Tuesday, June 17, 2008

Agama dan tingkat kemajuan sebuah bangsa


Suatu ketika, saat sedang tea break (karena saya tidak minum kopi) dengan beberapa teman sekantor, seperti biasa waktu singkat tersebut kami isi dengan perbincangan ringan. Akhirnya perbincangan kami jatuh pada bahasan yang kira-kira bunyinya apakah agama itu menstimulasi suatu bangsa untuk maju atau sebaliknya. Sebuah topik yang menurut saya cukup berat karena paling tidak diperlukan ahli agama dan budayawan untuk membahasnya. Maka opini saya dalam artikel mini ini menggunakan sudut pandang dengan latar belakang engineer, bukan ahli agama atau budayawan.

Salah seorang teman mengatakan bahwa Jepang, Taiwan, dan Korea tidak mengenal apa itu agama – dalam konteks agama samawi (agama yang bersumberkan wahyu ilahi), tetapi kok mereka bisa maju pesat meninggalkan Indonesia yang nota bene tempat hidup agama-agama besar. Lalu saya mengatakan bahwa pada intinya agama itu berisikan tuntunan agar manusia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Jadi agama merupakan tuntunan, bukan jaminan suatu bangsa pasti akan maju jika beragama, seperti yang sering dikatakakan oleh Dr. Zakir Naik, “Al-Quran is the book of signs, not the book of science.”

Dalam tradisi Islam dikenal ada 99 nama Allah yang mencirikan sifat universal-Nya yang disebut dengan asma’ul husna. Mulai dari sifat Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Adil, Maha Lembut, Maha Bijaksana, Maha Suci, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Pengampun, Maha Menghakimi, dst. Menurut yang pernah saya pelajari, pada saat manusia berada di alam ruh (sebelum terlahir ke dunia), Tuhan sudah meniupkan ‘tetesan’ sifat-sifatnya itu ke dalam ruh manusia, sehingga diharapkan setelah terlahir ke dunia manusia tersebut dapat menjalankan tugasnya dengan baik sebagai wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi. Karena Tuhan meniupkan ‘tetesan’ sifat-sifatnya itu kepada semua ruh manusia, maka semua orang semestinya memiliki tetesan sifat-sifat tersebut dalam bentuk ‘suara hati’. Namun mengapa kesadaran munculnya suara hati itu tingkatannya berbeda-beda pada setiap orang? Hal ini tentunya tergantung pada persepsi dan pola pikir pada diri seseorang yang selanjutnya sangat dipengaruhi pula oleh lingkungannya. Jika pola pikir tersebut dianut oleh sekelompok orang maka jadilah dia sebuah nilai moral dalam tatanan budaya – budaya kelompok, budaya suku, atau budaya bangsa.

Jepang, Korea, dan Taiwan dikenal sebagai bangsa-bangsa yang cerdas, bersih, disiplin, dan bersih dari KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme). Apa sesungguhnya esensi yang mereka laksanakan dalam kehidupan sehari-hari? Ketika mereka berusaha untuk menjadi bangsa yang cerdas, maka sesungguhnya mereka sedang menjalankan bisikan suara hati hasil tiupan Yang Maha Mengetahui. Ketika mereka hidup bersih dan sehat, maka sesungguhnya mereka sedang menjalankan bisikan suara hati hasil tiupan Yang Maha Suci. Ketika mereka disipin, maka sesungguhnya mereka sedang menjalankan bisikan suara hati hasil tiupan Yang Maha Memelihara alam semesta ini dengan segala keteraturannya. Ketika mereka tidak KKN, maka sesungguhnya mereka sedang menjalankan bisikan suara hati hasil tiupan Yang Maha Adil dan Yang Maha Menghakimi. Ketika mereka kerja keras tak kenal waktu, maka sesungguhnya mereka sedang menjalankan bisikan suara hati hasil tiupan Yang Tidak Pernah Lelah Dan Tidak Pernah Tidur.

Bagi rekan-rekan yang sempat nonton film ‘The Last Samurai’ (pemeran utamanya Tom Cruise, tahun 2004 kalau tidak salah), coba lihat kehidupan para samurai Jepang dalam film itu yang selama 24 jam taat dengan kedisiplinan, keteraturan, dan kesempurnaan. Cara mereka membuat teh, menghidangkan, meminum, dan meletakkan cangkir serta teko terlihat sempurna sekali – zero error (nol kesalahan). Disiplin dan nol kesalahan adalah tetesan sifat Yang Maha Sempurna. Bangsa Jepang memang tidak memiliki tradisi agama samawi, tetapi tetesan sifat-sifat universal Tuhan yang diajarkan dalam agama samawi itu telah tertanam dalam tatanan budaya mereka selama ratusan tahun sehingga memacu mereka menjadi bangsa yang maju dan sejajar dengan – bahkan dalam beberapa hal mengungguli – bangsa-bangsa Barat yang telah lebih dahulu mengalami revolusi industri.

Kemudian apa kira-kira bedanya antara orang beragama samawi yang melaksananakan tetesan sifat-sifat universal Tuhan tersebut dengan orang yang tidak beragama tetapi menjalankannya? Kalau menurut saya, orang yang beragama akan lebih sustainable dalam menjalankan bisikan suara hatinya tenimbang orang yang tidak beragama, karena dalam agama diajarkan bahwa apapun yang dikerjakan, walaupun tidak terlihat oleh orang lain, senantiasa tetap ada yang melihat dan mencatat amal perbuatannya. Sedangkan pada orang yang tak beragama hanya didorong oleh nilai moral budaya atau peraturan hukum yang berlaku; mereka tidak mengenal konsep surga-neraka. Oleh karenanya orang yang tidak beragama tetap rentan menyimpang dari bisikan suara hatinya manakala dia memasuki lingkungan lain yang tidak kondusif. Misalnya saja orang Jepang, Korea, atau Singapura yang dikenal dengan negara-negara bersih KKN, bisa saja ikut-ikutan KKN di negara yang berbudaya KKN. Di tempat-tempat pelabuhan masuk barang impor di Indonesia mereka justru memanfaatkan budaya suap-menyuap setempat agar barang mereka dapat masuk ke Indonesia dengan ongkos bea masuk yang murah.

Dalam Alquran, ayat pertama yang diwahyukan dimulai dengan kata ‘bacalah’. Ini adalah perintah universal bagi manusia agar belajar dan belajar supaya menjadi orang yang cerdas. Ayat pertama dalam Surat 103 berbunyi ‘demi waktu’. Ini adalah perintah universal agar manusia memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien mungkin, jangan mengisi waktu dengan hal-hal yang membuat kerugian. Sudahkah bangsa ini menjalankan perintah universal tersebut? Sudahkah bangsa ini membuka penutup suara hatinya yang ketika dulu di alam ruh Sang Khalik telah meniupkan tetesan sifat-sifat-Nya?

Saya berkesimpulan bahwa bangsa-bangsa yang tidak memiliki tradisi agama samawi bisa lebih maju karena tetesan sifat-sifat universal Tuhan telah tertanam dalam tatanan nilai budaya mereka. Tetesan sifat-sifat universal yang mereka praktekkan itulah yang membuat mereka memiliki keunggulan kompetitif. Agama memang tidak dapat menjamin sebuah bangsa untuk maju, tetapi paling tidak agama merupakan katalisator pembuka jalan bagi kemajuan itu sendiri. Kemajuan sebuah bangsa beragama seperti Indonesia akan sangat tergantung pada kecerdasan spiritual pengikutnya untuk dapat secara konsisten mentransformasikan tetesan sifat-sifat universal keilahian ke dalam kehidupan sehari-hari. Kalau tetesan sifat-sifat tersebut dijalankan dengan sungguh-sungguh, tentunya orang Indonesia akan lebih hebat dari Jepang; sebab selain makmur di dunia, insya Allah di akhirat akan masuk surga (betul tidak?). Sayangnya suara hati bangsa ini masih tertutupi oleh perilaku duniawi manusianya sendiri, sehingga tetesan sifat-sifat universal Tuhan itu tidak mengejawantah dalam tatanan budaya bangsa. Berbagai kerusuhan dan krisis sudah menjadi santapan kita sehari-hari. Mulai dari rusuh Pilkada (sering diplesetkan menjadi 'Pilkadal', pemilihan kadal-kadal), krisis energi, krisis pangan, krisis moral, krisis harga diri, sampai krisis rasa malu.

Di akhir tea break, saya nyeletuk ke teman saya, “Indonesia yang masyarakatnya beragama saja carut marut seperti ini. Apalagi kalau tidak beragama.” Only God knows everything.

2 comments:

Anonymous said...

Ha ha ha I like your last paragraph!


Dendi Kartini, New York

Anonymous said...

naik haji aja ada yg pakai uang haram, pelaksanaannya dikorup !
walah ...di negeri ini Tuhan adanya hanya dalam masjid/gereja