Saturday, April 9, 2011

“NOC” Versus “IOC” di Masa Mendatang



NOC (National Oil Company) diartikan perusahaan minyak dan gas milik negara atau yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh negara; seperti Pertamina di Indonesia dan Petronas di Malaysia. Sedangkan IOC (International Oil Company) adalah perusahaan minyak dan gas multinasional berbasis di luar negeri; seperti ExxonMobil, Chevron, ConocoPhillips, dll.

Bagaimana tren kiprah NOC di masa depan? Berbagai lembaga kajian energi meramalkan bahwa dalam dua dasawarsa mendatang peran/dominasi IOC di berbagai belahan dunia akan digeser oleh NOC di negaranya masing-masing. Asalkan NOC tetap semangat melakukan investasi, memperkuat sumber daya finansial, mempercepat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperkuat platform korporatnya untuk menjadi perusahaan kelas dunia (world class company). International Energy Agency (IEA) dalam World Energy Outlook 2008 (WEO 2008) memprediksi pada tahun 2030 nanti sekitar dua per tiga dari total produksi minyak dan gas dunia akan diproduksi oleh NOC’s.

Sebagaimana kita ketahui setelah berakhirnya Perang Dunia II satu persatu bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin memerdekakan diri. Karena keterbatasan kemampuan finansial, IPTEK, dan Sumber Daya Manusia (SDM), negara-negara eks jajahan ini banyak yang tergantung pada sumber daya yang dimiliki negara-negara maju dalam melaksanakan pembangunan di negeri mereka. Sejalan dengan waktu tentunya bangsa-bangsa tersebut terus-menerus meningkatkan kemampuan sendiri sehingga lambat laun bisa mengurangi ketergantungannya dari sumber daya asing. Seberapa cepat sebuah bangsa mampu mandiri akan sangat tergantung pada kekuatan “modal sosial” yang dimiliki bangsa tersebut. Bangsa-bangsa yang telah menyerap dan mempraktekkan nilai-nilai budaya unggul dalam tatanan kehidupan masyarakatnya akan lebih cepat menggapai kemandirian itu.

Demikian pula halnya dengan NOC. Pada mulanya bermitra dan belajar dengan IOC, lalu memperkuat basis kemampuan sendiri. Maka jika memang kelak era dominasi NOC terwujud, ini merupakan hal yang wajar, atau bisa dikatakan sesuatu yang memang “mesti” terjadi. Inilah sebetulnya sasaran akhir (ultimate goal) dari sebuah proses evolusi pembelajaran di sektor migas. Malah menurut saya Indonesia termasuk terlambat jika dibandingkan negara-negara lain seperti Norwegia dengan Statoil-nya, Malaysia dengan Petronas-nya, lalu China dengan CNPC dan CNOOC-nya.

Jika mengingat tiga milestone migas yang terjadi di Indonesia di bawah ini memang sudah semestinya NOC kita menjadi “tuan rumah” di negeri sendiri:

Pertama, industri migas modern di Indonesia sudah berusia satu seperempat abad lebih. Dimulai ketika di jaman Hindia Belanda seorang Belanda bernama Aeilko Jans Zijlker pada tahun 1884 melakukan pengeboran sumur Telaga Tiga-1 di lapangan minyak Telaga Said di wilayah Deli, Sumatera Utara.

Kedua, dalam kurun waktu 1948 – 1960-an pernah terjadi nasionalisasi aset-aset perusahaan minyak asing di Indonesia, seperti misalnya nasionalisasi Shell dan Stanvac. Semestinya bangsa kita bisa belajar (alih teknologi) dari perusahaan-perusahaan migas kelas dunia ini.

Ketiga, sejak ditandatanganinya kontrak model PSC (Production Sharing Contract) yang pertama antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan minyak asing IIAPCO pada tahun 1966 berarti sudah 45 tahun bangsa kita menjadi “mandor” perusahaan migas asing yang beroperasi di Indonesia. Salah satu tujuan luhur dari konsep model PSC menurut tokoh pencetusnya, Ibnu Sutowo, adalah agar proses menuju kemandirian di sektor migas bisa dipercepat karena manajemen dipegang oleh pemerintah (c.q. Pertamina ketika itu), sehingga diharapkan bangsa kita bisa memanfaatkan momentum belajar sambil bekerja – learning by doing.

Pertamina sendiri paing tidak sudah menjadi mitra sekaligus “mandor” perusahaan-perusahaan besar migas asing selama 36 tahun (1966-2002) ― di masa sebelum diberlakukannya Undang-undang Migas No. 22 Tahun 2001. Bahkan hingga kini Pertamina masih cukup banyak menjalin kerjasama dengan perusahaan migas asing dalam bentuk JOB (Joint Operation Body).

