Tuesday, July 15, 2008

Apakah Kebijakan Proteksi Industri Masih Diperlukan?

(Lanjutan artikel tgl 10 Juli 2008, bagian terakhir trilogi tentang proteksi industri)

Keterkaitan antara Ilmu Pengetahuan, Science, Teknologi, dan Budaya

Dalam sub judul ini kembali saya mengutip beberapa definisi dari Saswinadi Sasmojo (guru besar ITB). Beliau termasuk salah seorang teknokrat yang saya kagumi karena pendapat beliau yang (a) sangat menekankan pentingnya pembangunan sektor hulu proses produksi, dan (b) menyarankan pemanfaatan semaksimum mungkin sumber daya dari dalam negeri sendiri (endogenous) untuk pembangunan industri tenimbang mengimpor sumber daya dari luar. Kedua hal ini, jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, dapat melepaskan ketergantungan industri kita dari sumber daya impor.

Apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan, science, teknologi, dan budaya itu; dan apa kaitan keempatnya? Menurut Saswinadi Sasmojo, ilmu atau pengetahuan adalah himpunan informasi yang terbentuk baik dalam upaya untuk mengetahui alam lingkungan dan tatanan kehidupannya, maupun dalam upaya untuk menciptakan sistem-sistem yang dibutuhkannya. Bagian dari himpunan informasi tentang ilmu atau pengetahuan yang besifat deskriptif, yaitu memberikan gambaran dan penjelasan tentang sistem-sistem yang ada, bak sistem-sistem fisik alamiah maupun sistem-sistem sosial, dikategorikan sebagai science. Bagian dari himpunan informasi tentang ilmu atau pengetahuan yang bersifat preskriptif, yaitu memberikan petunjuk atau resep tentang bagaimana membentuk, atau menciptakan, ataupun tentang bagaimana cara mengoperasikan suatu sistem, maka ia disebut teknologi. Budaya masyarakat merupakan himpunan informasi yang menjadi milik semua anggota masyarakat penganut budaya tersebut dan menjadi rujukan dalam segala tindakan dan pola-laku masyarakat anggota masyarakatnya, dan karenanya merupakan informasi yang keterjangkauannya merata bagi semua anggota masyarakat tersebut.

Jika dalam budaya masyarakat dijumpai informasi yang mengarahkan masyarakat tersebut untuk lebih intensif dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang dilihat atau dialami atau dirasakan, maka intensitas upaya semacam itu dalam masyarakat tersebut akan tinggi, dan budayanya akan diperkaya terus dengan informasi ilmiah. Hal ini akan terungkapkan pada pola-laku masyarakatnya. Jika intensitas pengupayaan untuk menghasilkan penjelasan dari fenomena-fenomena yang dijumpai semakin tinggi, maka masyarakat tersebut semakin tinggi tingkat budaya ilmiahnya. Dengan kata lain, kadar informasi ilmiah dalam himpunan informasi yang menjadi budayanya semakin tinggi. Uraian ini menunjukkan kaitan yang kuat antara tata nilai budaya suatu masyarakat dengan kemampuannya mengembangkan pengetahuan ilmiah. Inilah yang sering diistilahkan dengan ‘budaya iptek’.

Kebijakan Proteksi Industri yang Tidak Kena Sasaran

Pada dasarnya yang disebut dengan infant industry adalah industri yang baru berdiri dan belum kuat untuk berkompetisi di pasar bebas, baik di pasar lokal maupun di pasar global. Oleh karena itu, agar industri baru ini bisa tumbuh dan dapat menghasilkan keuntungan yang memadai untuk mengembalikan modal (biaya) investasinya, kebijakan protektif perlu dilakukan. Dari hasil keuntungan yang diperoleh para pelaku industri diharapkan mereka menumbuhkembangkan budaya iptek dan melakukan investasi lebih lanjut ke sektor proses produksi hulu, sehingga suatu saat kelak industri tersebut menjadi industri yang terintegrasi untuk jenis produk industri yang sama.

Namun yang banyak terjadi adalah hasil keuntungan yang diperoleh dari proteksi tersebut diinvestasikan para pelaku industri ke sektor atau jenis produk industri lain yang berbeda dan, lagi-lagi, untuk industri baru ini juga mendapatkan proteksi dari pemerintah. Begitu seterusnya, sehingga satu pelaku industri memiliki beberapa pabrik dengan produk berbeda-beda tetapi semuanya hanya menguasasi faktor-faktor proses produksi hilir. Belum lagi biaya produksinya tidak efisien, sehingga para pelaku industri ibarat rente ekonomi saja yang memperoleh privillage dari kebijakan proteksi pemerintah, karena dengan proteksi tersebut, hanya dengan memiliki fasilitas produksi hilir saja posisi mereka secara ekonomis sudah banyak diuntungkan tanpa perlu bersusah-susah berkompetisi di pasar global. Keengganan pelaku industri untuk menguasai proses produsi hulu merupakan salah satu penyebab kurangnya budaya iptek dalam industri kita.

Memang tidak ada tenggat waktu khusus sampai kapan suatu industri masih bisa dikategorikan sebagai infant industry. Biasanya dalam studi kelayakan, tenggat waktu yang dipakai sebagai ukuran perlunya diberlakukan proteksi ialah sampai industri itu berumur maksimal 10 tahun. Namun banyak industri kita yang sudah berusia lebih dari dua dasa warsa. Dengan usia yang sudah melebihi 10 tahun, maka sebetulnya industri di Indonesia tidak dapat lagi dikategorikan sebagai infant industry, tetapi para pelaku industri tetap saja meminta kepada instansi pemerintah terkait agar impor barang jadi dari luar dalam bentuk jadi (built-up) ditutup atau dikenakan tarif bea msuk yang tinggi dengan dalih industri dalam negeri akan mati apabila keran impor dibuka.

Mengingat arus perekonomian global yang makin mengarah pada pasar bebas ditambah lagi dengan keterikatan Indonesia dengan peraturan-peraturan perdagangan regional dan internasional, seperti AFTA dan WTO, maka mau tidak mau kelak desakan dari dunia internasional akan semakin kuat untuk meliberalisasi pasar domestik Indonesia. Oleh karena itu, nantinya kebijakan protektif tidak relevan lagi bila terus menerus diterapkan terhadap industri Indonesia yang dari segi usianya tidak dapat lagi dikategorikan sebagai infant industry. Apalagi proteksi tersebut justru tidak membuat industri kita memiliki ketahanan menghadapi pasar global. Baihaki Hakim, mantan Direktur Utama Pertamina, dalam suatu forum segi empat antara Depperindag, Departemen ESDM, Kontraktor Production Sharing migas, dan para pelaku industri nasional yang diselenggarakan di kantor Kementerian ESDM pada bulan Juli 2001 (kebetulan saya juga ikut hadir) mengatakan bahwa kebijakan protektif terhadap industri Indonesia yang sudah berumur puluhan tahun – apabila dilaksanakan terus menerus – sama saja dengan mensubsidi “bayi berjanggut”. Maksud Baihaki adalah bahwa banyak industri di Indonesia yang sudah dibina selama puluhan tahun oleh industri migas namun masih saja meminta perlindungan dari pemerintah. Akibatnya industri tersebut tidak mempunyai daya saing di era pasar bebas karena merasa nyaman dipayungi oleh proteksi. Di sisi lain, dari segi kemampuan teknis dan finansial, industri di Indonesia pada umumnya hanya bergerak di sektor proses produksi hilir dan tidak termotivasi untuk membangun fasilitas proses produksi hulu. Dengan adanya pemberlakuan preferensi harga 15% itu, siapakah sebetulnya yang mensubsidi para konglomerat? Jawabannya: rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung (lewat dana APBN misalnya). Rakyat mesti membayar produk yang diproteksi lebih mahal dari harga pasaran dunia.

Sejenak Melihat Korea Selatan

Korea Selatan merupakan salah satu contoh negara yang sejarah awal industrialisasi serta sejarah awal politik-ekonominya serupa dengan Indonesia. Dimulai awal tahuan 60-an ketika sama-sama mendirikan industri baja. Indonesia membangun Krakatau Steel, Korsel membangun Pohang Steel and Iron Company (Posco). Proses pembangunan politik dan ekonomipun dapat dikatakan mirip. Keduanya memulai pemerintahan dengan rezim militer dan otoriter yang kuat dan cenderung represif. Hanya saja Korea lebih awal berubah dari rezim otoriter ke demokrasi pada tahun 80-an. Indonesia di paruh kedua 90-an.

Pembangunan ekonomi Korsel pun bertumpu pada pertumbuhan konglomerasi dengan terlebih dahulu menguasai proses produksi hilir. Perekonomian Indonesia dan Korsel praktis dikuasai oleh sekelompok konglomerat. Perbedaannya, konglomerat Indonesia sekalipun diberi kesempatan untuk berkembang, tidak pernah bisa menghasilkan produk andalan yang dikenal di seluruh dunia. Nyaris tidak dikenal barang “made by Indonesians” yang bisa diandalkan karena para konglomerat Indonesia lebih suka mengejar rente ekonomi. Korsel, meski pada mulanya sebagai copy cat (follower), namun mereka berusaha menguasai know-how yang menjadi ruh teknologi. Akibatnya Korsel mampu mempnyai perusahaan besar yang andal dengan juga produk andalan yang bisa menembus pasar dunia. Mereka mempunyai perusahaan teknologi berkelas dunia (Samsung, LG), perusahaan mobil (Hyundai, KIA, Daewoo), pabrik baja (Posco) dan industri kapal (Hyundai Heavy Industries). Korsel bahkan kini mampu membuat kereta api cepat (bullet train) serta microships berkekuatan besar.

Dengan kemampuan itu, meski kemudian harus terpuruk juga karena krisis moneter pada tahun 1997, Korsel bisa bangkit lebih cepat dari Indonesia. Bahkan mereka bisa kembali menjadi kekuatan ekonomi ke-11 terbesar di dunia dengan nilai ekspor menembus 250 miliar dollar AS per tahun. Bangsa Korea sekarang tidak lagi sekedar berorientasi pada produk, tetapi jauh lebih dari itu. Mereka kini melakukan apa yang mereka namakan dengan Korean waves, “gelombang Bangsa Korea”, yaitu serbuan produk dan ekspansi kapital Korsel secara global. Sungguh mengagumkan melihat Korsel mempersiapkan SDM untuk menghadapi era mendatang.

Tanpa harus mengecilkan kemampuan diri kita, Indonesia seharusnya mampu untuk melakukan itu. Indonesa mempunyai potensi lebih besar dibandingkan Korsel untuk menjadi kekuatan ekonomi dunia. Tantangannya, mampukah Indonesia menghasilkan sebuah produk dan industri yang bida diandalkan? Mampukah bangsa Indonesia menghasilkan “made by Indonesians” yang bukan hanya dihargai oleh bangsa, tetapi juga oleh masyarakat dunia? Semua itu memang tidak bisa sekali jadi, namun harus segera dimulai langkah kesana. Penghargaan dan dorongan bagi putra-putri Indonesia untuk bisa maju dan mengharumkan nama bangsanya harus digalakkan secara serius. Disinilah fungsi penting dari yang namanya pemimpin, yakni mereka yang tahu hendak dibawa kemana bangsa dan negara ini. Tidak sekedar menjalankan roda pemerintahan dengan prinsip business as usual.

Harus dikatakan sekarang ini bahwa orientasi kita cenderung jangka pendek. Orang lebih suka menjadi pedagang daripada menjadi industriawan karena arah kebijakan yang berubah-ubah dan tidak tegas – terutama di sisi implementasinya di lapangan. Akibatnya, orang tidak berani berpikir jangka panjang, tetapi justru berlomba untuk mencari cara agar bagaimana memperoleh keuntungan dalam periode yang sangat pendek secepat-cepatnya.

Saatnya pikiran bagi lahirnya “made by Indonesians” untuk direalisasikan. Bangsa ini tidak kekurangan orang kreatif. Mereka hanya memerlukan suasana kondusif serta membutuhkan pengakuan dan penghargaan agar tidak berhenti berkarya dan menghasilkan sesuatu yang bisa dibanggakan oleh bangsa dan negara. Akhir-akhir ini malah terjadi fenomena “brain drain”, yaitu larinya orang-orang cerdas Indonesia ke luar negeri. Malaysia sekarang konon sudah bisa membuat pesawat sekelas CN 235 karena banyak tenaga ahli mantan IPTN dan BPPT yang berkarya di negeri jiran ini.

Nyatalah bahwa kekayaan sumber daya alam, banyaknya jumlah SDM, dan strategisnya posisi geografis tidak menjamin sebuah bangsa untuk maju. Justru kalau sumber daya alam tidak dikelola dengan benar, malah dapat menimbulkan benih-benih perpecahan. Kualitas SDM-lah yang menentukan kemajuan bangsa.

Penutup

Proteksi berupa preferensi harga dan pembatasan kuota (atau bahkan pelarangan impor) masih diperlukan apabila pengembangan industri nasional diarahkan agar dapat membangun fasilitas produksi hulu. Proteksi harus mempunyai tenggat waktu yang definitif (misalnya 10 tahun ke depan) serta harus ada tahapan rekayasa (desain), tahapan pendanaan, tahapan konstruksi pembangunan fasilitas produksi hulu, dan tahapan penetrasi pasar ekspor. Proteksi yang berkepanjangan tanpa batasan waktu dan tanpa sasaran yang jelas – apalagi industri yang dari segi usianya sudah tidak dapat lagi dikategorikan sebagai infant industry – akan mengundang protes dari para pelaku bisnis internasional, karena bagaimanapun desakan globalisasi dan era pasar bebas sudah bergulir.

Dengan mempertimbangkan derasnya arus globalisasi dan pasar bebas serta usia sebagian industri Indonesia yang tidak lagi dapat dikategorikan sebagai infant industry, maka perlu dibuat suatu kebijakan penjadwalan yang terarah atau road map sehingga dalam kurun waktu paling tidak dalam lima tahun mendatang industri di Indonesia mampu membangun fasilitas produksi hulu (terintegrasi dengan fasilitas proses produksi hilir yang sudah ada) dan mampu berkompetisi di pasar bebas. Selama proses pembangunan fasilitas produksi hulu ini sampai tahap pengoperasiannya – katakanlah lima tahun untuk menyelesaikan pembangunan fasilitas produksi hulu ditambah lima tahun berikutnya untuk pengoperasiannya secara komersial – kebijakan protektif masih relevan untuk dijalankan, mengingat industri yang terintegrasi harus mempunyai kondisi finansial yang kuat dan sumber daya manusia yang kompeten untuk membangun dan mengoperasikan fasilitas produksi hulu yang padat modal dan padat teknologi sampai bisa mandiri menghadapi pasar bebas. Negara-negara yang sudah mengikat perjanjian melalui AFTA atau WTO-pun melakukan proteksi terhadap industri bajanya, baik berupa pengenaan tarif impor maupun pembatasan kuota impor. Di sisi lain, pembudayaan iptek dan intensifikasi pengindustrian inteligensi merupakan syarat mutlak untuk mencapai kemandirian berindustri.

Referensi:
1. Sasmojo, Saswinadi: Science, Teknologi, Masyarakat, dan Pembangunan, Program Studi Pembangunan ITB, Bandung, 2005.
2. Suryopratomo: "Pertemuan APEC: Made in Indonesia", Kompas, 20 November 2005.

(Catatan: saya akhiri dulu topik tentang proteksi industri, agar tidak terlalu panjang. Walaupun alur ceritanya saya ‘potong dengan paksa’, mudah-mudahan masih bisa dijadikan sekedar ‘bahan kecil’ untuk pembelajaran kita bersama).

No comments: