Monday, December 18, 2017

Industri Penunjang Migas Menghadapi PSC Gross Split : Peluang dan Tantangan


When you’re finished changing, you’re finished – Benjamin Franklin


Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri ESDM No. 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split tanggal 13 Januari 2017 disusul dengan revisinya yaitu Permen ESDM No. 52 Tahun 2017 tanggal 29 Agustus 2017, maka lahirlah Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) dengan skema Gross Split untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. Inti skema ini adalah, bagi hasil antara Pemerintah dan Kontraktor tidak lagi dipotong pengembalian biaya operasi (yang dikenal dengan sebutan Cost Recovery) tetapi produksinya langsung dibagi dengan persentase tertentu. Untuk detail persentase pembagiannya silakan dilihat langsung di Permen yang saya sebutkan di atas; ada pembagian utama (main split), ada variable split, dan ada juga progressive split. Berdasarkan Permen ini, semua kontrak baru, baik wilayah kerja eksplorasi baru maupun kontrak baru eks kontrak lama yang diterminasi, harus mengikuti skema Gross Split ini.   

Gross Split di berbagai literatur sering disebut dengan Gross Production Sharing karena yang dibagi langsung adalah produksi gros.  Saat ini yang saya kenal ada tiga model PSC Gross Split, yaitu (i) model Peru (diadopsi Peru tahun 1971, menurut beberapa literatur ditinggalkan Peru tahun 1980-an, sekarang menganut rezim konsesi dan service contract – EY Global Oil and Gas Tax Guide 2015 ), (ii) model India (mulai berlaku 2016), dan (iii) model Indonesia (mulai berlaku Januari 2017). Bagi yang ingin memperdalam jenis-jenis kontrak migas dapat mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh Daniel Johnston dalam bukunya International Exploration Economics, Risk, and Contract Analysis (2003) atau buku karangan sobat saya Benny Lubiantara yang juga petroleum economist, Ekonomi Migas (2012). Dibawah ini saya hanya menyusun ulang bagan klasifikasi tersebut.


Artikel ini tidak membahas what-why-how-pro-cons PSC Gross Split. Saya hanya ingin berbagi opini tentang salah satu yang menjadi point of interest pembelajaran saya selama ini, yaitu  industri penunjang migas. Kira-kira seperti apa dinamika industri penunjang migas setelah nanti skema PSC Gross Split telah diterapkan secara masif. Tahun 2017 ini baru satu wilayah kerja yang menggunakan skema PSC Gross Split, yaitu Wilayah Kerja Offshore Northwest Java (ONWJ) yang dikelola oleh Pertamina Hulu Energi (PHE). ONWJ ini mendapat tempat unik dalam perjalanan sejarah PSC karena ONWJ merupakan wilayah kerja migas dimana PSC skema Cost Recovery ditandatangani yang pertama kali di Indonesia dan dunia (1966), sekaligus wilayah kerja migas dimana PSC skema Gross Split ditandatangani yang pertama kali di Indonesia (Januari 2017) .

Untuk menyamakan persepsi, karena definisi dapat berbeda-beda, yang saya maksud dengan industri penunjang migas adalah kelompok industri nasional dalam negeri yang menghasilkan produk barang dan jasa guna menunjang kegiatan operasional hulu migas; misalnya produsen pipa penyalur, pemasok kapal, pemasok menara pengeboran, produsen, turbomachinery, produsen pipe pengeboran, penyedia jasa konstruksi, penyedia jasa seismik, penyedia jasa angkutan udara, produsen lumpur pengeboran, dan lain-lain (total ada 25 jenis komoditas sesuai Permen ESDM No. 15/2013). Sedangkan Badan Usaha (badan hukum yang dibentuk di dalam wilayah hukum Indonesia dan menjalankan usahanya di Indonesia) atau Bentuk Usaha Tetap (badan usaha yang dibentuk di luar wilayah hukum Indonesia tetapi menjalankan usahanya di Indonesia – biasanya perusahaan yang berbasis di luar negeri) yang bergerak di bidang eksplorasi dan produksi migas disebut Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS); namun agar tidak terlalu asing bagi mereka yang bergerak di non migas, KKKS ini saya sebut saja dengan “Kontraktor Migas”. Untuk kontrak PSC konvensional model Indonesia (adanya pengembalian biaya operasi) yang pertama kali di dunia dan ditandatangani tahun 1966, dijadikan role model oleh banyak negara berkembang di berbagai belahan dunia, dan masih berlaku hingga kini untuk wilayah kerja migas yang kontraknya masih berjalan, saya sebut dengan “PSC Cost Recovery”; meskipun  lebih cocok disebut PSC Profit Sharing tetapi penyebutan ini justru terasa asing. 

Mengapa timbul Gross Split? Idenya bagus. Sasaran yang hendak dicapai Pemerintah adalah agar iklim investasi sektor hulu migas menjadi lebih menarik bagi investor. Dengan Gross split ini diharapkan:
      Proses bisnis akan menjadi lebih efisien, lead time dari temuan sampai komersialisasi akan lebih cepat dibandingkan PSC skema Cost Recovery.
      Efisiensi biaya di sisi kontraktor karena proses yang lebih cepat, pengadaan barang/jasa dilakukan sendiri oleh kontraktor.
    Porsi pembagian yang lebih pasti bagi Pemerintah (persentase pembagian diketahui di muka), biaya operasi tidak lagi diperhitungkan dalam pembagian pendapatan.
      Tidak ada lagi perdebatan Cost Recovery.


Kilas Balik Kebijakan Protektif Industri Penunjang Migas dalam PSC Cost Recovery

Keberpihakan sektor hulu migas terhadap industri nasional sebetulnya sudah sejak lama, sesuai dengan semangat disusunnya kontrak PSC sejak awal, bahwa manajemen ada di tangan Pemerintah (Widjajono Partowidagdo, Migas dan Energi di Indonesia, 2009). Dengan prinsip “manajemen di tangan Pemerintah ini” maka dalam kontrak PSC Cost Recovery negara (c.q. Pemerintah) lebih leluasa melakukan intervensi dalam memasukkan berbagai agenda nasional,  termasuk dan tidak terbatas pada keharusan kontraktor migas untuk mengutamakan penggunaan produk barang/jasa dalam negeri. Paling tidak, kontrak PSC era 1980-an telah memuat klausul pengutamaan pemakaian produk dalam negeri (ref. Pasal 5 kontrak PSC). Kebijakan inilah yang memberikan dampak positif ikut berkembangnya sektor industri lain di luar sektor migas – terutama industri penunjang migas. Tidak heran jika sektor hulu migas hingga saat ini masih berperan sebagai salah satu economic engine dalam pertumbuhan ekonomi nasional, dan masih menjadi parameter asumsi makro dalam APBN, meskipun UU No. 30/2007 tentang Energi dan Perpres No. 22/2017 tentang RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) mengamanatkan bahwa migas seharusnya dikelola sebagai modal pembangunan nasional – bukan semata diperlakukan sebagai komoditas untuk menghasilkan pendapatan negara. Managing oil and gas has to be beyond revenue.

Pengawasan kepatuhan kontraktor migas dalam penggunaan produk dalam negeri dilakukan mulai dari tahap perencanaan, operasional, dan closed-out sebuah proyek.  Pengawasan penggunaan produk dalam negeri terutama dilakukan saat kontraktor migas mengajukan rencana dan penetapan pemenang pengadaan barang/jasa di atas nilai tertentu.  Salah satu deliverable-nya adalah Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang harus dicapai oleh kontraktor migas. 