Terus merambah sektor hulu bagi Pertamina memang cara yang paling jitu untuk terus memperbesar nilai keuntungan dan memperkuat sumber daya finansialnya. Porsi terbesar laba Pertamina diperoleh dari sektor hulu. Sementara di sektor hilir Pertamina lebih banyak menjalankan misi PSO (Public Service Obligation). Dibandingkan sektor hulu, sektor hilir ini lebih banyak menyita sumber daya Pertamina dalam menjalankan bisnisnya sehari-hari.

Banyak peluang bagi Pertamina untuk terus tumbuh sehingga nantinya bisa betul-betul mendominasi sektor migas di negeri sendiri. Peluang tersebut bisa datang dari misalnya blok-blok yang kontraknya akan berakhir atau blok-blok yang akan dijual oleh operatornya. Namun strategi pengembangan perusahaan yang sustainable bagi Pertamina adalah dengan cara meningkatkan aktivitas eksplorasi di cekungan-cekungan migas baru yang selama ini belum terjamah guna meningkatkan rasio penggantian cadangan yang terpakai. Pertamina harus terus memacu adrenalinnya.

Namun muncul pertanyaan lain, apakah sisa cadangan migas di Indonesia dalam 20 tahun mendatang masih cukup bagi NOC seperti Pertamina untuk mengambil bagian dalam dua per tiga produksi migas dunia. Menurut BP Statistical Review of World Energy 2010, cadangan terbukti minyak dunia sebesar 1333 miliar barel, dan gas 6621 TCF (trillion cubic feet). Berdasarkan data buku Laporan Tahun 2009 BPMIGAS, di akhir 2009 cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal 3,96 miliar barel, atau 0,3% dari total cadangan minyak dunia, dengan rasio cadangan terhadap produksi sekitar 10,5 tahun. Sedangkan cadangan terbukti gas Indonesia di tahun yang sama sebesar 112 TCF, atau 1,6% dari total cadangan gas dunia, dengan rasio cadangan terbukti terhadap produksi sekitar 44 tahun – masih cukup lama.

Jika rasio penggantian cadangan (reserve replacement ratio) minyak Indonesia terus menerus rendah (kurang dari 1) berarti kegiatan sektor hulu migas Indonesia mendatang memang akan lebih didominasi oleh gas. Semoga saja cadangan-cadangan migas baru terus diketemukan, baik yang konvensional maupun non-konvensional (seperti CBM), dari kegiatan eksplorasi di Indonesia agar NOC kita termasuk dalam kelompok NOC dunia yang memproduksi dua per tiga produksi migas dunia dalam 20 tahun mendatang. Harus ada persiapan matang ke arah itu!

The New “7 Sisters”

“Seven Sisters” atau “Tujuh Bersaudara” sebetulnya penamaan sindiran terhadap tujuh perusahaan minyak raksasa yang menguasai pasar minyak serta kegiatan eksplrasi dan eksploitasi mulai dari Perang Dunia I sampai tahun 1970-an. Ketujuh perusahaan yang dimaksud adalah Exxon, Mobil Oil, Chevron, Gulf, Texaco, Shell, dan British Petroleum.

Menurut Pierre-René Bauquis dan Emmanuelle Bauquis, penulis tentang perminyakan berasal dari Perancis, perubahan pemeran utama di panggung minyak dunia telah menelorkan kelompok baru perusahaan-perusahaan raksasa berstatus NOC dari negara-negara penghasil minyak dan gas bumi yang disebut “Tujuh Bersausara Baru” atau “The New Seven Sisters”. Kekuatan baru ini ikut menentukan percaturan dan gejolak di pasar minyak dunia. Perusahaan-perusahaan migas nasional tersebut mendominasi cadangan minyak-pasti (proven reserve), pengembangan kegiatan bisnis ke internasional, dan dapat dengan mudah memperoleh teknologi yang dibutuhkan.

Tujuh Bersaudara Baru itu adalah:
1. Saudi Aramco (Arab Saudi),
2. Gazprom (Rusia),
3. CNPC (China National Petroleum Company),
4. NIOC (National Iran Oil Company),
5. PDVSA (Venezuela),
6. Petrobras (Brazil), dan
7. Petronas (Malaysia).

Bagaimana dengan Pertamina? Meskipun tidak atau belum masuk dalam kelompok Tujuh Bersaudara Baru tersebut, semoga dalam waktu dekat paling tidak Pertamina masuk dalam jajaran “Delapan Bersaudara Baru”. [eof]

No comments: