terutama di media on-line. Dari yang pro sampai yang kontra. Komentarnya juga beragam, dari yang lucu-lucu sampai yang serius.

Yang saya amati dan saya rasakan selama sebulan penerapan kebijakan ini adalah:

(1) Anak-anak mesti bangun lebih pagi lagi – masih dalam kondisi mengantuk. Konon secara biologis waktu tidur di penghujung malam menjelang pagi lebih besar pengaruhnya terhadap kebugaran badan anak-anak dibandingkan waktu tidur di awal malam. Berarti bangun yang terlalu pagi (masih malam buta) bagi anak-anak akan mengurangi kebugaran mereka.

(2) Kebijakan ini hanya memajukan jam kemacetan. Kalau semula perjalanan mulai terasa macet di jam 6 pagi, maka sekarang jam 5.30 pagi sudah mulai terasa macet. Tingkat kemacetan di rute perjalanan yang dilalui tidak berubah, meskipun berangkat lebih awal.

(3) Karena kemacetan sudah mulai dan berlanjut terus dari jam 5.30 pagi, maka tidak berarti saya 30 menit lebih cepat tiba di kantor. Saya lebih sering tiba di kantor setelah mendekati jam 7 juga, tidak beda jauh dari tahun lalu. Anak-anakpun sering telat. Kalau sarannya mesti berangkat lebih pagi lagi, yang benar saja, masak anak-anak mesti menginap di sekolah. Sekalian saja sekolah di wilayah DKI dijadikan semacam boarding school.

Sebagai orang yang bermukim di daerah Jakarta coret, tetapi bekerja di Jakarta, mempunyai dua orang anak yang bersekolah di Jakarta, serta berangkat pagi berbarengan dengan anak-anak, maka sudah terbayang dari semula bahwa saya akan termasuk dalam kelompok yang “paling terkena” oleh kebijakan ini. Teman-teman lain yang bermukim di pinggiran Jakarta (Tangerang-Bekasi-Depok) dan sama kondisinya seperti saya kemungkinan besar – kalau tidak dapat dikatakan pasti – merasakan hal yang sama.

Kalau kita perhatikan, mayoritas anak sekolah yang tinggal di pinggiran Jakarta berangkat berbarengan dengan orang tua mereka, baik yang menggunakan kendaraan pribadi (mobil, sepeda motor) maupun yang naik angkutan umum. Mengapa demikian? Tentunya untuk efisiensi biaya dan waktu. Sedangkan yang menggunakan sarana angkutan umum tetap saja berbarengan dengan orang tuanya karena banyak orang tua merasa khawatir melepas anaknya bepergian sendirian mengingat kondisi angkutan umum dan jalanan di ibukota yang masih jauh dari memberi rasa “aman” dan “nyaman” bagi warganya.

Jadi kebijakan ini menurut saya tidak mencapai sasarannya karena banyak orang yang kondisinya: (a) bermukim di pinggiran/luar DKI, (b) memiliki anak yang bersekolah di wilayah DKI, dan (c) berangkat berbarengan dengan anaknya.

Beberapa Permasalahan Seputar Proses Pembuatan Kebijakan

Memang boleh dibilang tak satupun yang namanya kebijakan itu bisa memuaskan semua pihak. Namun paling tidak, jika ingin disebut berhasil, kebijakan itu mesti dapat memuaskan banyak pihak. Kebijakan yang tidak mengenai sasaran memang sering kita jumpai di negeri ini. Coba kita tinjau sejenak seputar proses pengambilan kebijakan yang menyebabkan mengapa kebijakan itu sering gagal dalam mencapai sasarannya.

Tidak menyentuh akar penyebabnya. Ini adalah permasalahan yang sering terjadi dalam mengambil keputusan yang berkenaan dengan kebijakan publik. Akibatnya solusi yang ditawarkan tidak komprehensif, bersifat parsial, dan jangka pendek. Kemacetan lalu lintas di DKI terjadi karena volume kendaraan yang luar biasa banyaknya, jauh melebihi daya dukung normal jalanan yang ada, akibat mobilitas manusia - terutama dari sekitar pinggiran Jakarta - yang hendak melakukan aktivitas di Jakarta. Dari kata-kata “mobilitas manusia” ini saja sudah terbayangkan beberapa akar penyebab yang domainnya lebih makro, baik dalam skala wilayah (daerah) maupun skala nasional.

Dalam skala daerah hal yang perlu dibenahi adalah sistem manajemen transportasi publik, yaitu bagaimana caranya agar orang-orang mau beralih ke angkutan umum. Sedangkan dalam skala nasional adalah bagaimana caranya agar kawasan Jakarta tidak jadi semakin padat. Saat ini Jakarta tidak hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga pusat perkantoran, sentra ekonomi, dan pusat transaksi keuangan. Konon 60% dari jumlah uang yang beredar di Indonesia ada di Jakarta. Jakarta memang memiliki magnet yang luar biasa. Hingga saat ini sektor swasta yang bidang usahanya berbasiskan sumber daya alampun berkantor pusat di Jakarta, sementara lahannya nun jauh disana di pelosok daerah lain. Andai transaksi bisnis dan perkantoran bisa lebih dialokasikan ke daerah-daerah, maka kepadatan di Jakarta dapat direm.

