Friday, December 25, 2009

Komitmen Indonesia Mengurangi 26% Emisi Gas Rumah Kaca di Tahun 2020 – Realistiskah?



Tanggal 7-18 Desember 2009 diadakan Konferensi Perubahan Iklim, disebut dengan COP-15, di Kopenhagen, Denmark. Permasalahan iklim adalah masalah global karena menyangkut kelangsungan hidup manusia dan semua spesies di biosfer bumi ini, dan karenanya layak diikuti beritanya, namun sayangnya ketika COP-15 berlangsung saya tidak berkesempatan mengikutinya secara runut. Hanya sepenggal-sepenggal saja. Itupun secara tidak sengaja, lewat radio misalnya.

Media massa mengutip bahwa Indonesia, melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berkomitmen untuk menurunkan kadar emisi gas rumah kaca sebesar 26% di tahun 2020. Artinya pada tahun 2020 nanti kadar emisi gas rumah kaca di Indonesia tinggal 74% dibandingkan saat ini. Apa konsekuensi dari komitmen tersebut?

Karena saya bukan ahli lingkungan maka saya tidak memiliki banyak referensi yang memadai tentang seluk-beluk Perubahan Iklim. Apa yang saya tulis disini hanya sebatas concern sebagai orang yang awam karena masalah perubahan iklim adalah masalah kita bersama – seluruh manusia dan spesies makhluk hidup – karena kita hidup di atas bumi yang sama, menghirup udara yang sama, dan – sesungguhnya – memiliki satu samudera yang sama.

Yang dimaksud gas rumah kaca adalah Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Dinitrogen oksida (N2O) dan F-gases (HFC, PFC dan SF6) dengan porsi masing-masing sekitar 81%, 13%, 5%, dan 1% (sumber: World Energy Outlook 2008, IEA/OECD). Menurut yang saya baca dari salah satu edisi khusus National Geographic tentang perubahan iklim, Metana dapat bertahan di atmosfer selama 12 tahun, N2O selama 114 tahun, sedangkan CO2 berabad-abad. 50% dari CO2 menghilang dari atmosfer dalam 30 tahun, 30% menghilang dalam beberapa ratus tahun, 20% bertahan selama seribu tahun. Tidak heran jika titik fokus perubahan iklim adalah emisi CO2.


76% dari total emisi gas CO2 merupakan hasil dari pembakaran energi (pembangkit tenaga listrik dan sektor transportasi yang menggunakan energi fosil sebagai bahan bakarnya), 19% dari deforestasi dan pembakaran hutan, sisanya dari industri lain dan peralatan rumah tangga.

Kalau dirinci berdasarkan sektor, pada tahun 2006 sektor pembangkit tenaga menyumbang 61% emisi CO2, sektor transportasi menyumbang 23%, sektor industri masif seperti industri baja, petrokimia, kertas, dan percetakan menyumbang 16%, sektor rumah tangga dan hunian (residential) 17%, pertanian 2%, serta jasa-jasa lainnya 1%.

Maka yang harus dilakukan Indonesia agar kadar emisi gas rumah kaca berkurang adalah:
  • Mengurangi konsumsi energi fosil dan beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.

  • Menyetop atau paling tidak mengendalikan deforestasi serta alih-fungsi lahan hutan.

  • Melakukan penghematan energi (terutama energi fosil), baik melalui konservasi sumber daya energi maupun efisiensi pemakaian energi.

  • Bersungguh-sungguh melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan.
Jika keempat hal di atas tidak mampu dilakukan oleh Indonesia, maka secara matematis sebagai trade-off dari tekad untuk mengurangi 26% emisi gas rumah kaca sampai 10 tahun mendatang adalah mengurangi laju pertumbuhan pemakaian energi, memperlambat laju pertumbuhan industri, dan mengerem laju pertumbuhan pemakaian kendaraan bermotor sehingga secara agregat mampu mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 26%. Hal yang tidak mungkin dilaksanakan Indonesia karena sebagai negara yang berkembang dan tengah giat membangun – meskipun banyak kebijakan yang disorientatif – memerlukan pertumbuhan berbagai sektor untuk memacu pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi sangat membutuhkan pertambahan permintaan energi.

Dari empat poin di atas mari kita tinjau secara singkat apa tantangan yang bakal dihadapi Indonesia dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca:

Pertama, mengurangi konsumsi energi fosil dan beralih ke energi terbarukan yang ramah lingkungan. Saat ini banyak pengamat mengatakan bahwa diversifikasi energi dengan memanfaatkan energi terbarukan masih jalan di tempat. Indonesia masih sangat tergantung pada tiga jenis energi fosil ini: minyak bumi, gas, dan batubara. Minyak dan batubara merupakan penyumbang terbesar emisi CO2 dari sektor energi.

Menurut data bauran energi Indonesia pada tahun 2008 minyak memakan porsi 48,4%, gas 28,6%, batubara 18,8%, sisanya yang 4,2% energi terbarukan. Berarti 95,8% kebutuhan energi Indonesia dipasok oleh energi fosil. Porsi energi fosil ini akan bertambah lagi karena proyek pembangkit listrik 10 ribu MW tahap I, yang sampai semester dua 2009 pembangunannya belum mencapai 10% yang selesai, semuanya menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya. Sementara penggunaan energi terbarukan baru akan dilaksanakan di proyek 10 ribu MW tahap II (70% bauran energi primernya akan menggunakan panas bumi dan hidro). Masih relatif mahalnya biaya investasi untuk pemanfaatan energi terbarukan merupakan salah satu kendala finansial utama saat ini.

Sekarang kita lihat sektor transportasi. Boleh dibilang nyaris 100% masih tergantung pada bahan bakar berbasis minyak bumi. Pemakaian BBG untuk sektor transportasi masih sangat terbatas. Bisa dihitung dengan jari stasiun bahan bakar yang menjual BBG. Biofuel yang dijual di stasiun pengisian bahan bakar hanya mengandung kadar etanol sekitar 1-2% saja – masih jauh dari memadai untuk menggantikan porsi BBM. Di Indonesia hmobil bermesin hibrida (kombinasi mesin listrik dan konvensional) yang lebih hemat BBM dan tingkat emisi yang jauh lebih rendah harganya rata-rata dua kali lebih mahal dari kendaraan bermesin konvensional.

Kedua, menahan laju deforestasi dan alih fungsi hutan. Ini juga untuk saat ini merupakan hal yang jalan di tempat. Dari sisi Pemerintah terkesan tidak bersungguh-sungguh untuk menghentikan pembalakan liar atau pembalakan yang melebihi HPH yang wajar. Satu per satu kasus kejahatan lingkungan menguap begitu saja. Dan saya juga tidak tahu persis seberapa besar porsi lahan hutan yang ditanami kembali (reforestasi).

Menurut data yang dikompilasi National Geographic, Indonesia menempati urutan kedua di antara lima negara di dunia dengan laju deforestasi terbesar. Dalam kurun 2000-2005 Brazil menempati urutan pertama dengan tingkat kehilangan hutan rata-rata sebesar 3,47 juta hektar per tahun, Indonesia 1,45 juta hektar per tahun, Rusia 0,53 juta, Meksiko 0,4 juta, dan Papua Nugini 0,25 juta. Brazil menempati urutan pertama karena sejak 1975 telah menggulirkan proyek bio-etanol untuk mengurangi ketergantungan dari BBM. Karena itu di Brazil banyak dilakukan alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan tebu. Dikhawatirkan nanti di Indonesia malah akan mengalami kenaikan tingkat deforestasi karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, perkebunan jarak pagar (jatropa), dan perkebunan tebu. Permasalahan hutan akan makin menghadapi situasi dilematis di masa yang akan datang tatkala biofuel akan diproduksi secara masif.

Ketiga, penghematan energi dengan cara konservasi sumber daya dan efisiensi pemakaian. Yang teramati sekarang bahwa eksploitasi sumber-sumber energi seakan-akan dikejar target APBN. Pemerintah sering mematok angka tertentu untuk tingkat produksi minyak, gas, dan tambang mineral lainnya. Terkesan mengenyampingkan kenyataan bahwa tingkat cadangan yang tersedia akan habis dan tidak bisa dinikmati lagi oleh dua sampai tiga generasi mendatang. Eksploitasi sumber energi “asal kuras habis” – sangat tidak sejalan dengan prinsip sustainable development.

Efisiensi pemakaian energi untuk saat ini juga baru sebatas jargon. Pola hidup tidak efisien yang telah menjadi budaya selama ini ikut memicu terjadinya pemborosan energi. Para pejabat tinggi pemerintahan – pusat maupun daerah – malah tidak memberi contoh pola hidup hemat energi. Mereka banyak yang menggunakan kendaraan dinas ber-cc besar yang boros BBM – belum lagi ditambah dengan voorijder dan pengawalan oleh kendaraan lain.

Keempat, pembangunan berwawasan lingkungan. Kita lihat sehari-hari, terutama di pinggiran kota-kota besar, terjadi alih fungsi lahan hutan atau lahan hijau untuk pembangunan pemukiman. Ini juga berakibat berkurangnya daya serap CO2 karena berkurangnya pepohonan. Sepanjang jalan dari Cibubur ke Bogor tumbuh pemukiman, tempat rekreasi, lapangan olah raga, dan pusat-pusat perbelanjaan. Saya tidak anti dengan pembangunan pemukiman, namun pertanyaannya adalah, apakah alih fungsi lahan yang dilakukan sudah betul-betul melalui proses studi AMDAL yang handal dan “jujur”.

Nah, dari keempat daftar “harus dilakukan” di atas, jika tidak sungguh-sungguh dilakukan, maka emisi CO2 dari bumi Indonesia – alih-alih berkurang – malah akan bertambah kadarnya dari waktu ke waktu. Perlu kesadaran, ketulusan, dan “kejujuran” semua pihak agar target penurunan emisi tercapai. Bila melihat kondisi “business as usual” yang ada saat ini, banyak pihak yang pesimis. Perlu dilakukan langkah-langkah revolusioner, baik teknis maupun budaya, agar komitmen tersebut tercapai. Dulu banyak nilai-nilai kearifan budaya lokal – walau bercampur mitos – turut berperan serta dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Jangan sampai komitmen Indonesia di dunia internasional tersebut ibarat “jauh panggang dari api”. Seperti kalau memanggang sate, dagingnya tidak pernah matang karena panggangannya jauh dari bara api. Begitu kira-kira jika kenyataannya nanti tidak sesuai dengan harapan. Salah satu contoh adalah ketika Indonesia begitu semangat meratifikasi berbagai perjanjian perdagangan bebas. Ternyata industri nasional kita sendiri hingga saat ini belum memiliki ketahanan untuk bersaing di kancah perdagangan global. Satu per satu pasca krisis 1998 industri di Indonesia dicaplok oleh prinsipalnya dari luar negeri. Akhirnya jadilah Indonesia sebagai lahan kapitalis asing untuk sekedar membuat produk “made in Indonesia” – bukan produk “made by Indonesians”.

Saya sendiri bukan berarti pesimis dalam menyikapi komitmen Indonesia untuk mereduksi emisi gas rumah kaca hingga 26% di tahun 2020. Tetapi, sekali lagi, tanpa langkah revolusioner mustahil target tersebut akan tercapai. Apalagi jika sektor kehutanan (yang selama ini tidak mampu dijaga) yang akan dijadikan sebagai objek andalan dalam skenario pengurangan emisi gas rumah kaca itu.

Anyway, tentunya Presiden SBY melontarkan komitmen tersebut tidak sembarangan karena telah melalui kajian departemen-departemen teknis terkait serta berbagai lembaga dan para ahli lingkungan. Pastilah sudah ada blue print dan road map-nya. Semoga saja apa yang tertera dalam blue print dan road map tersebut dapat terwujud. Kita sering sangat bagus dalam tataran rencana, tetapi sangat lemah dalam implementasi. Apakah akan jauh panggang dari api? Perjalanan waktu akan membuktikan! 2020 itu tinggal 10 tahun lagi dari sekarang.

2 comments: