Saturday, December 18, 2010

“Dialektika” Dalam Teknologi



Fenomena. Kata ini sangat sering kita dengar. Hampir setiap hari. Kata ‘fenomena’ dikonotasikan pada suatu peristiwa yang dianggap luar biasa atau jarang terjadi. Kejadian yang spektakuler sering disebut ‘fenomenal’. Padahal sebetulnya tidak ada sesuatu yang luar biasa pada arti kata ‘fenomena’ ini. Menurut Saswinadi Sasmojo (Guru Besar Emeritus ITB) dalam bukunya yang berjudul ‘Science, Teknologi, Masyarakat, dan Pembangunan’, fenomena adalah segala sesuatu yang kita lihat, kita alami, dan kita rasakan. Jadi sebenarnya cakupan arti kata ‘fenomena’ sangat luas.

Benda-benda yang sering kita pakai sehari-hari, termasuk benda-benda hasil teknologi, juga merupakan fenomena. Tuhan juga merupakan fenomena karena dapat ‘dirasakan’ keberadaan-Nya bagi orang-orang yang beriman, baik melalui firman-Nya yang tertulis di kitab suci maupun melalui benda-benda di bumi dan langit (alam semesta) sebagai ciptaan-Nya.

Beberapa waktu lalu ketika saya bertandang ke sebuah toko buku, di salah satu raknya terpajang buku berjudul MADILOG (Materialisme, Dialektika, dan Logika) yang ditulis oleh Tan Malaka (1896-1949). Mungkin tidak terlalu banyak yang mengenal beliau, termasuk angkatan saya, karena peranannya dalam sejarah pembentukan negara Republik Indonesia sangat dimarjinalkan. Padahal Tan Malaka adalah seorang Bapak Bangsa Indonesia yang paling mula menggagas bentuk negara Indonesia sebagai negara republik, bukan monarki atau yang lain-lain. Ya, sejarah bisa mengucilkan dan bisa juga membesar-besarkan sebuah fenomena, tergantung siapa yang menulis sejarah itu. Makanya ‘sejarah’ yang dalam Bahasa Inggerisnya ‘history’ sering dipelesetkan menjadi ‘his story’ karena sangat kental nuansa kepentingan dan subjektifitas ‘rejim’ yang menulisnya.

Menurut salah satu referensi yang pernah saya baca, sepanjang hidupnya Tan Malaka berjuang mengobarkan api revolusi kemerdekaan untuk membebaskan bangsanya dari cengekeraman imperialisme dan kapitalisme. Perjuangannya tidak hanya di Indonesia saja, tetapi juga di berbagai negara Asia lain seperti Filipina, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Hongkong. Dia mahir menyamar dan menggunakan berbagai nama samaran ketika ‘mengasingkan’ diri. Perjuangannya dapat disejajarkan dengan Che Guevara (1928-1967), tokoh revolusioner yang berasal dari Argentina lalu melanglang buana ke berbagai negara Amerika Latin lainnya, bahkan sempat ke Afrika, untuk mengobarkan api revolusi kemerdekaan. Yang tidak kalah menarik, jika menyandingkan Tan Malaka dengan Che Guevara, keduanya tewas sebagai korban revolusi yang mereka kobarkan sendiri.

Saya kembali ke buku MADILOG. Hingga saat ini saya belum membeli buku ini (maklum gak ada sisa uang jajan, hehehe). Di toko buku saya membolak-balik beberapa halaman. Mata saya cukup lama terpaku pada halaman yang memuat logika Matematika yang ditulis Tan Malaka: Jika terjadi fenomena A maka akan timbul fenomena Non A, dimana A tidak pernah sama dengan Non A. Kalimat ini jika ditulis ulang dalam bahasa yang lebih ilmiah akan berbunyi: jika ada thesis (tesa) maka akan timbul anti thesis (antitesa). Inilah yang dinamakan “dialektika”.

Sambil membolak-balik buku MADILOG saya tercenung. Betul juga! Dalam kehidupan sehari-hari kita banyak menjumpai fenomena-fenomena bipolar, dimana yang satu merupakan lawan (anti) dari yang lain. Contoh yang gamblang adalah yang terjadi di negara kita sendiri. Euforia ‘demokratisasi’ akhir-akhir ini memunculkan fenomena baru berupa ‘anti demokratisasi’. Mengapa demikian? Demokrasi memang menjamin hak kebebasan mengemukakan pendapat dan berkumpul. Saking bebasnya akhirnya menjurus ke pemaksaan kehendak; terutama dari golongan yang merasa lebih kuat, lebih berkuasa, atau lebih banyak massanya. Nah, hal-hal yang berupa ‘pemaksaan’ ini merupakan fenomena anti demokrasi.

Fenomena antitesa juga terjadi di berbagai kasus dalam dunia pemasaran (marketing). Ada marketing, lalu timbul anti marketing. Misalnya saja di sektor medis. Bisnis rumah sakit segmen pasarnya adalah orang-orang yang sakit. Secara logis dapat dikatakan bahwa agar pangsa pasar rumah sakit makin tumbuh, maka jumlah orang yang sakit mesti makin bertambah. Tetapi timbul bisnis apotik yang tujuannya secara logis adalah untuk mengurangi pangsa pasar bisnis rumah sakit, yaitu dengan cara menyembuhkan atau menyehatkan orang-orang melalui obat-obatan yang dijualnya. Bisnis rumah sakit dan apotik adalah contoh tesa dan antitesa yang pada prakteknya justru dapat berdampingan dengan ‘damai’. Setiap ada rumah sakit, dapat dipastikan ada apotik di dalamnya.

Dalam teknologipun terjadi dialektika. Dialektika dalam teknologi adalah, bahwa di satu sisi teknologi dapat memberikan solusi bagi kehidupan manusia, tetapi di sisi lain dapat menimbulkan persoalan baru yang dapat mencelakakan manusia dan lingkungannya. Contoh dialektika dalam teknologi sangat sangat banyak sekali. Dapat dikatakan setiap barang produk teknologi (technoware) memiliki sifat dialektika. Ambil beberapa contoh seperti misalnya kendaraan bermotor, perabotan plastik, dan teknologi nuklir.

Kendaraan bermotor memberikan solusi bagi manusia untuk mempercepat mobilitas dalam melakukan ativitas ekonominya. Namun sebagai anti tesanya, kendaraan menimbulkan berbagai polusi dan mengeluarkan gas rumah kaca (CO2) yang menurunkan kualitas atmosfer bumi; yang pada akhirnya menurunkan kualitas lingkungan dan mencelakakan manusia sendiri. Belum lagi kendaraan bermotor juga memberikan kontibusi dalam mencelakakan manusia lewat berbagai kecelakaan lalu lintas darat, laut, dan udara yang kerap terjadi.

Kemudian perabotan plastik. Suatu ketika saya pernah lewat di sebuah super market yang khusus menjual perabotan rumah tangga. Di depan super market tersebut terpampang spanduk bertuliskan “turut melestarikan hutan” dari sebuah produsen perabotan plastik terkenal. Kalau saya interpretasikan yang dimaksud dengan ‘melestarikan hutan’ adalah, karena perabotannya dari plastik, bukan dari kayu-kayuan, maka si produsen plastik tidak terlibat dalam penebangan hutan. Memang benar perabotan plastik tidak memerlukan kayu sebagai bahan bakunya. Tetapi, di antara kita tentunya banyak yang tahu bahwa perabotan plastik yang dibuang memerlukan waktu sampai dua ratus tahun lebih untuk betul-betul terurai. Selama belum terurai, si plastik ini ikut berperan dalam menurunkan kualitas tanah (menurunkan tingkat kesuburan tanah dan menurunkan kualitas air tanah) serta berbagai polusi lainnya.

Teknologi nuklir merupakan salah satu temuan manusia yang sangat spektakuler di abad ke-20. Produknya dapat digunakan untuk maksud-maksud damai dan menyejahterakan manusia. Peralatan rumah sakit seperti rontgen dan scanner menggunakan teknologi nuklir. Lalu tenaga nuklir juga dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik (PLTN). Sebagai dialektikanya, tenaga nuklir yang dahsyat itu bisa menghancurkan umat manusia dalam bilangan detik, bahkan bisa melenyapkan bumi ini dari sistem tata surya kita. Konon energi nuklir inilah yang membentuk tatanan alam semesta melalui berbagai rentetan reaksi fisi dan fusi.

Itulah beberapa contoh mengapa teknologi dikatakan memiliki sifat dialektika. Makanya diperlukan kebijakan yang betul-betul ‘bijaksana’ dalam menjalankan fungsi-fungsi teknologi agar sifat dielaktikanya dapat ditekan seminimum mungkin, bila perlu dinihilkan.

Saya sekilas menyinggung Tan Malaka dan Che Guevara pada pembukaan artikel ini (walau terkesan tidak nyambung) karena keduanya termasuk tokoh-tokoh yang saya kagumi, dan saya kira saya tidak sendirian dalam hal ini. Yang saya kagumi adalah karakter kepemimpinan serta semangat dan dedikasi perjuangan mereka yang sangat luar biasa untuk mengenyahkan imperialisme dan keserakahan kapitalisme, bukan karena haluan faham mereka yang cenderung kekiri. Menurut saya, ada saat-saat tertentu ketika suatu kaum (bangsa) nasibnya benar-benar kritis dan berada di titik nadir, Tuhan ‘campur tangan’ dalam ‘merekayasa’ lahirnya orang-orang besar untuk mengubah nasib bangsa tersebut. Di Indonesia sebut saja Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Tan Malaka, dan lain-lain. Di India sebut saja Mahatma Gandhi. Di Afrika Selatan sebut saja Nelson Mandela.

Pertanyaannya, kenapa di Indonesia hingga saat ini belum muncul para pemimpin sekaliber founding fathers kita dahulu? Saya tidak tahu jawabannya. Apakah karena Tuhan merasa belum waktunya ‘campur tangan’?

2 comments:

Rava said...

Perlukah sebuah sintesa

Mohammad Ismali said...
This comment has been removed by a blog administrator.