Selain peraturan perundang-undangan terkait Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN), keberpihakan terhadap industri nasional penunjang migas diatur lebih lanjut oleh institusi yang bertindak sebagai pengawas dan pengendali kegiatan usaha hulu migas dalam bentu pedoman tata kerja pengadaan barang/jasa untuk kontraktor migas. Jika ingin kilas balik, ketika institusi pengawas dan pengendali kegiatan usaha hulu migas masih berada dibawah Pertamina (menurut UU No. 8 Tahun 1971) dengan nama BPPKA (Badan Pembinaan Pengusahaan Kontraktor Asing), pada tahun 1988 pedoman pengadaan barang/jasa kontraktor migas harus mengikuti Keppres No. 29 Tahun 1984 tentang  Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang diatur lebih lanjut oleh Pertamina-BPPKA dengan Bulletin Procedure 077 (Oktober 1988). Selanjutnya pada tahun 1995 kontraktor migas harus mengikuti Keppress No. 16 Tahun 1994, yang diatur lebih lanjut oleh Pertamina-BPPKA dengan Bulletin Procedure 077 Revisi-1 (Tengku Machmud, The Indonesian Production Sharing Contract: An Insvestor’s Perspective, 2000). Kalau tidak salah ingat, untuk nilai lelang di atas Rp50 Miliar, persetujuannya ketika itu harus ke Menko Ekuin (terakhir Menko Ekuwasbangpan, menjelang runtuhnya rezim Orde Baru). BP-077 ini sudah jadul sekali. Jika di-googling-pun nyaris tidak ada entry-nya. Wajar jika banyak yang tidak mengenal BP-077 karena ini cerita 20-an tahun lalu.

Di masa transisi menjelang diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2001, institusi yang mengawasi dan mengendalikan kegiatan usaha hulu migas bernama MPS (Manajemen Production Sharing) – masih dibawah Pertamina. Proses pengadaan barang/jasa untuk kegiatan hulu migas (Pertamina, PSC, JOB, TAC) diatur oleh SK Dirut Pertamina No. 077 Tahun 2000 (era Baihaki Hakim sebagai Dirut Pertamina) yang berlaku pada periode 2000-2004. Setelah BPMIGAS terbentuk pada tahun 2002 (terpisah dari Pertamina sebagai amanat UU No. 22/2001), pada tahun 2004 BPMIGAS menerbitkan PTK 007 sebagai Pedoman Tata Kerja rantai suplai hulu migas. Dibawah SKK Migas saat ini PTK 007 sudah Revisi 04. Mulai dari jaman Keppres sampai PTK 007 intinya sama, yaitu kewajiban kontraktor migas mengutamakan penggunan produk dalam negeri. Impor diperbolehkan dengan persyaratan yang cukup ketat, antara lain apabila kapasitas produksi dalam negeri tidak cukup memenuhi kebutuhan kontraktor migas. Mungkin ada yang bertanya-tanya tentang penomoran. Selama 16 tahun dari 1988 sampai 2004 penomoronnya ajeg menggunakan angka “077”, tetapi setelah BPMIGAS menerbitkan PTK penomorannya dirubah menjadi “007”.  Saya sendiri tidak tahu persis ceritanya, mungkin karena tim penyusun PTK 007 versi original merupakan para penggemar James Bond – agen rahasia fiktif Inggris dengan kode “007” (😄).

Dalam Pasal 10 kontrak PSC Cost Recovery juga disebutkan peralatan yang dibeli kontraktor untuk keperluan operasional migas menjadi milik Negara (dalam hal impor, ketika mendarat di pelabuhan impor Indonesia). Paling tidak ada dua kontrol terhadap lalu lintas barang operasi migas yang masuk Indonesia, yaitu keharusan kontraktor migas menyiapkan Rencana Kebutuhan Barang Impor (RKBI) / master list terhadap barang-barang yang akan diimpor dan Buku APDN (Apresiasi Produksi Dalam Negeri). Jika sudah ada produk dalam negeri yang masuk daftar APDN, dalam artian sudah dapat diproduksi di Indonesia, maka impor produk sejenis tidak diperbolehkan. Jika diibaratkan buah durian, master list dan Buku APDN merupakan kebijakan satu gandeng – saling tak terpisahkan. Bagaimana jika kontraktor migas melanggar aturan PTK 007 dan Buku APDN? Sangsinya simple, semua biaya yang dikeluarkan kontraktor terkait pengadaan barang tidak dapat dikembalikan atau tidak di-cost recovery. Pendek kata, dalam PSC Cost Recovery proses pengadaan barang/jasa kontraktor migas diawasi dan dikendalikan dengan ketat.

Capaian TKDN

Indikator utama keberhasilan penggunaan barang/jasa dalam negeri dapat dilihat dari capaian persentase komitmen Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), yang didefinisikan sebagai persentase perbandingan nilai komponen dalam negeri terhadap nilai total barang/jasa tersebut. Sejak 2011 nilai total dihitung berdasarkan cost to make atau cost of goods sold – bukan harga jual (selling price). Dalam buku Laporan Tahunan 2016 SKK Migas yang dapat diunduh dari www.skkmigas.go.id, komitmen TKDN agregat pengadaan barang/jasa di sektor hulu migas pada tahun 2016 mencapai 55% dengan nilai total mencapai US$10.2 miliar, terdiri dari US$3.7 miliar untuk barang dan US$6.5 miliar untuk jasa. Sejak tahun 2010 secara konsisten persentase TKDN agregat selalu di atas 50%, dan selama periode 2010-2016 nilai pengadaan jasa rata-rata dua kali nilai pengadaan barang.



Capaian TKDN nampak tidak terpengaruh terhadap turunnya harga minyak. TKDN tahun 2015 malah lebih tinggi dari TKDN tahun 2014. Diduga setelah harga minyak dunia anjlog, para kontraktor migas di Indonesia menunda proyek-proyek atau kegiatan higher cost yang banyak import content-nya, dan lebih mengutamakan kegiatan lower cost yang dapat dipasok oleh vendor domestik. Nilai tahunan pengadaan di tahun 2016 turun 40% dibandingkan tahun 2014. Ini sejalan dengan fenomena global. Akibat anjlognya harga minyak dari level US$100 per barel di tahun 2014 menjadi hanya rata-rata US$43 per barel di tahun 2016 mengakibatkan global spending hulu migas tahun 2016 sebesar US$866 miliar turun 35% dibandingkan tahun 2014 sebesar US$1.29 triliun (ref. IHS Global Spending Report Q2-2017). 


Jika sedikit dibedah lebih detail, capaian TKDN agregat dari tahun ke tahun sebetulnya selalu didominasi oleh TKDN komoditas jasa. Dalam enam tahun terakhir, capaian persentase TKDN jasa rata-rata dua kali capaian TKDN barang, dengan capaian TKDN barang hanya berkisar 30%. Fenomena ini menunjukkan bahwa, pertama, industri penunjang migas kita masih didominasi oleh kemampuan “merakit” (assembly) ketimbang produksi barang, padahal “ruh teknologi” itu ada di barang   yang dalam sistem IPTEK Keindustrian disebut technoware. Kedua, industri produsen barang penunjang migas masih banyak yang bergerak di proses produksi hilir. Ketiga, industri barang penunjang migas serupa dengan apa yang teramati di industri domestik pada umumnya, yaitu berkembang ke samping ketimbang ke arah hulu. Ambil contoh misalnya pipa OCTG (casing dan tubing) jenis seamless (tanpa kampuh), industri dalam negeri hingga saat ini hanya memiliki kemampuan perlakuan panas (heat treatment) dan penguliran (threading) saja, seamless green pipe-nya masih diimpor dari berbagai negara. Jika pipa jenis ERW, spiral welded, dan DSAW industri dalam negeri kita sudah cukup lama mampu memproduksi dengan standar dunia oil & gas. Saya dengar di Cilegon sedang dibangun pabrik pipa yang nantinya mampu membuat seamless pipe. Saya berharap dapat berkunjung dalam waktu dekat untuk melihat alur proses produksinya, apakah prosesnya mulai dari billet, atau billet-nya disuplai oleh pabrikan lain semacam Krakatau Steel.

Bagaimana Kebijakan Protektif Industri Dalam Negeri dalam PSC Gross Split?

Meskipun dalam skema PSC Cost Recovery proses pengadaan barang/jasa di kegiatan hulu migas diatur dan diawasi dengan ketat, namun in return pada dasarnya kontraktor migas tidak mendapatkan semacam reward  apapun dalam bentuk finansial, paling hanya memperoleh piagam penghargaan bagi yang mencapai TKDN tinggi.  Berbeda dengan PSC Gross Split, dalam Permen ESDM No. 08/2017 dan revisinya Permen ESDM No. 52/2017, kontraktor migas migas berhak mendapatkan insentif langsung dalam bentuk tambahan persentase split terhadap realisasi TKDN yang dicapainya dari proses pengadaan barang/jasa. Tambahan split tersebut disesuaikan dengan tingkat capaian persentase TKDN sebagaimana pada diagram di bawah ini.


Logikanya, karena kontraktor migas memperoleh insentif tambahan split berdasarkan tingkat capaian TKDN-nya, semestinya kebijakan ini dapat menstimulasi kontraktor migas untuk semaksimum mungkin menggunakan produk dalam negeri agar mencapai persentase TKDN setinggi mungkin, asalkan QCDS (quality, cost, delivery, service) produk dalam negeri tetap kompetitif.

Selanjutnya Permen menyebutkan, “Tingkat komponen dalam negeri wajib dipenuhi oleh Kontraktor sekurang-kurangnya  sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur tingkat komponen dalam negeri pada Kegiatan Usaha Hulu Migas dan Gas Bumi. Barang-barang yang terkait langsung dengan kegiatan eksplorasi dan produksi yang sudah dapat diproduksi dan tersedia di dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan produk dalam negeri pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Untuk lapangan yang sudah berproduksi (eksisting), koreksi split Bagian Kontraktor dari tingkat komponen dalam negeri adalah sesuai dengan kondisi parameter tingkat komponen dalam negeri pada saat penandatanganan kontrak. Selanjutnya koreksi split bagian Kontraktor dari tingkat komponen dalam negeri disesuaikan dengan kondisi aktual parameter tingkat komponen dalam negeri dalam hal terdapat pengembangan lanjutan. Untuk lapangan baru yang akan diproduksikan, perhitungan koreksi split bagian Kontraktor dari tingkat komponen dalam negeri dilakukan berdasarkan kondisi parameneter tingkat komponen dalam negeri pada saat persetujuan atas rencana pengembangan lapangan (Plan of Development) dan disesuaikan dengan kondisi aktual parameter tingkat komponen dalam negeri pada saat dimulainya pemroduksian Minyak dan Gas Bumi (onstream)”.

Saya menginterpretasikan, karena TKDN krusial dalam penentuan salah satu variable split yang akan berdampak pada alokasi lifting bagian negara dan bagian kontraktor, maka pengawasan realisasi TKDN harus diperkuat. Verifikasi capaian TKDN dapat dilakukan setiap bulan (atau setiap ada lifting), namun di tahun berjalan (year to date) harus dilakukan perhitungan capaian TKDN secara komulatif. Lebih fair jika perhitungan TKDN komulatif dilakukan di akhir tahun karena yang namanya target itu untuk setahun, kemudian dilakukan koreksi/adjustment jika ada over/under lifting terhadap bagian negara/kontraktor yang telah dilakukan secara bulanan. Saya berikan ilustrasi dengan angka-angka agar lebih jelas. Misalnya di bulan Januari, Februari, dan Maret Kontraktor A berhasil membukukan capaian TKDN berturut-turut 52%, 71%, dan 70%. Berarti secara bulanan Kontraktor A berhak mendapatkan tambahan split 3% di Januari, 4% di Februari, dan 4% di Maret. Namun setelah dihitung secara komulatif selama periode Januari-Maret ternyata capaian TKDN hanya 65%, sehingga dalam periode tersebut Kontraktor A sebetulnya hanya berhak memperoleh tambahan split 3%. Ini yang saya maksudkan perhitungan capaian TKDN seyogyanya dihitung secara komulatif dalam setahun, dan menjadi koreksi over/under terhadap alokasi lifting yang telah dilakukan secara bulanan.

Terkait kepemilikan aset dalam PSC Gross Split, Pasal 21 Permen ESDM No. 08/2017 menyebutkan, “Seluruh barang dan peralatan yang secara langsung digunakan dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang dibeli Kontraktor menjadi milik/kekayaan Negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh SKK Migas”. Ini serupa dengan yang ada di kontrak PSC Cost Recovery. Berarti importasi barang harus menggunakan masterlist, dan Buku APDN akan digunakan sebagai filter boleh-tidaknya mengimpor barang. Yang saya ketahui, aturan tentang bea masuk dan perpajakan untuk PSC Gross Split masih disusun, konon dalam waktu dekat akan dikeluarkan peraturannya. Kita lihat saja nanti, apakah akan serupa dengan PSC Cost recovery sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2017 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Dinamika Supply dan Demand di Era Gross Split

Seperti saya kemukakan di atas, dengan adanya tambahan split dari capaian TKDN, seharusnya para kontraktor migas akan sebanyak mungkin memanfaatkan produk barang/jasa dalam negeri. Namun di sisi lain, kontraktor juga harus efisien, cost effective, dan cepat karena tidak ada lagi cost recovery. Pengadaan barang/jasa di kontraktor Gross Split dilaksanakan sendiri (sole procurement), tidak lagi diatur oleh pedoman tata kerja semacam PTK 007 yang sekarang. Peraturan lebih longgar, kedua belah pihak (penjual dan pembeli) lebih memiliki keleluasaan, paling yang ketat post audit-nya karena menyangkut realisasi bagian negara. Di sinilah letak dinamika supply-demand di era Gross Split, yaitu bagaimana mem-balancing tiga faktor: TKDN, cost, dan waktu – tentunya tetap dalam koridor good governance.

Pertanyaannya, lebih suka mana antara banyak diatur atau lebih sedikit diatur. Jawabannya tentu beda-beda. Bagi yang lebih mapan di zona nyaman mungkin lebih suka diatur karena lebih pasti hasilnya. Bagi yang memiliki inovasi dan kreatifitas mungkin lebih suka dengan aturan yang sedikit karena lebih leluasa dalam menjalankan rencana bisnis sekaligus mengeset target yang lebih stretch.

Peluang utama bagi industri penunjag di era Gross Split adalah lebih memungkinkan untuk meningkatkan market share. Pelaku industri penunjang dan kontraktor migas akan lebih leluasa melakukan pendekatan dan kemitraan secara B2B. Keunggulan kompetitif QCDS industri penunjang akan menjadi pertimbangan utama kontraktor migas dalam melakukan kemitraan. Saya membayangkan akan terjadi merger dan akuisisi (M&A) di lingkungan para pelaku industri penunjang. M&A adalah hal biasa dalam menghadapi suatu perubahan. Mega merger dan mega akuisi di dunia migas pun pernah terjadi menjelang dan di awal 2000-an; seperti Conoco merger dengan Phillips Petroleum, Exxon merger dengan Mobil Oil, Chevron mengakuisisi Texaco dilanjutkan mengakuisisi Unocal (nyaris dikalahkan CNOOC), BP mengakuisisi Amoco, dan sebagainya. Jadi kemungkinan M&A adalah hal yang layak diantisipasi para pelaku industri penunjang di era Gross Split. Kemungkinan lain lagi adalah akan semakin banyak konsorsium antar para pelaku industri penunjang untuk menggarap proyek-proyek migas. Selain M&A dan konsorsium di lingkungan pelaku industri penunjang, tidak tertutup kemungkinan kontraktor migas akan chip in ke industri penunjang, dan sebaliknya industri penunjang akan farm in di suatu wilayah kerja migas  

Di era Gross Split akan lebih banyak proyek-proyek yang sifatnya turnkey, atau pekerjaan yang bentuknya serupa dengan project management, bahasa awamnya ‘pekerjaan gelondongan’, karena pada dasarnya berhadapan dengan satu vendor (sebagai lead consortium misalnya) akan efisien dibandingkan berhadapan dengan banyak vendor, terutama pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya memerlukan banyak interface.

Bagi kontraktor migas yang memiliki kelompok usaha (anak perusahaan, sister company) yang bergerak di industri penunjang hulu migas, skema Gross Split dapat dijadikan peluang untuk melakukan vertical integration, sekaligus menciptakan integrated supply chain yang lebih efektif dan efisien. Vertical integration dilakukan dengan cara memanfaatkan semaksimum mungkin produk barang/jasa yang diahasilkan oleh kelompok usahanya. Pertamina, misalnya, sangat berpeluang melakukan vertical integration karena memiliki kelompok usaha yang bergerak di berbagai kategori penunjang migas seperti jasa survei, downhole services, pengeboran, pabrikasi, transportasi, suplai bahan bakar, lubricant, akomodasi, perkantoran, katering, bahkan rumah sakit.  Bisa jadi kelompok usaha seperti Pertamina akan melakukan juga vertical expansion dengan membentuk unit usaha baru atau mengakuisisi perusahaan lain untuk jenis komoditas yang sebelumnya tidak ada di kelompok usahanya.

Teknologi hulu migas Indonesia di masa depan akan didominasi oleh konstruksi lepas pantai, EOR (terutama di kawasan Barat Indonesia), pengolahan dan transportasi  gas, kilang mini dan LNG mini, serta eksplorasi dan eksploitasi migas non-konvensional (CBM, tight oil, tight gas). Secara geologis, geografis, dan keteknikan kegiatan hulu migas akan semakin banyak tantangannya, terutama tantangan teknologi. Untuk menutupi gap yang ada, industri penunjang dalam negeri dapat melakukan kemitraan dengan pihak luar dalam bentuk joint venture.

Barangkali banyak yang berpendapat, karena PSC Gross Split harus efisien, maka belanja (spending) kontraktor akan berkurang dibandingkan PSC Cost Recovery. Belum tentu! Efisiensi seharusnya lebih kepada optimasi satuan biaya (unit cost), bukan mengurangi jumlah kegiatan yang berujung pada spending cut. Saya beri lagi ilustrasi dengan angka. Misalkan Kontraktor B ingin menambah produksinya, dia memiliki dua opsi. Opsi pertama, mengebor 5 sumur dengan biaya US$2 juta per sumur, total spending US$10 juta, akan menghasilkan tambahan produksi 1000 barel per hari. Opsi kedua, mengebor 8 sumur  dengan biaya hasil optimasi US$1.7 juta per sumur, total spending US$13.6 juta, akan menghasilkan tambahan produksi 1600 barel per hari. Jika Kontraktor B memiliki sumber daya  finansial yang kuat, dia akan melakukan opsi kedua. Makanya jika ada media massa yang memberitakan sebuah perusahaan berhasil melakukan efisiensi separuh dari anggarannya, harus dilihat dulu, apakah yang dilakukan memang betul efisiensi (berhasil memperkecil unit cost) atau hanya sekedar melakuan spending cut dengan cara mengurangi volume aktivitasnya. Efficiency and spending cut are basically two different animals.

Tantangan yang akan timbul nantinya adalah (i) serangan produk luar yang harganya lebih murah,  (ii) kontraktor migas yang induk perusahaan atau afiliasinya di luar negeri memiliki global agreement dengan vendor manca negara, dan (iii) kontraktor migas yang mengemban misi terselubung untuk memasarkan produk dari negara asalnya. Yang pertama dan kedua dapat terjadi apabila menurut hitung-hitungan lebih menguntungkan memakai produk dari luar (terutama dari sisi harga) dibandingkan insentif TKDN, walaupun misalnya harus bayar bea masuk dan pajak impor. Yang ketiga dan perlu diwaspadai adalah trade off terhadap TKDN, terutama apabila hak split maksimum yang 4% telah dicapai atau cukup dia mematok target TKDN tertentu saja, sisanya dia beli dari perusahaan afiliasinya dari luar. Di sisi regulasi juga dapat timbul pelanggaran terhadap persaingan usaha yang sehat apabila marak praktek-praktek yang mengarah ke monopoli, oligopoli, monopsoni, dan oligopsoni.


Bagaimana jika nantinya Indonesia dibanjiri barang-barang impor yang harganya sangat murah dan mengancam kelangsungan industri dalam negeri? Saya yakin Pemerintah tidak tinggal diam. Bisa saja Pemerintah melakukan langkah safeguard untuk menyelamatkan industri dalam negeri, misalnya memberlakukan tarif anti dumping untuk sementara waktu terhadap produk impor yang harganya tidak wajar. Proteksi non tariff barrier sebetulnya lebih powerful sebagai langkah perlindungan industri karena tidak terlalu rentan protes oleh kalangan internasional, misalnya pemberlakuan SNI.

Apakah kontraktor migas akan sewenang-wenang dalam memakai produk impor? Sebagian besar kontraktor migas yang beroperasi di Indonesia merupakan IOC (International Oil Company). Biasanya IOC mengemban obligasi moral agar kegiatan korporasinya sustainable. Salah satunya adalah melibatkan sumber daya domestik semaksimum mungkin. Di beberapa negara yang pengelolaan hulu migasnya menganut rezim konsesipun IOC biasanya melakukan pendekatan dengan pemerintah dan masyarakat setempat untuk mengidentifikasi apa yang dapat dipasok oleh sumber daya yang ada di wilayah operasi. Jika sumber daya lokal dilibatkan, maka masyarakat lokal secara psikologis akan turut menjaga kelangsungan operasionalnya. Jadi menurut saya, meskipun penggunaan produk impor lebih besar kemungkinannya, namun tidak sampai pada taraf semena-mena, dan intensitasnya akan berbeda antar IOC. Langkah antisipatif tetap diperlukan, dan industri penunjang dalam negeri dituntut senantiasa meningkatkan keunggulan kompetitif QCDS-nya.

Berapa kira-kira porsi wilayah kerja (WK) migas yang menggunakan skema Gross Split sampai tahun 2025? Dalam laporan kinerja hulu migas Q3-2017 sebagaimana dikutip oleh Republika.Co.Id 27 Oktober 2017, total jumlah wilayah kerja (WK) migas ada 264, terdiri dari 87 WK eksploitasi dan 159 WK eksplorasi (126 WK konvensional, 53 WK nonkonvensional).  Dengan asumsi WK eksploitasi yang kontraknya akan berakhir menjelang 2025 semuanya dikonversi ke Gross Split, dan dari tahun 2018 sampai 2025 setiap tahunnya ditandatangani 5 WK eksplorasi baru dengan skema Gross Split, maka diperkirakan pada tahun 2025 baru sekitar 25% WK yang menggunakan skema Gross Split. Artinya masa transisi dari PSC Cost Recovery ke PSC Gross Split masih panjang. Masa transisi ini dapat dimanfaatkan para pelaku industri penunjang migas untuk memformulasi ulang strategi pengembangan industri dan bisnisnya, baik secara sendiri-sendiri maupun lewat asosiasinya.

Penutup

Keberpihakan industri hulu migas terhadap produk nasional telah berjalan lebih 50 tahun (sepanjang perjalanan sejarah PSC). Industri penunjang tidak lagi dapat dikategorikan sebagai “infant industry”. Oleh karena itu harus memiliki kemampuan responsif dan adaptif yang lebih mandiri.

Sustainability industri penunjang dapat ditingkatkan dengan cara:
      Menjadi preferred supllier: produk berdaya saing dalam hal QCDS, serta technical support dan layanan purna jual yang paripurna.
     Mengembangkan industri ke arah hulu: investor (lokal maupun luar negeri dalam bentuk FDI) diarahkan untuk berinvestasi di produk perantara atau produk yang lebih upstream dalam proses produksi.
      Meningkatkan budaya IPTEK dan R&D.
      Meningkatkan Indonesia Content pada sumber-sumber yang dapat menggerakkan industri (SDM, teknologi, finansial, kepemilikan) dalam rangka mengurangi “import resources”.
     Pengembangan industri di Indonesia diarahkan ke “made BY Indonesia” ketimbang sekedar “made IN Indonesia”.
      Diversifikasi segmen pasar.

Kebijakan Kapasitas Nasional hendaknya tidak hanya sekedar bertujuan memaksimalkan capaian TKDN, namun lebih penting adalah memaksimalkan added value yang diperoleh bangsa Indonesia terutama dalam bentuk penguasaan iptek keindustrian agar dalam jangka panjang Indonesia dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap imported resources dalam berindustri.

Yang terakhir, opini dinamika supply-demand yang saya paparkan di atas berangkat dari  asumsi Gross Split akan di-buy in oleh para investor. Saya teringat kata-kata Prof. Widjajono Partowidagdo (alm.), mantan Wakil Menteri ESDM yang lebih akrab kami sapa dengan Mas Wid, “Mengundang investor ibarat mengundang pelanggan untuk rumah makan. Rumah makan hanya akan laku apabila makanannya enak, lingkungannya baik, harganya bersaing, pelayanannya baik”. Saya setuju bahwa Gross Split harus diberi kesempatan. Selebihnya, seperti teman saya bilang, we will know when we see it.

Jakarta, 16-17 Desember 2017

No comments: