Wednesday, September 10, 2008

Menaksir Penghasilan Tambahan Wakil Rakyat


Yang saya maksud ‘menaksir’ disini bukan berarti ‘naksir’ atau
‘kepengen’ sebagaimana layaknya laki-laki yang jatuh cinta pada seorang wanita atau sebaliknya, tetapi ‘menaksir’ yang berasal dari akar kata ‘taksir’, atau ‘to estimate’ dalam Bahasa Inggerisnya. Jadi ‘menaksir’ adalah ‘memperkirakan’ atau ‘mengira-ngira’.

Sebetulnya kurang baik (atau bahkan tidak baik?) menyebut-nyebut nama orang di bulan puasa ini. Tetapi saya pikir kalau itu memang benar dan bermaslahat untuk proses pembelajaran agar kita memiliki niatan untuk menjadi orang baik-baik, apa salahnya kan.

Satu demi satu kasus suap dan korupsi yang melibatkan wakil rakyat kita mulai terkuak. Sebut saja nama Al-Amin Nasution, Bulyan Royan, Hamka Yandhu, dan Agus Condro. Yang saya sebut terakhir ini justru malah ‘dipecat’ oleh partainya gara-gara dia mengaku dan membeberkan kasus suap pengangkatan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur BI. Benar juga kata orang, kalau ada serumpun bambu, maka yang ditebas/dipotong terlebih dahulu oleh pengrajinnya adalah bambu yang lurus. Sedangkan bambu yang bengkok dibiarkan sementara waktu untuk digunakan di kemudian hari jika stok bambu yang lurus sudah habis, atau malah dibiarkan hidup terus di rumpunnya alias tidak disentuh sama sekali.

Al-Amin Nasution: sebuah nama yang sangat bagus. Saya ingat Nabi Muhammad SAW mendapat julukan “al-amin” (artinya yang terpercaya) karena kejujurannya dalam pergaulan dan perniagaan. Tidak pernah mengkhianati janji yang sudah dilontarkannya. Tetapi Al-Amin sang politisi Partai Persatuan Pembangunan yang berasal dari Jambi ini dicocok di Hotel Ritz Carlton sehubungan dengan suap yang diterimanya atas proses pengalihan fungsi hutan Kabupaten Bintan. Bersama Amin ditangkap pula Sekretaris Daerah Bintan, Azirwan.

Hutan lindung di Desa Bintan, Buyu, Kecamatan Teluk Bintan, seluas 8.300 hektare ini sebagian besar pohonnya telah ditebang untuk keperluan pembangunan Kantor Pemkab Bintan dan akan dijadikan pusat kota. Hutan lindung ini juga telah beralih fungsi menjadi hutan tanaman industri. Untuk memperlancar proses pengalihan itu Azirwan telah menyetorkan uang secara bertahap kepada Al-Amin lebih dari Rp 3 miliar. Yang tertangkap tangan di Hotel Ritz Carlton berupa uang senilai Rp 71 juta (ANTARA News edisi 10 April 2008) plus minta bonus perempuan.

Waktu SD dulu saya ingat ada pepatah “kalau kerbau hidungnya yang dipegang, kalau orang omongannya yang dipegang”. Seseorang dihormati karena konsistensinya dalam menjalankan apa yang telah dia ucapkan. Dan apa yang kita katakan, dulu, kini maupun yang akan datang, selalu berkaitan. Sedikit atau banyak pasti akan berdampak pada perilaku kita.

Pada tahun 2005, Bulyan Royan – politikus Partai Bintang Reformasi – pernah bersuara keras kepada anggota Dewan yang terlibat korupsi calo anggaran. Ketika itu, ia mengusulkan hukum pancung bagi legislator yang terlibat. Kini, tahu nikmatnya bila pegang uang banyak, ia mungkin lupa kalau pernah berkata lantang seperti itu. Alhasil pada hari Senin, 30 Juni 2008, jam 16.30 (lihat tempointeraktif.com dan kompas.com edisi 1 Juli 2008) KPK menangkap Bulyan setelah ia mengambil uang US$ 66 ribu dan 5.500 euro dari tempat penukaran uang di Plaza Senayan, Jakarta. Belakangan diketahui uang itu adalah uang suap untuk Bulyan dari Dedi Suwarsono, Direktur Utama PT Bina Mina Karya Perkasa. Perusahaan ini adalah satu dari lima rekanan Departemen Perhubungan yang memenangi tender pengadaan 20 kapal patroli laut senilai Rp 118 miliar. Komisi menuding Bulyan ikut andil menggolkan tender ini.

Dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 dari Fraksi Partai Golkar, Hamka H. Yandhu dan Anthony Zeidra Abidin, diancam hukuman penjara seumur hidup atau kurungan maksimal 20 tahun. Keduanya diduga korupsi dan melanggar Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tempointeraktif.com, 5 September 2008). Keduanya menerima penyerahan uang sejumlah Rp 31,5 miliar dari Bank Indonesia yang diserahkan oleh Rusli Simanjuntak dan Asnar Ashari. Menurut Rudi, uang itu diberikan sebagai imbalan untuk membela kepentingan BI dalam menyelesaikan masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan amandemen Undang-Undang BI. Kasus ini bermula pada Mei 2003 menyusul rapat dengar pendapat antara BI dan Komisi IX DPR dalam rangka membahas penyelesaian masalah BLBI. Uang tersebut diberikan dalam lima tahap, dari 27 Juni 2003 sampai 4 Desember 2003. Proses pemberian uang dilakukan di Hotel Hilton (sekarang bernama Sultan Hotel) dan di kediaman Anthony.

