Kehidupan ekonomi dan budaya, keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Francis Fukuyama mengatakan, “We cannot divorce economic life from cultural life in an era where social capital may be as important as physical capital....” Kita tidak dapat memisahkan kehidupan ekonomi dari kehidupan budaya dalam era dimana modal sosial sama pentingnya dengan modal fisik.
Beragam definisi tentang budaya. Salah satunya saya ambilkan definisi dari Saswinadi Sasmojo (Guru Besar Teknik Kimia ITB): budaya suatu masyarakat merupakan himpunan informasi yang menjadi milik semua anggota masyarakat yang menganut budaya tersebut, dan menjadi rujukan di dalam segala tindakan dan pola laku anggota masyarakatnya, dan karenanya merupakan himpunan informasi yang keterjangkauannya merata bagi semua anggota masyarakat tersebut.
Dalam suatu negara atau daerah, yang namanya pergantian pimpinan merupakan suatu keniscayaan. Pada tatanan pemerintah pusat, hingga saat ini Indonesia sudah mengalami pemerintahan yang dipimpin oleh enam orang presiden - mulai dari Bung Karno. Pada tatanan pemerintah provinsi, di sebagian besar wilayah Indonesia sudah mengalami pergantian gubernur berkali-kali. Pada tatanan pemerintah kabupaten, pemerintah kota, kecamatan, kelurahan tentunya juga entah sudah berapa kali mengalami pergantian pimpinan. Apa yang tidak berubah setiap kali terjadi pergantian pimpinan? Masyarakatnya! Pimpinan boleh berganti-ganti, tetapi masyarakatnya tetap disitu, menjalani kehidupan mereka sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai budaya yang mereka anut.
Apakah di antara kita ada yang merasakan proses pembangunan terasa lamban? Mengapa bangsa lain bisa melesat lebih cepat maju ketimbang bangsa kita, padahal beberapa puluh tahun lalu tingkat kemajuannya sama dengan kita? Ada satu hal yang sering diabaikan oleh para pimpinan: revitalisasi budaya. Budaya - sebagai modal sosial - sangat krusial peranannya dalam proses pembangunan.
Budaya yang bagaimanakah yang menggerakkan masyarakatnya untuk maju? Jawabannya: budaya unggul. Yang dimaksud budaya unggul dalam era globalisasi ini adalah budaya produktif; dicirikan dengan perilaku masyarakatnya sehari-hari, antara lain efisien, inovatif, berorientasi pada hasil, dan “dewasa” dalam bersikap. Moral sebetulnya juga termasuk bagian dari tatanan budaya manakala nilai-nilai moral tersebut dianut dan dilaksanakan oleh kelompok masyarakatnya. Masyarakat yang memiliki budaya unggul akan memiliki standar moral tinggi. Satu sama lain bisa saling dipercaya, atau trust (amanah). Masyarakat yang amanah akan mudah bersinergi untuk fokus pada kemajuan bersama.
Jika katalisator dalam ilmu kimia berfungsi sebagai pemercepat proses reaksi kimia, maka budaya unggul dalam tatanan kemasyarakatan merupakan “katalisator” yang dapat mempercepat terjadinya proses pembangunan. Sebaliknya, budaya yang kontra-produktif akan menghambat proses pembangunan itu sendiri. Karena pentingnya peranan budaya dalam proses pembangunan itulah maka para pakar menjuluki budaya sebagai “modal sosial” (social capital). Sedangkan hasil pembangunan fisik berupa benda/materi seperti infrastruktur, pabrik-pabrik, dan gedung-gedung bertingkat disebut sebagai “modal fisik” (physical capital).
Bagamana cara membentuk budaya unggul? Tidak lain dengan cara membangun karakter manusia (character building). Disinilah sebetulnya esensi pendidikan: membangun karakter manusia agar menjadi manusia berkwalitas. Pendidikan semestinya mampu mentransformasikan masyarakatnya dari perilaku kontra-produktif menjadi masyarakat berbudaya unggul. Saya mengartikan “pendidikan” disini dalam artian luas. Tidak hanya pendidikan yang dilaksanakan di institusi sekolah formal, tetapi juga non formal, termasuk pencerahan yang sering dikumandangkan oleh para penceramah keagamaan.
Singkat cerita, tanpa pembangunan karakter manusia, maka tidak akan terbentuk masyarakat yang berbudaya unggul. Tanpa budaya unggul (yang merupakan modal sosial), maka pembangunan fisik (ekonomi) akan berjalan lamban. Modal sosiallah yang akan memberikan “energi positif” terhadap proses pembangunan itu.
Berbagai “penyakit hati” seperti yang pernah saya ulas dalam postingan berjudul ‘Pentingnya Membangun Karakter Manusia’ adalah contoh-contoh perilaku yang kontra-produktif. Pertikaian yang sering terjadi, seperti konflik antara rakyat dan pemimpin, konflik antar kelompok masyarakat, serta konflik antar elit juga merupakan contoh perilaku kontra-produktif. Karena rendahnya tingkat amanah dalam tatanan kemasyarakatan kita, maka sinergi antar institusi menjadi begitu sulit. Ego sektoral dan kepentingan pribadi/kelompok begitu kuatnya, menyingkirkan kepentingan bersama.
Kita sering hanya fokus pada pembangunan fisik, sehingga mengabaikan pembangunan karakter manusia. Akhirnya disana-sini kita sering jumpai “energi negatif” yang menghambat jalannya proses pembangunan.
(Nusa Dua, Bali, 26 Februari 2009).
Read more (Baca selengkapnya)...
Beragam definisi tentang budaya. Salah satunya saya ambilkan definisi dari Saswinadi Sasmojo (Guru Besar Teknik Kimia ITB): budaya suatu masyarakat merupakan himpunan informasi yang menjadi milik semua anggota masyarakat yang menganut budaya tersebut, dan menjadi rujukan di dalam segala tindakan dan pola laku anggota masyarakatnya, dan karenanya merupakan himpunan informasi yang keterjangkauannya merata bagi semua anggota masyarakat tersebut.
Dalam suatu negara atau daerah, yang namanya pergantian pimpinan merupakan suatu keniscayaan. Pada tatanan pemerintah pusat, hingga saat ini Indonesia sudah mengalami pemerintahan yang dipimpin oleh enam orang presiden - mulai dari Bung Karno. Pada tatanan pemerintah provinsi, di sebagian besar wilayah Indonesia sudah mengalami pergantian gubernur berkali-kali. Pada tatanan pemerintah kabupaten, pemerintah kota, kecamatan, kelurahan tentunya juga entah sudah berapa kali mengalami pergantian pimpinan. Apa yang tidak berubah setiap kali terjadi pergantian pimpinan? Masyarakatnya! Pimpinan boleh berganti-ganti, tetapi masyarakatnya tetap disitu, menjalani kehidupan mereka sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai budaya yang mereka anut.
Apakah di antara kita ada yang merasakan proses pembangunan terasa lamban? Mengapa bangsa lain bisa melesat lebih cepat maju ketimbang bangsa kita, padahal beberapa puluh tahun lalu tingkat kemajuannya sama dengan kita? Ada satu hal yang sering diabaikan oleh para pimpinan: revitalisasi budaya. Budaya - sebagai modal sosial - sangat krusial peranannya dalam proses pembangunan.
Budaya yang bagaimanakah yang menggerakkan masyarakatnya untuk maju? Jawabannya: budaya unggul. Yang dimaksud budaya unggul dalam era globalisasi ini adalah budaya produktif; dicirikan dengan perilaku masyarakatnya sehari-hari, antara lain efisien, inovatif, berorientasi pada hasil, dan “dewasa” dalam bersikap. Moral sebetulnya juga termasuk bagian dari tatanan budaya manakala nilai-nilai moral tersebut dianut dan dilaksanakan oleh kelompok masyarakatnya. Masyarakat yang memiliki budaya unggul akan memiliki standar moral tinggi. Satu sama lain bisa saling dipercaya, atau trust (amanah). Masyarakat yang amanah akan mudah bersinergi untuk fokus pada kemajuan bersama.
Jika katalisator dalam ilmu kimia berfungsi sebagai pemercepat proses reaksi kimia, maka budaya unggul dalam tatanan kemasyarakatan merupakan “katalisator” yang dapat mempercepat terjadinya proses pembangunan. Sebaliknya, budaya yang kontra-produktif akan menghambat proses pembangunan itu sendiri. Karena pentingnya peranan budaya dalam proses pembangunan itulah maka para pakar menjuluki budaya sebagai “modal sosial” (social capital). Sedangkan hasil pembangunan fisik berupa benda/materi seperti infrastruktur, pabrik-pabrik, dan gedung-gedung bertingkat disebut sebagai “modal fisik” (physical capital).
Bagamana cara membentuk budaya unggul? Tidak lain dengan cara membangun karakter manusia (character building). Disinilah sebetulnya esensi pendidikan: membangun karakter manusia agar menjadi manusia berkwalitas. Pendidikan semestinya mampu mentransformasikan masyarakatnya dari perilaku kontra-produktif menjadi masyarakat berbudaya unggul. Saya mengartikan “pendidikan” disini dalam artian luas. Tidak hanya pendidikan yang dilaksanakan di institusi sekolah formal, tetapi juga non formal, termasuk pencerahan yang sering dikumandangkan oleh para penceramah keagamaan.
Singkat cerita, tanpa pembangunan karakter manusia, maka tidak akan terbentuk masyarakat yang berbudaya unggul. Tanpa budaya unggul (yang merupakan modal sosial), maka pembangunan fisik (ekonomi) akan berjalan lamban. Modal sosiallah yang akan memberikan “energi positif” terhadap proses pembangunan itu.
Berbagai “penyakit hati” seperti yang pernah saya ulas dalam postingan berjudul ‘Pentingnya Membangun Karakter Manusia’ adalah contoh-contoh perilaku yang kontra-produktif. Pertikaian yang sering terjadi, seperti konflik antara rakyat dan pemimpin, konflik antar kelompok masyarakat, serta konflik antar elit juga merupakan contoh perilaku kontra-produktif. Karena rendahnya tingkat amanah dalam tatanan kemasyarakatan kita, maka sinergi antar institusi menjadi begitu sulit. Ego sektoral dan kepentingan pribadi/kelompok begitu kuatnya, menyingkirkan kepentingan bersama.
Kita sering hanya fokus pada pembangunan fisik, sehingga mengabaikan pembangunan karakter manusia. Akhirnya disana-sini kita sering jumpai “energi negatif” yang menghambat jalannya proses pembangunan.
(Nusa Dua, Bali, 26 Februari 2009).