Wednesday, November 3, 2010

TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dalam Pengadaan Barang dan Jasa di Sektor Hulu Migas: Sebuah Interview


Beberapa hari lalu seorang teman dari Dewan Redaksi sebuah majalah bulanan berbahasa Inggeris yang khusus meliput berita dan artikel tentang perminyakan, pertambangan, dan energi mengirim saya email dan meminta saya menulis artikel tentang TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dalam pengadaan barang dan jasa di sektor hulu migas. Karena deadline-nya terlalu mepet, saya tidak dapat memenuhi permintaannya. Akhirnya kami berkomunikasi dalam bentuk “interview” jarak jauh, alias lewat email. Regardless apakah hasil interview ini akan dimuat atau tidak di majalahnya, atau, jika dimuat entah seperti apa format finalnya, saya ingin memposting hasil interview tersebut di blog ini sekedar untuk “berbagi kata-kata”, khususnya kepada teman-teman yang interest dengan industri penunjang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas). Notes: bagi teman-teman yang masih awam, perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor hulu migas (melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia) – baik perusahaan asing maupun nasional (termasuk Pertamina sendiri) – disebut Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Berikut cuplikan tanya-jawabnya:

Berdasarkan data Kementerian ESDM, TKDN tahun 2006 mencapai 43%, naik menjadi 54% tahun 2007. Namun turun menjadi 43% tahun 2008 dan naik lagi menjadi 49% tahun 2009. Selanjutnya, Pemerintah menargetkan TKDN tahun 2025 mendatang sebesar 91%.

Memang benar. Berdasarkan Buku Laporan Tahunan 2009 yang dipublikasikan BPMIGAS, pergerakan persentase TKDN pengadaan barang dan jasa “secara agregat” di sektor hulu migas untuk tahun 2006, 2007, 2008, dan 2009 adalah berturut-turut sebesar 43%, 54%, 43%, dan 49%. Secara agregat disini maksudnya berdasarkan nilai pengadaan di seluruh KKKS baik yang berstatus produksi maupun eksplorasi. Sebagaimana telah diketahui bahwa ada semacam “pendelegasian wewenang” dalam proses pengadaan di KKKS. Untuk KKKS berstatus produksi, hanya nilai pengadaan di atas US$ 5 juta yang harus mendapatkan persetujuan BPMIGAS – baik rencana pengadaannya (procurement plan) maupun penetapan pemenangnya.

Sedangkan untuk yang nilainya berikut ini wewenangnya berada di KKKS sendiri (tidak memerlukan persetujuan BPMIGAS):
• Untuk nilai kurang dari US$ 5 juta bagi KKKS berstatus produksi.
• Bagi KKKS yang masih berstatus eksplorasi, berapapun nilai pengadaannya merupakan wewenang KKKS sendiri.

Adapun target pencapaian persentase TKDN di masa mendatang menurut salah satu workshop yang pernah saya ikuti di akhir tahun 2008 adalah:
• Tahun 2014 – target TKDN 65%.
• Tahun 2025 – target TKDN 91%.


Batasan apa saja yang dipakai dalam mengukur TKDN?

TKDN adalah Tingkat Komponen Dalam Negeri (Local Content), artinya berapa porsi biaya “yang dilakukan di Indonesia” dalam membuat suatu produk. Ambil contoh yang gamblang misalnya pada industri perakitan mobil. Jika pekerjaan merakit, mengecat, membuat dan memasang bangku/kursi, serta membuat dan memasang kaca dilakukan di Indonesia; maka inilah yang menjadi TKDN-nya. Biasanya dinyatakan dalam persentase yang kalau dirumuskan:

%TKDN = (Jumlah Biaya Komponen Dalam Negeri/Jumlah Biaya Total)*100%

Kalau dulu menghitung persentase TKDN berdasarkan harga jual produk (price based), sekarang berdasarkan biaya membuat produk (cost of goods).

Bagaimana dengan pekerjaan yang belum adanya industri bahan baku seperti green pipe, seamless pipe, round bar (stud bolt) dan steel plate?

Penghitungan persentase TKDN-nya tetap sama seperti rumus di atas. Untuk seamless line pipe, karena memang sama sekali belum ada pabriknya di Indonesia (bahkan untuk finishing-nya sekalipun), maka TKDN-nya nol persen, Untuk seamless casing & tubing yang diimpor adalah green pipe-nya. Sedangkan pekerjaan heat treatment dan threading sudah dapat dilakukan di Indonesia. Nah, heat treatment dan threading inilah yang dapat diperhitungkan sebagai komponen biaya dalam negeri dalam menghitung TKDN.

