Fifty thousand men were sent to do the will of one
His claim was phrased quite simply, though he never voiced it loud
I am he, the chosen one.
In his name they could slaughter, for his name they could die
Though many there were believed in him, still more were sure he lied,
But they'll fight the battle on.
Dua bait di atas saya kutip dari lagu Genesis yang berjudul One for The Vine. Di awal tahun 1970-an, ketika Peter Gabriel masih bergabung, Genesis banyak membawakan lagu-lagu bertemakan balada dan cerita sastra jaman dahulu kala. Lirik lagunya bergaya prosa-puisi. Penafsiran bait-bait lagu di atas kira-kira menceritakan sekelompok orang yang memiliki loyalitas ‘buta’ kepada seorang tokoh, sehingga mau berbuat apa saja. Bahkan bersedia membunuh dan rela mati demi sang tokoh, meskipun di antara mereka banyak yang tahu kalau si tokoh tersebut menyembunyikan banyak kebohongan.
Selasa sore, 3 Februari 2009, saya menyaksikan liputan berita di televisi yang menayangkan peristiwa demonstrasi anarkis di Gedung DPRD Sumatera Utara, Medan, yang dilakukan oleh sekelompok massa yang menuntut pembentukan Provinsi Tapanuli pisah dari Propinsi Sumatera Utara. Peristiwa anarkis tersebut menyebabkan meninggalnya Bapak Abdul Azis Angkat, Ketua DPRD Sumut. Walaupun diberitakan beliau meninggal karena serangan jantung, namun ditengarai pemicunya akibat tindakan kekerasan. Dalam beberapa snapshot yang dirilis media, terlihat beliau memang beberapa kali dipukul dan didorong para pendemo.
Dua bait di atas saya kutip dari lagu Genesis yang berjudul One for The Vine. Di awal tahun 1970-an, ketika Peter Gabriel masih bergabung, Genesis banyak membawakan lagu-lagu bertemakan balada dan cerita sastra jaman dahulu kala. Lirik lagunya bergaya prosa-puisi. Penafsiran bait-bait lagu di atas kira-kira menceritakan sekelompok orang yang memiliki loyalitas ‘buta’ kepada seorang tokoh, sehingga mau berbuat apa saja. Bahkan bersedia membunuh dan rela mati demi sang tokoh, meskipun di antara mereka banyak yang tahu kalau si tokoh tersebut menyembunyikan banyak kebohongan.
Selasa sore, 3 Februari 2009, saya menyaksikan liputan berita di televisi yang menayangkan peristiwa demonstrasi anarkis di Gedung DPRD Sumatera Utara, Medan, yang dilakukan oleh sekelompok massa yang menuntut pembentukan Provinsi Tapanuli pisah dari Propinsi Sumatera Utara. Peristiwa anarkis tersebut menyebabkan meninggalnya Bapak Abdul Azis Angkat, Ketua DPRD Sumut. Walaupun diberitakan beliau meninggal karena serangan jantung, namun ditengarai pemicunya akibat tindakan kekerasan. Dalam beberapa snapshot yang dirilis media, terlihat beliau memang beberapa kali dipukul dan didorong para pendemo.
Saya tidak pada posisi mempersoalkan pemekaran wilayah. Yang sangat memprihatinkan ialah betapa masyarakat bangsa kita begitu beringas jika berada dalam kerumunannya. Nyaris tidak ada aksi unjuk rasa yang tidak diakhiri dengan tindakan anarkis. Berbuat kerusakan saat unjuk rasa begitu ringannya, tanpa beban. Kita seakan sudah menjadi bangsa barbar. Tidak heran jika para sosiolog menjuluki masyarakat bangsa kita sebagai the sick society – masyarakat yang sakit.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yang namanya pemekaran wilayah memang sangat marak. Walaupun di tingkatan provinsi tidak seberapa karena hanya ada 6 provinsi baru (Kepulauan Riau, Bangka-Belitung, Banten, Gorontalo, Maluku Utara, dan Papua Barat), namun mulai dari tingkatan kabupaten, kecamatan, kelurahan, sampai RT/RW semuanya terjangkit euforia pemekaran wilayah. Era otonomi daerah direspon dengan pemekaran wilayah.
Apa kira-kira hal pokok yang tertuang dalam studi kelayakan (feasibility study) pemekaran wilayah? Saya belum pernah melihat studinya. Namun dapat saya pastikan paling tidak memuat dua hal pokok: (1) memaksimumkan pemanfaatan berbagai potensi sumberdaya, dan (2) untuk lebih meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Jadi output yang menjadi tujuan pemekaran wilayah sejatinya memang untuk lebih meningkatkan kesejahteraan.
Tetapi, apakah motivasi para elit/tokoh setempat betul-betul untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya? Wallahu ’alam. Dalam beberapa hal, pemekaran wilayah itu kelihatannya lebih karena faktor perbedaan kultur (bahasa, adat-istiadat) ketimbang pemetaan potensi sumberdaya. Karena ‘merasa beda’, maka lebih baik memisahkan diri, begitu kira-kira. Maka yang terjadi adalah munculnya apa yang dikatakan orang ‘raja-raja kecil’. Sementara kesejahteraan penduduk dalam wilayah yang memisahkan diri tersebut tidak pernah lebih baik dari wilayah induknya.
Saya ambil contoh di Provinsi Lampung. Wilayah kabupaten yang pertama kali memisahkan diri dari induknya adalah Kabupatan Lampung Barat (ibukotanya di Liwa), pisah dari Kabupaten Lampung Utara pada tahun 1991. Kebetulan waktu itu saya mendapat selentingan berita mengapa ibukota kabupaten ini di Liwa, bukan Krui yang sejak jaman Belanda sudah menjadi sentra ekonomi dan budaya masyarakat pesisir Barat. Menurut banyak pihak, Krui ketika itu memang lebih layak menjadi ibukota. Namun, berhubung tokoh/elit yang mendominasi proposal pemekaran tersebut berasal dari kota Liwa, maka jadilah akhirnya ibukota Kabupaten Lampung Barat itu di Liwa. Kota Liwa termasuk yang paling luluh lantak terkena gempa tektonik pada tahun 1994. Baru kemudian orang menyadari, ternyata orang-orang Belanda dulu tidak sembarangan dalam menetapkan tempat peristirahatan dan kantor perwakilan pemerintahannya. Kemungkinan besar mereka sudah tahu kalau secara geologis wilayah kota Liwa itu termasuk dalam jalur patahan tektonik.
Setelah Lampung Barat, pasca Orde Baru beberapa wilayah di Provinsi Lampung memisahkan diri lagi dari kabupaten induknya menjadi kabupaten-kabupaten baru. Kabupaten Way Kanan (1999) memisahkan diri dari Kabupaten Lampung Utara. Kabupaten Tanggamus (1997) memisahkan diri dari Kabupaten Lampung Selatan. Kabupaten Tulang Bawang (1997) dan Kabupaten Lampung Timur (1999) memisahkan diri dari Kabupaten Lampung Tengah. Masih ada lagi kabupaten-kabupaten yang baru saja memisahkan diri; yaitu Kabupaten Pesawaran (Nopember 2007) pisah dari Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Mesuji (Oktober 2008) dan Kabupaten Tulang Bawang Barat (Oktober 2008) pisah dari Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Pringsewu (Oktober 2008) pisah dari Kabupaten Tanggamus. Sebagai tambahan lagi, menurut berita, dalam waktu dekat akan menyusul pembentukan Kabupaten Sungkai, memisahkan diri dari Kabupaten Lampung Utara.
Apakah kabupaten-kabupaten yang memisahkan diri tersebut lebih sejahtera dari kabupaten induknya? Untuk pembandingan cepat, saya ambil dua parameter utama sebagai ukuran sejahtera, yaitu PDRB (pendapatan domestik regional bruto) per kapita dan indeks pembangunan manusia (IPM). PDRB per kapita Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Way Kanan dalam kurun waktu 2003-2007 selalu berada jauh di bawah Kabupaten Lampung Utara. PDRB per kapita Kabupaten Tanggamus juga selalu berada di bawah Kabupaten Lampung Selatan. Kabupaten Lampung Timur kadang-kadang berada di bawah dan kadang-kadang berada di atas Kabupaten Lampung Tengah. Hanya Kabupaten Tulang Bawang yang PDRB per kapitanya selalu berada di atas Kabupaten Lampung Tengah, induknya. Itupun, kalau saya tidak salah, karena Kabupaten Lampung Timur dan Tulang Bawang mendapat kucuran DBH (dana bagi hasil) migas dari pemerintah pusat, berhubung di perairan laut pantai timurnya terdapat beberapa sumur produksi minyak yang dikelola oleh CNOOC S.E.S. Ltd.
Lalu dari tabel indeks pembangunan manusia di bawah, hanya Kabupaten Tanggamus yang pada tahun 2007 memiliki indeks lebih tinggi dari kabupaten induknya, Kabupaten Lampung Selatan. Dengan pembandingan cepat ini, dapat saya katakan bahwa kabupaten-kabupaten hasil pemekaran di Provinsi Lampung hanya 20%-nya saja yang terbilang sukses karena mampu menyaingi kabupaten induknya.
Apa kira-kira hal pokok yang tertuang dalam studi kelayakan (feasibility study) pemekaran wilayah? Saya belum pernah melihat studinya. Namun dapat saya pastikan paling tidak memuat dua hal pokok: (1) memaksimumkan pemanfaatan berbagai potensi sumberdaya, dan (2) untuk lebih meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Jadi output yang menjadi tujuan pemekaran wilayah sejatinya memang untuk lebih meningkatkan kesejahteraan.
Tetapi, apakah motivasi para elit/tokoh setempat betul-betul untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya? Wallahu ’alam. Dalam beberapa hal, pemekaran wilayah itu kelihatannya lebih karena faktor perbedaan kultur (bahasa, adat-istiadat) ketimbang pemetaan potensi sumberdaya. Karena ‘merasa beda’, maka lebih baik memisahkan diri, begitu kira-kira. Maka yang terjadi adalah munculnya apa yang dikatakan orang ‘raja-raja kecil’. Sementara kesejahteraan penduduk dalam wilayah yang memisahkan diri tersebut tidak pernah lebih baik dari wilayah induknya.
Saya ambil contoh di Provinsi Lampung. Wilayah kabupaten yang pertama kali memisahkan diri dari induknya adalah Kabupatan Lampung Barat (ibukotanya di Liwa), pisah dari Kabupaten Lampung Utara pada tahun 1991. Kebetulan waktu itu saya mendapat selentingan berita mengapa ibukota kabupaten ini di Liwa, bukan Krui yang sejak jaman Belanda sudah menjadi sentra ekonomi dan budaya masyarakat pesisir Barat. Menurut banyak pihak, Krui ketika itu memang lebih layak menjadi ibukota. Namun, berhubung tokoh/elit yang mendominasi proposal pemekaran tersebut berasal dari kota Liwa, maka jadilah akhirnya ibukota Kabupaten Lampung Barat itu di Liwa. Kota Liwa termasuk yang paling luluh lantak terkena gempa tektonik pada tahun 1994. Baru kemudian orang menyadari, ternyata orang-orang Belanda dulu tidak sembarangan dalam menetapkan tempat peristirahatan dan kantor perwakilan pemerintahannya. Kemungkinan besar mereka sudah tahu kalau secara geologis wilayah kota Liwa itu termasuk dalam jalur patahan tektonik.
Setelah Lampung Barat, pasca Orde Baru beberapa wilayah di Provinsi Lampung memisahkan diri lagi dari kabupaten induknya menjadi kabupaten-kabupaten baru. Kabupaten Way Kanan (1999) memisahkan diri dari Kabupaten Lampung Utara. Kabupaten Tanggamus (1997) memisahkan diri dari Kabupaten Lampung Selatan. Kabupaten Tulang Bawang (1997) dan Kabupaten Lampung Timur (1999) memisahkan diri dari Kabupaten Lampung Tengah. Masih ada lagi kabupaten-kabupaten yang baru saja memisahkan diri; yaitu Kabupaten Pesawaran (Nopember 2007) pisah dari Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Mesuji (Oktober 2008) dan Kabupaten Tulang Bawang Barat (Oktober 2008) pisah dari Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Pringsewu (Oktober 2008) pisah dari Kabupaten Tanggamus. Sebagai tambahan lagi, menurut berita, dalam waktu dekat akan menyusul pembentukan Kabupaten Sungkai, memisahkan diri dari Kabupaten Lampung Utara.
Apakah kabupaten-kabupaten yang memisahkan diri tersebut lebih sejahtera dari kabupaten induknya? Untuk pembandingan cepat, saya ambil dua parameter utama sebagai ukuran sejahtera, yaitu PDRB (pendapatan domestik regional bruto) per kapita dan indeks pembangunan manusia (IPM). PDRB per kapita Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Way Kanan dalam kurun waktu 2003-2007 selalu berada jauh di bawah Kabupaten Lampung Utara. PDRB per kapita Kabupaten Tanggamus juga selalu berada di bawah Kabupaten Lampung Selatan. Kabupaten Lampung Timur kadang-kadang berada di bawah dan kadang-kadang berada di atas Kabupaten Lampung Tengah. Hanya Kabupaten Tulang Bawang yang PDRB per kapitanya selalu berada di atas Kabupaten Lampung Tengah, induknya. Itupun, kalau saya tidak salah, karena Kabupaten Lampung Timur dan Tulang Bawang mendapat kucuran DBH (dana bagi hasil) migas dari pemerintah pusat, berhubung di perairan laut pantai timurnya terdapat beberapa sumur produksi minyak yang dikelola oleh CNOOC S.E.S. Ltd.
Lalu dari tabel indeks pembangunan manusia di bawah, hanya Kabupaten Tanggamus yang pada tahun 2007 memiliki indeks lebih tinggi dari kabupaten induknya, Kabupaten Lampung Selatan. Dengan pembandingan cepat ini, dapat saya katakan bahwa kabupaten-kabupaten hasil pemekaran di Provinsi Lampung hanya 20%-nya saja yang terbilang sukses karena mampu menyaingi kabupaten induknya.
Siapa yang paling diuntungkan dari sebuah pemekaran wilayah? Yang pasti para tokoh/elit setempat yang memiliki kepentingan politik-ekonomi. Makanya timbul tren raja-raja kecil. Rakyatnya makan dua kali sehari saja susah, tetapi pimpinan daerahnya memakai beberapa kendaraan dinas mewah. Bahkan ada yang pakai kendaraan tipe SUV 4000 cc berpenggerak 4 roda. Menurut cerita seorang teman, ada satu kabupaten yang PAD (pendapatan asli daerah) –nya hanya Rp 30 miliar setahun. Kabupaten seperti ini kalau tidak mendapat kucuran dana dari pusat, baik berupa DAU (dana alokasi umum), DAK (danau alokasi khusus), dan DBH (dana bagi hasil), maka dapat dipastikan akan menjadi sebuah kabupaten yang bangkrut. Tetapi menurut yang saya baca di salah satu media on-line, persyaratan finansial untuk membentuk kabupaten baru itu memang terbilang ringan: hanya dengan PAD sebesar Rp 17 miliar saja sudah boleh mengajukan diri.
Memang yang namanya pemekaran wilayah itu sah-sah saja dan hak masyarakat setempat, tetapi hendaknya ditempuh dengan cara-cara yang elegan dan itikad baik. Jangan pakai demo anarkis. Studi kelayakan yang dibuat juga harus akurat dan komprehensif, bukan hasil ngarang-ngarang ala financial engineering. Niatnya mesti betul-betul untuk lebih menyejahterakan penduduknya, bukan semata untuk memenuhi kepentingan politik-ekonomi para elitnya. Kalau PAD-nya minim, wilayah baru tersebut hanya akan membebani keuangan pemerintah pusat.
Dari sisi pemerintah juga semestinya pembahasan setiap proposal pemekaran wilayah dilakukan dengan seksama. Alangkah baiknya jika diterapkan semacam reward and punishment terhadap suatu pemekaran wilayah. Dalam artian, jika selama kurun waktu tertentu tujuan pemekaran wilayah tidak tercapai, maka para pendirinya harus bertanggung jawab secara hukum.
Konon proses pengesahan undang-undang pemekaran wilayah ini termasuk pekerjaan yang ‘basah’. Tidak heran jika gampang digolkan. Lagi-lagi masalah moral dan komitmen. Saya sependapat dengan pemerintah pusat yang menyarankan agar yang namanya pemekaran wilayah itu direm dulu. Apalagi pemekaran tersebut tidak betul-betul membebaskan rakyatnya dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Memang perlu dibuat aturan main yang ketat serta kriteria yang jelas dan terukur. Kalau tidak, bakal ada ratusan kabupaten di Indonesia yang dibentuk hanya berdasarkan pertimbangan sub-kultur dan sub-sukuisme semata.
Memang yang namanya pemekaran wilayah itu sah-sah saja dan hak masyarakat setempat, tetapi hendaknya ditempuh dengan cara-cara yang elegan dan itikad baik. Jangan pakai demo anarkis. Studi kelayakan yang dibuat juga harus akurat dan komprehensif, bukan hasil ngarang-ngarang ala financial engineering. Niatnya mesti betul-betul untuk lebih menyejahterakan penduduknya, bukan semata untuk memenuhi kepentingan politik-ekonomi para elitnya. Kalau PAD-nya minim, wilayah baru tersebut hanya akan membebani keuangan pemerintah pusat.
Dari sisi pemerintah juga semestinya pembahasan setiap proposal pemekaran wilayah dilakukan dengan seksama. Alangkah baiknya jika diterapkan semacam reward and punishment terhadap suatu pemekaran wilayah. Dalam artian, jika selama kurun waktu tertentu tujuan pemekaran wilayah tidak tercapai, maka para pendirinya harus bertanggung jawab secara hukum.
Konon proses pengesahan undang-undang pemekaran wilayah ini termasuk pekerjaan yang ‘basah’. Tidak heran jika gampang digolkan. Lagi-lagi masalah moral dan komitmen. Saya sependapat dengan pemerintah pusat yang menyarankan agar yang namanya pemekaran wilayah itu direm dulu. Apalagi pemekaran tersebut tidak betul-betul membebaskan rakyatnya dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan. Memang perlu dibuat aturan main yang ketat serta kriteria yang jelas dan terukur. Kalau tidak, bakal ada ratusan kabupaten di Indonesia yang dibentuk hanya berdasarkan pertimbangan sub-kultur dan sub-sukuisme semata.
No comments:
Post a Comment