Pola pikir “berbanding lurus”. Kalau menunda keberangkatan 30 menit, akan tiba di tempat tujuan lebih lambat 30 menit. Kalau mempercepat keberangkatan 30 menit, akan tiba di tempat tujuan 30 menit lebih awal. Padahal kenyataannya tidak demikian. Menunda keberangkatan 30 menit, mungkin tiba di tujuan 2 jam lebih lambat. Sebaliknya, mempercepat keberangkatan 30 menit, mungkin tiba di tujuan satu jam lebih awal. Jadi tidak selamanya mengikuti pola berbanding lurus. Berbagai peristiwa sebab-akibat pada umumnya memang tidak berbanding lurus.

Asumsi tidak akurat. Mungkin asumsinya antara anak-anak sekolah dan orang tuanya berangkat tidak dalam waktu bersamaan. Padahal mayoritas anak-anak dari pinggiran Jakarta berangkat sekolah bersamaan dengan orang tuanya; entah itu naik kendaraan pribadi (mobil, sepeda motor) ataupun dengan kendaraan umum.

Pola pikir linier. Dalam matematika dikenal dengan “jika-maka”. Padahal kebanyakan variabel-variabel sosial itu membentuk suatu sistem causal loop, yaitu hubungan yang saling imbal balik dan saling memengaruhi. Lawan dari “pola pikir linier” adalah “pola pikir sistem”. Pola pikir sistem ini kalau dalam analisis kebijakan pembangunan ada pemodelan matematis yang dinamakan System Dynamics (dinamika sistem). Kartun di bawah ini menggambarkan perbedaan antara pola pikir linier dan pola pikir sistem. Selain variabel-variabel utama dalam sebuah causal loop, parameter-parameter lain yang bisa memengaruhi ouput sistem juga mesti diperhitungkan.


Terlalu disederhanakan (over simplified).
Misalnya semula ada lima variabel, dibuat hanya dua atau tiga saja. Penyederhanaan adalah hal yang niscaya dalam suatu pemodelan dengan cara mengeleminir variabel-variabel yang tidak siginifikan pengaruhnya. Tetapi manakala terlalu disederhanakan, model yang dibuat jadi tidak mewakili kondisi yang sebenarnya.

Observasi tidak independen. Banyak observasi berikut uji kesahihannya tidak netral atau tidak independen lagi karena sudah mengarah pada kemauan pembuat kebijakan. Contoh yang sering dijumpai adalah pada studi AMDAL. Banyak studi AMDAL yang justru dibuat untuk melegalkan pengrusakan lingkungan (penggusuran, penggundulan bukit, pembabatan hutan, dsb) demi mengikuti kehendak penguasa dan kaum kapitalis pemilik modal.

Asal tampil beda. Supaya terlihat “inilah aku” atau “inilah hasil kerjaku ketika aku menjabat”, maka seorang pengambil kebijakan membuat kebijakan baru yang asal beda, tanpa mempertimbangkan apakah kebijakannya itu produktif atau malah kontra produktif terhadap rakyatnya. Kebijakan yang dihasilkan tidak menyentuh esensinya. Contohnya adalah yang sering terjadi dalam sistem pendidikan nasional kita. Ada istilah “ganti menteri, ganti kurikulum”, padahal kualitas output pendidikan tidak banyak mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Mengapa demikian? Karena esensi pendidikan, yaitu “membangun karakter manusia”, sangat minim sentuhan. Contoh lain adalah para pimpinan daerah yang getol membangun monumen atau proyek mercu suar lainnya selama dia menjabat. Sementara esensi pembangunan, yaitu “membebaskan rakyatnya dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan”, tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh.

Pengambil kebijakan kurang empati. Pada umumnya pengambil kebijakan adalah pejabat tinggi, bukan rakyat kebanyakan. Mungkin dia tinggal di tempat yang nyaman, memiliki kendaraan dinas serta fasilitas lainnya, punya supir, memiliki kendaraan lebih dari satu, sehingga tidak menjadi objek langsung dari kebijakannya sendiri, dan - karenanya - bisa jadi kurang memiliki rasa empati terhadap apa yang mesti dipikul oleh rakyatnya.

Itulah seputar permasalahan yang sering terjadi dalam proses pengambilan kebijakan. Kemacetan lalu lintas di Jakarta akan bisa teratasi, walau lambat tapi pasti, apabila solusi yang ditawarkan dapat menyelesaikan akar penyebab makronya; antara lain mengalokasikan sebagian 'magnet' Jakarta ke daerah-daerah.

Menurut beberapa media massa, tak lama lagi Pemprov DKI akan mengatur jadwal masuk kerja yang berbeda-beda bagi karyawan/pegawai sesuai dengan wilayah tempat kerja (Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur). Nanti ada yang masuk jam 7.30, jam 8, jam 8.30, dan jam 9 pagi. Lagi-lagi pola pikir linier.
Read more (Baca selengkapnya)...