Akhir-akhir ini media masa santer memberitakan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) yang menemukan 400 lembar lebih cek perjalanan yang diduga berkaitan dengan pemilihan Miranda Goeltom selaku Deputi Senior Gubernur BI pada 8 Juni 2004. 400-an lembar cek perjalanan tersebut diberikan kepada Komisi Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004.

Seperti yang diberitakan oleh website PPATK edisi 10 September 2008, cek perjalanan diberikan kepada sekitar 41 anggota Komisi Perbankan dari beberapa fraksi yang mendukung pencalonan Miranda. Cek-cek itu, kata Yunus Husein (Ketua PPATK) sudah dicairkan oleh para penerima dan sudah masuk sistem perbankan sehingga mudah dilacak. Jumlah yang diterima setiap anggota berbeda-beda, tergantung posisinya, yang paling kecil Rp 500 juta. Masih menurut Yunus, dia sudah mengantongi dan melapor ke KPK sejumlah nama yang mencairkan cek perjalanan tersebut.

Dugaan suap Miranda ke sejumlah anggota Komisi Perbankan DPR mencuat setelah Agus Condro Prayitno, politisi PDI Perjuangan yang juga mantan anggota Komisi Perbankan DPR, mengaku telah menerima cek perjalanan senilai Rp 500 juta. Ia menduga kuat cek serupa juga dibagi-bagikan ke sejumlah anggota Dewan yang telah mendukung Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior BI.

Yunus mengatakan, dalam proses pemilihan Dewan Gubernur BI, biasanya ada tiga sumber modal untuk melobi anggota DPR. Yang pertama berasal dari calon itu sendiri. Kedua, dari pihak yang dijanjikan kebijakan tertentu bila terpilih. Yang terakhir, kata Yunus, berasal dari sponsor kalangan swasta yang bergerak di sektor finansial. "Yang banyak terjadi biasanya yang ketiga, yaitu ada pihak yang mensponsori pencalonan,” ujarnya. Menurut saya ini adalah modus operandi penyuapan yang umum dilakukan saat pengangkatan pejabat strategis, baik di institusi pemerintah maupun BUMN.

Kita tunggu saja. Tentunya gara-gara 'nyanyian' Agus Condro kasus BI ini akan semakin seru. Sebentar lagi akan bertaburan bintang-bintang korupsi baru (atau tepatnya bintang-bintang yang baru ketahuan melakukan korupsi). Kita sangat sangat berharap agar KPK yang dinakhodai oleh Antasari Azhar tetap konsisten dan maju terus dalam mengemban amanah dimana rakyat banyak menumpukan harapan. Harapan agar bangsa ini dapat segera melepaskan diri dari cengkeraman gurita korupsi, karena korupsilah penyebab utama kemiskinan dan semua carut marut yang melanda negeri ini. Korupsi juga dapat mengancam kedaulatan karena Indonesia akan diombang-ambingkan oleh kepentingan negara maju dan para pemilik modal yang belum tentu memihak pada kepentingan bangsa.

Berapa Penghasilan Sampingan Wakil Rakyat Kita?

Ya, selain gaji bulanan resmi dan sederet fasilitas yang mereka peroleh, berapa kira-kira penghasilan sampingan para wakil rakyat kita? Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab. Praktek korupsi di Indonesia ini ibarat gas yang – maaf – keluar dari kentut. Tidak dapat dilihat, tetapi fenomenanya dapat dirasakan karena berbau busuk.

Coba kita iseng-iseng membuat hitungan kasar. Kalau kata ketua PPATK satu cek senilai Rp 500 juta diberikan kepada seorang wakil rakyat kita, maka taruhlah sang wakil rakyat memperoleh penghasilan sampingan sejumlah Rp 500 juta untuk sekali pengangkatan pejabat tinggi pada instansi-instansi pemerintah strategis. Jika dalam setahun ada 12 kali pengangkatan saja, berarti hasil sampingan yang diperoleh wakil rakyat sebesar Rp 6 milyar per orang. Belum lagi urusan penggolan tender dan lain-lain. Wow, gede banget!

Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi dianggap melanggar hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan, dan karenanya sudah menjadi bagian dari nilai budaya. Tidak heran jika rapor tata kelola pemerintahan kita, baik yang dirilis oleh Bank Dunia maupun Transparency International, selalu berada di kwartil terbawah. Fenomena golput yang marak terjadi di pilkada-pilkada belakangan ini merupakan perwujudan ketidakpercayaan rakyat kepada para elit parpol. Makanya pilkada sering diplesetkan menjadi pilkadal (pemilihan kadal-kadal).

Lalu adakah wakil rakyat kita yang betul-betul menjalankan amanahnya sebagai wakil rakyat? Tentunya masih adalah, tetapi mungkin mereka masuk kelompok minoritas, atau jangan-jangan malah dimarjinalkan oleh teman-teman mereka yang 'lincah' itu.

1 comment:

Anonymous said...

The gap between the poor and the rich in Indonesia is very big different due to the corruption, manipulation, and collusion. I am glad that they are arrested and i hope they will be executed as Bulyan Royan has ever said.

Well, I some times don't know how to answer perfectly when some one ask me "How is Indonesian culture?" To me, the best answer is....corruption....since Indonesia is so infamous of this attitude in the world....

Dendi Kartini, NY