Saturday, May 24, 2008

Kapan minyak Indonesia habis?



Wes ewes ewes bablas ……!!! Akhirnya harga BBM bersubsidi naik juga mulai tanggal 24 Mei 2008 jam 00:00 WIB. Premium menjadi Rp 6000 per liter, solar menjadi Rp 5500 per liter. Tentu saja keputusan pemerintah ini disambut dengan duka cita dan aksi unjuk rasa di beberapa tempat di Indonesia karena seperti yang sudah-sudah, walaupun sudah ada pelipur lara dalam bentuk BLT untuk rakyat miskin yang besarnya Rp 100 ribu per bulan per kepala keluarga, namun tidak ada artinya dibandingkan efek domino kenaikan BBM yang nanti akan merembet kemana-mana. Sementara pada penutupan hari Jumat, 23 Mei 2008, harga minyak mentah di pasar NYMEX (New York Merchantile Exchange) jenis light sweet crude sudah melampaui USD 132 per barel.
Dalam posting ini saya tidak akan bercerita tentang reaksi masyarakat akibat kenaikan BBM karena ini sudah menjadi headline di media masa. Saya mencoba membuat semacam simplified forecast alias ramalan sederhana tentang kapan minyak Indonesia habis. Karena caranya sederhana, tentu saja tidak pakai hitungan canggih-canggih semisal simulasi komputer yang biasa dipakai oleh para petroleum engineer ataupun model hitungan juru ramal yang handal. Dalam forecast ini diasumsikan (1) laju produksi mempunyai kecendrungan terus menurun, (2) tidak ada lapangan baru yang menambah produksi, dan (3) tidak ada cadangan baru yang ditemukan.

Cara pertama (lihat gambar pertama). Ekstrapolasi linier terhadap tren penurunan produksi mulai tahun 1997. Terlihat pada gambar pertama bahwa produksi mencapai nol pada tahun 2025. Pertanyaannya, kapankah eksploitasi lapangan minyak berhenti? Tentu saja jika dipandang tidak ekonomis lagi. Batas ekonomis sangat bervariatif untuk masing-masing lapangan, bahkan masing-masing sumur. Sukar untuk menjeneralisir berapa batas ekonomis untuk skala Indonesia yang jumlah sumur minyaknya puluhan ribu. Jika, sebut saja batas ekonomis itu adalah 200 ribu barel per hari (bph), maka berdasarkan cara pertama ini produksi minyak akan terhenti pada tahun 2022. Cara ini dapat dikatakan tidak pernah digunakan oleh para petroleum engineer.

Cara kedua (lihat gambar kedua). Tren produksi minyak diplot di atas kertas semi-log. Data produksi pada skala logaritma, dan waktu pada skala normal. Cara ini sering digunakan para petroleum engineer, disebut juga exponential decline rate (laju penurunan produksi secara eksponensial). Menurut cara ini, berhentinya produksi minyak juga tergantung berapa batas ekonomisnya. Jika katakanlah skala ekonomisnya 200 ribu bph, maka produksi minyak akan terhenti pada tahun 2045. Tapi kan 200 barel per hari itu uangnya banyak? Mungkin saja dalam 20 tahun mendatang biaya eksploitasi di Indonesia terlalu mahal, sehingga 200 ribu bph itu belum bisa membuat break even.

Cara ketiga. Membandingkan cadangan terbukti (proved reserve) dengan laju produksi terakhir, disebut juga Reserve to Production Ratio (R/P Ratio) . Cadangan terbukti adalah volume minyak bumi yang masih tersisa yang berdasarkan data-data geologi dan teknis dapat diproduksi di masa mendatang berdasarkan kondisi operasional (ekonomi dan teknologi) yang ada sekarang. Menurut data dari berbagai sumber, cadangan terbukti Indonesia pada akhir tahun 2006 sebesar 4,3 miliar barel. Jika produksi sekarang rata-rata 0,93 juta bph, berarti minyak Indonesia akan habis dalam kurun waktu 13 tahun mendatang, yaitu di tahun 2021.

Jadi memang tidak ada jawaban yang unik tentang kapan perminyakan di Indonesia akan ’tutup buku’. Namun bagaimanapun menurut saya Indonesia sudah dalam posisi SIAGA-1, artinya harus secara sungguh-sungguh mengantisipasi penurunan produksi ini; apalagi R/P ratio sudah membunyikan 'alarm'. Apakah umur ketersediaan minyak di Indonesia dapat diperpanjang? Jika lapangan baru bertambah (misalnya Exxon-Mobil Cepu yang sampai sekarang belum produksi juga dan konon dapat menambah kontribusi 200 ribu bph) dan ditemukannya cadangan-cadangan baru, maka usia perminyakan di Indonesia akan lebih panjang.

4 comments:

Blogger said...