Untuk tahun berjalan 2010, berapa TKDN yang sudah dicapai?

Belum ada data publikasi resmi, dan karenanya saya merasa tidak etis jika mengumumkan berapa angkanya, namun menurut workshop yang pernah digagas oleh asosiasi profesi di bidang pengadaan, TKDN tahun 2010 sampai kuartal tiga mencapai level 60-an %. Jika bisa bertahan sampai akhir tahun, angka TKDN ini merupakan lompatan yang sangat signifikan dari tahun lalu.

Apakah industri penunjang di dalam negeri siap untuk mencapai angka-angka target tersebut?

Ini merupakan tantangan bersama! Terutama pelaku industri itu sendiri, disamping tentunya instansi pemerintah, KKKS, dan dukungan dari stakeholders industri lainnya. Para pelaku industri harus betul-betul menempatkan IPTEK dan “industrialization of intelligence” sebagai hal yang sangat urgent untuk meningkatkan competitive advantage. Selama ini banyak kalangan menilai bahwa para pelaku industri nasional kita terkesan lebih kental nuansa dagang (mercantile)-nya ketimbang sebagai “the real industrialist”. Makanya hingga saat ini masih banyak industri yang hanya memiliki fasilitas produksi di sisi hilirnya saja, kurang berupaya mengembangkan pabriknya agar memiliki fasilitas produksi di sisi hulu. Padahal “bergerak ke arah hulu” (moving to upstream production process) adalah salah satu syarat yang sangat menentukan dalam peningkatan TKDN.

Bagaimana dengan kesiapan perangkat hukumnya?

Walaupun sering terdengar bahwa para pelaku industri nasional masih meminta keberpihakan (preferences) yang lebih lagi, namun menurut saya peraturan yang ada sekarang sudah sangat cukup dalam melindungi industri dalam negri kita. Misalnya saja pada UU No. 22/2001 Pasal 11, PP No. 35/2004 Pasal 79, Peraturan Menteri Perindustrian N0. 49/M-IND/PER/5/2009 dan Nomor 102/M-IND/PER/10/2009, bahkan Ditjen Migas setiap tahun menerbitkan dan memperbaharui Buku ADP (Appreciation of Domestic Product). Khusus untuk proses pengadaan di lingkungan sektor hulu migas (KKKS), BPMIGAS mengaturnya lebih lanjut dalam PTK 007 Revisi-1/2009. Yang saya sebut ini adalah beberapa payung hukum terhadap perlindungan industri dalam negeri.

Bagaimana sikap dari para KKKS?

Terkait TKDN secara umum KKKS mentaati peraturan atau arahan yang dikeluarkan instansi pemerintah.

Jika sudah mencapai angka itu, terus kenapa (so what)?

Jika sudah mencapai angka target TKDN seperti yang dikemukakan di atas, tentu saja kita berharap agar industri nasional penunjang migas kita mampu mandiri, memiliki sustainability, dan mampu bersaing juga di tingkatan regional maupun internasional. Lebih dari sekedar TKDN, saya berpendapat bahwa mayoritas kepemilikan sumberdaya yang menggerakkan industri nasional (finansial, kapital, SDM, IPTEK) juga harus dimiliki oleh orang Indonesia, tidak lagi tergantung pada prinsipal atau parent company-nya di luar negeri, sehingga kelak bangsa Indonesia betul-betul mampu membuat produk “made by Indonesia” – tidak sekedar “made in Indonesia”.

Tujuan akhir (ultimate goal) yang kita harapkan dari tata kelola usaha hulu migas adalah agar suatu saat nanti bangsa kita mampu mandiri dalam cluster industri migas, sehingga dapat memberikan sumbangan yang lebih maksimum lagi bagi kesejahteraan bangsa sekaligus menjadikan cluster industri migas sebagai lokomotif penggerak laju pembangunan ekonomi nasional.

Apakah bisnis migas Indonesia bisa menjadi lebih baik?

Tergantung good will, semangat, dan sinergi dari semua stakeholders. Di tengah derasnya arus globalisasi dan desakan pasar bebas, Bangsa Indonesia harus meningkatkan daya saing agar mampu berkompetisi baik di tingkatan regional maupun internasional. Oleh karena itu, sudah waktunya bagi kita untuk tidak terlalu terjebak dalam pemikiran sektoral saja; yaitu hanya memikirkan instansi, asosiasi, atau perusahaan tempat kita bekerja; tetapi kita harus juga berupaya berpikir secara Indonesia Incorporated guna bersama-sama secara sinergis menjawab berbagai tantangan masa depan bangsa.

Pencarian cadangan baru minyak dan gas bumi, level produksi yang harus terus ditingkatkan, serta upaya memenuhi kebutuhan pasokan energi primer migas di masa depan tidak dapat dilakukan sendirian oleh Pemerintah selaku Regulator, BPMIGAS, atau Kontraktor KKS. Ini memerlukan kerjasama sinergis dari berbagai pihak.

Di sisi lain, upaya peningkatan kapasitas nasional sekaligus peningkatan TKDN juga tidak dapat dilakukan sendirian oleh Pemerintah selaku Regulator, BPMIGAS, industri penunjang Migas, atau Kontraktor KKS. Ini juga memerlukan kerjasama sinergis dari berbagai pihak.

Di balik tantangan-tantangan di masa depan, akan terdapat peluang-peluang baru. Tinggal sejauh mana “kecerdasan” para pelaku permainan dalam memanfaatkan peluang tersebut.

Apakah Indonesia bisa menjadi lebih mandiri dalam mengelola migas?

Inilah yang kita harapkan, yaitu “kemandirian”. Bung Karno sendiri dulu pernah mencanangkan gerakan BERDIKARI (Berdiri Di atas Kaki Sendiri). Jawabannya juga sama seperti di atas: tergantung good will dan sinergi dari semua stakeholders. “Mandiri” disini artinya kita memiliki “kedaulatan” dalam mengelola cluster industri migas. Memang di era globalisasi ini kita tetap memerlukan hubungan atau kerjasama dengan pihak asing, kecuali jika kita memang ingin “mengisolasi” diri dari dunia luar. Namun hendaknya hubungan atau kerjasama dengan pihak asing tersebut harus berdasarkan semangat kemitraan, kesetaraan, adil, dan berpihak pada kepentingan bangsa.

Adakah 'permainan' data oleh industri migas yg anda sinyalemen terjadi dalam pemakaian local content? Atau ada 'pat-gulipat' yg terjadi dibalik 'keharusan' pemakaian local content?

Kalau yang anda maksud adalah industri hulu migas (yaitu para KKKS), maka KKKS pada dasarnya menerima data TKDN apa adanya sesuai dengan yang ditawarkan (as bid) oleh vendor. Namun di awal proses pengadaan, misalnya pada tahapan prakualifikasi, KKKS telah mempersyaratkan terlebih dahulu berapa minimum TKDN yang boleh ikut serta dalam lelang. Secara periodik juga dilakukan audit terhadap KKKS terkait capaian komitmen TKDN dalam proses pengadaan barang dan jasa. Biasanya saat pembahasan WP&B (Work Program and Budget), Tim WP&B menanyakan sekaligus mematok komitmen TKDN yang harus dicapai KKKS dalam pengadaan barang dan jasa.

Adapun di sisi vendornya sendiri, karena TKDN pada dasarnya dihitung dengan self assessment, memang pernah ditengarai ada kecenderungan “membesar-besarkan” persentase TKDN. Semakin besar TKDN-nya, semakin besar koefisien preferensi yang didapat dan karenanya akan mempepengaruhi harga evaluasi akhir setelah dinormalisasi terhadap TKDN. Namun saat ini, untuk TKDN yang nilainya 25% ke atas (untuk produk barang) harus ada sertifikasi dari instansi teknis terkait.

“Pat gulipat” dibalik “keharusan” memakai local content? Wah, saya tidak bisa komentar tentang ini karena saya tidak punya data dan tidak pernah mempelajari apakah ada intrik-intrik politik-ekonomi tertentu antara pengusaha dan penguasa. Kalau saya positive thinking saja, bahwa kewajiban mengutamakan pemakaian produksi dalam negeri adalah dalam rangka meningkatkan pemberdayaan kapasitas nasional agar multiplier effect dalam cluster industri migas terasa lebih luas lagi sekaligus memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran bangsa Indonesia.

Apakah peraturan yg ada sudah cukup untuk 'melecut' industri migas memakai local content sesuai keinginan/target pemerintah?