Hi!

Unfortunately I don't understand what you wrote.

Rafael - Brazil
http://quotidienlife.blogspot.com

Gamil Abdullah said...

Hi, Rafael. Nice to have you published your comment here. I used my own language (Indonesia) in this blog. Regards /gamil/

Anonymous said...

Mil, sorry aku baru bisa kasih komen sekarang, abis sedih banget dengan situasi negara kita yang kucin(g)tai ini. Btw, apa ga ada cara laen selain naikin harga BMM untuk nyelametin krisis MIGAS? Dan kenepa program energi alternatif kita gagal? Aku pikir, kalo uang subsidi MIGAS itu kita putar buat program energi alternatif, pasti sekarang kita bisa untung besar dengan harga minyak dunia saat ini... bener ga?.. Ayo mil sebagai orang MIGAS, kita konsen ke energi alternatif terutama minyak Jarak.. Cheers..

Gamil Abdullah said...

Halo Yani. "kucin(g)tai", I like this part also, he-he-he-he....... Kita gak di pemerintahan n gak di posisi orang yg dikasih amanah sih untuk ngambil kebijakan, jadi aku gak tau persis apakah masih ada alternatif lain untuk nyelametin krisis bbm selain naekin harga. Mestinya kalo kreatif ada donk. Coba aja kita liat gimana tukang baso survive dalam menyiasati kenaikan harga bahan baku basonya: pertama dia akan memperkecil diamater daging basonya; masih rugi juga dia akan kurangin jumlah daging dalam seporsi basonya; baru yang terakhir kalo dia masih rugi juga dia naekin harga seporsi basonya. Tapi orang2 pinter yg ngambil kebijakan mana maulah disamaain dgn tukang baso, ya gak.

Menurut itung2an yg beredar di milis (salah satunya itung2an Pak Kwik), mestinya memang tidak ada uang cash yg dikeluarin pemerintah gara2 mensubsidi bbm. Karena net {hasil penjualan crude - import (crude+bbm) - biaya pengilangan + hasil penjualan bbm subsidi yg Rp 4500/ltr} hasilnya positif, berarti justru ada arus uang masuk ke pemerintah. Apalagi bbm utk transportasi yg disubsidi itu porsinya hanya 50% dari total bbm hasil pengilangan; yg 50% laginya kan untuk industri yang sejak thn 2005 memang udah ngikutin harga pasar. Jadi untuk apa di APBN ditarok ada belanja subsidi bbm, lalu untuk apa belanja subsidi ini. Kalo Pak Kwik aja yang pernah jadi Menko Ekuin dan Ketua Bappenas gak tau asal-usul dan dikemanain belanja subsidi dlm APBN itu, ya apa lagi kita2 - yang boro2 jadi temennya menteri aja belum pernah. Kalo aku sih kenal sama menteri, cuman menterinya yg gak kenal aku, he-he-he-he lagi.

Kalo pertanyaannya kenapa diversifikasi energi gak jalan. Wah, ini pertanyaan bisa sulit bisa juga mudah ngejawabnya. Yg jelas bukan karena di Indonesia ini gak ada orang pinter, tapi karena gak serius aja ngejalananinnya. So lagi2 kembali ke masalah komitmen, plus moral tentunya. Kalo Pak Soetrisno Bachir yang wajahnya sering muncul dala tayangan TV dan terpampang di baliho-baliho besar mengatakan ‘hidup adalah perjuangan’, maka aku bilang ‘hidup adalah kelakuan’. Anyway Sabtu pagi 24 Mei kemaren secara gak sengaja aku ngedengerin talk show di Trijaya FM. Disitu ada orang ESDM (Ibu Evita) yang menyatakan from now on pemerintah akan sungguh2 menjalankan diversifikasi energi. Apa boleh buat. Lebih baik telat daripada gak sama sekali. Bahwa suatu saat Indonesia bakalan jadi net-importer minyak bumi itu wacananaya udah lama sejak 20 thn lalu waktu jamannya menteri pak Soebroto. Mestinya paling gak dari tahun 1993 udah ada bunyi alarm waspada karena di thn ini produksi minyak kita masih ok banget di level 1,65 jt bph. Tapi terlena kali ya (btw, memang banyak temen cewek kita dulu yang namanya ada frase 'lena'). Sumber energi alternatif lain baik fosil maupun non fosil (yg bersifat renewable) masih banyak, sebut aja gas, coal, panas bumi (or bumi makin panas ya?), hidro, matahari, biofuel - misalnya jarak itu. Tapi ya gimana, kenyataannya menurut temen2 di Lampung, para petani yang udah nanem jarak aja sekarang kebingungan karena gak ada yang mau nampung hasil panennya. Next, aku mau sedikit ngulas RENEWABLE ENERGY di blog ini.

Salam kompaksss..