Peraturan yang ada sudah cukup memadai bagi industri hulu migas (KKKS) untuk mematuhi kewajiban mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri. Tinggal masalah menjalankan fungsi pengawasan dan pengendaliannya saja dari sisi Pemerintah.

Kalau harus disempurnakan, kira-kira substansi apa saja yang harus ditambahkan dalam aturan yang ada saat ini tentang local content? Ataukah ada tindakan lebih 'ekstrem' yg harus dilakukan pemerintah?

Saya melihat bahwa peraturan perundang-undangan terkait kebijakan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri sudah cukup optimal. Yang mesti dibenahi secara “revolusioner” adalah justru sistem perindustriannya. Bagaimana caranya agar Pemerintah, selaku regulator, membuat semacam kebijakan atau peraturan yang secara agresif dan progresif dapat (i) memacu industri agar berkembang ke arah hulu (tidak semata hanya bergerak di proses produksi hilir), (ii) membuat strategi agar putra-putri bangsa dapat menguasai atau mengambil-alih kemampuan IPTEK dari para investor luar, karena IPTEK adalah “ruh” industrialisasi, dan (iii) membuat strategi bagaimana caranya agar sumberdaya-sumberdaya (resources) yang menggerakkan industri dimiliki oleh orang Indonesia; walau tidak semua, paling tidak mayoritasnya.

Perlu dicatat juga bahwa, mengutip kata-kata salah seorang guru saya, yaitu Bapak Saswinadi Sasmojo (Guru Besar dari Institut Teknologi Bandung), penyebab utama kegagalan Indonesia dalam berindustri karena industri Indonesia sangat tergantung pada impor sumber-sumber teknologi dari negara lain, terutama negara-negara yang telah maju dalam berteknologi dan berindustri (industrially developed countries).

Saya memang termasuk kelompok beraliran “ortodoks” dalam menginterpretasikan “keberhasilan berindustri”. Kriteria keberhasilan berindustri bagi saya sederhana saja. Jika dalam sistem perindustrian kita “Indonesia contents”-nya makin lama makin bertambah, maka artinya kita membuat suatu “progress” dalam berindustri. Sebaliknya, jika porsi “Indonesia contents”-nya makin lama makin berkurang, apalagi jika ada pabrik yang sampai dijual ke pihak asing, maka ini merupakan “set back”.

Bagaimana peran Kementerian terkait dalam memacu penggunaan local content di industri migas?

Saya melihat peran kementerian terkait seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Perdagangan sudah sangat memadai dalam rangka memacu peningkatan penggunaan produksi dalam negeri di industri hulu migas. Peraturan-peraturan yang mereka keluarkan sudah sangat menunjukkan keberpihakan terhadap industri dalam negeri.

Bagaimana peran BPMIGAS dan KADIN?

Sesuai dengan namanya, BPMIGAS merupakan Badan Pelaksana. Sejauh ini sangat konsisten dalam menjalankan berbagai kebijakan terkait peningkatan penggunaan produksi dalam negeri. PTK 007 Revisi-1/2009 dibuat dengan mengacu pada berbagai peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh berbagai Instansi dan Regulator. BPMIGAS juga, berdasarkan apa yang saya amati, telah melakukan berbagai terobosan berupa kerjasama strategis (strategic partnership) dengan berbagai Kementerian, beberapa BUMN, dan bank-bank berstatus BUMN/D guna mempromosikan peningkatan pemberdayaan kapasitas nasional.

Tentang KADIN, jujur saya tidak tahu banyak apa kebijakannya terkait TKDN. Namun saya berkeyakinan bahwa dalam bingkai Indonesia Incorporated KADIN juga memiliki semangat yang sama: meningkatkan semaksimum mungkin pemberdayaan kapasitas nasional.

1 comment:

dan said...

memang TKDN untuk sector Migas sudah menjadi suatu keharusan dalam pengadaan barang maupun jasa, yang sudah dituangkan pada salah satu pasal PTK 007 rev-1 2009 oleh BPMIGAS. Namun, yang menjadi persoalan dan yang patut dihindari adalah, Produk yang dihasilkan dapat dikategorikan sebagai "proven product" atau tidak. Sebagai Contoh, Valve. Produsen Valve di Indonesia memang sudah ada, namun kualitas dan standar produk harus disesuaiakan dengan kebutuhan pasar. Takutnya kita mengejar TKDN besar namun Kualitas belum standard Internasional.
Bravo Indonesia.... saya cinta produk Indonesia 100%.... salam kenal pak...

Ramadan Siagian